Data buku kumpulan puisi
Judul : Catatan Bawah Tanah: Kumpulan
sajak anak muda Indonesia dalam empat penjara
Penulis : M. Fadjroel Rachman
Cetakan :
I, September 1993
Penerbit :
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Tebal :
xviii + 123 halaman
(27 judul puisi)
ISBN :
979-461-147-6
Desain sampul : Danton Sihombing (Studio Jean
Kharis)
Pengantar : T. Mulya Lubis
Beberapa pilihan puisi M. Fadjroel Rachman dalam Catatan Bawah Tanah
Malam
Lebaran
Sendirian
Di dunia mayat-mayat
Aku hidup!
Di kehampaan-segala
Tersalib
Sukamiskin,
15 April 1991
Doa
Manis buat Tuhan
Tuhan, turunkanlah hujan untuk bayam, tomat
dan sawi kurus yang kami tanam
Aneh, hanya dingin bebatuan yang setia
menyegarkan batang-batangnya
Setiap malam dari balik terali besi kuhisap
udara kering dan embun tipis, berebutan
dengan bayam, tomat dan sawi kurus
Kenapakah hujan tak turun jua? Ada apakah
sebenarnya di balik cuaca?
Mungkinkah uap air telah dihisap pepohonan
besar, jalan-jalan besar, rumah-rumah besar
dan paru-paru orang besar di kota-kota
Dan kamu?
Aku tak tahu, aku tak tahu
Cahaya bulan pucat menerangi bumi sekarat,
mengusap lembut terali besi
dan wajahku
Sebab si pencinta bayam, tomat dan sawi hanya
mampu bertanya ke arah langit
Bukankah langit telah menganugerahi orang-
orang bijak dan berkuasa,
martabat untuk
menuangkan jutaan kata-kata
di benak kita
yang lelah. Walaupun kulit
perutmu lengket
tulang perutmu
Inilah hidup, inilah kepastian, kata mereka
Aku tak tahu, aku tak tahu. Bukankah Tuhan
membuat miskin dan membuat
kaya, Ia
meninggikan dan merendahkan
juga
Cahaya bulan pucat menerangi bumi sekarat,
mengusap lembut terali besi
dan wajahku
Dari ujung sel kudengar lagu dangdut merintih-
rintih tentang penderitaan
hidup, lalu
kudengar desah genit si
penyiar wanita,
“Salam kompak selalu dan
selamat
menempuh hidup baru buat X di
jalan Y dari
gadis Z di gubuk derita”
Hai, hai siapakah yang berbahagia dan
siapakah yang menderita?
Lalu kedengar ramalan bintang
“Buat pendengar yang bernaung di bawah
bintang Caprocornus, rejeki
dan kebahagiaan
minggu ini bersama anda dan
asmara si dia
makin mesra saja, kesehatan
anda pun makin
sempurna, hindari makanan
berkalori tinggi”
Kemudian aku menatap sisa ikan asin yang
dikerubungi semut-semut
hitam, lalu perlahan
meneguk air teh pahit di
cangkir berkarat
Kuhisap udara kering sambil menyanyikan
Indonesia Raya; tetapi kenapa
hatiku semakin
sepi dan asing saja (Inikah
bangsaku, inikah
manusia yang berakal-budi?)
Cahaya bulan pucat menerangi bumi
sekarat, mengusap lembut
terali besi dan
wajahku
Aku menekan wajah ke sisi terali besi dan berdoa
“Selamat malam, Tuhan, salam kompak selalu,
siapakah yang berbahagia dan
siapakah yang
menderita?”
Kebon
Waru, November 1989
Soekarno, Narapidana Blok Timur Atas nomor 01
Pandangilah, namun jangan menitikkan airmata
Di luar jendela-jeruji selmu, di luar jendela-jeruji
selku
Serdadu-serdadu berbaris dalam
mimpi bayi-bayi dan anak-anak
bangsamu
Serdadu-serdadu berbaris mencincang akal-
budi bayi-bayi dan anak-anak
bangsamu;
Langit, bebatuan, rerumputan dan udara yang
kita hisap mengucurkan darah
menenggelamkan segala impian
manusia
Di ruang-waktu
Di ruang-waktu
Hanya gelisah dan sepi
Lalu mati
Sukamiskin,
Oktober 1990
Malam-malam di Jendela
Ada cemara lurus menusuk langit
Ada angin berlendir, mayat membusuk
Ada rintih hujan, doa-doa rubuh
Dan wangi kemboja mengiris malam
Lalu kata-kata menggelepar sekarat
:Engkaukah berpayung hitam di tepian cakrawala?
Cahaya terkulai beku. Segalanya pucat-pasi
Diri lampus sudah dalam sihir malam. Dan sia-sia
Engkaukah yang bertanya, “Ada apa?”
Bayang langit menarikan perih. Kekosongan
: Antara Ada dan Tiada
: Antara Engkau dan Aku
Engkau mencari siapa?
Dalam sepi kuburan sejarah-manusia
Dalam sepi kuburan alam semesta
: Aku ingin berbicara kepadamu
Sukamiskin,
Oktober 1990
Kenapa Rachman masih Menulis Puisi?
Kenapa Rachman masih menulis puisi?
Walau darah dan teror masih membasahi wajah
dan tubuh keringnya
Karena ia percaya pada manusia dan kehidupan
Kenapa Rachman masih menulis puisi?
Walau urat-syaraf dan kasih-sayangnya dicabut
satu persatu
Karena ia percaya pada manusia dan kehidupan
Kenapa Rachman masih menulis puisi?
Walau jiwa dan hati-nuraninya disalib jeruji besi
Karena ia percaya pada manusia dan kehidupan
Kenapa Rachman masih menulis puisi?
Walau kematian dan mimpi buruk
menyergapnya berkali-kali
Karena ia percaya pada manusia dan kehidupan
Kenapa Rachman masih menulis puisi?
Karena dalam samudera ketidaktahuan,
manusia bersaudara
Karena dalam samudera kemanusiaan, manusia
bersaudara
Kau dengarkah suaraku, lagu jiwaku,
saudaraku?
“Aku ingin ziarah dan berbaring dalam
samudera cahaya jiwamu”
Kebun
Waru, 17 Januari 1990
Aku Teringat Godot, Kucing Kesayanganku
Halo … halo apa kabar Godot?
Ratusan hari kita berpisah, tahukan engkau aku
berada di mana?
Engkau masih tidur di pembaringanku?
Awas, kakimu harus dibersihkan sebelum naik
ke pembaringanku
Siapakah yang memberimu makanan sekarang?
Apakah engkau masih enggan memakan ikan asin?
Untuk sementara terimalah apa-adanya, ya Godot
Aku tersenyum pahit, makananmu lebih baik
daripada makananku di terali
besi ini, apalagi
dengan makanan anjing
tetangga kita
Kalau engkau berada si sini, kurasa sudah mati
kelaparan karena seleramu
yang terlampau tinggi
Aku terkurung di terali besi, Godot
dan engkau masih bisa berpacaran di atas
genteng rumah
Bermesraan di pojok-pojok dapur, tetapi engkau
selalu saja membatalkan
niatmu bila juru
masak lengah dengan semur
dagingnya
Nah, sekarang bagaimana dengan pacar barumu
kucing tetangga kita, masih
setia?
Ayolah, Godot, beraksilah, bukankah saat ini
musim hujan, tapi hati-hati
dengan jantan-
jantan lain, tanpa kau
sangka-sangka bisa
saja mereka melarikan calon
ibu anak-anakmu
Pikatlah hatinya, beri si dia janji-janji surgawi
(Kalau terpaksa janji-janji
pembangunan
boleh juga)
Insya Allah si dia akan setia denganmu
(Hai, kenapa kita selalu bersumpah atas nama
Tuhan ketika berpacaran. Lalu
kalau kita
berpisah atas nama siapakah?)
Apakah jadinya kita ya Godot bila tak mampu
membuat janji, engkau dan aku
akan senasib
menjadi gelandangan dari
negeri ke negeri
tanpa peta, tanpa penunjuk
arah
Lalu mabuk dan kesepian dalam pori-pori darah
sejarah
Ya, seperti Hamlet kehilangan Ophelia
Ayolah Godot, yang penting jangan berantem
dan putus asa
Sampai jumpa lagi dalam pembaringan yang
sama 13 tahun yang akan
datang
Hiduplah dengan menentang bahaya,
Sehingga di hari kematian kita, sahabat-sahabat
akan berkata
“Dia hidup; benar-benar hidup dan ada”
Kebun
Waru, Desember 1989
Kita Harus Menuliskan Semua Hak Asasi Kita
Kita harus menuliskan semua hak asasi kita
Di tembok-tembok gedung perwakilan rakyat
Di tembok-tembok gedung pemerintahan
Di tembok-tembok gedung pengadilan
Di tembok-tembok gedung angkatan bersenjata
Di sepanjang jalan, di kebun-kebun petani, di
pabrik-pabrik kaum pekerja di
negeri kita
Di setiap lantai rumah-rumah kita
Kita harus menyanyikan semua lagu dan
membacakan semua puisi
Sepanjang hari dan sepanjang malam
Yang mengobarkan akal-budi dan hati-nurani kita
Bahwa tanpa hak-hak asasi, kekuasaan akan
menjadi berhala haus-darah
dan pencabut
nyawa kita
Bahwa tanpa hak-hak asasi maka kekuasaan
menjadi TIRANI, menjadi DURNO
bagi
kehidupan
Bahwa tanpa hak-hak asasi kekuasaan akan
merampas tanah-tanah
pekarangan kita,
pekerjaan kita bahkan yang
tak cukup untuk
makan hari ini, menggusur dan
membakar
rumah-rumah kita, menghisap
semua
persediaan air minum kita,
merampas
pendidikan, masa-depan
anak-anak kita dan
merampas semua suara kita,
akal-budi serta
hati-nurani kita
Apakah lagi yang tak mungkin dirampas oleh
Tirani Kekuasaan?
Bahkan keberanian kita, dimasukkan dalam
selokan
Dan negeri kita dijadikan kandang kerbau
Lalu seorang sipir maha-tahu dan maha-kuasa
akan menggebuk siapa saja
yang tak
disukainya
Lalu bagaimana mungkin ada perbincangan
akal-budi dan hati-nurani di
kandang kerbau?
Cendekiawan dan penyair dijadikan benalu
dan hama bagi rakyat jelata
Senapan dan jampi-jampi peraturan
dimasukkan paksa ke mulut dan
saku
mahasiswa, ulama serta
pendeta
Lalu di manakah rumah-luas bagi cinta-kasih
alam semesta?
Lalu untuk apa bernegara, bila hanya sebagai
alat memonopoli kekayaan dan
kekuasaan,
memonopoli akal-budi dan
hati-nurani
Lalu untuk apa lembaga perwakilan, bila hanya
menjadi lembaga main-sulap
cukong-cukong
dan penguasa dengan kapitalis
Jepang,
Eropa, Amerika; menjadi
lembaga membagi-
bagi uang-saku dan
proyek-proyek pembangunan
Astaga, lembaga apakah ini, demikian lihai
memperjudikan perut dan
masa-depan
bangsa sendiri
Lalu apa gunanya wakil-rakyat, bila tak mau
membela kebutuhan dan
kepentingan rakyat
jelata; bila menutup mata dan
telinga dari
segala penderitaan rakyat
jelata
Bukankah merak tak lain daripada benalu dan
hama bagi penghidupan rakyat
jelata
Bukankah mereka tak lain daripada
pengkhianat bagi cita-cita
dan penghidupan
rakyat jelata
Lalu apa gunanya pengadilan bila tidak berani
menyuarakan keadilan; bila
hanya menjadi
alas kaki dan buldoser
kekuasaan; menggilas
ratusan juta rakyat yang
memperjuangkan
hak-hak asasi; bila hanya
menjadi kondom
bagi cukong dan penguasa
rakus haus darah
Lalu saudara-saudaraku ratusan juta rakyat
yang terampas hak-hak
asasinya
Untuk apa berdiam diri menonton sikap-politik
cukong-cukong dan penguasa di
pengadilan
berlumut ini
Lebih baik kita mengangkat poster-poster dan
menuliskan semua hak asasi
kita
Di tembok-tembok gedung perwakilan rakyat
Di tembok-tembok gedung pemerintahan
Di tembok-tembok gedung pengadilan
Di tembok-tembok gedung angkatan bersenjata
Di sepanjang jalan, di kebun-kebun petani, di
pabrik-pabrik kaum pekerja di
negeri kita
Di setiap lantai rumah-rumah kita
Dan kita harus menyanyikan semua lagu dan
membacakan semua puisi
Sepanjang hari dan sepanjang malam
Yang mengobarkan akal-budi dan hati-nurani kita
Bahwa tanpa hak-hak asasi, kekuasaan akan
menjadi berhala haus-darah
dan pencabut
nyawa kita
Bahwa tanpa hak-hak asasi maka kekuasaan
menjadi TIRANI, menjadi DURNO
bagi kehidupan
Kebon
Waru, Desember 1989
Bersimpuhlah di hadapan Bunda
Kita harus bersimpuh di hadapan Bunda
terkasih, mencium kedua
pipinya, kemudian
memohon doa-restunya
Sebab sipir-sipir maha-tahu dan maha kuasa
serta tukang-tukang sihir
haus darah dan
kekuasaan mengintai kita dari
segala
penjuru
Mereka bagai karbon monoksida yang
berkeliaran di ruang-waktu
meracuni darah
merahmu dan menghisap sel-sel
syarafmu
Tak ada lagi keamanan di negeri ini, engkau
bisa saja raib tanpa
seorangpun sahabat atau
kerabatmu mengetahuinya
Dan hanya ikan di kali-kali yang menangisi
kepergianmu
Lalu siapa yang akan mengabarkan kepedihan
ini kepada Bunda terkasih?
Ah, bila penguasa tak suka padamu, lebih baik
sebelum pergi dari rumahmu,
ucapkan
selamat tinggal pada
kerabat-kerabat dan
sahabat-sahabatmu
Beri makan binatang-binatang kesayanganmu
dan katakan, “Hari-hari
semakin
mengerikan, penuh darah dan
kekejaman di
negeri ini, mudah-mudahan
kita bisa
berjumpa lagi di saat makan
siang nanti,
atau dalam ribuan hari lagi,
atau malah tidak
kembali sama sekali”
(Ah, kenangkanlah segala impian, mimpi buruk
dan kebahagiaan kecil yang
kita alami
hingga hari terakhir
kehidupan kita)
Engkau boleh saja berteriak itu barbar, tak
beradab, memperkosa keadilan,
akal budi
dan hati-nurani
Tapi apalah artinya teriakan-teriakanmu bila
sipir-sipir maha-tahu dan
maha-kuasa serta
tukang-tukang sihir haus
darah dan
kekuasaan menjerat tali
gantungan ke
lehermu dan menutup
pernapasanmu,
kemudian membakar kornea
matamu, dan
memisahkanmu tiba-tiba dari
Bunda terkasih,
sahabat-sahabatmu serta
kerabat-kerabatmu
Ya, kita harus bersimpuh di hadapan Bunda
terkasih, mencium kedua
pipinya, kemudian
memohon doa restunya
Karena kita tak tahu, apakah akan berjumpa
lagi dengan Bunda terkasih,
segalanya serba
tak pasti. Manusia serta
kehidupan tak
berharga sama sekali di
negeri ini
Kita juga tak tahu siapakah yang bakal
mengabari Bunda terkasih dan
menghiburnya
di hari-hari dukanya
Sebaiknya, tinggalkanlah secarik kertas di
pembaringan yang bakal kita
tinggalkan,
semoga Bunda masih mencium
kehadiran dan
mendengar getar kesakitan
suara kita dari
balik terali besi penyiksaan
atau dari balik
debu-debu beku pengubur tubuh
kering kita.
Dan tuliskanlah, (Mungkin ini
tulisan
terakhir di batu nisan nanti?
Akan
bernisankah kuburan kita nanti?)
“If the man
who wants to build up a
better life for the
People (the oppressed and
exploited people)
and fight for it and build up
democracy, social
justice, human rights,
sovereignty of the
people in the realm of
politics, economic and
culture; because he believes
in brotherhood,
individual uniqueness, man’s
curiousity (the
strength of man’s reason) and
he is the heresy
for himself must be called a
rebel; so then call
me a rebel”
Setidaknya Bunda kita terkasih bisa mengerti
bila tak ada seorang pun di
muka bumi
memahami manusia mabuk dan
kesepian
semacam kita
Percayalah Bunda terkasih pasti memahami
Bunda terkasih pasti memahami
Kebon
Waru, Desember 1989
Di Mesjid, Nusakambangan
Ini padang-perburuan-abadi
“Kenapa nanah menggelegak di alam-raya?”
Seperti bayang-bayang: Sendirian
Aku beku-mematung di ruang-waktu
Aku-duka-abadi
Aku-duka-abadi
“Baiklah, kita berpisah saja”
Nusakambangan,
September 1990
Sukamiskin,
Oktober 1990
Aku tak
lagi Bermimpi, Estragon!*
Sekarang
aku di sini, saudaraku, menghirup
Nanah
luka-lukaku. Sendirian
Terlontar
ke alam raya rintisanku dan melukis-
lukis
Kejalanganku di dinding langit beku
Aku tak
lagi bermimpi, Estragon!
Aku tak
lagi bermimpi, Estragon!
Dalam
Neraka Jahanam dan Daging Busuk ini
tak ada
yang kumengerti selain Perubahan Abadi
Dalam
Neraka Jahanam dan Daging Busuk ini
tak ada
yang kumengerti selain Pertanyaan Abadi
Aku kini
ruang-waktu-abadi bagi diriku sendiri!
Telah
kutinggalkan segalanya. Aku muak pada segalanya
Juga
dirimu!
Di manakah
Manusia? Di manakah janji para
pengecut
dan pelacur itu?
Lihatlah,
hanya Kuburan Tandus dan Pesta
Kematian
yang bermakna di Bumi Luka Parah ini
Lihatlah
bebatuan dan langit-terbakar
mengucurkan
darah
Ah,
berdustakah aku?
Ciumlah
amis darah di belantara kata-kata,
dalam
kerongkonganmu, dalam
kerongkongan
waktu, dalam Kitab-Sucimu
Ciumlah
amis darah dalam mimpi-mimpi dan
doa-doa
ketakutanmu
Atau dalam
Cinta!
Bayi dungu
dilahirkan entah untuk apa dan
dengan
riangnya menari-nari memuja
Ketololan
si Penjaja Kebenaran dan Jalan Keabadian
Di
alun-alun kota, kabarnya tempat nabi-nabi
ditasbihkan,
yang terdengar hanya jeritan
dan
tangisan tak berkesudahan
- Dokter
berapa butir aspirinkah harus ditelan
agar
kesepian dan kematian tak lagi
menghancurkan
kegembiraan hidup dan
jalinan
kasih sayang?
- Dokter
berapa butir aspirinkah harus ditelan
untuk
melupakan kenangan dan mimpi-
buruk
dalam cekikan ruang waktu berdarah ini?
- Dokter
berapa butir aspirinkah harus ditelan
agar dapat
kumengerti siapakah
sebenarnya
kita, darimana berasal dan
akan ke
mana pergi?
- Dokter
berapa butir aspirinkah harus ditelan
agar orang
mati bisa berbincang di Pasar
Malam dan
tak lagi menjadi dongeng untuk
menakuti
anak-anak, para pengecut dan
pelacur
Kehidupan?
- Ah,
haruskah kucekik engkau untuk dusta
yang
bersemayam di alam raya, tuan dokter?
- Engkau
butuh aspirin dalam dosis yang paling
mematikan,
bukan?
- Dokter,
kegelisahan pikiran adalah hantu
barbar
yang melayang-layang tanpa basa-
basi di
urat syaraf dan begitu bebal
terhadap
doa maupun mantera dari nabi
paling
sempurna sekalipun. Kenapa Neraka
Jahanam
dan Daging Busuk ini harus
didustakan,
tuan dokter?
- Bukankah
kesederhanaan pikiran adalah doa
tersakti
kaum pengecut dan pelacur yang
menjadikan
bumi sebagai Rumah Ibadat
dan Pabrik
Anggur bagi Pesta Pembunuhan?
- Hopla,
mari pergi! kata Estragon
- Tidak!
Tidak! Aku tak mau pergi, inilah
Kerajaan
Deritaku!
- Ah,
lihatlah langit terbakar, tak kau ciumkah
bau usus
hangus dari perutmu sendiri?
-
Estragon, bukankah Penantian Tanpa Akhir ini
menjadikan
kita Tuan atas nasib sendiri?
- Kita tak
menantikan apa-apa di sini.
Pengadilan
Agung itu hanya dusta kaum
pengecut
dan pelacur. Neraka Jahanam dan
Daging
Busuk inilah Hidup kita. Di luar
dinding
ini hanya Sepi dan Ketiadaan
bertahta.
Dan dirimu adalah Keputusanmu.
Titik.
- Tapi
Estragon, aku ingin melupakan hujan-
beku di
dalam hatiku, membakar semua
pakaian
kegelisahanku, melupakan semua
Tarian
Tolol Kehidupan kita dan segala
Upacara
Berdarah dalam Drama Sia-Sia ini.
Ini bukan
kegilaan dan aku tak ingin
mendustakan
Neraka Jahanam dan Daging
Busuk yang
mencincang urat syaraf dan
nurani
kita. Bagaimana itu mungkin,
Estragon?
Akankah kupilih segala
kejahatan
yang merayu-rayu ini?
- Aku
telah membunuh si Pendusta yang
mengaku
Hakim Agung itu dan telah
kubakar
segala makna tindakan di
Kerongkongan
Waktu Gulita ini
- Aku
bermimpi bahwa aku tak lagi bermimpi,
bukankah
begitu pikiranmu, Estragon? Tapi
engkau
dalam pakaian badut dan tingkah
laku
memuakkan itu dapat menari-nari
riang
dalam kubangan darah leluhur dan
sanak-saudaramu,
juga Bundamu. Tak
adakah
yang memberatkan hatimu? Engkau
ingin
melupakan kesia-siaan Hidup dan
Ketidaktahuanmu?
Tidakkah semua ini
menyentakkan
urat syaraf, lalu kita
melawan
sehabis-habisnya?
- Baiklah
Estragon, walaupun rayuan untuk
menyederhanakan
Hidup mengguncang
impian dan
kesadaranku. Aku tak mau
pergi.
Inilah Kerajaan Deritaku. Engkau
pergilah,
ajak Vladimir. Aku tak
menantikan
apa-apa di sini dan lupakanlah
Pengadilan
Agung itu. Bukankah semuanya
hanya
mimpi tolol masa kanak-kanak kita
Lalu
tentang Dosa dan Hari Pembalasan
sebaiknya
diabadikan sebagai dongeng
satu babak
di Pasar Malam untuk
menghibur
hati kita yang lelah setelah
bertempur
di front terdepan mengurangi
Darah,
Penderitaan dan Keputusasaan.
Namun engkaupun
mengerti Estragon
bahwa aku
tak memaknakan apa-apa dan
tak
memahami apa-apa. Aku hanya ingin
menyayangi
sanak saudaraku, manusia
yang Letih
dan Menderita ini dan melawan
sehabis-habisnya
Ketololan para penjaja
Kebenaran
dan Jalan Keabadian
Inilah aku.
Aku kini ruang waktu abadi bagi
diriku
sendiri!
Akulah
duka anak-dara yang bunuh diri
Akulah
duka anak-dara yang bunuh diri
surat
putih dan genangan airmatanya
membakar
urat syarafku, membakar
kedustaan
hidupku dan mengabari bahwa
aku hidup
dalam Neraka Jahanam dan
Daging
Busuk
Inilah
bumiku. Inilah Kerajaan Deritaku!
Aku
mengerti betapa menyakitkan semua ini.
Aku
memilih tindakan yang kupandang sia-
sia untuk
mengguncang ruang-waktu yang
sia-sia
dan memuakkan ini
Wahai,
beri daku satu ciuman di bibir kering ini
kejahatan
merayu-rayu di belantara kata-kata
Di manakah
manusia? Di manakah janji para
pengecut
dan pelacur itu?
Hopla...
Mari pergi
Mari pergi
Tidak!...tidak!
Aku tak mau pergi, inilah
Kerajaan
Deritaku
Kebonwaru,
agustus 1990
Nusakambangan,
September 1990
* Nama
Estragon dan Vladimir diambil dari nama tokoh badut dalam Waiting for Godot, karya Samuel
Beckett (English Edition, London: Faber dan Faber, 1955)
Tentang M. Fadjroel Rachman
M. Fadjroel Rachman kelahiran Banjarmasin, 17
Januari 1964. pernah kuliah di Jurusan Kimia, Institut Teknologi Bandung hingga
mengerjakan tugas akhir, tapi tidak selesai karena terlibat Peristiwa 5 Agustus
1989 dan dipenjarakan 3 tahun (dijalani di Penjara Bakorstanasda Jawa Barat,
Penjara Kebun Waru, Penjara Polwiltabes Bandung, Penjara Nusakambangan dan
Penjara Sukamiskin Bandung). Pernah menjadi presiden grup apresiasi sastra
(GAS) ITB tahun 1985-1986. Antologi puisinya: Antologi Puisi Pesta Sastra Indonesia (penerbit pikiran
rakyat/granesia bekerjasama dengan kelompok sepuluh Bandung, 1985).
Catatan
Lain
Dalam
pengantarnya, T. Mulya Lubis menulis: "Nampaknya,
buat penyair narapidana ini, kehidupan ini mengandung banyak sekali kejahatan,
dan tidak banyak yang bisa dilakukan untuk memperbaikinya. Ia memang marah,
dan dalam posisinya sebagai narapidana ia hanya bisa merenung dan menularkan amarah dan keputusasaannya
melalui puisi.... Puisi penyair narapidana ini, seperti juga catatan subversif
Mochtar Lubis atau catatan harian Alexander Sholzenitzin adalah suara hati
nurani yang terluka." T. Mulya Lubis juga menyebut bahwa M. Fadjroel Rahman telah
menemukan sekolah baru yang membabtisnya menjadi Penyair. Dan sekolah baru itu
adalah penjara.
Buku koleksi Y.S.Agus Suseno ini nampaknya dibeli
tahun 1993 di toko buku Gramedia, yang jika tidak salah mata melihat (karna
sedikit agak kabur) berharga Rp.4.750,- Barcode harga masih menempel di cover
belakang.
boleh dibeli gak nih buku?
BalasHapus:) Buku ini buku pinjaman, Kawan. Bukan punya saya...
Hapusbuku ini dicetak ulangkah? pingin punya aku
BalasHapus