Data buku kumpulan puisi
Judul : Fragmen Malam, Setumpuk Soneta
Penulis : Wing Kardjo
Cetakan :
I, 1997
Penerbit :
PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.
ISBN :
979-419-234-1
Tebal :
346 halaman (167 puisi, 88 sketsa/ilustrasi)
Gambar sampul : Haryadi Suadi
Ilustrasi :
Abay D. Subarna, Jeihan, Haryadi Suadi, Kaboel Suadi, Karnedi, Nashar, Rini
Joedawinata, Rudy Pranadjaya, Sipin Lim, T. Sutanto, Tisna Sanjaya, Wing
Kardjo.
Beberapa pilihan puisi (soneta) Wing Kardjo
dalam Fragmen Malam
Endless Tape
Seperti sekian lagu yang
berulang-ulang, seperti
sekian mimpi kembali
mengganggu.
Hidup lebih baik apakah itu?
Hidup lebih baik apakah
itu ketaatan mesin
pada program
Kau tak lebih
dari musik kamar
yang gemetar, telantar.
Menggelepar lapar
hidup, atau jadi
sekrup
Bukit
Bukan kebetulan hidup kaurisaukan
meski makan dan penginapan
sudah terjamin hingga
tahun depan
Dalam gelisah tidur, mimpi mendaki
bukit telur, kapan kapal pecah, laut
berdebur. Bagaimana bisa tekebur
hidup bisa begitu saja lebur.
Pentingnya hati terkunci di laci,
lahir sajak seperti arak,
yang terpendam dalam-
dalam, diperam
cahaya bulan.
Bulan.
Scheveningen
Laut, lautkah itu
yang kauberikan padaku
seperti yang kaujanjikan
dulu, sepi dan tak berarti
Laut, lautkah itu
gemerlap dan perak
di tiap ombak, pecah dan
bersatu dalam keluasan waktu
Laut
lautkah itu, yang
kauberikan padaku
dan
hanya itu
saat kau berlalu!
Bila Malam Hujan
Untuk Andy Djuandi
Bila malam hujan turun di halaman, aku ingat
padamu, angin bertiup
daun-daun bergoyang. Ranting, dahan, batang,
pohon semua kuyup.
Di dalam tanah, kau yang berselubungkan kain
kafan kedinginan?
Tak bisa bergerak, tak bisa berteriak manja
meminta selimut.
Air tetes dalam liang lahat. Semua basah dan
lembab dalam tanah
bila hujan turun di halaman aku ingat pada
yang tiada, daun-daun
bergoyang, pohon pisang, daun talas, kembang
anggrek
dan semua tanaman yang dirawat ibumu.
Tapi kau tentu tak terkurung di bawah tanah
kesepian dan tanpa teman. Kau masih juga
menjinakkan kuda,
memacunya di bukit-bukit, di lembah ngarai,
di pantai landai, dalam udara terbuka
hawa selalu nyaman seperti sorga.
Surga
Ke Paris!
(menghindari
sipilis) Amsterdam
God damn!
Sementara
Iqra buka celana
aku menunggu depan
etalase kaca.
(yang tirainya
menutup dan membuka)
Aku sengsara, sengsara
bukan karena neraka
tapi surga di mana-
mana!
Sumber
Selalu kureguk sinar matamu
keyakinan menghargai hari
Tak sangka helai demi
helai daun turun
mengubur tubuhmu dengan
kelam. Begitulah matahari
terbaring, membakar
rumput kering.
Langit bernafas sunyi,
meniupkan lagu
kering. Kala
bel berdering, kukira kau
pulang, kubuka pintu,
angin melengos bisu.
Always in The Morning
1
Surat-surat apakah yang kautulis
pagi, malam, tak henti-henti pada dunia
mati, hingga alam kembali menciptakan
lagi dirimu dari tanah, air, api dan udara?
Siapa yang pertama
bangun dari tidur mimpinya? Eva
membuka mata, menyisihkan selimut,
menggeliat, matahari sudah setinggi hati!
Angin lembut, daun
hening, rambut terurai bening.
Kapan lagi kalau bukan kini?
Tahun demi
tahun lewat, kaukah
itu ibu dari segala rindu?
2
Siapakah anak yang hilang
tersesat dalam hutan dongeng,
bayi itu yang kautimang-timang,
kaujaga serta kaubesarkan dulu?
Surat-surat apakah
kauterima untuk mengganti
yang pergi, menghibur diri
dari yang alpa sekian tahun?
Potret-potret kabar apa
kaupandang pagi, siang, malam
bila lampu mulai menyala membakar
apa-apa yang fana menjadi
baka, kenangan yang berpusat dalam
diri, begitu pelan bicara dan hati-hati.
Piknik 55
Kereta terakhir menderit
di ujung stasiun. Telah habis hari ini
perjalanan bersama, senja di balik bukit-
bukit kelabu. Telah lalu umur hari, satu dari
panjangnya rasa. Jauh berbeda
udara pegunungan daripada kota
yang satu ketenangan, yang lain keriuhan,
ketekunan dalam kerja, kesibukan dalam nyala.
Dua-duanya sama-sama
menghidupi kelanjutan,
kehijauan tumbuhan
dan harapan. Masih luas
lapangan dan subur
turun keakanan.
Cafe
de Flore
1
Mestinya kita jumpa lagi setiap petang
mestinya kita ketemu di bawah bintang
kita datang dan kita pulang
dengan keindahan kenang
Kita datang dan pulang, kita selalu cinta
lagu-lagu garang, cognac yang kuteguk
waktu kau pergi tak menghalau kau
yang selama ini membayang
Mari kita jelajahi bumi, tulang
daging, urat mimpi yang jalang
mari kita bercinta dengan
kepenuhan indra
sebab hidup hanya sehari
lalu terbang
2
Mestinya maklum, sajak-sajak yang kutulis
bukan permainan kata, tapi darah membusa
dalamnya bersinggasana, seperti
di wajahmu kecantikan bertahta.
Jangan sia-siakan harapan penyair
ia selalu setia, sebab hatinya cair
deras dan jernih bagai airmancur
jujur dan bebas dari dusta
Walaupun dalam dukana, lampu
membujur berjajar-jajar, kita
ketemu lagi esok dan lusa
Cinta tak terbatas pada kata-kata, meski
dunia dalam gerhana, benua kita
senantiasa mandi cahaya.
Le Lac Leman
Untuk Toeti Heraty
bagai sebuah buku yang halaman-halamannya
telah kaukenal, dan nomor-nomor urutannya
pun kauhafal, sebuah kalimat bisa berhenti
pada satu tempat dan berlanjut pada
suatu peristiwa yang hanya terjadi dalam
kepala, merentang bagai tabir
rahasia, dan sebuah sajak lahir sebab
percakapan yang alpa.
1
Telaga basah dan
burung
berterbangan, angsa
meluncur, angin
musimgugur.
Kau kedinginan dan
angin melecut
bagai kebosanan.
Terhenyak
di cafe, kau lelah
antara
cangkir-cangkir
kopi
dan cognac. Katamu
kau ingin menyingkir,
tapi lelaki itu tak
henti-henti bicara
tentang tanah hitam
di selatan,
tentang hutan
perawan, tentang hewan-
hewan liar di
kawasan cadangan.
Begitu menjemukan!
2.
Gerimis terus
turun, lewat kaca kautatap
taman, daun
bertimbun. Tak sadar
terlontar
ajakan,”Antarkan
aku ke penginapan!”
Telaga basah dan
sampan berjajar
musim gugur
bergetar, kala
terbuka segala
cadar, hutan
pun di negeri
selatan
(dan beberapa
lembar catatan
harian) malam itu
terbakar.
Terang di dalam,
terang
di luar dan menyala
lama sekali.
Ah,
Ombak Laut dan Darat
Hamparkan
Hasrat, Biru, Kuning
1
Tahun-tahun hanya
tinggal kenangan
Berjalan menyusur
Sungai Themes,
memandang gedung,
menara
serta jembatan.
Merpati
terbang dan lonceng
tua berdentang. Kesaksian
zaman masih juga
berdiri, megah dan anggun,
sedang kita yang
pernah menatapnya (Monet,
kau dan aku) mesti
berlalu dengan waktu.
Lewat malam laut,
ferry dan keretaapi terbukalah
pagi. Matahari
musim semi layak mimpi.
Tapi yang dulu
kujumpa di kapal,
antara Jakarta dan
Genoa, berkata menyesal,
“Lupakan saja cinta
(tak ada apa-apa antara
kita). Kujanjikan persahabatan
yang kekal.”
2.
Maka London dengan
taman-tamannya jadi alum.
Gerimis senja
turun, lampu-lampu mulai benderang
hingga mesti kucari
perlindungan dari sepi dan
hujan misalnya di
sebuah bar remang di Soho.
Hanya tambah pedih
saja luka. Perempuan-perempuan
begitu hanya pandai
merentang jerat, kejam dan
jahat. Tahun-tahun
hanya tinggal ingatan, samar
seperti senja.
Percakapan tergantung di udara.
Dan rumahmu di luar
kota, alangkah dingin! Alang-
alang dan rumputan.
Lantas kita jalan lagi bagai
bayang-bayang ruh
yang merindukan kepenuhan
lintas ruang dan
waktu. Ah, tinggal ombak-ombak biru,
daratan kuning,
hamparkan pula langit bening,
tempat jiwa
berbaring.
Requiem
1
Sejak kau bernama
perempuan
dan angan-angan,
suaramu tinggal sunyi,
dataran padang
dengan bulan redup, merekam
misteri manusia
menuju kelam kematian. Wajahmu
tubuhmu, busuk dan
hancur, masalalu yang pernah
rindu perlindungan,
hangat bantal kemesraan
bercumbu dengan
denyaran cahaya yang
menyusuri pelupuk,
kehalusan kata
yang bersalin bisu,
ke mana harus
kucari wajah
kebenaran, selain
dalam penyerahan?
Hidup permainan
dalam kelam
permainan sungguh
mencari cahaya.
2.
Kelam dan sinar
bergumul, rasuk merasuk
dalam dunia materi,
benda harum
dunia, sunyi dalam
cermin pecah.
Boneka, surat tanpa
alamat,
kartu bergambar,
majalah hiburan, rambut,
parfum, malam
bertemu malam, malam
siang tanpa batas,
menyilaukan, sinar
luput dari
genggaman, beriak
dan beriak atas
kain kapan,
putih mengembang
langit bersih dan
sepi dari
bisik-bisik gelisah, tak
tahu jemu melekat
dalam
kemualan daging
3.
Dering tilpun
memanggil dan menutup sejenak
lelaki seperti
sekutu dan seteru yang tak
bosan-bosannya
memberi dan menagih,
mengajak dan
beranjak. Malam,
siang mengaduh
bisu, keluh beku menghancurkan
jangat
lambat-lambat. Malam rambut hitam
dan kau makin asing
dari jagat mereka
yang dulu bersarang
dalam rimbun
harum taman
mawarmu. Burung-burung
bernyanyi pagi dan
sepi dalam cahaya
tiada cahaya, sepi
tiada api, sepi
perempuan di
ranjang dengan duri-duri
dan lampu layu,
bayangan hari
tiada hari, api
tiada api.
Potret
Soekarno oleh Hatta
Sebagai pencinta
seni ia ingin memandang semuanya dalam keindahan,
dalam suasana
harmonis, dalam kesatuan yang bulat. Jiwanya luka
melihat keretakan
hingga persatuanlah yang menjadi pokok dan
akhir dari segala
tujuannya.
Karena mementingkan
garis-garis besar saja, ia tak menghiraukan
detail, sekalipun
pasal yang menentukan. Ia mengira yang indah
dalam pikirannya
adalah realitas. Itulah sebabnya ia terbentur
dalam kenyataan.
Ada keretakan jiwa antara politikus
dan seniman.
Sebenarnya aneh sebab sebagai arsitek,
sebagai seniman ia
mampu melihat lukisan
sampai ke
detail-detailnya. Ia tunjukkan
mana yang kurang,
mana yang belum sempurna, dan
sering dengan
petunjuk-petunjuknya ia menyuruh
melakukan perubahan
dan perbaikan.
Mesin
dan Robot
1
Mesin-mesin dan robot
bekerja lebih baik daripada buruh
tak perlu makan, tak
perlu minum, tak perlu tidur, bisa
bekerja penuh
sehari-semalam dalam tempat terang,
dalam tempat gelap
dengan irama yang tetap.
Hanya diperlukan
tenaga ahli, tak banyak, sekedar
melayani mesin agar
terus berjalan. Bukankah surga.
Tak ada lagi
tuntutan, tak ada lagi keluhan,
ancaman mogok yang
seperti momok.
Di zaman ini segala
jalan, lancar seperti sekunar. Kekurangan
modal? Panggil
kapital asing, sebentar tentu datang mengulurkan
tangan. Lantas bikin
proyek, misalnya membuka tambang, dan
agar aman, undang
tenaga luar. Toh, kita mampu bayar. Sedang
lahan milik negara,
kita hanya minta bagian, persis seorang
calo. Praktis dan
sederhana, peran kita sebagai bangsa.
2
Mesin-mesin dan robot
tak punya istri, tak punya anak, tak
perlu takut pulang ke
rumah tanpa bawa uang, tak perlu
kuatir dirongrong
mertua dan sanak. Mesin-mesin dan
robot tak usah pulang
ke rumah. Kalau nganggur tidur
di tempat kerja, tak
baca koran di kantor, tak curi-curi waktu buat
main kartu. Majikan
hanya menggerutu kalau kehabisan cerutu
atau bahan baku.
Kewajiban pada negara? Sisihkan sekian persen
sebagai pajak, bisa
kurangan kalau bayar uang siluman.
Pertanggungjawaban
hanya dalam rapat persero, kalau perusahan terbatas.
Ini kan perusahaan
keluarga, seperti tertera dalam undang-undang negara:
perekonomian
berasaskan kekeluargaan? Karena dalam lingkungan
terbatas, tak perlu
pengawas. Usaha masih nasional, tak merugikan
kepentingan sosial.
Layanan dan barang hanya buat orang-
orang berada. Wah,
mewah dan mahal.
Tentang Wing Kardjo
Wing Kardjo lahir di Garut, 23 April
1937. SD dan SMP di Tasikmalaya. Sma Katolik Garut, B-I Bahasa Perancis di
Jakarta (1959). Sambil jadi guru di SMA Kanisius Jakarta, hendak melanjutkan
kuliah di UI, tetapi jadi korban perpeloncoan hingga terpaksa masuk RSUP bagian
syaraf. Setelah sembuh, Wing melanjutkan ke Unpad. Tahun 1977 ke Paris
mengikuti program doktor. Ia memperoleh gelar “Docteur de Specialite en Etudes
Extreme-Orientale” dari Universite Paris VII dengan disertasi Sitor Situmorang: la vie et l’Oeuvre d’un
poete indonesien. Pernah duduk sebagai redaktur di Indonesia Express,
Bandung dan Khatulistiwa / Indonesia Raya, Jakarta. Tahun 1984 hingga 1990
diundang ke Jepang sebagai guru besar di Tokyo University of Foreign Studies,
dan sejak 1991 hingga sekarang sebagai guru besar di Tenri University, Tenri,
Nara. Kumpulan puisinya Selembar Daun
(Pustaka Jaya, 1974), Perumahan
(Budaja Djaja, 1975). Juga menerjemahkan: Pangeran
Kecil karya Antoine St. Exupery (1979) dan Sajak-sajak Perancis Modern dalam dua bahasa (1972).
Catatan
Lain
Di rak Hajri, buku
ini telah lama saya ketahui, tapi saya tunda-tunda untuk meminjamnya. Sebab
saking tebalnya. Memuat sekurang 167 puisi, atau lebih tepatnya soneta. Ditambah sketsa-sketsa sekitar
88 buah (juga sejumlah foto yang dapat dihitung jari). Terbagi atas 11 bagian,
yaitu Pengantar (1 puisi), Sumber (18 puisi), Musim-musim (9 puisi), Sajak
(16 puisi), La Chair, helas (12
puisi), Tanah Asing (22 puisi), Pertemuan (28 puisi), Peristiwa (12 puisi), Waktu (26 puisi), Penutup (1 puisi), dan Lampiran
(22 puisi).
Satu-satunya puisi
Wing Kardjo yang saya temukan waktu sekolah (dan juga yang bertahun-tahun
menetap di benak saya) adalah salju.
Ternyata saya juga menuliskannya dalam buku saya. Di sana ada keterangan: dari Selembar Daun. Meskipun begitu, saya
yakin saya mengambilnya dari buku pelajaran sekolah. Versi berbeda juga ada
dalam Fragmen Malam, keduanya akan
saya tuliskan di sini.
Salju (versi Selembar Daun)
Ke manakah pergi
mencari
matahari
ketika salju turun
pohon kehilangan daun
Ke manakah jalan
mencari
lindungan
ketika tubuh kuyup
dan pintu tertutup
Ke manakah lari
mencari
api
ketika bara hati
padam tak berarti
Ke manakah pergi
selain
mencuci diri
Salju (versi Fragmen Malam)
Ke manakah pergi
mencari matahari
ketika salju turun
pohon kehilangan
daun
Ke manakah jalan
mencari lindungan
ketika tubuh kuyup
dan pintu tertutup
Ke manakah
lari mencari
api, ketika bara
hati
padam, tak
berarti. Ke manakah
lari selain mencuci
diri
Sebagai pembaca,
saya lebih menyukai versi yang pertama, versi yang selama ini hidup di kepala
saya. Tapi sebagai pengarang, Wing Kardjo jelas memiliki kemerdekaan untuk “mengobrak-abrik”
puisinya sendiri, demi mencapai tata harmoninya sendiri. Oya, tak banyak, saya
kira, sastrawan yang sampai meraih gelar Doktor. Diantara yang sedikit itu
adalah orang ini. Beberapa yang saya tahu, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi
W.M., Faruk HT, Umar Kayam (?), Toeti Heraty (?), mungkin bisa ditambah sendiri
........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar