Data buku kumpulan puisi
Judul : Angsana, Sepilihan Puisi 2000 - 2006
Penulis : Soni Farid Maulana
Cetakan : I, Maret 2007
Penerbit : Ultimus, Bandung
Tebal : viii + 55 halaman (37 judul puisi)
ISBN : 979-99560-6-4
Editor : Bilven
Gambar sampul : Soni Farid Maulana, “Angsana”, cat minyak di
atas karton, 20 x 25 cm, 2006
Desain sampul : Ucok
Beberapa pilihan puisi Soni Farid Maulana dalam Angsana
Perahu
kau buka kancing bajuku
seperti cahaya menguliti kegelapan
di sebuah kamar yang kekal
“ada perahu dalam tubuhmu
bawa aku berlayar menuju tanah asal!”
(detik arloji menafsir sepi, rumah karib
dalam diri. Perjalanan panjang,
desis ular hitam di rumpun malam)
lalu kita bicara dalam bahasa di luar kata
yang menampung gaung angin, dan gema ombak
di tepi pantai yang dulu ditinggalkan, berabad lalu.
“bawa aku ke tanah asal yang dulu kau sebut surga:
sebelum gelap kembali bersarang dalam kalbuku!”
(malam menarik diri sebelum maut menafsir
ruhku: dalam huruf-huruf kaku di batu
nisan. Di batu nisan) “Bawa aku ...”
2004
Halte, 1
di halte dusun itu, di bangku peron
yang dingin bertilam angin; aku mendengar
siit incuing ngear
dalam kelam.
“seseorang akan pergi jauh. Serupa kerlip bintang
di langit lengang!” begitu kau bilang. Dan waktu
adalah debur ombak lautan yang tiada henti
menggerus batu karang dalam tubuhku.
cahaya remang menyentuh miring rambutmu
hangat tanganmu menggenggam erat tanganku
“apa makna hari ini bagi hari esok yang lain?”
2003
Halte, 2
tubuh adalah halte yang kelak roboh,
seperti rumah kayu
yang dihancurkan rayap
dan cuaca gelap
lalu apa makna persinggahan
bagi yang mengangkut dan menurunkan
penumpang? Kau tahu, sinyal itu
kembali mengirim isyarat ke arah yang lain
seperti kedip lampu morse
dalam kabut Waktu.
lalu setelah itu tajam mandau perpisahan
kembali menyayat sang kalbu
di ruang dalam yang kelam
lezat yang tinggal karat
2003
Kau
angsana dan gandasoli
yang kau tanam di pekarangan hatiku
tumbuh sudah dengan daun-daunnya yang lebat
kau bilang,
jika kedua tanaman itu tumbuh subur
itu artinya: cinta kita memuncak,
mendaki puting gairah seindah bulan merah
kini kau di mana? Hanya desir angin
dan guguran dedaunan di pekarangan hatiku
diiring bebunyian serangga,
sebelum tiba
musim penghujan
langit kosong dan sepi
seperti sumur tua yang ditinggalkan
dengan sisa air yang nyaris kering
diteguk garang kemarau
yang menghanguskan
akar rumputan
lalu api sunyi berkobar
dari gerbang langit tak dikenal
menjilat dan membakar angsana
dan gandasoli
yang dulu kau tanam
di pekarangan hatiku, pada sebuah pagi
yang diberkahi cahaya matahari
dan kicau burung dari syair attar,
hafiz dan sana’i. Cintaku,
kau di mana ketika rindu
menyemak di dada
ketika ajal melepas kata
dalam dadaku
2002
Pastoral
di tengah perjalanan antara rumahku dan tanah kubur
Ia menyapaku. “Semoga api dan gigitan tujuh ular
berbisa: tak bersarang di tubuhmu,” kata-Nya. Ruhku
pucat-pasi, kalbuku gusar sungguh: miskin alif-lam-ra,
ya Rabbi!
2006
Berita
Satu Kolom
“apakah
dadamu dihuni ashabul kahfi?”
demikian
kau bertanya di sebuah malam yang lengang
sehabis
hujan. “Tidak. Ia justru dihuni sekompi
binatang
buas. Raungnya kau dengar, mengguncang
tebing alif-lam-mim-mu, merindu cahaya
al-Tawwab”
2000
Dalam
Hujan
ada yang
jatuh ke dalam sumur waktu
suaranya
sanggup menggetarkan hatiku,
sepanjang
nadi jam
berdenyut
dalam jantungku
lalu
keriangan itu apa? Hatiku yang murung
kehilangan
kaca kata. Sungguh di situ,
aku tak
bisa lagi melihat wajahku serupa
apa?
cahaya
perlahan susut diserap kabut
dering daun
jatuh di lauhul mahfudz
bikin hutan
kelabu dalam deras hujan
di tubuhku
2006
Cahaya
Kecil
di ujung
dermaga seseorang menanti
ia jatuh
cinta pada cahaya kecil
di bola
matamu. Dicatatnya harum rambutmu
dalam tujuh
larik puisi yang ringkas
jika salju
turun seluas kalbumu
kau pasti
memburunya tanpa ragu. Sebab api
yang
menyala di rongga dadanya:
adalah
kehangatan hidup yang kau cari
ya, memang
sepanjang jarum jam berputar
di dinding
jantungmu: ia hanya buih
yang
menanti kawih. Tapi, jika waktunya tiba
ia metafora
dalam merdu kawihmu.
2005
Lingsir
jejak atas
pasir
diusir
deras arus air
maut
bergulir
matahari
pun lingsir
dan kau
berkata:
apa yang
tersisa di rongga dada
selain
kata, selain cahaya, atau kelam?
langit
redup seperti warna hutan
dalam kabut
barangkali
dulu
seseorang
pernah datang
ke
ranjangmu. Datang
dengan
berkuntum
bunga
teratai
dan mungkin
setelah itu:
ia berkemah
di balik dastermu
berselancar
di ombak tubuhmu
dan kau tak
kuasa menolaknya?
ya, memang:
maut menggilir
dan hari
bergulir. Lalu detik jam
dalam
tubuhmu kian lemah suaranya
aku dengar.
Adakah ia serupa tanda
bahwa
matahari yang lingsir
tak lagi
menggelar fajar
sebab ia
meledak sudah
di langit
yang lain, di luar kata
yang diburu
para penyair.
aku tahu
ada yang ingin
kau
katakan, sebelum subuh
sehening
batu: ditebing
kalbumu
yang curam
2005
Di
Sisimu
aku tahu,
hari itu akan tiba di luar kata dan cuaca
detik ini.
Dan kau mendesah saat telapak tanganku
mengusap
pundakmu.
rambutmu
hitam
bagai
ribuan garis tinta cina
dalam
sebuah drawing Picasso
di sebuah
galeri
dekaplah
aku meski bukan
untuk yang
terakhir kali. Angin terasa dingin
di batin.
Pekik camar laut
mengguncang
dinding kota. Mata arloji
menaksir
detak jantungku,
di sisimu.
Cahaya bulan menyentuh
miring
tubuhku.
2005
Kista
Endometriosis
1
pohon-pohon
berasap
tiga ekor
burung menggigil
dalam kabut
lalu gaung
timba
di sumur
tua mengoyak
ketenangan
air di kedalaman
“selamatkan
aku sebelum bencana
bermukim
dalam rahim pikiranku!”
kau bilang
tapi
mengapa kau biarkan
kista
endometriosis tumbuh di situ
yang
akarnya menyubur di gelap
bawah-sadarmu?
2
medikamentosa,
itukah
yang kau
harap: mampu membebaskan diri
dari kelam
kabut pikiran:
sebelum
bunga bangkai
ligar di
ranjangmu: pada sebuah malam
yang kau
sebut malam pertama?
aku diam
ditafsir air mata
desember
runtuh dalam tubuhku
kegelapan
menghapus cahaya
gemuruh
laut malam
dikhianat
garam
2004
Tentang Soni Farid Maulana
Soni Farid Maulana, lahir di Tasikmalaya,
Jawa Barat, 19 Februari 1962. SD, SMP, SMA di tempuh di kota kelahiran. Tahun
1985 menyelesaikan kuliah di Bandung di jurusan Teater, Akademi Seni Tari
Indonesia (ASTI), sekarang Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung.
Bekerja sebagai jurnalis di HU Pikiran Rakyat Bandung. Aktif menulis sejak
tahun 1976. Antologi puisinya Variasi
Parijs van Java (Kiblat Buku Utama, 2004), Tepi Waktu Tepi Salju (Kelir, 2004), Selepas Kata (Latifah, 2005), Secangkir
Teh (Grasindo, 2005), Sehampar Kabut
(Ultimus, 2006), Angsana (Ultimus,
2007), Opera Malam (Kiblat Buku
Utama, 2008), Pemetik Bintang (kiblat
Buku Utama, 2008), Peneguk Sunyi
(2009). Juga menulis puisi berbahasa sunda, terkumpul dalam Kalakay Mega (Geger Sunten, 2007) dan
telah memasuki cetakan ke 3. kumpulan cerpennya Orang Malam (Q-Press, 2005). Kumpulan esai Menulis Puisi Satu Sisi (Pustaka Latifah, 2004), Selintas Pintas Puisi Indonesia
(Grafindo, Jilid 1 2004, Jilid 2 2007).
Catatan Lain
Buku Angsana, yang punya Hajri
ini, masih menempel barcode harganya di sampul belakang buku, Rp. 19.400,-.
Terbagi atas dua bagian, yaitu Pekarangan
(sepilihan puisi 2000-2003, 13 puisi) dan Blues
Tengah Malam (Sepilihan puisi 2004-2006, 24 puisi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar