Minggu, 03 Maret 2013

D. Zawawi Imron: BERLAYAR DI PAMOR BADIK



Data buku kumpulan puisi

Judul : Berlayar di Pamor Badik
Penulis : D. Zawawi Imron
Cetakan : II, Oktober 2003 (Cet. I, Juli 1994)
Penerbit : Tifa Nusantara, Yogyakarta.
Tebal : xx + 96 halaman; 12 x 19 cm (78 judul puisi)
Gambar sampul dan Ilustrasi : D. Zawawi Imron
Desain sampul : Narto
Penata Letak : Amin Barokah
Esai Pengantar : Drs. Nunding Ram, M.Ed

Beberapa pilihan puisi D. Zawawi Imron dalam Berlayar di Pamor Badik

Nyanyian Rahasia

Antara dua tebing
Jeram menjeritkan teka-teki

Antara dua badik
Tatapmu penuh arti


Nyanyian Gadis Mandar

Di sisi bulan dan kecapi
kutenun kasihmu, Abang!
Lembah selatan kabur diterpa hujan
menyanyikan rahmat yang biru
O, di jauh mana engkau berdebar
di laut apa peluhmu jadi garam?
Sebagai bukti kau anak Mandar

Petiklah kecapi, Abang!
Tuk mengalahkan gelombang dalam diri
Awan putih akan hinggap di lehermu
mengalungkan setiaku yang membaca
lembar-lembar jejakmu dengan membisu

Kalau matahari
nanti tak terbit lagi di Tinabung
Meski tenunanku belum selesai
Kucari mayatmu ke gunung ombak
Di sana sajadah kuhampar
Sebagai bukti: dalam diri ada Mandar



Hujan Tana Toraja

air jatuh, di tanah berlinang jiwa
oh, dingin rasa hujanku

berjuta rintik purbakala
menyiram hutan-hutan perawan
seperti ada bunyi kecapi
mengiringi tarian bayang-bayang
oh, hujan berbisik padaku
tak kudengar
tapi aku tahu maksudnya

mari kita bercakap
dengan air yang meresap
jauh ke dalam tanah
dan suka pergi menyusur nadi
menghidupkan arwah pada mimpi

sonya, di antara kepungan tapak-tapak hujan
kuingin lelap dalam dekapmu
bukan aku sebagai lelaki
tapi sebagai bayi
yang baru belajar mendengar nyanyi

dan nyanyikanlah
bahwa dari ubun-ubun ke bintang
terjadi jarak cuma sejengkal


Lagu Laut

Sampaikan salamku, wahai kecipak laut!
Pada bumi Bugisku yang hangat
Perahuku teramat jauh kini berlayar
Kutembangkan siul di tengah jerit lautan

Dan langit
tempat melukis hati gadisku
di mana saja sama birunya
Karena kesetiaan perlu diuji
oleh jarak, topan dan cakrawala

Semua gelombang biarkan terus menggebu
Paling-paling jadi gambar tenun sarungku
Dan sekian karang
bisa dihindar dengan kemudi

Ibu, alangkah jauhnya Sinjai
Meski tanpa tali temali
Engkau tetap tambatan
Dan kalau malang perahuku karam
Kuyakin hatimu, ibu,
adalah kuburku yang sebenarnya


Selalu Laut

Mengapa selalu laut
yang kusebut dalam nyanyian?
Dalam kabut yang gelap
kulihat rohku seperti ikan
yang berenang tak punya rumah

Hanya air
asal mula dan akhir perjalanan
dan perang telah berlangsung
dalam sajak atau kehendak
kemudian ditiru ombak

Memang selalu laut
Dan hujan yang sesekali gemuruh
mengajak akar bahar menari
di sela-sela ranting sukmaku

Segalanya pun pergi
Diam mengalir menabur sandi


Ada Tari dalam Diam

Napasmu yang ditahan pohon-pohon kabut
mencampakkan bercak-bercak ke langit senja dan bunga-
bunga yang mencoba baca jadi buta
Tangis pun menjadi pohon cuaca yang melindungi tugu
garam yang segera akan cair mendengar lagu aneh dari
zaman Puangnge ri Lampulungeng
Kita memang bukan siput, lumut dan rumput, tapi serasa
sehati dengan mereka, hingga kecut asam yang melekat di
lidah mereka kuterjemahkan dengan bahasa cambuk dan
pisau.
Bayang-bayang yang bertumbangan di ketiak ilalang diam-
diam menyemaikan bintang pada coklat bumi yang bisu.
Menari dalam diam tentu ada panen menanti di
belakangnnya
Ada

Puangnge ri Lampulungeng: orang pertama yang berkuasa di daerah Wajo


Hidup Tak Hanya

Hidup tak hanya senyum, kembang dan kelam
tapi juga
keringat, airmata dan laut

Maka
kalau aku ditanya senyum
engkaulah kulum
kalau aku ditanya kembang
engkaulah harum
kalau aku ditanya kolam
engkaulah salam
kalau aku ditanya keringat
engkaulah sengat
kalau aku ditanya laut
denyutmu yang pasti kusebut

sementara aku beranjak
dari tapi ke tapi
dari kalau ke kalau
dari pasti ke mungkin
suara rindu yang diisyaratkan sayap kupu-kupu
mendatangkan pinisi purba

aku pun berlayar
di pamor badik


Pong Tiku

tak kuhitung
berapa awan yang gugur dan keningmu
tapi gunung-gunung yang pernah kau taburi rindu
masih tetap menyimpan madu

kutahu kini engkau melangkah
memahat jejak di batu-batu

dari tongkonan ke tongkonan
senyummu menyiratkan gelombang karang
jadi harapan kerbau-kerbau
yang rajin mencangkul walau kemarau

hutan-hutan itu
masih terasa istanamu saja
karena kekhidmatan alam
punya kemerduan lagu yang amat dalam

pertemuan ini hanya sebuah ketika
bintang demi bintang akan tenggelam
sedang sorot matamu tajam
senantiasa mengintip
dari sela-sela hujan yang disiramkan matahari


Malam di Tepi Hutan

Kubaca kelap-kelip pelita
dari satu ke satu
Adalah gelap membuka lembaran-lembaran lalu

Piala purba yang lama remuk
kini kembali berbentuk
Padanya airmata seruling kuteguk
Badik di tangan bisa dilepas

Badik di hati
yang ditempa dalam tafakkur
telah siap menoreh bulan:

Embun hari esok
akan sanggup
melidahkan deburan ombak


Hanya Seutas Pamor Badik

Dalam tubuhku kaunyalakan dahaga hijau
Darah terbakar nyaris ke nyawa
Kucari hutan
sambil berdayung di hati malam

Bintang-bintang mengantuk
menunggu giliran matahari

Ketika kau tegak merintis pagi
selaku musafir kucoba mengerti:
Ternyata aku bukan pengembara

Kata-kata dan peristiwa
telah lebur pada makna
dalam aroma rimba dan waktu

Hanya seutas pamor badik, tapi
tak kunjung selesai kulayari


Ziarah
terkenang Sultan Hasanuddin

Ah, debu namanya
yang menyanyikan daunan gugur
Gelisah ranting-ranting terasa
pada siang di pekuburan

Dan gadis-gadis datang
menjelma selendang ungu
Sementara di perbukitan
menderu burung derkuku

Ah, debu juga namanya
yang mengabarkan ziarah itu
Siang jadi berarti
dalam busukan kembang-kembang

Badik yang tidur akan bangun
hanya menunggu Sangkakala


Senja di Pantai Bojo’

Langit menggeliat tiba-tiba
Ketika azan diayunkan pohon-pohon kelapa
perahu yang berlayar ke langit
tiangnya semakin bisu

Bugis, nama tempat telur menetas itu
Darah yang menetes
tak seluruhnya punya nestapa
Segalanya telah sempurna
tapi serasa belum selesai

Sebentuk sujud putih
dan laut pun turun ke dasarnya
bersama bintang-bintang

Amboi, lihatlah itu di belakang karang
Seekor cumi-cumi
sedang meninabobokan matahari


Tanah Wajo
Buat Pak A. Amiruddin

Siapa yang telah menyuarakan
jeram dari langit itu?
Aroma bulan yang semalam menepuk laut
mengemasi embun di pundak pagi
Burung-burung berhinggapan di pohon sukma
menyulamkan duka lama
di daun-daun lontara

Kucari Wajo dalam diri
(tanah kelahiran badikku)
Gairah bertabur ke lembah-lembah
Gema sejarah yang mulai senyap
kutemukan di pelukan melati

Hidup yang bergetar
menyelesaikan derai ombak di pantai
Dan Wajo yang makin tua, makin purba
bagaikan remaja yang gagah
menari
sambil menabuh mentari jadi genderang


Tentang D. Zawawi Imron
D. Zawawi Imron lahir di desa Batang-batang, Kabupaten Sumenep, ujung timur pulau Madura. Setamat Sekolah Dasar ia nyantri di pesantren. Mulai terkenal sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki tahun 1982. Kumpulan puisinya: Semerbak Mayang (1977), Madura, Akulah Lautmu (1978), Derap-derap Tasbih, Bulan Tertusuk Lalang, Nenekmoyangku Airmata (mendapat hadiah Yayasan Buku Utama tahun 1985), Bantalku Ombak Selimutku Angin, Madura, Akulah Darahmu, Kujilat Manis Empedu, Refrein di Sudut Dam. Sajak-sajaknya ada yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Belanda, dan Bulgaria.


Catatan Lain
Beberapa kali penyair D. Zawawi Imron datang ke tanah Banjar, seingat saya, waktu Aruh Sastra III di Kotabaru bersama penyair Sutardji Calzoum Bachri, juga di Aruh Sastra sebelumnya, di Kandangan atau Tanah Bumbu. Juga pernah mampir di Minggu Raya, lewat sms yang pernah saya terima. Tapi saya benar-benar belum pernah bersitatap dengan penyair ini. Mungkin suatu hari nanti. Komentar Kuntowijoyo di cover belakang buku: “D. Zawawi Imron adalah satu-satunya penyair Indonesia yang seolah-olah mempunyai dua tumpah darah. Madura dan Makassar. Makassar diabadikan dengan puisi-puisi dalam ‘Berlayar di Pamor Badik’, 1994. Barangkali karena orang-orang Makassar banyak mengembara di pulau-pulau kecil sebelah timur Sumenep, barangkali karena celurut bagi orang Madura sama seperti badik bagi orang Makassar, barangkali juga karena Trunojoyo dari Madura pada abad ke-17 dulu bersahabat dengan Karaeng Galesong.” Adapun buku ini tak memiliki bagian-bagian. Semua di bawah satu bendera: Berlayar di Pamor Badik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar