Minggu, 03 Maret 2013

PRIANGAN SI JELITA




Data buku kumpulan puisi

Judul : Priangan Si Jelita
Penulis : Ramadhan K.H.
Cetakan : III, 1975 (Cet. I. 1958)
Penerbit : PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.
Tebal  : 44 Halaman (3 puisi beranak-pinak)
Disain sampul : Popo Iskandar
Kata Pengantar : Ajip Rosidi

Beberapa pilihan puisi Ramadhan K.H. dalam Priangan Si Jelita

Tanah Kelahiran, 1

Seruling di pasir ipis, merdu
antara gundukan pohon pina,
tembang menggema di dua kaki,
Burangrang - Tangkubanprahu.

Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di air tipis menurun.

Membelit tangga di tanah merah
dikenal gadis-gadis dari bukit.
Nyanyikan kentang sudah digali,
kenakan kebaya merah ke pewayangan.

Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di hati gadis menurun.



Tanah Kelahiran, 2

Harum madu
di mawar merah,
mentari di tengah-tengah.

Berbelit jalan
ke gunung kapur,
antara Bandung dan Cianjur.

Dan mawar merah
gugur lagi,
sisanya bertebaran
di kekeringan hati.

Dan belit jalan
menghilang lagi,
sisanya menyiram
darah di nadi.


Tanah Kelahiran, 5

Hijau tanahku,
hijau Tago,
dijaga gunung-gunung berombak

Dan mawar merah
disobek di tujuh arah,
dikira orang menyanyi,
lewat di kayu kecapi.

Hijau tanahku,
hijau Tago
dijaga gunung-gunung berombak.

Dan perawan sendirian,
disamun di tujuh jalan,
dikira orang menyanyi,
tangiskan lagu kinanti.

Hijau tanahku,
hijau Tago,
dijaga gunung-gunung berombak.


Tanah Kelahiran, 7

Setengah bulatan bumi
kusilang arah membusur,
Nyatanya
aku hanya pengembara

Seruling dan pantun
di malam gelap
menyeret pulang
turun di kali Citarum.

Dan aku kembali
ke pangkuan asal.
Bunda,
dan aku kembali
ke pelukan asal.
Kiranya
dengan tambah tua!


Dendang Sayang, 1

Di Cikajang ada gunung,
lembah lengang nyobek hati,
bintang pahlawan di dada,
sepi di atas belati;
kembang rampe di kuburan,
selalu jauh kekasih.

Di Cikajang ada kurung,
menahan selangkah kaki,
bebas unggas di udara,
pelita di kampung mati;
fajar pijar, bulan perak,
takut mengungkung di hati.

Di Cikajang hanya burung,
bebas lepas terbang lari,
di bumi bayi turunnya,
besar di bawah mengungsi;
sepi di bumi priangan,
sepi menghadapi mati.


Dendang Sayang, 4

Kemboja putih di senja hari,
Rama-rama hitam jatuh di pangkuan janda muda.
Kemerahan di ufuk barat,
Membawa menyusur dari pantai ke pantai.

"Tengok dataran tanah priangan, Gadisku manis".
Ayah dipaku di lima tempat,
Bunda berlari dari tepi ke tepi,
Tiada menemu teratak lengang.

"Tengok dataran tanah priangan, Gadisku manis".
Dan si dara tiada bisa berkata,
Pacar gugur tiada menemu kuburannya.
Dan si dara hanya bisa meraba,
Membelitkan kalung kenangannya.


Dendang Sayang, 5

Gadis dendang di ladang pisang,
belum tahu manis jantungnya.

Aduhai!

Gadis dendang di matahari,
hanya bisa tahu teriknya.

Aduhai!


Dendang Sayang, 7

Aku tutup rapat pintu dan jendela
untuk tidak tahu lagi derita
dibawa angin dan cahaya.
Tapi kembang hitam dan awan hitam
terselip selalu di tali rebab menikam.

Dihitung pacar di jari,
di satu musim larat dinanti.
Tapi derita sepanjang cerita,
pacar yang tak bisa dihitung,
larat yang tumbuh sepanjang tahun.

Tangis dan air di kelopak mata,
kalau bukan untuk diriku,
diuntukkan buat pacarku.


Pembakaran, 1

Pacar!
Coklat matamu subur,
Coklat darah tanah Cianjur.

Tapi pacar!
Yang meneteskan air hujan
di bawah alismu hitam,
hanya kedua molek tanganmu
dan aku dengan mesra dibalur madu.

Dan pacar!
Bulan perak telah bertukar bara api.
Dan kau dan aku lagi
yang mesti membalik tanah
seperti neteskan air hujan di mata kedua belah.

Pacar!
Yang lain tak ada.
Kau dan aku hanya.


Pembakaran, 3

Penyair
kayu pertama
di tumpukan pembakaran.

Penyair
abu landasan
di tumpukan reruntuhan.

Dara!
Bimbang hanya
mencekik diri sendiri!

Dara!
Takut hanya
buat makhluk pengecut!


Pembakaran, 6

Dara
sudah lari bersembunyi
sejak senja.
Kota ditikam menyendiri.

Tiada ranting kebahagiaan,
burung malam tiada terbang.
Tiada daun kebebasan,
juga sedapmalam ketakutan.

Bunda,
setengah darahku yang tinggal,
kukira mesti kuhabiskan seperti dulu;
sayang,
kalau gadis-gadis mesti jadi perawan tua,
sebab malam ketakutan
tak menemukannya dengan pria.

Bunda,
setengah darahku yang tinggal,
kukira mesti bercecer di jalanan;
sayang,
kalau dengan bulan tak bisa lagi bersua,
sebab malam ketakutan
tak mengizinkan untuk bercanda.


Tentang Ramadhan K.H.
Ramadhan K.H. lahir di Bandung dan dibesarkan di Cianjur. Ia mulai belajar menulis pada zaman Jepang atas dorongan kakaknya, Aoh K. Hadimadja. Pernah menjalani profesi sebagai wartawan olahraga. Ia juga selama 13 tahun menjadi wartawan “Antara”. Juga pernah menjadi redaktur majalah Kisah, Siasat, Siasat Baru dan majalah Kompas. Juga turut mendirikan dan menjadi redaktur majalah Budaja Djaja. Pernah tinggal di Paris dan Spanyol. Menerjemahkan karya Federico Garcia Lorca. Romannya berjudul Royan Revolusi. Priangan Si Jelita, kumpulan sajaknya ini, memdapat hadiah pertama dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional untuk tahun 1957-1958.

Catatan Lain
Beberapa sajak Ramadhan K.H. telah saya ketahui sejak SMP, lewat sebuah buku yang khusus mengulas Priangan Si Jelita di perpustakaan sekolah. Penulis kritik tersebut, yang saya lupa siapa namanya itu. Sepuluh tahun melewat, tinggal nama penyairnya saja yang teringat. Ketika kemudian menemukan buku ini, di perpustakaan provinsi, senang bukan buatan. Juga ada buku ulasannya juga, mungkin ini yang dulu saya temukan di perpustakaan SMP, pikir saya, ulasan oleh Jiwa Atmaja. Tapi saya betul-betul tak ingat. Saya hanya terbuai dengan puisi-puisi Priangan Si Jelita yang molek itu. Sempat bingung, karena ternyata dalam buku ini hanya memuat 3 (tiga) puisi. Tiga puisi yang beranak pinak. Tanah Kelahiran (7 puisi), Dendang Sayang (7 puisi) dan Pembakaran (7 puisi). Bagi saya pribadi, beberapa puisi Ramadhan K.H. mengembalikan ingatan saya kepada saya remaja yang mulai terpesona dengan puisi. Kata-kata yang asyik membuai, berayun, mendayu, seperti sebuah nyanyian dari alam pedesaan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar