Data
buku kumpulan puisi
Judul : Sesobek Buku
Harian Indonesia, Empat Kumpulan Sajak
Penulis : Emha Ainun
Nadjib
Cetakan : I, Mei 1993
Penerbit : Bentang,
Yogyakarta bekerjasama dengan Masyarakat Poetika Indonesia (MPI)
Penyunting : Mustofa W
Hasyim dan Jabrohim
Desain grafis : Buldanul
Khuri
Tata Letak : Dwi Agus M
dan Heppy L Rais
Tebal : xiv + 245 halaman
Buku ini memuat 4
kumpulan puisi, yaitu ‘M’ Frustrasi dan
Sajak-sajak Cinta (21 puisi), Sajak-sajak
Sepanjang Jalan (39 puisi), Nyanyian
Gelandangan (13 puisi) dan Sesobek
Buku Harian Indonesia (50 puisi)
Beberapa pilihan puisi Emha Ainun Nadjib dalam ‘M’ Frustrasi dan Sajak-sajak Cinta
Nocturno
Tuhan si anak kenangan berbaring di cakrawala
selatan
Tuhan si anak kenangan berloncatan di atas
bintang-bintang
Tuhan si anak kenangan berebut masuk keluar
pernapasan
Tuhan si anak kenangan tak meleleh di pucuk dendam
Tuhan si anak kenangan terjatuh!
:
dalam bayang
bayang
“Selamat malam!
O,
si buah angan
Selamat malam!
O,
si Anak Hilang!”
75
Sajak Jatuh Cinta
Karena ini bunga
Maka ciumlah dengan bening jiwa
Karena ini sajak
Maka terimalah dengan mripat kanak-kanak
Gugusan
mendung yang ranum
Menggugurkan
hujan ke bumi
Dari
langit jauh Engkau bagai telah turun
Pada
air, tanah, serta pada sunyi
Kemudian
senyap sesaat
Tuhan
melintaskan syafaat
Kemudian
daun-daun bersijingkat
Dalam
pesona memikat
Karena ini bunga, dik
Maka ciumlah dengan bening jiwa
Karena ini sajak, dik
Maka terimalah dengan mripat kanak-kanak
75
Lagu
Sangatlah nyaman
Serta penuh kekhusyukan
Bersahabat dengan angin
Dan matahari pagi
Wajah
gadisku yang membayang
Mengajakku
sejenak berpejam
Tunduk
kepala, dan
Menggumamkan
salam
Dan embun menguap
Setelah semalaman
- bagai peristiwa cinta -
Membungkus dedaunan lelap
O,
biru langit!
O,
bukit-bukit!
Saksikanlah
bahwa merdeka
Sangatlah
mengikat
Bahwa jiwa
Butuh saat-saat alpa
Di mana roh diguncang
Tercampak dari tanya dan pikiran
Gadisku! Wahai gadisku!
Sangatlah nyaman
Bersetia kasih dengan Alam
Dan di bawah Iman-Nya: kita tenggelam
75
Sajak
Demi rembulan yang Engkau ciptakan
Khusus untuk memulangkan diriku
Kepada kumandang tangis bayi, yang telanjang
Yang hening lagunya bergaung
Ke ladang-ladang jiwa
Yang meripatnya bening
Dan yang semua geraknya
Dibimbing
Oleh kegaiban
Demi rembulan di larut malam
Yang bagai kereta kencana
Ditarik oleh kuda siluman
Yang bangkit dari cakrawala
Yang bangkit begitu saja
Berderap
Perlahan
Dan menciptakan gemuruh
Dalam kediaman
Demi rembulan yang Engkau ciptakan
Untuk mengusap kening jiwa yang berabad menangis
Jiwa Adam
Rintih kerinduan
Yang mencegatnya di ujung jalan
Dan yang mencegatku kini
Dalam derita dan keasingan
Yang terus menjelma
Yang mengawali setiap pekik kelahiran
Dan yang terus berkembang dalam kenangan
Demi rembulan yang bagai pejalan sunyi
Menjelajah seluruh malam
Sehingga terciptalah dunia dan kehidupan
Dari angin, embun dan dedaunan
Yang berkilat
Karena cahayanya
Yang seakan mengisyaratkan harapan
Bagi kerinduanku nantinya
Ah, Tuhan!
Demi rembulan yang Engkau ciptakan
Buat menggoda!
Di semak-semak ini
Di hutan gelap yang tercipta
Dalam gaung jiwa
Dalam gelegak samudera
Dalam gelegak darahku
Yang letih
Dan maya
:
kutikamkan pisau ini
ke dadaku!
(terimalah
semangatku
reguklah
cintaku!)
75
Beberapa pilihan puisi Emha Ainun Nadjib dalam Sajak-sajak Sepanjang Jalan
Apakah Puisi-puisi Ini
Apakah puisi-puisi ini
Jelmaan roh-Mu, Tuhanku
Sehingga aku merasa bahagia
Jika bergaul dengannya
Ia selalu membuka ruang
Hingga aku setia pada kemungkinan
Ia adalah sembahyang
Yang penuh kemerdekaan
Tuhan, di antara sekian cara hidup
Agama dan peraturan-peraturan
Puisi memberi keikhlasan
Kepada apa pun yang Kaulakukan
Yogya 77
Prambanan
Kenapa aku tak bisa diam sepertimu
Diam pada angin
Pada hujan, pada lindu
Dan langit yang semu
Apa benar hidup lebih baik
Dari yang disebut mati
Seperti lukisan air mukamu
Seperti sikap diammu
Hidup ini besar ongkosnya
Sedang kita terus berlari keras dan gila
Mengejar-ngejar apa
Tak ketemu jua
Kenapa aku tak bisa diam sepertimu
Diam pada angin, langit, Tuhan ...
77
Di Depan Patung Budha
Kau ada
Aku pun ada
Tapi kau bahagia
Aku tidak
Apa kerna ada nyawa
Maka tak bahagia
Sedang dengan nyawa
Orang ingin bahagia
Kukira salah mulanya
Adam dilempar dari surga
Mengapa harus kembali ke sana
Mengapa tak ke Tiada
Borobudur 77
Aku Ini Termasuk Orang yang Sukar Berbahagia
Aku ini termasuk orang yang sukar berbahagia
Sebab makin banyak memandang adegan kehidupan
Makin bertumpuk pula pertanyaan kepada Tuhan
Hidup ini ruwet seperti lingkaran setan
Seperti perang brubuh yang tak bisa diuraikan
Serta penuh benturan yang seperti sengaja
diciptakan
Ah, tetapi mudah saja jika Tuhan mau mengubah
semuanya
Atau menghapusnya lantas menciptakan lagi dunia
Yang sedikit agak bermutu, terhormat dan mulia
Tetapi kukira itu tak mungkin terlaksana
Sebab siapa tahu Tuhan merasa asyik dengan
kekonyolan kita
Dan agar tak kehilangan permainan: kita terus saja
dipelihara
Yogya 77
Kosong
Kenapakah kadang-kadang
Demikian kosong hidup ini, Tuhanku
Segala keramaian di sekelilingku
Lalu lalang pikiran dan hasrat kehidupan
Yang menggoreskan seribu warna peradaban
Segala apa pun yang dikurung langit-Mu
Segala apa pun yang di bilikku
Telapak tanganku yang tiba-tiba kuamati
Bahkan wajahku yang dipantulkan oleh cermin ini
Kurasakan amat kosong dan sunyi
Tetapi di dalam dadaku
Tetapi di dalam jiwaku
Ada bergaung suara-suara
Ada tekanan-tekanan yang asing rasanya
Seperti jeritan
Seperti teriakan dalam diam
Seperti diam dalam teriakan
Seperti dendam
Seperti kerinduan
Atau pusaran permainan
Yang tak bisa aku hindarkan
Tuhanku, apakah perasaan yang semacam ini juga
Yang mendorong-Mu untuk menciptakan manusia
Dan semesta yang fana?
Salatiga 77
Takut pada Matamu
Kekagumanku kepada Tuhan
Membuat aku takut pada matamu
Apakah engkau sendiri mengerti, kekasihku
Apa gerangan yang memancar dari matamu itu?
Bertahun-tahun kita hanya berpandangan saja
Engkau bisu
Dan aku tuli
Karena sangat tidak mengerti
Bola matamu yang bening
Adalah ruang yang tiada terbatas
Tetapi jika pun engkau kelak menjadi wanitaku
Akan bisakah kumasuki ruang itu?
Surabaya 77
Dari Bukit Kotamu
sekali waktu ingin kuajak engkau kemari, kasihku
untuk melihat lampu-lampu kotamu yang berdebu
berdiri di sini bagai berada di luar kehidupan
jika kita bergoyang-goyang ditimang tangan Tuhan
apa salahnya beberapa saat kita istirah
pasrah diri kepada kelam yang jauh
apa salahnya sejenak alpa pada luka yang dalam
dan hati yang robek di dalam pergulatan
sekali waktu ingin kuajak kau bersandar di pohon
ini, kasihku
untuk menghela napas panjang, melepas keletihan
meredakan segenap dendam, meniti masa silam
dan bersiap, melayani hari-hari esok yang panjang
Bandung 77
Beberapa pilihan puisi Emha Ainun Nadjib dalam Nyanyian Gelandangan
Sajak Orang Tua Seribu
Bapakku satu
Ibuku satu
Orang tuaku seribu
Yang satu ngajari sembahyang
Lainnya nyuruh edan
Yang satu ngasih kitab Qur’an
Lainnya menyodorkan minuman
Yang satu berkhotbah kebaikan
Lainnya mendorong ganggu istri orang
Lainnya lagi penuh kebajikan
Sekaligus bajingan
Langit muntah
Hujan tumpah
Mancur ke tenggorokan bumi
Membanjirkan sampah kotoran
Dari selokan dan kali-kali
Bapakku satu
Ibuku satu
Orang tuaku misteri
Hiruk pikuk yang sunyi
Satu wajah
Ganti beribu kali
Ibu hamil karena Tuhan
Lahir aku tercampak di air pasang
Yang bergerak menyeret tanpa ampunan
Yeaahh!
Kini ambil putusan
Si Diam bergerak ke sebaliknya
Balikkan badan
Curi ruang di antara ruang
Sang Maha Gunung terletak sumbernya
Sampai darah kering kutatap ia!
1982
Beberapa pilihan puisi Emha Ainun Nadjib dalam Sesobek Buku Harian Indonesia
Kabut
Selalu kaupanggil-panggil namaku
Aku mengangguk dan tersenyum kepadamu
Tapi sebenarnya kabutlah
Yang kaupanggil itu
Kauseret tubuhku, kaubawa ke perjalanan
Kau perkenalkan kepada setiap orang
Kabut pun menebal, diriku tersembunyikan
Tak kauingatkan sudah berapa topeng
Yang kautempelkan di wajahku?
Jadi engkau sendirilah ini, bukan aku
Tetangga, politik, dan persangkaan
Nafsu, idolatri, dan kepentingan
Mengepulkan debu, mengabuti sejatiku
Kita semua adalah Tuhan yang menyamar
Menyiksa diri dengan sejarah yang samar-samar
Kalau tak juga kautanggalkan topeng-topeng ini
Kepalsuan kita panggul sampai mati
Di Atas Crete
Jauh di atas kepulauan Crete, pesawat saya
menggerunjal,
seperti sedang melewati jalanan
di
kampungku yang penuh lobang dan batu-batu
Pilot pemandu hidup memberi peringatan tentang
cuaca
amat buruk, hingga kami harus menegakkan
tempat
duduk dan pasang sabuk, kemudian dianjurkan
untuk
berdoa
Para penumpang langsung bermuka mendung, para
suami
istri
dan pasangan kekasih pada berpegangan tangan,
semua
tiba-tiba ingat Tuhan dan tampil di hadapan-Nya
sebagai
pengemis-pengemis yang malang
Supaya tidak mengganggu lingkungan saya pun
menunduk
khusyu,
sambil kupandangi jiwa saya yang tertawa lega
bagaikan
menerima lotere
Terima kasih, terima kasih, Tuhan – katanya – Saya
tidak
ingin menitipkan onggokan daging busuk ini
kepada
siapa pun. Kalau Engkau berkenan, biarlah
sampah
hina yang duduk cemas di kursi ini segera
saja
sirna, agar saya pun merdeka!
Tapi tak lama kemudian jiwa saya itu pun ngambeg
karena
segera ada pengumuman tentang yang disebut
keselamatan,
dan daging-daging bau itu pun menarik
nafas
lega, sambil bersiap turun, berjejal-jejal
memenuhi
tong-tong sampah yang bertebaran di atas dunia
1984
Pesawat Terbang
Pertama kali naik pesawat terbang, saya ingin
memasang
iklan di koran nasional bahwa saya
benar-benar
sudah pernah naik burung ajaib
yang
dikagumi oleh seluruh kanak-kanak
dan
orang dewasa
Kali kedua pengin dishoot kamera betapa saya
memasang
seat-belt segampang menelan ludah
kemudian
dengan lincah menggoda stewardesses
Yang ketiga saya berpikir menelusuri dari modal
siapa
gerangan
pesawat mewah ini dibikin, bagaimana
modal
itu diputar di meja perjudian
ekonomi
politik internasional, serta membayangkan
siapa
saja, yang bisa menikmatinya
Namun toh pada kali keempat saya masih saja
sedikit
mengagumi
otak manusia penemu daya sihir
burung-burung,
meskipun kemudian bosan
dan
tidur kepala berat
Sehingga tatkala terbang kelima, keenam, ketujuh
kali,
di
samping selalu disergap oleh ratusan
pikiran
murung: saya merasa pesawat terbang
tak
pernah membawa saya naik ke mana-mana
Ada kemungkinan para teknolog, teknokrat serta
para pemakai mereka, gagal melihat mana bawah
yang sebenarnya dan mana atas yang sesungguhnya
1984
Makan dan Minum 1
Selalu jiwa saya bertanya kenapa tiap hari
orang
mesti makan dan minum
Saya bilang itu merupakan syarat agar mereka
bisa
berak dan kencing
Kalau yang orang maui, kata jiwa saya, hanya
buang
air baik besar maupun kecil
Kenapa makanan dan minuman dibikin bermacam-macam,
bertingkat-tingkat
serta berhias-hias
Saya bilang karena mereka tak bisa tentukan
kualitas
berak, hiasan tinja atau bau harum kencing
Kalau begitu, kata jiwa saya lagi, segera
mendekatlah
padaku, agar tak terlalu
lama
engkau dikungkung oleh tujuan hidup
berak
dan kencing
1984
Makan dan Minum 6
Pada mulanya, kata jiwa saya, orang pergi
berburu
binatang, menombak rusa atau
memanah
burung-burung
Akhirnya hewan menipis jumlahnya dan hutan
hanya
dipenuhi manusia, maka orang menembak orang
orang
menggusur orang,
orang
menembak orang
Sesampainya di dapur, mereka bikin sate
beramai-ramai
Yang kutangisi, kata jiwa saya lagi, bahwa
sesudah
makan dan minum seratus kali
lipat
dari kapasitas perutnya, para pemenggal,
penggusur
dan penembak itu tidak menjadi kenyang,
melainkan
justru semakin lapar
1984
Syair Maling
Perjuangan utama sebuah syair, hanyalah
Untuk tak menjadi slogan
Atau kembang plastik
Dari Tuhan lahir seorang bayi
Dituding sebagai subversi, atau dipupuk
Menjadi hostes para priyayi
Syair-syair diagung-agungkan
Hingga menjadi barang kerajinan
Yang menggelikan
Cukuplah ia – kata seorang teman
Lahir dari angin
Tapi sahabat lagi mengklaim
-- syair ialah berak
Berak nasib
Orang-orang terpilin
Maka kita bertengkar
Buntu dan gagap
Dari hari ke hari
Sambil membiarkan maling-maling
1983
Sesobek Buku Harian Indonesia
Melihat pentas-pentas drama di negeriku
berjudul Pesta Darah di Jember
Menyerbu Negeri Hantu Putih di Solo
Klaten, Semarang, Surabaya dan Medan
Teror atas Gardu Pengaman Rakyat di Bandung
Woyla.
Ah, ingat ke hari kemarin
pentas sandiwara rakyat
yang berjudul Komando Jihad
Ingat Malari.
Ingat beratus pentas drama
yang naskahnya tak ketahuan
dan mata kita yang telanjang
dengan gampang dikelabui dan dijerumuskan
Ah, drama-drama total
yang tanpa panggung
melainkan berlangsung di atas hamparan
kepala-kepala penonton
Darah mengucur, kembang kematian.
Bau busuk air liur para sutradara licik
yang bersembunyi di hati mulia para rakyat.
Drama peradaban yang bermain nyawa
mencumbu kemanusiaan
berkelakar secara rendahan kepada Tuhan
Kita orang-orang yang amat lugu dan tak tahu
Pikiran disetir
Hidung dicocok dan disemprot parfum
Pantat disodok dan kita meringkik-ringkik
tanpa ada maknanya
Kita yang terlalu polos dan pemaaf
beriuh rendah di antara kita sendiri
bagai anak-anak kecil yang sibuk dikasih petasan
kemudian tertidur lelap
sesudah disuapi sepotong kue bolu dan permen karet
Ah, milik siapa tanah ini
Milik siapa hutan-hutan yang ditebang
Pasir timah dan kayu yang secara resmi
diseludupkan
Milik siapa tambang-tambang
keputusan buat masa depan
Milik siapa tabungan alam
yang kini diboroskan habis-habisan
Milik siapa perubahan-perubahan
kepentingan dari surat-surat keputusan
Kita ini sendiri
milik siapa gerangan.
Pernahkan kita sedikit saja memiliki
lebih dari sekedar dimiliki, dan dimiliki.
Pernahkan kita sedikit saja menentukan
lebih dari sekedar ditentukan, dan ditentukan.
Yogya, 13 Maret 1982
Yogyaku
Candradimuka
hanya kawah panas seribu panas
tapi Yogyaku apimu membekukan dinginmu memanggang
Di
kawah aku mengolah baja namun engkau
menantang keabadianku di antara pijar matahari dan
malaikat salju
Di
pelukanmu ngantuk aku tapi jika kudengar
detak jantung rahasiamu kuperoleh Tidur yang
sebenarnya
Tidur
abadi, sunyi segala sunyi, terkatup mulutmu
karena tahu sang Sutradara hanya menorehkan sepi
Yogyaku
senyumanmu linuhung di belakang
punggung beribu orang yang mengigau pernah ketemu
dan
bercakap-cakap denganmu
Anak-anak
kecil yang menghiasimu dengan beratus
gelar, menabur janji, menancapkan papan-papan
ikrar
dan menyuratkan buih-buih mimpi yang terbengkalai
Kata-kata
macet di tengah pidato silang tindih,
nilai-nilai undur diri kepadamu di tengah program
bingung
dan gerak yang serba rancu, ruh anak-anakmu
terguncang
oleh kendaraan-kendaraan yang kesurupan di atas
danau-danau jalan rayamu
Kemudian
sekian ratus di antara mereka,
mati rahasia, dan engkau tahu persis jumlahnya
tanpa meraka
pernah kepadamu membukakannya
Yogyaku
senyuman linuhungmu mengurung bagai
hamparan langit yang mahasabar, Yogyaku engkau
memaafkan para pelacur dan maling di jalan dan di
singgasana
Di
jalan, di gang-gang sempit, engkau menanam janji
sunyi, di singgasana engkau menaruh rasa iba hati,
karena jika
engkau dijual untuk sepiring nasi, sesungguhnya
engkau tak
kan pernah bisa digadaikan atau dicuri
Yogyaku
engkau diangkut dari sungai masa silam
dengan truk hari depan, Yogyaku engkau direbut
dari masa
datang dan tergesa dilempar ke museum ke alam abad
silam,
waktu tak di dalam ruang, juga tak di luarnya,
tak di sela garis batasnya ...
1984
Belajar Tidak
Ajari kami
membedakan ya dan tidak
tanpa embel-embel
Tuntunlah kami
bilang ya dan bilang tidak
tanpa hitung untung
Tenaga apa bisa kami pakai
untuk bilang ya
bagi setiap ya
untuk bilang tidak
bagi setiap tidak
Apa mesti pakai sukma Tuhan
untuk bisa tahan
tuding tidak pada tidak
karena tidak
ialah tidak
Udara sarat tidak
tiap hari sibuk tidak
tetapi sebab dicekik ya
terpaksa bilang ya
******
Mata siapa bisa kami pinjam
untuk melihat benar kehidupan
untuk menangkap setiap murni getaran
Tangan siapa bisa kami ulurkan
untuk menggenggam air bah kenyataan
Mau nimba ke mana
Belajar kepada apa
Berguru ke siapa
Ilmukah atau batu
Anginkah atau guru
Langitkah atau suhu
Mataharikah atau waktu
Rohkah atau langit biru
Pohonkah atau buku
Gunungkah atau para biksu
Pedang-pedangkah
atau primbon masa lalu
Lautan katakah
atau Allah yang bisu
*******
Sejuta ilmu
lupa pada yang sederhana
Hidup teramat lama
untuk tak bisa ngomong tidak
Hidup terlalu sumpeg
untuk selalu tak bilang tidak
Waktu terentang panjang
bisa tampung berjuta tidak
Irama begini sesak
untuk bilang satu saja tidak
Dinding amat tebal
Ruang terbagi-bagi
Bagian-bagian terbagi-bagi
tanpa pintu
Angin membusuk
Pikiran meracuni jiwa
Sukma tertidur
takut ngerti sampai di mana
Kata tidak menumpuk
di sel-sel penjara
di butir-butir darah
nyangkut di mata merah
******
Ya sering nampak sebagai tidak
Tidak sering seperti ya
Ya seakan-akan tidak
Tidak seolah-olah ya
Ada ya yang ketidak-tidakkan
Ada tidak yang keya-yaan
Ya biasa disulap jadi tidak
Tidak dianggap sebagai ya
Orang ya terpaksa bilang tidak
Orang tidak terpaksa bilang ya
Segala ya jadi kuasa
Bikin setiap tidak jadi ya
Asal kami bilang ya
Soal jadi tak ada
Tapi jika bilang tidak
Hari esok bisa binasa
Hukum jadi samar
Benar jadi omong besar
Merdeka jadi patung-patung
******
Kami inginkan ya yang lugas
Tidak yang tegas
Tapi siapakah guru kami?
Para guru sangat pandai
mengajarkan upaya
Pemimpin kami amat pintar
membendung segala tidak
dari mulut kami
yang dibilang pengkhianat
Beribu nilai tersedia
Namun kami hanya dipilihkan
Oleh suatu rangka dan susunan keadaan
Kami dikepung dan dikendalikan
Kiranya guru kami ialah
kata tidak itu sendiri
Tidak
Beratus-ratus tidak
Beribu-ribu tidak
Berjuta-juta tidak
Kami ucapkan
tiap pagi
siang, sore
dan malam harinya
sampai bersiap merdeka
atau gila.
Yogya, 10 Juni 1982
Tentang
Emha Ainun Nadjib
Tak ada biodata Emha Ainun Nadjib di buku itu.
Catatan
lain
Dalam
Pengantar Penyunting disebutkan bahwa upaya penerbitan kumpulan sajak berjudul Sesobek Buku Harian Indonesia ini
sebagai upaya retropeksi atas karya-karya Emha. Menghimpun sajak mulai dari ‘M’ Frustrasi dan Sajak-sajak Cinta yang
pernah diterbitkan oleh Pabrik Tulisan tahun 1975, kemudian Sajak-sajak Sepanjang Jalan, yang pernah
diterbitkan Majalah Kebudayaan Umum Tifa Sastra UI tahun 1978, sebagai pemenang
buku terbaik majalah itu. Kemudian ada Nyanyian
Gelandangan yang diterbitkan oleh Taman Budaya Surakarta dan Penerbit
Jatayu tahun 1982. dan terakhir Sesobek
Buku Harian Indonesia, yang berisi sajak-sajak yang belum pernah
diterbitkan yang ditulis antara tahun 1983-1992.
Saya,
mungkin, pernah menyaksikan penampilan Emha dengan Kiai Kanjeng, dulu, di
Boulevard UGM. Tapi lupa tahun berapa. Yang jelas antara tahun 1998-2003. Salah
satu hitnya waktu itu adalah Lir-Ilir.
Tidak pernah melihatnya di even-even Sastra. Sebagai mahasiswa yang pendiam,
saya hanya menyaksikan para penyair gojekan dengan kawan-kawannya di
acara-acara sastra tanpa pernah terlibat sedikit pun. Saya jadi tahu yang mana
itu Suminto A. Suyuti, Imam Budi Santosa, Adi Wicaksono, Lephen, Hamdy Salad,
Joko Pinurbo, Asa Jatmiko, Kuswaedi Safei, Mustofa W. Hasyim, Abdul Wachid BS.
Juga pernah melihat Taufik Ismail, Putu Wijaya, Pram, Hamsad Rangkuti, Cecep
Syamsul Hari, dll yang saya lupa.
Terima kasih. :)
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus