Data buku kumpulan puisi
Judul : Buku Harian Pejalan Tidur
Penulis : M. Nahdiansyah Abdi
Cetakan :
I, Januari 2011
Penerbit :
Tahura Media, Banjarmasin.
Tebal :
vi + 64 halaman (61 judul puisi)
Perancang Sampul : Hery S.
Foto jamban :
M. Wiwin Rahmadani SH
Link :
http://pejalantidur.blogspot.com
Beberapa pilihan puisi M. Nahdiansyah Abdi
dalam Buku Harian Pejalan Tidur
Tentang Wanita yang Menguap dan Jam Tangannya yang Sialan
Wanita itu menguap tanpa punggung telapak
tangan menempel di
mulutnya. Angin deras tapi nelangsa.
Berkali-kali ia melirik arloji, berharap
lelakinya
muncul dari pintu
itu: “Dasar jam tangan murah!” ia
keceplosan. Dia
perempuan buta dan lelaki itu
torso yang
mengigau di kotak kaca.
270210
Risiko
Ada yang slalu
berpikir kalah-menang
maka jatuhlah korban-korban
Ada yang berpikir melulu cinta
ia pun repot juga
Limpahan cinta menyamar berupa-rupa
Ia dituntut ”dungu” sejak pandangan pertama
010510
Gemuruh
Wahai mimpi-mimpi besar
Visi-visi Agung
Biji di gelap tanah
Janin dalam kandungan
Wahai, hembusan ruh yang sejuk dan kudus
Yang menjamah segala yang mati dan yang berdenyut
Mukzijat yang bekerja di semua satuan waktu
di semua daratan dan khayalan
demikianlah, aku mengajukan pertanyaan yang tak ada
jawabannya: senantiasa
menyamar jadi kesintingan, kesurupan oleh alfabetMu!
121209/270310
Saatnya
Sesekali
kau perlu berdiri di tengah hujan
Hanya untuk mendengar
pesan kefanaan yang
mereka bawa
Kamu tersentak ketika
keningmu mendadak panas:
“Apa-apaan
ini?”
Gemuruh
menghangatkan hantu masa lalu
Di
keluasan ketika tak satupun dapat terpantul
Saya
sontak
melemparkan
sepeda saya ke langit
Klakson
kemurungan berdentang tiga kali
191210
Harkat
Hidup damai dengan tikus di loteng rumah
Hidup bersahaja bersama kehilangan-kehilangan
yang niscaya terjadi
Meneguk saripati
cinta dari setiap rasa sakit
Aku gemetar
menggandeng tanganmu melewati televisi
Kamu tidak
berusaha kangen pada janji
yang mudah
tergumpal-terurai itu
Aku malu-malu
mencicipi laut
Aku ingin batuk
yang lebih dalam lagi saat mercusuar
menggigil di tebing yang jauh
Angsa bermain
gelombang di malam tanpa suluh
bintang
Angin menggertak
pantai!
Lalu tiba-tiba
surut
dalam diriku
Kamu masih belum
ngerti tapi menitikkan airmata
Kumparan waktu menyentakmu
dari ketinggian:
Layang-layang
oleng itu
masih kita
pertahankan!
230110
Keseimbangan
Sebagaimana air
selalu mencari tempat yang
r
e
n
d
a
h
Begitupun kehidupan ngalir
selalu ke arah keseimbangan
kadang terserap tanah, terbentur batuan
nguap
oleh matahari
Mereka
pikir telah tersesat sangat jauh
Tak
sadar hanya berputar-putar dalam perigi
Tubuh
reot ini telah menciptakan kepanikan
Ia
berteriak-teriak pada langit yang dangkal
Aneh,
sekonyong-konyong ia lebih membutuhkan
jawaban
ketimbang cinta
221010
Mengamati diri
Perasaan yang menjelma seperti sebuah jebakan
harimau tua yang belum makan dari hari semalam
Tiba-tiba saya memperoleh tempat bergantung
dan sesisir pisang
Sungai meluap
begitulah saya ingin jatuh cinta
Saya merapatkan telinga:
’Luar biasa, saya pekak sepekak-pekaknya’
Saya bergumul
dengan yang lain itu
300310
Peran dan Jati Diri
Ketegangan
dan kehampaan
hinggap
di atas peran-peranku
bertelur
cahaya
Kurasakan
penderitaanku menetas
Jati diriku tertawa
Kulemparkan
peran-peranku
Duhai,
penderitaanku yang malang menghiba
sarang
Menciap-ciap
Angin
penuh, ular menegak kepala
010410
Menyadari
Saya
telah mati-matian untuk sampai kepadamu
Saya sprint, saya
maraton, saya jalan kecapean
Sungguh, adakalanya saya
merangkak
Atau pernah diam-diam
tersungkur
Kadang seperti sangat
jauh
Kadang seperti tak ada
habisnya
Kadang
begitu dekat dan memberi harapan
Saya
lelah
Saya
bengek
Sampai
suatu saat
ketika
saya terkaget sendiri dan garuk-garuk kepala
Saya
telah lama Tiba!
Saya
hanya perlu menyadarinya saja
010410
Salah Buru
Tak peduli seberapa jauh
kau berjalan
Ini hanya soal
menguak-membongkar lapisan
Kita
telah sampai: tepat di tempat
kita berpijak sekarang
dengan
udara yang itu-itu juga
dengan
bunga semerbak yang meneduhkan mata
dengan
kematian, kekejaman, kesesakan
Keindahan
yang salah buru
Aku
termenung di tepian kata, dalam
belantara
bahasa: bersiul sandi-sandi Pramuka!
Luka
itu baik
Kehilangan
itu benua baru
Emosi
itu ketukan angin di jendela
Tapi
akar apa ini yang bertiup dari kegaiban?
Sebuah
ruang, perabot kenangan, hampir-hampir
tak
kuasa untuk menyebutnya: Rumah
ketika
dari mataku sesuatu menitik seperti getah
280410
Fokus
Buang semua yang
kau tahu
yang menodai
citramu, suatu
ketidakbecusan: ke
rongga burung api
Bicaralah pada
dirimu sendiri
Tertawa-tawalah,
wahai Gerak yang menulisi diri
Takdir yang
berkedip ini!
Dia yang masih
kelimpungan oleh kata dan makna
merayap dari
sirkuit kosong ke labirin air berpusar
Betah berlama-lama
dalam nujum bahasa
Ular-ular fiktif
yang didahar anakonda Musa
Benarkah kebenaran jauh tak tersongsong saat kini?
Anak yang terpisah ibunya pastilah dilanda kebingungan
Kabar baiknya, kita telah di sini dan
punya beberapa pilihan
Tetap hanyut ke laut kosong atau
membiarkan tangan baja Ramses menyibak kehidupan
Yang lampau, yang kemudian, yang kini
Saling berkejaran di kepala rapuh ini
Aku berdiri tegak
mencicipi
040410
Stambul Nafas
Dalam
penderitaan, hati saya senang
saya
memiliki alasan untuk bertahan
Memandang keindahan yang
prismatis ini
cahaya membias melalui
saya
Saya menerima kegelapan;
sisi tersuram yang melankolis
seperti saya mengagumi
malam
Ketika tiba-tiba saya
menyudahi mimpi
cahaya telah membenih di
dalam
Hidup
dengan prinsip, yang menanggung risiko
Langkah
mundur, kekalahan paling telak, koma:
tak mampu
membendung
desakan
paling murni dari visi penciptaan
Hidup
yang muncrat ke segala arah!
240610
Hymne Peziarah
Peziarah, selamat
datang di jalan melingkar ini!
Perjalanan yang
jauh demi kembali ke asal
Mainan hujan dan
panas, etnis dan geografi
Kendaraan yang
payah: ngos-ngosan kini
O jiwa muda belia
di tubuh renta pengelana
Burung-burung
bangkai mencecap daging manisku dan
meninggalkan
kesenangan setimpal: hasrat yang
muncrat
berterbangan menuju hembusanMu
Maha Nafas Cinta
& Kedalaman
Atau tidak sama sekali, tidak menunggu atau
mencari
Dia yang berkenan
mengecup keningmu tiap pagi
Membukakan matamu
hari ini
meniupkan
semangat dan sesekali sepi
memainkan hidup
mati
Hip-hip hura,
sejak tadi Dia di sini!
060110
Mencintai
hujan membasahi blog
di dashboard bangkai filsuf menguap
jangan
sebut-sebut Realitas di sini,
cinta yang terkutuk menyiram kesumat:
entitas terakhir nubuat
jika si penyendiri tawar menawar kegilaan
sayap yang ia pikirkan ia bakar dengan api
imajinasi
ruang kosong yang
bernalar ini, tahu
dengan cinta yang
bagaimana harus melarutkan diri
kegembiraan
atau puisi
atau orang-orang
yang mengeluh itu
yang mengerang
didera rindu
wajah-wajah penuh
bedak
menginginkan
bangun dengan kesal
lupakan terbang,
selama ada di dalam
kematian yang
liar yang bangkit sebab mencintai
240210
Mimpi
Percayakah engkau
akan mimpi?
Serupa bintang
terang terbenam di kening
menguak gelap
pekat yang berpijar dalam batin
Pintu-pintu
keliru menganjurkan masuk
keluar. Aku ada di dalam sejak awal
Dosa itu mobil
yang kukebut
menuju Kamu
Bukan buah
terperam di dada
Taman kehidupan
mengejawantahkan warna
Semua warna yang
pernah dan belum pernah meng-Ada
“Hei, Mimpi
memimpikan Aku kiranya...
di tempat yang
tak terduga dekatnya.”
170210
Bernafas dengan Kematian
Aku janji
tak akan
mengatakan apapun tentang cinta
Orang-orang itu
lumpuh dari membuatku
bahagia atau
menderita
Cinta yang memilikiku menyala
melebur berhala-berhala
Sungguh aku dungu
tapi ingin iseng: Menunggu!
Aku benar-benar
hidup
di atas kematian
ini
Irama kematian
masuk dan menyembur
dalam nafasku
Namun aku telah
berjanji
tak akan
mengatakan apapun tentang cinta
170210
April
Mop
Perjalanan, pencerahan, kesejatian
Keadaan terjaga!
Apa itu penting?
010410
Tentang M. Nahdiansyah Abdi
M. Nahdiansyah Abdi lahir di desa Durian
Gantang, Kab. Hulu Sungai Tengah, pada 29 Juni 1979. Tertatih-tatih
menyelesaikan S1 Psikologinya di UGM, Yogyakarta (1998-2003). Tinggal di kota
Banjarbaru. Bekerja di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum, Gambut, Kalimantan
Selatan. Puisinya tersebar di media massa lokal dan antologi puisi bersama di
Kalimantan Selatan. Kumpulan puisinya al. Jejak-Jejak
Angin
(Olongia, Yogyakarta, 2007) bersama Hajriansyah, Parodi tentang Orang
yang Ingin Bunuh Diri dengan Pistol Air (Tahura Media, Banjarmasin, 2008)
dan Pewaris Tunggal Istana Pasir
(Tahura Media, Banjarmasin, 2009) dan Buku
Harian Pejalan Tidur (Tahura Media, Banjarmasin, Februari 2011). Saat ini
sedang mengumpulkan puisi untuk antologi puisinya yang akan datang: dari edan, oleh edan, untuk Eden.
Catatan
Lain
Saya menerbitkan
buku ini dalam kesunyian, tanpa publikasi, tanpa iringan komentar, tanpa peluncuran.
Seperti juga nuansa sunyi dalam sajak-sajak di buku ini, hening, mengalir,
mempertanyakan eksistensiku sendiri di tengah hiruk-pikuk yang tak
berkesudahan. Saya sebarkan buku ini ke beberapa teman, sebagian dibagikan saat
acara pembacaan puisi di Taman Minggu Raya, Banjarbaru, tanpa saya pernah
menghadirinya. Sehabis diopname di Rumah Sakit, kadar “menyendiri” saya
meningkat tajam. Minat saya terhadap keramaian turun drastis. Dengan
sendirinya, itu memberi waktu bagi saya untuk lebih serius mengisi blog ini,
tentu di tengah kesibukan pekerjaan di rumah sakit. Puisi menghindarkan saya dari sakit jiwa yang akut. Terima kasih
kepada Hajriansyah, dialah yang berada di belakang saya selama ini, sejak Jejak-jejak Angin tahun 2007. Bahkan
mungkin jauh sebelum itu, sejak mula perkenalan kami di Asrama Mahasiswa
Pangeran Antasari, di Samirono Baru, Yogyakarta tahun 1998 lalu. Waktu itu, di
kalangan terbatas mahasiswa Banjar, Hajri telah dikenal dan dipanggil pula
dengan sebutan “penyair”. Sedang saya hanya menulis tangan puisi-puisi saya
dari buku ke buku, untuk menghajar kesunyian saya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar