Data
buku kumpulan puisi
Judul
: Priangan Si Jelita
Penulis : Ramadhan K.H.
Cetakan
: III, 1975 (Cet. I. 1958)
Penerbit
: PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.
Tebal : 44 Halaman (3 puisi beranak-pinak)
Disain
sampul : Popo Iskandar
Kata
Pengantar : Ajip Rosidi
Beberapa pilihan puisi Ramadhan
K.H. dalam Priangan Si Jelita
Tanah Kelahiran, 1
Seruling
di pasir ipis, merdu
antara
gundukan pohon pina,
tembang menggema di dua kaki,
Burangrang - Tangkubanprahu.
Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di air tipis menurun.
Membelit tangga di tanah merah
dikenal gadis-gadis dari bukit.
Nyanyikan kentang sudah digali,
kenakan kebaya merah ke pewayangan.
Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di hati gadis menurun.
tembang menggema di dua kaki,
Burangrang - Tangkubanprahu.
Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di air tipis menurun.
Membelit tangga di tanah merah
dikenal gadis-gadis dari bukit.
Nyanyikan kentang sudah digali,
kenakan kebaya merah ke pewayangan.
Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di hati gadis menurun.
Tanah
Kelahiran, 2
Harum
madu
di mawar merah,
mentari di tengah-tengah.
Berbelit jalan
ke gunung kapur,
antara Bandung dan Cianjur.
Dan mawar merah
gugur lagi,
sisanya bertebaran
di kekeringan hati.
Dan belit jalan
menghilang lagi,
sisanya menyiram
darah di nadi.
Tanah Kelahiran, 5
Hijau tanahku,
hijau Tago,
dijaga gunung-gunung berombak
Dan mawar merah
disobek di tujuh arah,
dikira orang menyanyi,
lewat di kayu kecapi.
Hijau tanahku,
hijau Tago
dijaga gunung-gunung berombak.
Dan perawan sendirian,
disamun di tujuh jalan,
dikira orang menyanyi,
tangiskan lagu kinanti.
Hijau tanahku,
hijau Tago,
dijaga gunung-gunung berombak.
Tanah Kelahiran, 7
Setengah bulatan bumi
kusilang arah membusur,
Nyatanya
aku hanya pengembara
Seruling dan pantun
di malam gelap
menyeret pulang
turun di kali Citarum.
Dan aku kembali
ke pangkuan asal.
Bunda,
dan aku kembali
ke pelukan asal.
Kiranya
dengan tambah tua!
di mawar merah,
mentari di tengah-tengah.
Berbelit jalan
ke gunung kapur,
antara Bandung dan Cianjur.
Dan mawar merah
gugur lagi,
sisanya bertebaran
di kekeringan hati.
Dan belit jalan
menghilang lagi,
sisanya menyiram
darah di nadi.
Tanah Kelahiran, 5
Hijau tanahku,
hijau Tago,
dijaga gunung-gunung berombak
Dan mawar merah
disobek di tujuh arah,
dikira orang menyanyi,
lewat di kayu kecapi.
Hijau tanahku,
hijau Tago
dijaga gunung-gunung berombak.
Dan perawan sendirian,
disamun di tujuh jalan,
dikira orang menyanyi,
tangiskan lagu kinanti.
Hijau tanahku,
hijau Tago,
dijaga gunung-gunung berombak.
Tanah Kelahiran, 7
Setengah bulatan bumi
kusilang arah membusur,
Nyatanya
aku hanya pengembara
Seruling dan pantun
di malam gelap
menyeret pulang
turun di kali Citarum.
Dan aku kembali
ke pangkuan asal.
Bunda,
dan aku kembali
ke pelukan asal.
Kiranya
dengan tambah tua!
Dendang
Sayang, 1
Di Cikajang ada gunung,
lembah lengang nyobek hati,
bintang pahlawan di dada,
sepi di atas belati;
kembang rampe di kuburan,
selalu jauh kekasih.
Di Cikajang ada kurung,
menahan selangkah kaki,
bebas unggas di udara,
pelita di kampung mati;
fajar pijar, bulan perak,
takut mengungkung di hati.
Di Cikajang hanya burung,
bebas lepas terbang lari,
di bumi bayi turunnya,
besar di bawah mengungsi;
sepi di bumi priangan,
sepi menghadapi mati.
Dendang Sayang, 4
Kemboja putih di senja hari,
Rama-rama hitam jatuh di pangkuan janda muda.
Kemerahan di ufuk barat,
Membawa menyusur dari pantai ke pantai.
"Tengok dataran tanah priangan, Gadisku manis".
Ayah dipaku di lima tempat,
Di Cikajang ada gunung,
lembah lengang nyobek hati,
bintang pahlawan di dada,
sepi di atas belati;
kembang rampe di kuburan,
selalu jauh kekasih.
Di Cikajang ada kurung,
menahan selangkah kaki,
bebas unggas di udara,
pelita di kampung mati;
fajar pijar, bulan perak,
takut mengungkung di hati.
Di Cikajang hanya burung,
bebas lepas terbang lari,
di bumi bayi turunnya,
besar di bawah mengungsi;
sepi di bumi priangan,
sepi menghadapi mati.
Dendang Sayang, 4
Kemboja putih di senja hari,
Rama-rama hitam jatuh di pangkuan janda muda.
Kemerahan di ufuk barat,
Membawa menyusur dari pantai ke pantai.
"Tengok dataran tanah priangan, Gadisku manis".
Ayah dipaku di lima tempat,
Bunda
berlari dari tepi ke tepi,
Tiada menemu teratak lengang.
"Tengok dataran tanah priangan, Gadisku manis".
Tiada menemu teratak lengang.
"Tengok dataran tanah priangan, Gadisku manis".
Dan
si dara tiada bisa berkata,
Pacar gugur tiada menemu kuburannya.
Dan si dara hanya bisa meraba,
Membelitkan kalung kenangannya.
Dendang Sayang, 5
Gadis dendang di ladang pisang,
belum tahu manis jantungnya.
Aduhai!
Gadis dendang di matahari,
hanya bisa tahu teriknya.
Aduhai!
Dendang Sayang, 7
Aku tutup rapat pintu dan jendela
untuk tidak tahu lagi derita
dibawa angin dan cahaya.
Tapi kembang hitam dan awan hitam
terselip selalu di tali rebab menikam.
Dihitung pacar di jari,
di satu musim larat dinanti.
Tapi derita sepanjang cerita,
pacar yang tak bisa dihitung,
larat yang tumbuh sepanjang tahun.
Tangis dan air di kelopak mata,
kalau bukan untuk diriku,
diuntukkan buat pacarku.
Pacar gugur tiada menemu kuburannya.
Dan si dara hanya bisa meraba,
Membelitkan kalung kenangannya.
Dendang Sayang, 5
Gadis dendang di ladang pisang,
belum tahu manis jantungnya.
Aduhai!
Gadis dendang di matahari,
hanya bisa tahu teriknya.
Aduhai!
Dendang Sayang, 7
Aku tutup rapat pintu dan jendela
untuk tidak tahu lagi derita
dibawa angin dan cahaya.
Tapi kembang hitam dan awan hitam
terselip selalu di tali rebab menikam.
Dihitung pacar di jari,
di satu musim larat dinanti.
Tapi derita sepanjang cerita,
pacar yang tak bisa dihitung,
larat yang tumbuh sepanjang tahun.
Tangis dan air di kelopak mata,
kalau bukan untuk diriku,
diuntukkan buat pacarku.
Pembakaran,
1
Pacar!
Coklat matamu subur,
Coklat darah tanah Cianjur.
Tapi pacar!
Yang meneteskan air hujan
di bawah alismu hitam,
hanya kedua molek tanganmu
dan aku dengan mesra dibalur madu.
Dan pacar!
Bulan perak telah bertukar bara api.
Dan kau dan aku lagi
yang mesti membalik tanah
seperti neteskan air hujan di mata kedua belah.
Pacar!
Yang lain tak ada.
Kau dan aku hanya.
Pembakaran, 3
Penyair
kayu pertama
di tumpukan pembakaran.
Penyair
abu landasan
di tumpukan reruntuhan.
Dara!
Bimbang hanya
mencekik diri sendiri!
Dara!
Takut hanya
buat makhluk pengecut!
Pembakaran, 6
Dara
sudah lari bersembunyi
sejak senja.
Kota ditikam menyendiri.
Tiada ranting kebahagiaan,
burung malam tiada terbang.
Tiada daun kebebasan,
juga sedapmalam ketakutan.
Bunda,
setengah darahku yang tinggal,
kukira mesti kuhabiskan seperti dulu;
sayang,
kalau gadis-gadis mesti jadi perawan tua,
sebab malam ketakutan
tak menemukannya dengan pria.
Bunda,
setengah darahku yang tinggal,
kukira mesti bercecer di jalanan;
sayang,
kalau dengan bulan tak bisa lagi bersua,
sebab malam ketakutan
tak mengizinkan untuk bercanda.
Pacar!
Coklat matamu subur,
Coklat darah tanah Cianjur.
Tapi pacar!
Yang meneteskan air hujan
di bawah alismu hitam,
hanya kedua molek tanganmu
dan aku dengan mesra dibalur madu.
Dan pacar!
Bulan perak telah bertukar bara api.
Dan kau dan aku lagi
yang mesti membalik tanah
seperti neteskan air hujan di mata kedua belah.
Pacar!
Yang lain tak ada.
Kau dan aku hanya.
Pembakaran, 3
Penyair
kayu pertama
di tumpukan pembakaran.
Penyair
abu landasan
di tumpukan reruntuhan.
Dara!
Bimbang hanya
mencekik diri sendiri!
Dara!
Takut hanya
buat makhluk pengecut!
Pembakaran, 6
Dara
sudah lari bersembunyi
sejak senja.
Kota ditikam menyendiri.
Tiada ranting kebahagiaan,
burung malam tiada terbang.
Tiada daun kebebasan,
juga sedapmalam ketakutan.
Bunda,
setengah darahku yang tinggal,
kukira mesti kuhabiskan seperti dulu;
sayang,
kalau gadis-gadis mesti jadi perawan tua,
sebab malam ketakutan
tak menemukannya dengan pria.
Bunda,
setengah darahku yang tinggal,
kukira mesti bercecer di jalanan;
sayang,
kalau dengan bulan tak bisa lagi bersua,
sebab malam ketakutan
tak mengizinkan untuk bercanda.
Tentang
Ramadhan K.H.
Ramadhan K.H. lahir di Bandung dan
dibesarkan di Cianjur. Ia mulai belajar menulis pada zaman Jepang atas dorongan
kakaknya, Aoh K. Hadimadja. Pernah menjalani profesi sebagai wartawan olahraga.
Ia juga selama 13 tahun menjadi wartawan “Antara”. Juga pernah menjadi redaktur
majalah Kisah, Siasat, Siasat Baru
dan majalah Kompas. Juga turut
mendirikan dan menjadi redaktur majalah Budaja
Djaja. Pernah tinggal di Paris dan Spanyol. Menerjemahkan karya Federico
Garcia Lorca. Romannya berjudul Royan
Revolusi. Priangan Si Jelita,
kumpulan sajaknya ini, memdapat hadiah pertama dari Badan Musyawarah Kebudayaan
Nasional untuk tahun 1957-1958.
Catatan
Lain
Beberapa sajak Ramadhan K.H. telah
saya ketahui sejak SMP, lewat sebuah buku yang khusus mengulas Priangan Si Jelita di perpustakaan
sekolah. Penulis kritik tersebut, yang saya lupa siapa namanya itu. Sepuluh
tahun melewat, tinggal nama penyairnya saja yang teringat. Ketika kemudian
menemukan buku ini, di perpustakaan provinsi, senang bukan buatan. Juga ada
buku ulasannya juga, mungkin ini yang dulu saya temukan di perpustakaan SMP,
pikir saya, ulasan oleh Jiwa Atmaja. Tapi saya betul-betul tak ingat. Saya
hanya terbuai dengan puisi-puisi Priangan
Si Jelita yang molek itu. Sempat bingung, karena ternyata dalam buku ini
hanya memuat 3 (tiga) puisi. Tiga puisi yang beranak pinak. Tanah Kelahiran (7 puisi), Dendang Sayang (7 puisi) dan Pembakaran (7 puisi). Bagi saya pribadi,
beberapa puisi Ramadhan K.H. mengembalikan ingatan saya kepada saya remaja yang
mulai terpesona dengan puisi. Kata-kata yang asyik membuai, berayun, mendayu,
seperti sebuah nyanyian dari alam pedesaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar