Minggu, 03 Maret 2013

Rida K Liamsi: PERJALANAN KELEKATU



Data buku kumpulan puisi

Judul : Perjalanan Kelekatu
Penulis : Rida K Liamsi  
Cetakan : I, Oktober 2008
Penerbit : Yayasan Sagang, Pekanbaru, Riau.
Tebal : xiv + 96 halaman; (28 judul puisi)
Setting dan Ilustrasi : Armawi KH
ISBN : 978-979-24-8105-1

Beberapa pilihan puisi Rida K Liamsi  dalam Perjalanan Kelekatu

Kelekatu
Kepada : Thab

Ada ketika kita menjadi seperti kelekatu
Terbang dari lampu ke lampu
Dari pintu ke pintu
Dan akhirnya terdampar di bawah bangku
Tapi tak ada yang menyapa
Tak ada yang bertanya
Kesepian seperti degup maut yang berdetak di ujung
stateskop
Hanya kita yang merasa Aduhai
Aduhai
       Aduhai
Hanya kita yang tahu, apa yang tak pernah sampai

Ada ketika kita menjadi seperti kelekatu
Memandang kilap air dan terhunjam ke batu
Tapi tak ada yang menyapa
Tak ada yang bertanya
Keterasingan seperti sebuah lemari masa lalu tercuguk
di balik pintu
Hanya kita yang merasa kepedihan yang mengalir dalam
kabel lampu-lampu
Hanya Senyap
      Senyap
Senyap
Hanya kita yang tahu, apa yang tak sempat terucap

Ada ketika kita menjadi seperti kelakatu
Menunggu resa angin, menjadi isyarat musim
Memburu cahaya, dan gugur saat gelap tiba
Tapi kita tak tahu Bila
Bila
       BILA

2006



Nguyen

Selamat malam
Aku mencium rambutmu yang masih bau mesiu
Aku kecup dahimu yang masih rasa asin
Aku lihat di matamu laut yang dalam dan mimpi yang kelam
Dan aku tutup pintu tenda sambil melihat langit, menandai
bintang
Ke mana perahumu akan menyeberang?
Di bibir pantai aku dengar nyanyian
Getir dan sayup
Mungkin dari sela-sela lunas perahu,
Mungkin dari jerigen air, dan sisa layar yang koyak
: Kebebasan itu hak
  Kebebasan itu mimpi
  Kebebasan itu harga diri yang berdarah jika menyerah
  Kebebasan itu lubang kematian yang menunggu saat kau kalah
  Kebebasan itu, burung elang yang terbang jauh dan kau duduk
  di paruhnya

Selamat malam,
Kulihat kau tak pernah mengeluh

1985


Perjalanan

Inilah Besitang!

Tak ada suara senapan dan tak ada hardik menjelang sarapan
Tapi mengapa gelisah?
Hutan karet dan sawit diam dalam kelam. Ada sisa hujan
Dari pos jaga wajah letih dan mata yang waspada saling
menyapa
: Apa kabar Jakarta?
Di arah tikungan yang menajam,
Di antara meja teh panas dan kue bolu
Ada puluhan bekas peluru. Seperti lukisan perahu
: Di sini, kemarin, seorang letnan di tembak. Tak sempat
berteriak
Di sini maut singgah seperti jejak seekor biawak

Inilah Besitang!

Ada papan nama dan bendera-bendara
Ada penjaja surat kabar dan kartu telepon genggam
Ada suara kereta dan truk yang lewat
Ada suara senapang dikokang
Ada nasehat: Malam memang bisa sangat kelam

2005


Shanghai Baby*

Di Nanjing Luk, ujung semi menyisakan gigil
Plaza basah, sehabis renyai
Dan kau datang dari sebuah sudut yang hiruk
Dari balik trem dan kereta turis
: Sir,
  Aku tawarkan sebatang rokok dan sejenak kehangatan
  Punyakah anda 100 yuan?

Dingin memang membangkitkan rindu
Denyar lampu di antara taman yang basah
membangkitkan gairah
Dan aku bayangkan kita berdiri
di sisi jendela
di puncak menara
Dan memandang Pudong yang gemerlap dan Yang Tse
yang gelap
Wahai pualamnya tubuhmu dan berahinya parfummu
100 yuankah?

Di tong sampah, selembar koran siang tengadah
: Ini sebuah negeri yang sedang berubah
Harapan memang berdarah. Tapi jangan menyerah!
Itu mungkin hanya suara angin pegunungan yang
bergeser ke lembah
Ayo terus melangkahlah!

Kemarin, di balik kaca bus dari Su Zou
Aku menyaksikan ladang sayur dan danau mutiara
Berombak dan gelisah
Tour Leader cantik bersutera merah menyapa di ekor
mata,
: Jalan tol dan listrik melimpah, membuat cinta seperti
  sebuah sedekah
  100 yuan kah?

Malam makin larut dan langit seakan keriput
Dari balik patung sang Walikota yang berwajah baja
Kudengar Shanghai bernyanyi: jangan menangis Baby!

2003/2005
*Shanghai Baby, judul sebuah novel karya Wien Hui


Surat kepada GM

Adakah kita masih percaya pada keniscayaan kata-kata?

Di bendul pintu, setiap minggu kau letakkan kata-kata
Dan aku memungutnya sambil beringsut ke jendela
Di luar langit beragam warna, beragam makna
Dan kata-katamu berubah jadi ribuan kata,
       ribuan makna,
                  ribuan warna
       Jadi taman,
                  jadi hutan,
                                  jadi kota,
                                               jadi kita,
                                                           jadi KATA

Tapi apakah kita masih percaya pada keniscayaan kata?
Pada hanya sebuah kata?

Di luar orang membawa lembing, membawa belati, dan
meluah kata-kata
Dan kita tak bisa menegahnya dengan bilang: Jangan!
                                                                            Sabar!
                                                                       Istighfar!

Seperti kampak, mereka harus menetak
Seperti belati, harus ditikam berkali-kali

Kita ternyata tak bisa bilang KUN!
                                   PAYAKUN!
                               JABBARKUN!
Kita tak punya kuasa
Kita perlu beratus kata, beribu kata
Pun untuk bilang YA!

Di bendul pintu, setiap minggu, kau letakkan kata-kata
Dan aku memungutnya sambil menatap ke luar jendela
Seperti helai-helai kelopak, aku taburkan kata-katamu
Biar jadi beratus kata, beribu kata, jadi berkata-kata
Hidup ternyata semakin niscaya, semakin tak percaya pada
kata-kata
Pun pada KITA!

2005


Seekor Lumba-lumba yang Ngembara
Kepada Idrus

Seekor lumba-lumba yang ngembara dari beting ke beting,
dari teluk ke teluk, satu ketika akan lelah dan mengapung
di puncak alun. Angin timur, alangkah teduhnya. Saat
bermain, mengibas ekor dan menyemburkan pelangi ke
pucuk awan. Saat menikah dan menanam berahi. Saat
langit membentang harap, saat mimpi membentang layar.
Tapi apakah selalu harus berharap?

Di setiap teluk ada pelabuhan. Di setiap teluk ada perahu.
Di setiap teluk ada yang berlabuh. Tapi apakah selalu harus
mengeluh?

Di laut tak selamanya ombak. Di laut tak selamanya
karang. Di laut tak selamanya surut. Di laut tak selamanya
segala mimpi hanyut. Ada yang tersangkut. Ada yang
terdampar. Ada yang jadi lumut, jadi karang, jadi pasir,
jadi badai.

Seekor lumba-lumba yang ngembara, jika tiba masanya
akan ngembara lagi. Bermain ombak, bermain angin,
mengejar laju, memburu rindu. Tapi bilakah akan
terdampar? Bilakah sayap kekar berhenti menampar?
Bilakah ekor liar berhenti melayar?

Seekor lumba-lumba yang ngembara, seperti musim,
sekali datang sekali beredar. Tapi laut tak henti menunggu
kembara membentang layar, kembara menurunkan layar.
Dan kau seperti perahu-perahu yang lelah, kini saatnya
melabuh jangkar.

2004


Suatu Siang di Jakarta

Suatu siang di Jakarta
Aku terperangkap dalam taksi
Jalanan sesak dan kelakson tersedak
Kereta beringsut
Jam berlari
Emosi menari
Nyeri
Lalu lelah
Lelah
Seseorang melintasi jalan
: Air mineral?
  Atau lagu dangdut?

Sialan,
Di kota seperti ini
Orang masih bisa memupuk mimpi

2000


Di Jabbal Rahmah

1
Sehabis tawaf, aku ingat pesanmu, sebelum panggilan terakhir pesawat berangkat: Singgahlah di Jabbal Rahmah. Tulis nama Kita dan berdoalah. Tentang kesetiaan, tentang cinta, tentang harapan yang akan dibawa sampai ke akhir usia.

Sekarang dari Jabbal Rahmah aku kirimkan cerita ini:

Aku sudah menulis nama Kita di pilar kesetiaan itu yang aku   tak tahu apakah Adam dan Hawa juga menuliskan nama  mereka di sana. Tapi seorang Habsyi, memakaikan aku kapiyeh putih, dan memotretku saat kupahat nama Kita dengan spidol hitam. Syukron! Sekeping polaroid dan seratus riyal bertukar dengus, dan aku akan menyimpannya sebagai ingatan.

Sekarang aku memandang ke puncak pilar yang menembus langit dan berharap dia akan kekal di sana, seperti sebuah jejak, seperti sebuah perhentian, tempat kita membukukan waktu.   Tapi aku tak tahu adakah besok nama kita masih ada di sana. Mungkin segera lesap bersama hujan, mungkin terhapus cuaca, mungkin ditelan debu, mungkin ditindih oleh nama-nama baru yang datang bagai deru serdadu yang ingin mencatat gelora  rindu mereka di sana.

2
Sekarang aku juga berdoa, sambil memandang langit yang   pucat dan siang yang kehilangan cuaca: Tuhan, peliharalah   cinta Kami sampai ke batas yang kami bisa menjaganya.
Meski aku tak tahu doa apa yang dipanjatkan Adam dan Hawa  di sana dan adakah cinta mereka tetap terjaga menjadi sukma     di puncak pilarnya. Karena aku masih mendengar suara          zikir, suara ratap, suara desah sedih dan rintih yang tertindih. Juga suara gemetar lutut yang bersujud di teras keras yang     bagai tak haus dimakan maksud. Adakah doa yang luput? 

3
Sekarang aku memandang ke arah bebatuan hitam yang bertumpuk menyusun jenjang, tempat beribu-ribu harapan        dan cemas pergi pulang. Aku dengar desah angin kering yang menyambar padang gersang dan belukar rendah. Suara     gesekan dedaunan yang gelisah seakan tak pernah dijamah   musim basah. Aku melihat berpuluh puluh unta yang       berjubah sedang menggendong harapan, mimpi, dan kesia-       siaan berhelah mengelilingi Jabbal Rahmah dan sepasang      cinta terduduk di atasnya, seakan tak bersalah.

4
Sekarang, dari Jabbal Rahmah, aku ingat perjalanan bathin          ku: Tuhan, di bentangan padang seluas pandang, aku pernah    wukuf. Pernah bersujud. Pernah meratap. Pernah pasrah.      Pernah menyerah. Tuhan, aku malu ...

2007/2008


Dayang Ku Laut

1
Selagi laut bernama laut
O, Dayang Ku
Selagi masih boleh menyimpai kail
Mengasah tempuling
Mengencang sauh
Memakal sampan
Masih boleh kita menyimpan mimpi
Mencacak pancang
Melepas umpan
Menanda arus
Mencium musim
Menunggu kemejan datang
Menunggu kail mengejang
Menunggu bulan mengambang
Menunggu punggung biru menderu
Menunggu hulu melepas tikam

: Tikam ngidam Dayang Ku
  Tikam geram berahimu
  Tikam harap kemejanmu
  Tikam angit daging salaimu
  Tikam rindu, saat kau selak kainmu dan gemuruh malam
  Menyambut deraikilaimu

O, Dayang Ku Laut
Selagi laut bernama laut
Selau ada yang hanyut
                           tersangkut
                           luput
                           tak tersebut

2
Selagi laut bernama laut
O, Dayang Ku
Selagi ada surut
Selagi masih boleh kita mengemas ambung
Menajam serampang
Menunggu karang mengerang
Menunggu kisar angin
Menunggu gerak arus
Menunggu saat menikam jejak
                                Jejak hendak
                                         Jejak tidak

O, Dayang Ku Laut
     Dengarlah ratap panjang pepohon setu menunggu pasang
     Dengarlah derai camar mencari pantai
     Dengarlah kisah si peri bersirip kaki dan berambut gerai
     Menyadai dada di tebing aduhai
     Wahai, menatap rindu ke bumbung petang
                          ke kepedihan berahi tak berpantang

O, Dayang Ku Laut
     Selagi laut bernama laut
     Selalu ada surut
     Selalu ada yang hanyut
                          Luput
                                  Tersangkut
                                               Tak tersebut

3
O, Dayang Ku
Selagi laut bernama laut
Selalu ada pasang
Selalu ada beribu mimpi hanyut
Beribu kata luput
Beribu harap lesap
Beribu haru biru
Maka pasang pun membawa gelombang
Maka pasang pun merendam pancang
Maka pasang pun mengubur jejak, merubuh cacak
Maka hanya ada suara angin
      hanya ada desir pasir, menyindir:
Ini lagu Serampang Laut
Layar dikembang, kemudi dipaut
Hidup ibarat pasang dan surut
Ke mana angin, ke situ hanyut

4
O, Dayang Ku Laut
O, pasang
O, surut
O, musim yang kini penuh ingin
Jangan biarkan angin berhenti bermain
Biarkan kami bercakap seperti kerap di tingkap
Tentang karang
Tentang kerang
Tentang setu
Tentang gonggong
Tentang gamat
Tentang segalanya yang segera akan tamat
  Akan Tamat!

O, Wahai
O, Wahai Ku
Jangan biarkan Laut Ku kehilangan pasang karena Pasang
Jangan biarkan Laut Ku kehilangan surut karena s-u-r-u-t
Jangan biarkan Laut Ku kehilangan LAUT
Janan biarkan Laut Ku kehilangan DAYANG KU

O, Dayang Ku Laut

2008


Tentang Rida K Liamsi
Rida K Liamsi jika dibaca dari belakang (kanak ke kiri) maka akan muncul nama Ismail Kadir. Itulah nama sebenarnya dari penyair ini. Juga pernah menggunakan nama pena Iskandar Leo.  Lahir di Dabosingkep, Provinsi Kepulauan Riau, 17 Juli 1943. Pernah menjadi guru Sekolah Dasar, sebelum terjun menjadi Jurnalis. Delapan tahun jadi wartawan Tempo, lima tahun di harian Suara karya, kemudian ke Riau Pos, hingga menjadi CEO Riau Pos Group (RPG). Kumpulan puisinya: Ode X (1971) dalam bentuk stensilan, Tempuling (2003). Novelnya Bulang Cahaya (2007). Mendirikan Yayasan Sagang, di mana sejak 1997 telah menerbitkan Majalah Budaya Sagang. Dan setiap tahunnya, sejak 1996, memberikan penghargaan kepada Seniman dan budayawan, karya-karya budaya, institusi budaya, penelitian budaya serta jurnalisme budaya yang bernafaskan budaya Melayu, yang diberi nama Anugerah Sagang.


Catatan Lain
Baru kali ini saya menemukan penyair yang namanya bisa dibaca bolak-balik. Rida K Liamsi kalau membaca dari kiri, Ismail Kadir kalau membaca dari kanan. Jadi teringat teman kos saya, Risond Pandapotan Nababan, yang membanggakan nama marganya, katanya satu-satunya marga di batak yang bisa dibaca bolak-balik hanya ini: Nababan. Haha. Terus terang, baru tahu penyair ini begitu membongkar-bongkar rak Hajri. Hanya pernah mendengar Anugerah Sagang lewat blog sejuta puisi, ternyata penyair ini yang berada di belakangnya. Salam takzim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar