Data buku kumpulan puisi
Judul : Sungai Hitam Semesta Berkabut
Penulis : Noor Aini Cahya Khairani
Cetakan :
I, Oktober 2004
Penerbit :
Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Banjarmasin.
Tebal :
39 halaman (36 judul puisi)
Penyunting :
Micky Hidayat
Ilustrasi sampul : Oesman Effendi – Puncak I
‘77
Beberapa pilihan puisi Noor Aini Cahya
Khairani dalam Sungai Hitam Semesta
Berkabut
Di Hulu Kali Ini
di hulu kali ini
aku ingin menambatkan perahu
melepas beban dan pakaian. mandi sepi
lalu tenggelam di dasar waktu
Penyair Sepi
penyair yang lahir dari puisi mencari cinta
menelusur jalan sepi memikul beban semesta
tuhan terbaring di hatinya
sudah sampaikah perjalanan o, penyair
menawarkan kesepian dan rindu yang berdebu
pada cakrawala, sementara jejak terlupa
jalan kian sepi, hari menepi
dalam temaram angin membisikkan perpisahan
kasih yang pergi takkan pernah kembali
di perbatasan kegelapan menyempurnakan
kesetiaan
pada cinta, penyair melepaskan beban semesta:
menuliskan kesepian manusia atas manusia
meninggalkan sejarah yang mesti sudah dan
pergi
menuju misteri yang terbaring di hati
Kisah Sebuah Perjalanan
separuh usia mereka jalankan perahu dari tepi
ke seberang, terpandang: laut damai, alam
permai, sesekali
angin mengundang badai. tapi perahu tetap ke
depan
membawa anak cucu, menaklukkan gelombang
melepaskan penderitaan yang tak bosan
mencengkeram
selebih ini sepi. langit menyembunyikan
misteri
ya, betapa lama dan jauh sudah perjalanan
mereka
di atas perahu: lahir, kawin dan mati. mereka
bagaikan adam dan hawa. turun dari surga,
menjelajah dunia
berada di sini
keluasan laut seakan memaku perahu. sementara
mereka tertawan ruang biru dan waktu bisu
pada perjalanan ini seperti ada yang tiada:
kepastian cuaca dari apa ke bagaimana
mereka mengundang angin melepaskan capai
terlambat ingat: angin mengandung badai
ya, berapa nyawa ditenggelamkannya dalam
perjalanan?
berapa masa depan dihempaskannya ke belakang?
separuh usia, separuh perjalanan, separuh
percakapan mereka:
“jangan bertikai tentang badai, nanti di
pantai segalanya
sampai. lihatlah semesta: seekor garuda dengan
sayap terbuka
di dadanya terbayang tempat berangkat dan
bertambat kita...!”
Mimpi Gemerlap pada Bumi
Retak
menggali sepi dengan puisi
terlihat kepercayaan di dasar bumi
retak. sementara langkah memberat
di atasnya, manusia lelap dalam mimpi gemerlap
o, sepi dan puisi yang menjadikan manusia
di bawah langit, hidup betapa niskala
tapi bumi senantiasa mempesona
tapi mimpi senantiasa ada
Senja
terpukau kemilau
matahari pergi
hari habis arti,
kecuali sepi
merayap dari laut dan
langit gelap
malam menyekap harap
betapa sia-siakah
makna sebuah rahasia
manusia hanya
melangkah dari pagi ke senja
mungkin ada yang
hilang di dada: secarik catatan
ketika hari pergi dan
malam datang membawa bulan
atau bintang turun
kepadamu menawarkan rindu
pada sebuah ruang
waktu tuhan jatuh cinta padamu
Cermin
Kerinduan bagi Noor Aini Cahya Khairani
saudaraku, karena
rindu malam selalu memburu matahari
namun waktu
berdekatan malam menjauh dan hilang menjadi
siang yang
terhuyung-huyung kesilauan dan memohon
“Tanggalkan kerinduan
di jantungku biarkan aku langgeng dalam kelam”
Tapi karena malam
masih di langit dan di bumi
ia senantiasa direjam
kesia-siaan bagai kau
Kini demi kerinduan,
harapan dan kesia-siaanmu
terimalah cermin ini,
ia sesungguhnya lama memanggil
di sudut hati,
menyuruhmu berkaca supaya kenal
wajah kasih asap rupa
kita yang selalu terluka
namun hatimu yang
tergenang rindu membuatnya
berlumut hingga kau
lupa arah ke muara
Banjarmasin, 1984
Kediaman Kesekian
pada kediaman tiada dinding; sepi
menawarkan sekian rasa diri
menyayangkan semesta mencari laotse
merasakan luka menggali nietzsche
menghikmati sepi menaut jarak
laotse nietzsche membuat gerak
menarikan semesta di segala musim
mengiringi hati menyanyikan ingin
Masyarakat-masyarakat
Majemuk
pada dunia yang tak lagi terbaca
nama tidak dibuat dari huruf
tapi air liur berbisa
orang-orang kembali jadi bayi
hak asasi kehilangan gizi
hari kemudian menayangkan sosok baru
siapakah penjajah?
orang?
sistem?
adakah tuhan?
di dalam penderitaan mukjizat pergi
di luar kitab suci nubuat berhenti
tapi, kita memang suka mengasuh anak kekuasaan
maka ketika ia sempurna jadi maha tak ada
tempat buat yang lain
kita belum merdeka
Vignet Kalimantan
1
di atas sungai hitam
hutan dan gunung berjalan
menuju mantra kekuasaan
2
antara hutan larangan dan cerobong industri
membentang kabel-kabel kekuasaan
sementara krisis bergayutan di tengahnya
ratusan titik api mengepung bayi-bayi
3
di sini tak pernah unjuk rasa sebenarnya
karena penduduknya begitu berbakti
meski kekuasaan mengajarkan kecemasan
namun selalu ditelan bersama pil kb
4
kami naik dari perahu
karena sungai tak lagi biru
kami dipindahkan dari pedalaman
karena hutan kami yang menawan
kami kehabisan sungai dan bukit
dan tenggelam di langit
5
di sini matahari padam di timur
dan pulau tidak milik kami
maka ketika ia kehilangan pesona
flora dan fauna berderak tanpa arti
Mohon Doa Restu
mengisi ruang padat, waktu menjadi tua
pertanyaan mendesak tepi agenda
kertas, daun, pasir atau tanah liat
tak lagi mewujudkan impian
busa sabun tak berubah seribu bulan
tapi masih kukasihi diri, kukawini dunia
mohon doa restu pada bapak
memakan masa depan anak-anak
masuk sekolah bisnis anak pejabat betapa
hebat?
bisa beli kota, hutan, gunung, laut, langit,
negara
apalagi manusia
“akan kupikirkan, akan kupikirkan,” kata bapak
kukerjakan bimbingan test mereka dengan hati
naif
pada test penerimaan aku menjawab benar dan
dapat nilai 3
menjelang pengumuman aku makin pintar:
aku anak indonesia tertinggal beribu mil dari
peta
barangkali tak punya hak asasi berkuasa
“indonesia kaya penguasa dan konglomerat nak,
berbahagialah sebagai seniman,” seperti kata
bapak
suaranya tak mencapai piring kosongku
maka kumakan puisi
15 Februari 1996
Tentang Noor Aini Cahya
Khairani
Noor Aini Cahya Khairani lahir di Banjarmasin,
10 Januari 1959. Menulis puisi, cerpen, esai sastra, kritik seni, sejak tahun
1980. Karyanya dimuat di al. Banjarmasin Post, Dinamika Berita, Merdeka,
Swadesi, Bali Post, Majalah Horison, Jurnal Seni. Sebagai penyair, ia
membacakan puisinya di berbagai kota dan aktif mengikuti berbagai forum sastra
di tanah air. Menerima hadiah seni bidang sastra dari Gubernur Kalimantan
Selatan tahun 1999. Meninggal pada 4 Agustus 2003.
Catatan
Lain
Sama seperti
Ajamuddin Tifani, saya tidak pernah bertemu dengan penyair ini. Tapi saya tahu
berita kepergiannya dari puisi seorang penyair Jogja (semacam puisi in
memoriam) yang dimuat di koran Bernas. Saya masih mengenangkan tempat di mana
saya membaca koran dinding itu, tak jauh dari kos saya di Krapyak, Jogja. Saya
lupa siapa penyairnya, entah Bambang Widiatmoko atau siapa. Dulu saya mengira
Noor Aini Cahya Khairani ini seorang perempuan. Belakangan saya tertawa sendiri
mengenang imajinasi keliru saya tentang penyair ini.
Micky Hidayat, menulis dalam catatan
penyunting, bahwa ia lebih melihat sosoknya sendiri itulah puisi. Ia telah
menjadi saksi sejumlah sikap kepenyairannya, bahwa tugas seorang kreator adalah
mencipta dengan sekian pilihan yang telah diyakini. Keunikan penyair ini, saya
kira, juga terlihat dari keberaniannya memberi nama anak, yaitu: Seniman Gempur
Tirani. Hehehe, unik bukan buatan.
Di bagian akhir, ada komentar
sejumlah kawan, seperti Y.S. Agus Suseno, Maman S. Tawie, Micky Hidayat, Sandi
Firly, Jamal T. Suryanata. Y.S. Agus Suseno menulis begini:”Di awal kepenyairannya, NACK hadir dengan
puisi yang agak berbeda dengan penyair lain yang sezaman. Puisinya tidak
meledak-ledak, malah cenderung “dingin”, simbolik, diksinya amat
diperhitungkan, dengan muatan filsafat yang kental. Namun, sekitar lima tahun
sebelum kematiannya, puisinya berubah drastis. Karyanya tidak lagi religius dan
filosofis, tapi kritis dan politis.”
Mungkin, pernyataaan Micky Hidayat
yang menyatakan bahwa sosoknya itulah puisi, menemukan rumahnya dalam komentar
Sandi Firly: “Kabar kematian Noor Aini
Cahya Khairani, ternyata tidak mampu menggugah rasa duka saya, justru yang saya
rasakan adalah suasana “romantisme” kematian itu sendiri.” Kematian yang
puitis memang tak meninggalkan duka.
Penyunting menulis dalam catatannya,
bahwa puisi-puisi di buku ini dipilih dari beberapa kliping koran, antologi
bersama penyair lain, manuskrip koleksi penyair Maman S. Tawie, yang kemudian
diberi judul “Sungai Hitam Semesta Berkabut” diambil dari dua ungkapan pada dua
buah puisinya, yang oleh penyunting dianggap cukup mewakili dunia puisi Noor
Aini.
Buku yang saya pinjam dari Y.S. Agus
Suseno ini, seingat saya, pernah dibedah di STIKIP PGRI Banjarmasin. Saya
pernah baca beritanya di media massa. Ah, saya tak banyak punya kenangan. Saya
undur diri secara perlahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar