Minggu, 03 Maret 2013

Soni Farid Maulana: ANGSANA



Data buku kumpulan puisi

Judul : Angsana, Sepilihan Puisi 2000 - 2006
Penulis : Soni Farid Maulana
Cetakan : I, Maret 2007
Penerbit : Ultimus, Bandung
Tebal : viii + 55 halaman (37 judul puisi)
ISBN : 979-99560-6-4
Editor : Bilven
Gambar sampul : Soni Farid Maulana, “Angsana”, cat minyak di atas karton, 20 x 25 cm, 2006
Desain sampul : Ucok

Beberapa pilihan puisi Soni Farid Maulana dalam Angsana

Perahu

kau buka kancing bajuku
seperti cahaya menguliti kegelapan
di sebuah kamar yang kekal

“ada perahu dalam tubuhmu
bawa aku berlayar menuju tanah asal!”

(detik arloji menafsir sepi, rumah karib
dalam diri. Perjalanan panjang,
desis ular hitam di rumpun malam)

lalu kita bicara dalam bahasa di luar kata
yang menampung gaung angin, dan gema ombak
di tepi pantai yang dulu ditinggalkan, berabad lalu.

“bawa aku ke tanah asal yang dulu kau sebut surga:
sebelum gelap kembali bersarang dalam kalbuku!”

(malam menarik diri sebelum maut menafsir
ruhku: dalam huruf-huruf kaku di batu
nisan. Di batu nisan) “Bawa aku ...”

2004



Halte, 1

di halte dusun itu, di bangku peron
yang dingin bertilam angin; aku mendengar
siit incuing ngear dalam kelam.

“seseorang akan pergi jauh. Serupa kerlip bintang
di langit lengang!” begitu kau bilang. Dan waktu
adalah debur ombak lautan yang tiada henti
menggerus batu karang dalam tubuhku.

cahaya remang menyentuh miring rambutmu
hangat tanganmu menggenggam erat tanganku
“apa makna hari ini bagi hari esok yang lain?”

2003


Halte, 2

tubuh adalah halte yang kelak roboh,
seperti rumah kayu
yang dihancurkan rayap
dan cuaca gelap

lalu apa makna persinggahan
bagi yang mengangkut dan menurunkan
penumpang? Kau tahu, sinyal itu

kembali mengirim isyarat ke arah yang lain
seperti kedip lampu morse
dalam kabut Waktu.

lalu setelah itu tajam mandau perpisahan
kembali menyayat sang kalbu
di ruang dalam yang kelam
lezat yang tinggal karat

2003


Kau

angsana dan gandasoli
yang kau tanam di pekarangan hatiku
tumbuh sudah dengan daun-daunnya yang lebat
kau bilang,
jika kedua tanaman itu tumbuh subur
itu artinya: cinta kita memuncak,
mendaki puting gairah seindah bulan merah

kini kau di mana? Hanya desir angin
dan guguran dedaunan di pekarangan hatiku
diiring bebunyian serangga,
sebelum tiba
musim penghujan

langit kosong dan sepi
seperti sumur tua yang ditinggalkan
dengan sisa air yang nyaris kering
diteguk garang kemarau
yang menghanguskan
akar rumputan

lalu api sunyi berkobar
dari gerbang langit tak dikenal
menjilat dan membakar angsana
dan gandasoli
yang dulu kau tanam
di pekarangan hatiku, pada sebuah pagi
yang diberkahi cahaya matahari
dan kicau burung dari syair attar,
hafiz dan sana’i. Cintaku,

kau di mana ketika rindu
menyemak di dada
ketika ajal melepas kata
dalam dadaku

2002


Pastoral

di tengah perjalanan antara rumahku dan tanah kubur
Ia menyapaku. “Semoga api dan gigitan tujuh ular
berbisa: tak bersarang di tubuhmu,” kata-Nya. Ruhku
pucat-pasi, kalbuku gusar sungguh: miskin alif-lam-ra,
ya Rabbi!

2006


Berita Satu Kolom

“apakah dadamu dihuni ashabul kahfi?”
demikian kau bertanya di sebuah malam yang lengang
sehabis hujan. “Tidak. Ia justru dihuni sekompi
binatang buas. Raungnya kau dengar, mengguncang
tebing alif-lam-mim-mu, merindu cahaya al-Tawwab”

2000


Dalam Hujan

ada yang jatuh ke dalam sumur waktu
suaranya sanggup menggetarkan hatiku,
sepanjang nadi jam
berdenyut dalam jantungku

lalu keriangan itu apa? Hatiku yang murung
kehilangan kaca kata. Sungguh di situ,
aku tak bisa lagi melihat wajahku serupa
apa?

cahaya perlahan susut diserap kabut
dering daun jatuh di lauhul mahfudz
bikin hutan kelabu dalam deras hujan
di tubuhku

2006


Cahaya Kecil

di ujung dermaga seseorang menanti
ia jatuh cinta pada cahaya kecil
di bola matamu. Dicatatnya harum rambutmu
dalam tujuh larik puisi yang ringkas

jika salju turun seluas kalbumu
kau pasti memburunya tanpa ragu. Sebab api
yang menyala di rongga dadanya:
adalah kehangatan hidup yang kau cari

ya, memang sepanjang jarum jam berputar
di dinding jantungmu: ia hanya buih
yang menanti kawih. Tapi, jika waktunya tiba
ia metafora dalam merdu kawihmu.

2005


Lingsir

jejak atas pasir
diusir deras arus air
maut bergulir
matahari pun lingsir

dan kau berkata:
apa yang tersisa di rongga dada
selain kata, selain cahaya, atau kelam?
langit redup seperti warna hutan
dalam kabut

barangkali dulu
seseorang pernah datang
ke ranjangmu. Datang
dengan berkuntum
bunga teratai

dan mungkin setelah itu:
ia berkemah di balik dastermu
berselancar di ombak tubuhmu
dan kau tak kuasa menolaknya?

ya, memang: maut menggilir
dan hari bergulir. Lalu detik jam
dalam tubuhmu kian lemah suaranya
aku dengar. Adakah ia serupa tanda

bahwa matahari yang lingsir
tak lagi menggelar fajar
sebab ia meledak sudah
di langit yang lain, di luar kata
yang diburu para penyair.

aku tahu ada yang ingin
kau katakan, sebelum subuh
sehening batu: ditebing
kalbumu yang curam

2005


Di Sisimu

aku tahu, hari itu akan tiba di luar kata dan cuaca
detik ini. Dan kau mendesah saat telapak tanganku
mengusap pundakmu.
rambutmu hitam
bagai ribuan garis tinta cina
dalam sebuah drawing Picasso
di sebuah galeri

dekaplah aku meski bukan
untuk yang terakhir kali. Angin terasa dingin
di batin. Pekik camar laut
mengguncang dinding kota. Mata arloji
menaksir detak jantungku,
di sisimu. Cahaya bulan menyentuh
miring tubuhku.

2005


Kista Endometriosis

1
pohon-pohon berasap
tiga ekor burung menggigil
dalam kabut

lalu gaung timba
di sumur tua mengoyak
ketenangan air di kedalaman

“selamatkan aku sebelum bencana
bermukim dalam rahim pikiranku!”
kau bilang

tapi mengapa kau biarkan
kista endometriosis tumbuh di situ
yang akarnya menyubur di gelap
bawah-sadarmu?

2
medikamentosa, itukah
yang kau harap: mampu membebaskan diri
dari kelam kabut pikiran:

sebelum bunga bangkai
ligar di ranjangmu: pada sebuah malam
yang kau sebut malam pertama?

aku diam ditafsir air mata

desember runtuh dalam tubuhku
kegelapan menghapus cahaya
gemuruh laut malam
dikhianat garam

2004


Tentang Soni Farid Maulana  
Soni Farid Maulana, lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 19 Februari 1962. SD, SMP, SMA di tempuh di kota kelahiran. Tahun 1985 menyelesaikan kuliah di Bandung di jurusan Teater, Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI), sekarang Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung. Bekerja sebagai jurnalis di HU Pikiran Rakyat Bandung. Aktif menulis sejak tahun 1976. Antologi puisinya Variasi Parijs van Java (Kiblat Buku Utama, 2004), Tepi Waktu Tepi Salju (Kelir, 2004), Selepas Kata (Latifah, 2005), Secangkir Teh (Grasindo, 2005), Sehampar Kabut (Ultimus, 2006), Angsana (Ultimus, 2007), Opera Malam (Kiblat Buku Utama, 2008), Pemetik Bintang (kiblat Buku Utama, 2008), Peneguk Sunyi (2009). Juga menulis puisi berbahasa sunda, terkumpul dalam Kalakay Mega (Geger Sunten, 2007) dan telah memasuki cetakan ke 3. kumpulan cerpennya Orang Malam (Q-Press, 2005). Kumpulan esai Menulis Puisi Satu Sisi (Pustaka Latifah, 2004), Selintas Pintas Puisi Indonesia (Grafindo, Jilid 1 2004, Jilid 2 2007).

Catatan Lain
Buku Angsana, yang punya Hajri ini, masih menempel barcode harganya di sampul belakang buku, Rp. 19.400,-. Terbagi atas dua bagian, yaitu Pekarangan (sepilihan puisi 2000-2003, 13 puisi) dan Blues Tengah Malam (Sepilihan puisi 2004-2006, 24 puisi). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar