Data buku kumpulan puisi
Judul : Suluk Tanah Perdikan, Kumpulan Sajak 1987 - 1993
Penulis : Bambang J. Prasetya
Cetakan :
I, Oktober 1995
Penerbit :
Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Tebal :
xvi + 62 halaman (52 judul puisi)
ISBN :
979-8581-33-4
Pengantar : Bakdi Soemanto
Beberapa pilihan puisi Bambang J. Prasetya dalam Suluk
Tanah Perdikan
Nyanyian
Zabil
Kau kandung api
pijaran samadiku
muara sajak-sajakku
yang mengilhami
pencarianku
di kota mati
Seperti lukisan sunyi
di padang bumi
nyanyian malam
menderai pagi
lalu engkau
mengketuk-ketuk rahim ibumu
mengibarkan bendera
zabil
di taman bunga
yang disiram sembilan
purnama
sepuluh malam
Seribu mata panah
kau sayatkan pintu
garba
sampai luka terbuka
perih pedih
masih kau seret petir
lewat mulutmu
1992
Gumam
Jejak Duka
Bau kuburan di
plataran rumah-Mu
menyesatkan kesangsian
melacak jejak
nabi-nabi
Rembulan berlayar
menggigil kabut
menawar kembali gairah
meruak-ruak sepi
beri nama apa
waktu berwajah jelaga
ini?
Juga sajak yang tak mampu
menampung gema yang
mendengung
Kembali ke rumah
darahmu
kembali memadamkan
magma
yang meradang dalam
rongga semadi
Jika sangsi tiba
kembali
biarlah mati menjaga
pintu misteri
1993
Interlude
Lazuardi
Jika angin yang
berhenti
usaplah wajahmu!
Pada langit kamar
dan dingin merapat
di matamu
Desah kerinduanmu
meninggalkan pecahan
kaca di sprei
melukai jerit
bocah-bocah malam
dibalut kabut
Tinggallah di sini,
kekasih
merenda sunyi jadikan
bebatuan
lalu taburkan bunga
melati
biar aroma mulutmu
mengusir resah
di timbun bercak
lazuardi
1993
Di
Rumah Rindu
Hujan tak pasti
memagar malam
sebentar tiba kemudian
kembali
ada yang ditinggalkan
butiran air menyapu
atap
lenyap meresap di
pelataran
rumah pendapa
Angin masih seperti
dulu
ketika bertemu camar
menyapu beku
ditarikannya beberapa
lagu
dan daun cemara
menari-nari
mengusik tiang dermaga
meski tak goyah
cemburu badai
berwajah asmara
bermulut petaka
seperti mendung
taburkan kremun
sebentar juga basah
seperti hidup kita
tak terasa menampung
laknat
1992
Seserpih
Sepi
Angin resah
Senja terbang
Lalu darah membeku
Siapa yang datang?
Menyeret buih dera
Memanah rembulan
jingga
meninggalkan gerimis
putih
di Sahara kering
Sepi!
Maut berpangku tangan
Menjulurkan lidah
birahi
1992
Kamuflase
Jangan ganggu aku
menjaring misteri
di awang-awung
berloncatan malaikat
kepaknya senandung
keabadian
air pegunungan
membasuh resah
Kutangkap senyap
senja lenyap didekap
gelap
sisakan sesak bumi
yang penuh kerak hati
mengendarai duka
terbang di awang-uwung
menuju rimba semu
rumput-rumput hijau
berbunga pisau
menggores ruh purba
berpijar lukanya
1992
Sunyi
Kabut terpaku di bukit
juga wajah-Mu
hilang di semak
atau
aku lupa
memberi tanda
pada setiap pertemuan
ruhku
1993
Lanskap
Di pelabuhan kecil
Remang bulan sepotong
Mengasingkan kebebasan
kelelawar
menggambar langit
membendung janji
Laut mati
Malam berkarat
Ikan-ikan damai
dalam lukisan baru
Angin kelabu selatan
menulikan kesadaran
kembali kita
kanak-kanak
menawar-nawar dera
akan diapakan senja?
jika teramat jauh
langit mensetiai warna
biru
1992
Ekstase
Malioboro
Di sudut kotamu yang
sendu
tempat ruh nenek
moyang menjaga pertempuran
melahirkan bocah
telanjang
dekil dan bau kemenyan
matanya silau nyanyian
masa depan
Bulan selimut dingin
bertengger di atas jemuran
payung keemasan
raja-raja
bocah tumbuh dalam
dekapannya
diteteki ketika
menangis
lewat alunan sungai
yang diaduk-aduk polusi
disuapi ketika lapar
dari puing-puing
sampah
Di bawah jembatan ia
lahir
besar di jalanan
Malioboro
ketika peluit kereta
api menjerit
dan derit angkot,
bercampur bau tlethong
saat toko-toko berubah
jadi plaza
pedagang kaki lima tak
lagi bersahaja
Bising kotamu
mengeraskan lengking
aleman sinden jalanan
Binar kotamu
mengencangkan senar
pemetik sinden jalanan
Senja tak berbentuk
bocah terpaku bermain
kartu
lepaskan penat sehari
kerja
meski siang jadi
tukang sapu
membersihkan labirin
pasar beringharjo
yang sepi bau susur aroma
dubang
juga sengat ampek
keringat petani desa
Bocah pinangan zaman
yang terbuang
asing di tengah deru
merci
dan kelap-kelip sorot
lampu mercuri
keluguannya balik
menipu
karena semua sudah
membisu
1993
Suluk
Tanah Perdikan
(perjalanan
metarual sepasang elang)
Sepasang elang
hitam terbang
menembus
cakrawala
kala langit kelam
dan matahari tenggelam
meninggalkan wewangian
misteri senja
”Kami sepasang elang pengabdi kata hati
mata hati
kami manjakan dengan tafsir kebenaran
berubah selalu menjadi prasangka
yang mensia-siakan
namun kesia-siaan itupun menjadi karib
karena setiap kenyataan
kami sandarkan pada kesadaran”
Sepasang elang
hitam terbang
tak hirau angin
berarak mendung
guntur menggemuruh
badai
”Sampai letih sayap mengepak gairah
Singgah di bibir pantai
Menunggu kembali sang mentari
Mengeringkan keringat keletihan jiwa kami”
Sepasang elang
hitam terbang
dari pucuk-pucuk
ke tangkai kering
dari hutan ke
rimba
dari matahari ke
bulan
dari bintang ke
malam
dari ujung cahaya
ke kelam
dari kesangsian
ke-tidak pastian
dari peradaban
ke-biadaban
terbang!
terbang!
dan terbang!
”Angkasa raya
adalah gurun sahara ketabahan
yang ditumbuhi duri-duri warisan purba
yang menggoreskan luka
luka kami abadi
lukisan dewa-dewa
yang diwarnai mazmur suci”
seperkasa siang
menerjang
tinggalkan ruang
singkirkan waktu
mencari jalan
pintu abadi
diikutinya
lenggok tarian sungai
berlabuh di jaman
suci
yang disangga
tiang berhala kertas
bertumpukan di
rongga batok kepala
”Keheningan itupun melahirkan keriuhan
dalam bahasa senyap batin kami
bahasa diam adalah gemuruh laut
menggulung setiap gairah kentalkan semangat
Terbang!
terbang!
terbang dan terbang!!
Kami terbang!!!
bersayap harap
Kami terbang!!!
memerdekakan diri
tak terikat oleh kata
tak terikat oleh bentuk
Kami terbang!!!
mengibarkan bendera
kami punya jiwa
Kami terbang!!!
melintas-lintas kerakusan iman
kami terbang!!!
terbang!!!!
Kami sepasang elang hitam
terbang!!
meninggalkan geram serigala di rimba kota
yang meninabobokan kenyataan
bagai barisan Kurawa
mendendangkan lagu kematian
di padang Kurusetra
tidak ada Janaka dan Werkudara
apalagi Yudistira berharap mencuci dendam
Genderang telah bertalu
merentangkan tangan membuka
seribu jalan matahari
Gendewa telah siap
kami tak punya warastra
kami tak tahu mesti berperang
melawan apa?
melawan siapa?”
Musuh tak
berwujud
dendam tak
berbentuk
patahkan saja
anak panah
jika seruas keberanian
pun sirna
mulailah
mengibarkan bendera duka cita
di ladang sawah
para petani
sebelum padi-padi
menguning
sebelum
jagung-jagung berbiji
dan burung,
tikus, ular, wereng
berpesta pora
di tengah ruwatan
jagad
”Nestapa membakari mega-mega
menyilaukan mata kami perih
ketika pasukan berangkat
menyebrangi batas
berbekal omong kosong semata
kami lelah menunggu monumen kepalsuan
kami ingin terbang!!!”
Seperti langit
dan warna biru
sepasang elang
hitam terbang
membiarkan senja
menepi
tak berlabuh
dan dingin
mengatup air laut
perjalanan ini
pun jadi dermaga
1993
Tentang Bambang J. Prasetya
Bambang Jaka Prasetya atau kadang
disingkatnya Bambang JP, lahir di Yogyakarta 28 Oktober 1965. Menyelesaikan
pendidikan di Institut Seni Indonesia jurusan teater. Antologi puisinya al. Kado Buwana dan Jejak. Bekerja di TVRI stasiun Yogyakarta.
Catatan
Lain
Saya belum pernah mendengar nama penyair ini, pun sewaktu mukim di Jogja
antara tahun 1998 – 2005. Buku ini koleksi alm. Eza Thabry Husano, berdasarkan
catatan yang ada di buku, mungkin dibeli pada 27-VII-96 itu, pada sampul
belakang buku masih ada barcode TB. Gramedia, Rp. 2.750,- Saya pikir, Bambang
JP adalah sedikit di antara penyair Jogja yang memang orang “Jogja”. Jogja
sering menjadi tempat persinggahan para penyair. (Jogja adalah juga pusat,
demikian saya pikir). Seringkali penyair “asli Jogja” kalah menggema dibanding
penyair pendatang - mereka yang tumbuh dan menggali kreatifitas di salah satu
pusat kebudayaan Jawa ini. Persoalan identitas, itulah masalahnya? Sekarang
siapa sosok yang benar-benar merepresentasikan penyair Jogja? Mungkin bisa
dihitung jari. Beberapa orang mungkin tidak menghiraukan hal ini, namun
beberapa yang lainnya merasa identitas sebagai kebutuhan, semacam perasaan
keberakaran. Entahlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar