Data
buku kumpulan puisi
Judul : Idrus Tintin; Seniman dari
Riau, kumpulan puisi dan telaah
Penulis :
Idrus Tintin
Cetakan : I, 1996
Penerbit : Riau Pos Grafika Indonesia,
Pekanbaru (diterbitkan dalam rangka Anugerah Sagang Riau Pos tahun 1996).
Rencana kulit : Furqon LW
Pengantar : Norham Wahab
Telaah : Iskandar Leo, Prof. Dr. Mursal
Esten, Ediruslan Pe Amanriza, Afrion, Pujiharto, Tenas Effendy, B.M. Syamsuddin
Tebal : viii + 244 halaman
Buku ini memuat 3
kumpulan puisi, yaitu Luput (26
puisi), Burung Waktu (36 puisi), Nyanyian di Lautan, Tarian di Tengah Hutan
(32 puisi)
Beberapa pilihan puisi Idrus Tintin dalam Burung Waktu
Krakatau
di sana pulau di sini pulau
tengah-tengahnya laut memisah
di sana laut di sini laut
tengah-tengahnya gunung yang marah
di sana gunung di sini gunung
tengah-tengahnya rumpun sembilu
di sana Krakatau di sini Krakatau
tengah-tengahnya berdiri aku
Pemain Gambus
Siapakah kamu
Siapakah kamu itu
Yang memetik tali-tali gambus
Seperti rangkaian manik-manik warna-warni
Selama umurku ini?
Aku yang mengaku tak pernah menangis
Aku yang mengaku tak pandai menangis
Akulah lubuk air mata
Bila jari-jarimu memainkan lagu hidup
dengan gambusmu yang abadi
Jangan biarkan aku mengaku
orang dari besi
hati dari besi
Suruhlah aku mengaku kepadamu
bahwa lagumu telah menyentuhku
Tapi
apakah kamu
siapakah kamu itu?
Elegi Nelayan Tua
Lelaki tua itu tersengguk-sengguk di emper
gubuk
Bulan layu rendah di langit
Air mulai surut
dan terlena digerogoti mimpi
Sebentar lagi subuh tiba
Inikah impian penghabisan seorang nelayan
Kaki dan tangan kaku dibelasah encok
Dada seperti terbakar batuk batuk batuk
Berteman dengan bulan dan air surut air
pasang
Kokok ayam dan cicit murai
Menyambut pagi
Yang bukan lagi miliknya?
Panorama masa lalu tergambar di layar
langit
dengan kail memancing ikan ikan ikan
sembilang tenggiri selar dingkis tamban
jahan
ikan ikan ikan
pancing bubu belat kelong jala jaring
Selamat tinggal?
Encok yang datang marilah kamu
Batuk yang masuk teruskan jalanmu
ikan-ikan masa lalu
ikan-ikanku besok
Dan pertarungan akan berlanjut
terus!
Burung Waktu
Burung waktu
Terbang dari tempat gelap
Awal penciptaan dunia
Muncullah pagi pertama
Tenun bersilang lintang dua belas warna
pelangi
Dan bunga-bunga, batu, hutan,
Pulau dan air
Siul kicaumu
Nyanyian yang kau bawa
Terbang menyeberangi lautan
Melintasi abad demi abad
Laju menuju
Masa depan
Yang masih tebal diselimuti kabut
Harapan dan ketakutan
Burung waktu
Setiap kali kau mencicit
Sembil memandang ke bawah
Terbang tanpa henti
Memasuki malam
Keluar siang
Terus menerus
Tak terhitung oleh alat dan ilmu hitung
Bawalah aku
Terbang bersamamu
Menyeberangi lautan
Melintasi abad demi abad
Laju menuju
Masa depan
Harapan tanpa ketakutan
Akhir Kata
Pada mulanya ialah bunyi
lalu tercipta kata pertama
untuk menyatakan terima kasih
dari hati yang putih tak tercela
Setelah itu
seperti benih tumbuhkan tunas
bunga-bunga dan buahnya lebat sarat
itulah kosa kata bahasa manusia
dan dengan itu semua
kulahirkan puisi
kisah pengkhianatanku kepadamu
dendang tentang cinta kita
mabuk seribu malam
dan doa-doa yang membumbung
terbang ke langit
seperti burung-burung putih kecil-kecil
coba menggapai singgasanamu
Pada mulanya ialah bunyi
dan akhirnya tak lain sunyi
Beberapa pilihan puisi Idrus Tintin dalam Luput
Pesan Seorang Ayah kepada
Anaknya
: Anakku!
Diam
dan tenang adalah pemberian
Ribut
dan badai tanda kehadiran sesuatu
yang
baru sesudahnya adalah kedamaian.
: Anakku!
Mengembaralah
jauh-jauh
ke
hutan hatimu
ke
laut-laut hatimu
ke
langit-langit hatimu
Di
kedalaman yang pepat rerahasia
kebahagiaan
itu menggumpal
di
ujung kakimu
: Anakku!
kebahagiaan
itu rerahasia
yang
menggumpal di ujung kakimu.
Sekiranya bukan Kalau
Kalau seluruh laut bersatu
alangkah besarnya laut
Kalau seluruh pepohonan bersatu
alangkah besarnya pohon
Kalau pohon yang bersatu
tumbang ke dalam laut
yang bersatu
alangkah besarnya gelombang
Kalau aku ada di dalamnya
Hore !
Doa
Di batas kaki langit keriput
cakrawala terdedah
Ada sesuatu seperti terlupakan
menuliskan nikmat yang pernah diterima
baiklah akan kusiapkan nyanyian panjang
bagi puisi kehidupan yang pandak
Tanah Kelahiran
di sini kapal oleng gemoleng
angin tak ramah
nakhoda asyik di kemudi
kelasi tertimbun talitemali
penumpang mendengar degup jantung
jantung sendiri
lelaki keras berpacu jalan
perempuan memetik dawai hatinya
waktu malam tiba
perahu menyusuri puncak ombak
hidup di padang perburuan
tak pernah usai
tak pernah usai
Beberapa pilihan puisi Idrus Tintin dalam Nyanyian di Lautan, Tarian di Tengah Hutan
Singapura
Kepada Suratman Markasan
Ini bukan lagi Tumasik
bukan Selat
yang disebut-sebut Cikgu Mamud
orang Daik Lingga yang dengan bangga
bercerita tentang
Singapura lama
Sia-sia kucari jejak Abdullah Munsyi
di antara rumah-rumah panggung yang
tersisa
Teluk Air, Kampung Gelam, Lorong Engku
Aman, dan
tempat-tempat yang aku sudah lupa entah
apa namanya,
gedung lama dan kuburan keramat mulia
Sia-sia kutelusuri lorong berliku
untuk mendengar merdu suara aksen Melayu;
Di gang-gang sempit
tempat orang lalu lalang
sepertinya semua orang di sini
cuma tahu bahasa Hokian
Joran kolor dan kutang
menjulur dari puluhan jendela apartemen
bendera nir-adab
yang membuat senak dada
Tiga dekade yang lalu
selalu kujumpa banyak anak Melayu
berjalan bungkuk menunduk
bahunya berat seperti
gambar dewa Atlas memikul beban dunia
dalam buku-buku sejarah Yunani
Tapi kini tidak lagi
karena bukan kamu saja
yang memikul beban peradaban ini
orang-orang berdatuk-nenek dari
Wonosobo, Ponorogo, Gresik, Kendal, Bawean
semuanya Melayu
Berapa kuat lagi kalian
menahan rempuhan
zaman?
Namun rontaan penghabisan
anak-anak Melayu itu
alangkah gagah
mengumbar senyum
sebelum akhirnya
mungkin saja juri meneriakkan
kalah!
Asrama Dai-To-A
Inilah gedungnya
tiga puluh langkah dari tembok penghadang
gelombang
tepat menghadap barat
berliku melingkar mengikuti garis pantai
sekarang jadi kantor kehutanan kabupaten
kepulauan riau
Di sinilah dulu
pagi-pagi aku menyanyikan Mi-oto-o-kai-no
dan mengiris tais: ichi-ni-san-si
-go-roku-sici-hatsu
berbaris menghadap arah matahari terbit
Cemara memagar pantai
desahnya merisau-risau
masih seperti dulu
tapi di manakah kau
kini
mat ali
nomeng
syarifah dara, dan semua teman-teman
seasrama
di mana
engku haji muhammad yunus (samurai meleret
di pinggang)
encik khatijah, sensei hayakawa (muka
garang hati baik)
mak minah (selalu diam-diam sembunyikan
lauk tambahan
di timbunan nasiku)
tanya
dijawab
oleh
deru risau cemara
yang dulu juga
masih yang dulu juga
bisik sepoi laut
hanyut-alunkan
Umi
yuka-ba
seperti yang dulu kami nyanyikan bersama
sambil menghadap laut dan matahari
terbenam
kalau
ke laut aku pergi
mayatku
akan ditimbus air
kalau
ke gunung aku pergi
mayatku
akan diselimut rumput ...
rupanya
apa saja yang sudah hanyut
tercecer
di masa lalu
sepahit sepedih apa
pun
yang tinggal
hanyalah indahnya
saja
tolehan terakhir
ke bekas gedung asrama Dai-To-A
aku pun melangkah
menjauh
dari masa lalu
dekat dermaga
dari tape-recorder penjual rokok
di bawah flamboyan lebat semarak
mengalun lagu
Kokoro
no Tomo ...
Perahu
Setelah Hamzah Fansuri*)
Perahuku kecil dan rapuh
layarnya koyak dayungnya pendek
alat perabotnya tak kuat-kokoh
bekal airnya tanggung-tanggung
kayu dibawa terang tak cukup
perahunya
dayungnya
kemudinya
pawangnya
semuanya tak handalan.
Ingin seperti punya Hamzah
gagah mengarung medan lautan
alatnya kuat bekalnya cukup
laju menepis buih gelombang
perahunya
dayungnya
kemudinya
semuanya memakai nama Allah.
Sejak dulu sudah ibuku
pesankan:
belajarlah rajin-rajin
mengaji jangan malas.
Tapi dasar bebal dasar nakal
muqadam pun aku tak katam
Bagaimana hendak mengarungi
Lautan Sailan
tempat laut terlalu dalam
ribut besar badai dan topan
banyak perahu rusak tenggelam
bagaimana hendak pergi
menyelam
untuk mengambil permata nilam
baru sampai ke laut Bintan
perahu sudah mau karam.
Setelah Hamzah Fansuri*)
Perahuku kecil dan rapuh
layarnya koyak dayungnya pendek
alat perabotnya tak kuat-kokoh
bekal airnya tanggung-tanggung
kayu dibawa terang tak cukup
perahunya
dayungnya
kemudinya
pawangnya
semuanya tak handalan.
Ingin seperti punya Hamzah
gagah mengarung medan lautan
alatnya kuat bekalnya cukup
laju menepis buih gelombang
perahunya
dayungnya
kemudinya
semuanya memakai nama Allah.
Sejak dulu sudah ibuku
pesankan:
belajarlah rajin-rajin
mengaji jangan malas.
Tapi dasar bebal dasar nakal
muqadam pun aku tak katam
Bagaimana hendak mengarungi
Lautan Sailan
tempat laut terlalu dalam
ribut besar badai dan topan
banyak perahu rusak tenggelam
bagaimana hendak pergi
menyelam
untuk mengambil permata nilam
baru sampai ke laut Bintan
perahu sudah mau karam.
Di
Kelenteng Senggarang
Mak-nyah tua
tersenyum menyapa
hendak ke mane?
ucapannya
mengalun
seperti dalam
pantun
Di gerbang depan
singa batu
sudah ratusan
tahun membisu
tak hiraukan
bangunan yang ia jaga
dililit benalu
ara dan angsana
tumbuhan nestapa
dan putus-asa;
singa bisu
tak-acuhkan asap
hio yang telah selekehkan
jelaga pada surai
dan jambulnya;
sekawan kelelawar
mainkan musik
tentang
sepasang kekasih
yang bertengkar
dalam wayang cina
Di depan altar
seorang apek
berkuda-kunda kuntauw
mata terpejam
merenung di balik tembok nasib
menggenggam
harapan erat-ketat
anggukkan hio,
mulut komat-kamit,
Jangan-jangan
yang ia baca
sepotong sajak
Li-Tai-Pe
Puaka I
Jerung
puaka tua
datuk segala hiu
kau dikenal di Kiabu
kau dikenal di
laut Singkep
kau dikenal di
selat Bangka
Laut Cina Selatan
tamannmu
Selat Melaka
lintas arungmu
telah tumbuh
karang di siripmu
telah bertelur
tamban di badanmu
telah seratus
jantung nelayan kau telan
namamu
menggerunkan hati pelintas lautan
jerung puaka, kau
panikkan para pelaut
tapi aku
tak takut
tak gerun
tak apa-apa
pada namamu
pada rahangmu
pada sirip
pada hempasan
ekormu
aku tak taku tak
gerun pada dirimu
sebab aku tahu
kau akan mati
tepat
di tempat
serampangku
pertama kali
melukaimu
Ular
Itu ...
Tuan-tuan
sekalian
saya datang
dan berdiri
di sini
untuk
mengantarkan
suatu kisah
sebuah kesaksian
tolong dengarkan
dengan penuh
perhatian
dimulai dari
cerita purba
yang banyak orang
sudah lupa
tentu saja
termasuk saya
tapi untunglah
ada seorang fakir
tak berharta
rumah tidak
zuriat tidak
matinya cuma
meninggalkan
nyanyi dan kisah
untuk dilaungkan
ke seluruh
pelosok negeri
ini
tiga hari tiga
malam
ia berdendang
ia bercerita
di emper rumah
saya
lidahnya seperti
dioles dengan
madu guna-guna
bikin orang
menjadi
tak sadarkan
dunia
di depan orang
seperti ini
saya cuma seorang
murid
guru india lama
bersimpuh tertib
takzim
mendengarkan
sabdanya
wa bihi nasta’ina billahi
katanya
aku ucapkan kata
ini
karena kalaulah
ada terselip
seiris sepotong
bohong
di dalamnya
jangan mulutku
jadi kudis jadi
pekung
dan minta ampun
kepada Tuhan
dan tuan berilah
maaf
kepadaku
bermula di suatu
masa
di suatu tempat
bukan antah
berantah namanya
bukan dahulu,
dahulu sekali
jauh di masa lalu
entah bilamana
tapi jelas peta
dan titiwangsa
di sungai melayu
bukit siguntang
datanglah
seseorang
bersemenda dengan
orang di situ
mengikat janji
menjalin sumpah
setia yang
berkepanjangan
selama-lamanya
dan menjadi raja
“Kalau salah kami
hukumlah
digantung tinggi
dibuang jauh
direndam basah
dibakar hangus
kalau besar
salahnya
baik dibunuh,
bunuhlah
diberi malu
jangan sekali-kali.”
menurun bukit
menyusur sungai
ke muara
ke laut
bekalnya janji
setia
akal bijaksana
dan benih-benih
bahasa
yang kemudian
jadi
seperti yang kita
pakai ini
membangun kampung
membina desa
menegak negeri
dari satu tempat
ke tempat lain
dan pada suatu
hari
bertolak dari
pulau bintan
raja bernama sang
sapurba
meentas selat
meintas teluk dan tanjung
memasuki kuala
mura
menantang arus
sungai
sampai ke hulunya
“Apa nama tempat
ini?”
dan orang di
seitu hendak merajakan dia
“Tapi tunggu,”
kata yang tua-tua,
“Orang ini harus
diuji dulu!”
dengan kehebatan
ular besar
ular sakti, buas
sekali
ular ganas tak
terkalahkan
oleh sembarang
orang
tapi ular besar
itu tewas
di tangannya
dan jadilah dia
raja yang
berkuasa
dari kuantan ke
siantan
berpusat di pulau
bintan
sepanjang sungai
seluas lautan
sepenuh pulau
orang pun
bertempik berteriak
“Engkaulah gunung
dan kami
pohon-pohon
Kalau engkau
runtuh
punahlah kami.
Engkaulah angin
dan kami layar
Kalau engkau diam
tak bergeraklah
kami
Engkaulah air
dan kami perahu
Kalau engkau
kering timpas
kandas tersadilah
kami
Engkau matahari
dan bulan
kami
bintang-bintang
Kalau engkau tak
bercahaya
padamlah sinar
kami
Engkau nafas
dan kami
badan-raga ini
Kalau engkau
berhenti
matilah kami
Kalau engkau
runtuh
kalau engakau
diam
kalau engkau
kering
kalau engkau
padam
kalau engkau
berhenti
apa gunanya kamu
bagi kami.”
Itulah sumpah
yang ditempikkan juga oleh
orang-orang
pesuku di kiabu
orang-orang
talang di indragiri
orang mantang
orang barok orang akit orang sokop orang
sakai
sambil menabuh
gendang memukul gong
dalam mabuk
tandak dan arak
dalam syukur
menyembah sujud
dan
kalimah-kalimah yang baik
“Jaga-jagalah
engkau
karena
yang akan
kauhadapi esok
anak ular yang
dulu
lebih besar dari
ular itu
lebih panjang
dari ular itu
lebih bisa dari
ular itu
lebih ganas dari
ular itu
lebih buas dari
ular itu
lebih dahsyat
dari ular itu
Tahan?”
kini
ular yang lebih
besar itu
yang lebih
panjang
yang lebih bisa
yang lebih ganas
yang lebih buas
yang lebih
dahsyat
telah datang
bukankah kita
sudah bersumpah
bukankah kita
sudah berjanji
bukankah kita
sudah berikrar
sumpah jangan
salah
janji jangan
putus
ikrar jangan
dilanggar
karena engkau
gunung kami pohon-pohon
engkau angin kami
layar
engkau air kami
perahu
engkau matahari
dan bulan kami bintang-bintang
engkau nafas kami
badan
tolong kami
bantu kami
tunjukkan siapa
dirimu
dari mana asal
usulmu
datang dari jauh
muncul dari dekat
tugasmu cuma satu
seperti yang
telah
engkau sumpahkan
seperti yang
telah
engkau janjikan
seperti yang
telah
engkau ikrarkan
belalah kami
itu ditempikkan
juga oleh
orang pesuku
orang talang orang mantang orang barok orang
sokop
orang sakai
dan hampir
sebagian besar orang-orang riau
tuan-tuan
sekalian
ini hanya sebuah
rekaman
karena saya
tak kuasa
menyalin persis
paparan fakir
pencerita
tapi saya seorang
saksi
atas apa-apa yang
dikisahkannya
tadi
Tentang
Idrus Tintin
(Saya nukilkan riwayat Idus Tintin dari laman http://melayuonline.com/ind/personage/dig/251,
selain karena di buku itu tak ada halaman khusus yang menulis biodatanya, juga
karena saya sudah diharubiru puisinya Idrus Tintin sampai seperti orang mabok
laut. Saya menyukai puisi-puisi dalam Nyanyian
di Lautan, Tarian di Tengah Hutan yang kemudian saya tulis lagi, Singapura, Asrama Dai-To-A, sampai Ular
itu ... Karena itulah tak berkesanggupan lagi menulis biodatanya. Hehe). Idrus
Tintin dilahirkan di Rengat, Riau, 10 November 1932, dari seorang emak bernama
Tiamah dan bapak bernama Tintin. Ibunya Tiamah, berasal dari Penyimahan dan
menetap di Enok Dalam, Melayu Timur, Indragiri (sekarang termasuk wilayah
Indragiri Hilir, Riau). Sementara bapaknya Tintin, berasal dari Lubuk Ambacang,
Indragiri (sekarang termasuk wilayah Kabupaten Kuantan Singingi, Riau). Idrus
Tintin merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, yaitu Mohammad Boya
(sulung), Mustika, Idrus Tintin, dan Norma (bungsu). Sejak kecil, oleh sanak
keluarga dan kawan-kawannya, ia dipanggil Derus. Ayahanda Idrus Tintin bekerja
pada Jawatan Pelayaran Indonesia kemudian dipindahtugaskan sebagai Nahkoda
Kapal Patroli Pemerintah ke Laut Cina Selatan, Tarempa, Kepulauan Riau. Dengan
berbagai pertimbangan, ayahnya akhirnya memutuskan pindah ke Tarempa dan
menetap di sana bersama keluarganya.
Idrus Tintin memulai riwayat pendidikannya di Sekolah Rakyat Tarempa, kemudian pindah ke Sekolah Rakyat di Rengat. Kepindahannya ini disebabkan kondisi Tarempa pada waktu itu dibombardir oleh pasukan Jepang pada tanggal 14 Desember 1941. Dalam peristiwa tersebut tidak kurang dari 300 orang masyarakat sipil, termasuk ayahandanya, menjadi korban dan meninggal dunia pada tahun 1942. Sepeninggal ayahandanya, ia bersama keluarga akhirnya kembali ke Tanjung Pinang dan meneruskan sekolah hingga selesai. Usai menyelesaikan pendidikan di Sekolah Rakyat, Idrus Tintin melanjutkan pendidikan di Chugakko (sekolah tingkat pertama) milik Jepang, namun tidak selesai. Pada akhir tahun 1944 ia ke Tembilahan untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Muhammadiyah, itupun tidak diselesaikannya. Tahun 1947 Idrus Tintin kembali ke Rengat dan melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertamanya. Ia juga pernah mengikuti kursus Sekolah Menengah Pertama (SMP) di sore hari untuk program ekstranei hingga lulus. Setelah itu, ia melanjutkan sekolah ke Tingkat Menengah Atas Sore Tanjung Pinang.
Selama hidupnya, Idrus Tintin telah melakoni berbagai pekerjaan. Sekitar tahun 1943, ia dititipkan oleh emaknya di asrama Dai Toa Kodomo Ryo, yaitu asrama penampungan yatim piatu milik Pemerintah Pendudukan Jepang. Karena pandai berbahasa Jepang, ia diterima bekerja di Sentral Telepon Pendudukan Jepang. Tidak lama setelah itu ia dipindahkan ke asrama Kubota dan bekerja di Biro Okhabuthai di Tanjung Pinang. Ia bekerja di biro tersebut selama 5 bulan. Saat berumur 16 tahun, pada bulan Februari 1949, ia kembali lagi ke Tembilahan dan bergabung menjadi TNI. Ia juga pernah bekerja sebagai pegawai negeri sipil di beberapa tempat antara lain; sebagai Staf Q Brigade DD Angkatan Darat TNI, Juru Tulis Kantor Camat Tarempa, Jawatan Penghubung Sosial Kewedanaan Pulau Tujuh, Tarempa dan guru honorer selama 17 tahun di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Pekanbaru, Riau.
Dalam dunia seni peran/teater, berbagai pengalaman telah ia peroleh dan berbagai sumbangsih telah ia berikan. Itu dimulainya sejak tahun 1943 saat bermain drama dalam bahasa Jepang produksi Raja Khadijah. Tahun 1944 di Tanjung Pinang, ia menggelar sandiwara dengan ide cerita Nosesang, dimana cerita ini bertutur tentang kehidupan petani dan nelayan. Tahun 1945 di Rengat, beberapa kali ia bermain sandiwara bersama grup Seniman Muda Indonesia (SEMI) asuhan Agus, Moeis dan Hasbullah. Pada tahun 1952, ia kembali ke Tarempa dan mendirikan sebuah sanggar sandiwara bernama “Gurinda”.
Untuk menimba ilmu dan memperluas wawasan seni peran yang telah ia geluti, pada tahun 1959, ia memutuskan mengembara ke Pulau Jawa. Di sinilah, Idrus berkenalan dengan seniman-seniman Jawa antara lain; Asrul Sani, Rendra, B. Jayakesuma, Soekarno M. Noor, Ismet M. Noor, Teguh Karya, Chairul Umam, dan seniman lain. Pertemuan inilah yang menjadi titik tolak perkenalan Idrus dengan seni peran/teater modern/kontemporer. Selama berada di Jawa, ia sempat menjadi peserta dalam berbagai forum diskusi para seniman, baik formal maupun non-formal, terutama yang membicarakan tentang pemeranan dan penyutradaraan.
Pada tahun 1961, Idrus Tintin kembali menetap di Rengat dan membentuk sebuah kelompok teater. Sejak menetap di Riau, setiap ada perayaan hari-hari besar, Idrus selalu tampil bermain teater. Tahun 1964, Idrus mengikuti Festival Drama di Pekanbaru yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Riau. Naskah yang dipentaskan adalah naskah Pasien. Tahun 1968, Idrus menyutradarai pertunjukan teater modern di Gedung Trikora Pekanbaru berjudul Tanda Silang. Tahun 1974, bersempena Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI, Idrus menyutradarai pertunjukan teater kolosal di Balai Dang Merdu Pekanbaru dengan judul Harimau Tingkis. Pada tahun yang sama, ia bersama Armawai KH. menubuhkan wadah pembinaan teater di Riau yang diberi nama “Teater Bahana.”
Idrus Tintin meninggal dunia pada tanggal 14 Juli 2003 di usia 71 tahun, akibat penyakit stroke. Ia meninggalkan 7 orang anak dan dua orang istri, Mahani dan Masani. Ia dikebumikan di pemakaman raja-raja Rengat, berdekatan dengan Masjid Raya Rengat Indragiri Hulu.
Catatan lain
Suer, saya belum pernah
mendengar nama orang ini jika tak menyentuh buku ini beberapa waktu lalu. Tak
lama kemudian, muncul tulisan di koran tentang adanya kesibukan untuk
mendeklarasikan hari puisi Indonesia. Tahu kau apa tempatnya? Auditorium Anjung
Seni Idrus Tintin di
Riau. Pikirku, ternama juga orang ini. Saya malah lebih dulu mendengar nama Suratman
Markasan, penyair
Singapura, yang disebut dalam puisi Singapura
Idrus Tintin. Mungkin saat SMA, waktu masih setia memelototi koran Republika.
Buku ini sepertinya punya Hajri, sebab saya ambil di rak bukunya.
assalamualaikum ...
BalasHapusnak tanyo kalau puisi tentang merantau aado tidak ???
Wa'alaikum salam. Yang saya ketemu: Kelana Anak Rantau (Frans Ekodhanto Purba) atau Andung-andung Petualang (Saut Situmorang). Yang seperti itu?
HapusKalo yang dari angkatan dulu mungkin dari Asrul Sani (Surat dari Ibu), dalam buku Tiga Menguak Takdir. Puisi Sitor Situmorang mungkin juga ada...
Hapus