Data buku kumpulan puisi
Judul : Bulan Tertusuk Lalang
Penulis : D. Zawawi Imron
Cetakan :
I, 1982
Penerbit :
PN. Balai Pustaka, Jakarta.
Tebal :
72 halaman (57 judul puisi)
Perancang Sampul : Hanung S.
Beberapa pilihan puisi D. Zawawi Imron dalam Bulan Tertusuk Lalang
Bulan Tertusuk Lalang
bulan rebah
angin lelah di atas kandang
cicit-cicit kelelawar
menghimbau di ubun bukit
di mana kelak kujemput anak cucuku
menuntun sapi berpasang-pasang
angin termangu di pohon asam
bulan tertusuk lalang
tapi malam yang penuh belas kasihan
menerima semesta bayang-bayang
dengan mesra menidurkannya
dalam ranjang-ranjang nyanyian
1978
Nyanyian Tanah Garam
angin yang diluluhkan bauan wangi
barangkali tak akan mampu
menghitung kerikil-kerikil sepi
perih ya, perih!
adakah duri di semak rindu?
aduh, paman!
kudaki punuk pundak sapimu
dengan secawan nira di tangan
untuk mengisi ruas nyawaku
wahai, bulan betah mengasuh kemarau
dari ekor bintang yang semalam gemetar
bisa diduga, siapa yang harus dilecut
agar bangkit kejantanan
umbul-umbul berlukis wayang
sudah tegak di sudut ladang
dan sebagai anak dunia
lagu lebah kuresapkan
dan sebagai anak madura
kugali kubur sebelum berperang
1978
Senandung Nelayan
angin yang kini letih
bersujud di pelupuk ibu
laut! apakah pada debur ombakmu
terangkum sunyi ajalku?
oi, buih-buih zaman saling memburu
kali ini doaku lumpuh
gagal mengusap tujuh penjuru
pada siapa ‘kan kulepas napas cemburu?
jika sebutir airmata adalah permata
tolong simpan di jantung telukmu!
dari bisik ke bisik perahu beringsut maju
jika nanti bulan datang menyingkap teka-tekimu
tak sia-sia kujilat luka purba
tempat senyum menetas
jadi iman dan layar
1976
Sungai Kecil
sungai kecil, sungai kecil! dimanakah engkau
telah kulihat?
antara cirebon dan
purwokerto ataukah hanya dalam mimpi?
di atasmu batu-batu kecil sekeras rinduku dan
di tepimu daun-
daun bergoyang
menaburkan sesuatu yang kuminta dalam
doaku
sungai kecil, sungai kecil! terangkanlah
kepadaku, di manakah
negeri asalmu?
di atasmu akan kupasang jembatan bambu agar
para petani
mudah melintasimu dan
akan kubersihkan lubukmu agar
para perampok yang
mandi merasakan sejuk airmu
sungai kecil, sungai kecil! mengalirlah terus
ke rongga jantungku
dan kalau kau payah,
istirahatlah ke dalam tidurku! kau yang
jelita kutembangkan buat kasihku
1980
Ketemu Juga Akhirnya
kucari sosok tubuhmu
pada bias sukma di langit
meski langit tak mungkin secantik kenangan
nyatanya kau termangu di tikung sungai
merenungi percakapan daging dan tulang
ketemu juga akhirnya
bayang-bayang yang akan kekal
terkatung pada ranting penyesalan
kalau besok kubangun bendungan di sungai hijau
maka air harus mengalir
menyusul roh-roh yang belum pulang
1979
Kolam
kutunjukkan padamu sebuah kolam
hai, jangan tergesa engkau menyelam!
di situ sedang mekar setangkai kata
yang para pendeta tak tahu maknanya
dari manakah seekor capung yang biru itu?
ia datang tanpa salam dan pergi tanpa pamitan
tapi ekornya
jelas menuding pusat keheningan
ketika langit jadi gulita
senandung malam makin mendasar
dari kolam itu tumbuh keikhlasan
mengajarkan sujud yang paling tunjam
1979
Nagasari
membuka kulit nagasari
isinya bukan pisang madu
tapi mayat anak gembala
yang berseruling setiap senja
membuang kulit nagasari
seorang nakhoda memungutnya
dan merobeknya jadi dua
separuh buat peta
separuh buat bendera kapalnya
1978
Sapi Hitam
siapa tak sayang padanya?
sapi hitam bulunya hitam matanya hitam
tanduknya hitam
kukunya hitam
dagingnya hitam darahnya hitam hatinya
hitam
jangan sembelih ia jangan usik ia. biarkan ia
bergerak
seperti arwah silakan
ia datang dalam kenangan dan
mencari sepi ke ujung
hati
satu saat kau akan merasa bahwa ia milikmu
juga
jangan menjerit kalau ia luka dan jangan
tangisi kalau ia
mati sebab matinya
matimu pula
di ubun malam ia minta sediakan rumput padamu
layanilah
agar kau tak punya
hutang!
1979
Di Bukit Wahyu
Tengah hari di bukit wahyu kubaca Puisi-Mu. Aku tak tahu manakah yang
lebih biru, langitkah atau hatiku?
“Kun!” perintah-Mu. Maka terjadilah alam, rahmat dan sorga. Bahkan di
hidung anjing Kaubedakan sejuta bau.
Dalam jiwaku kini
hinggap sehelai daun yang gugur.
Selanjutnya senandung, lalu matahari mundur ke ufuk timur, waktu pun
kembali pagi. Di mata embun membias rentetan riwa-yat, mengeja-ngeja desir
darahku. ada selubung lepas dariku, angin pun bangkit dari paruh kepodang di
pucuk pohon kenanga.
1979
Kerapan
1
saronen itu ditiup orang
darah langit jatuh di padang, hatimu yang
ditapai menjadi
sarapan siang
biarkan maut menghimbau, karena jejakmu telah
diangkut
orang ke sampan
sampai kapan ya, ujung lalang itu menyentuh
awan?
ah, harum nangkamu menerbangkanku ke bintang
tapi ekorku panjang disentak anak di bumi
hingga aku turun kembali
2
tanduk yang dibungkus beludru itu jangan
dibuka, nanti matahari
pecah olehnya
mendung, wahai mendung!
jangan curahkan tangismu
sebelum daun jati sempurna ranggasnya
maka daun-daun siwalan berayun karena angin
tak henti bersiul
dan kalau putus nadimu, jangan khawatir
denyutmu akan terus hidup di laut
3
sepasang sapi dengan lari yang kencang
membawaku ke garis
kemenangan
arya wiraraja! perlukan aku menang
aku meloncat dan terjun di lapangan
aku tertidur dan mimpiku aneh,
kuterima piala
berupa sebuah
tengkorak
yang dari dalam
berdentang sebuah
lonceng
4
sapi! barangkali engkaulah anak yang lahir
tanpa tangis
suaramu jauh malam menderaskan kibaran panji
larimu kencang melangkahi rindu sehingga topan
senang
mengecup dahimu
jangan mungkir, bulan telah tidur dalam hatimu
bisikmu lirih menipiskan pisau yang akan memotong
lehermu
bila kau tak sanggup
berpacu lagi
dari hati tuanmu kini terdengar semerbak bumbu
5
soronen itu masih saja ditiup orang
embun terangkat, kaki-kaki mengalir
dari saujana ke saujana
tuhan!
tanah lapang itu tak seberapa jauh
1978
Saronen = serunai untuk
mengiringi kerapan sapi di Madura
Tentang D. Zawawi Imron
D. Zawawi Imron lahir di desa
Batang-batang, Kabupaten Sumenep, Madura. Setamat Sekolah Dasar ia nyantri di
pesantren. Tulisannya pernah dimuat di al. Suara Karya, Berita Buana, Sinar
Harapan, Zaman, Horison, dsb. Kumpulan puisinya: Semerbak Mayang (1977), Madura.
Akulah Lautmu (1978). Zawawi Imron juga membukukan cerita lisan Madura al. Campaka (1979), Ni Peri Tunjung Wulan (1980) dan Bangsacara Ragapadmi (1980).
Catatan
Lain
Benar, saya bersin
ketika membolak-balik buku ini, sebab saking berdebunya di rak Hajri. Hehe.
Melihat gayanya, buku ini nampak lebih tua dari usianya. Di bagian belakang
buku masih tertempel barcode yang menampilkan harga ini buku, Rp.3000,- perak.
Begitu membalik cover depan, ada tertulis nama seseorang, mungkin “Soeminto 20
Peb ‘99”. Mungkinkah ini buku yang dipinjam Hajri tapi nggak balik-balikin?
Hehe.
Dalam kata pengantar oleh penerbit,
hanya disebutkan bahwa penyair berusaha mengangkat hal-hal yang tampaknya
sederhana dengan bahasa sendiri. Tampak upaya penyair untuk mengungkapkan diri
dan masalah-masalah kemanusiaannya secara orisinil. Di bagian akhir disebutkan
bahwa kumpulan puisi ini mengajak kita berkomunikasi dengan dirinya dan
sekaligus dengan diri kita sendiri.
Terbagi atas 3 (tiga) bagian, yaitu Nyanyian dalam Jurang (1975-1977/ 16
puisi), Bulan Tertusuk Lalang (1978/
19 puisi) dan Gunungan (1979-1980/ 22
puisi).
TAIK Kuat merapot
BalasHapusAlhamdulillah bisa nimba pengalaman lewat antologi ini
BalasHapusSaya pernah mendengar cerita langsung, bahwa beliau pernah membuat cerita/puisi ttg seseorang yg menggendong bedug dari Pulau Giliyang, menyeberang dg perahu ke Dungkek, dan bedug itu terus digendong sampai ke Batiputih yg jauhnya sekitar 25 km. Kiranya judul apakah puisi tsb ? Dan dimana saya bisa mendapatkan ? Saya adalah cucu dari Mbah Saleh, sosok yg menggendong bedug tsb. Nama saya Imam Hanafi, semasa kecil saya bbrp kali menemani KH. D. Zawawi Imron, sebagai qori', ketika beliau ceramah keliling desa. Beliau, KH. D. Zawawi Imron memanggil saya Pipi. Mohon info.
BalasHapusKatanya puisi rembulan tertusuk lalang ditulis di Tolareng
BalasHapusSy bisa mendapatkan bukunya atau belinya dimana?
BalasHapus