Data
buku kumpulan puisi
Judul : Cerita di Kebun Kopi
Penulis :
Eka Budianta
Cetakan : I, 1981
Penerbit : PN Balai Pustaka, Jakarta.
Tebal : 40 halaman (26 puisi)
Hiasan kulit dan
dalam : Dahlan Djazh
Beberapa pilihan
puisi Eka Budianta dalam Cerita di Kebun
Kopi
Seekor Burung Camar
hari pertama:
di dalam sangkarnya besi
burung itu bernyanyi dalam hati
sambil menanti
kekasihnya sebentar lagi
membukakan pintu
lalu mengajaknya terbang
tinggi-tinggi
hari kedua:
di dalam sangkarnya yang kuat
burung itu ingin berkhalwat
mohon ampun atas segala dosa
dan berdoa sekhusuk dapat
hari ketiga:
di dalam sangkarnya yang kukuh
ia merasa tak perlu mengeluh
sebab tanah terjanjinya terasa
tiada terlalu jauh
1976
Ode untuk Goya
Goya telah pergi
ke lembah asing
dan gua-gua
Goya telah pergi
jauh menuju
bapanya
Goya telah pergi
mengembara di
padang-padang sunyi
Goya telah jauh
tinggal jejaknya
yang abadi
1977
Pantai
Kota di Malam Hari
pelabuhan itu kelihatan
sayup-sayup dan sunyi
ketika sinar matanya
yang rindu
dan penuh pengharapan
memandangnya dengan
cahaya
lampu sepasang
kunang-kunang
1976
Jakarta
1977
di bawah silang-silang
kebosanan
tubuhku terlentang
menghindari gemuruhmu
deru jeram yang akhirnya
tak usah kurisaukan
adalah bising nadimu
Villa
Violeta
aku tidak lagi merasa
berjalan di bawah bulan
melintasi lapangan
mencumbu seorang perempuan
tapi sendiri di antara
barisan pohon kenari
kala lampu-lampu kota
sayup-sayup memanggil sunyi
di beranda rumah kecil
yang jauh
seorang kapten
berbincang dengan tamunya
danau di hatiku terasa
teduh
dua bait puisi meluncur
di atasnya
Bogor, 14 Nop 1977
Selingan
selembar langit usang
berkaca di wajah danau
tua
sejenak bergoyang-goyang
daun kecil gugur
mengusik diamnya
sekuntum teratai mekar
di hati
layu terkulai
tiada kusadari
1975
Cerita
di Kebun Kopi
bunga-bunga putih
yang bisa dipetik
sewaktu-waktu
telah membuat burung
kecil itu
termangu
1978
Cerita
di Kebun Kelapa
Di jantung malam itu
ia merasa mendengar
tangis seorang bayi di kebun
kelapa
Tetapi ia tidak berani
mengatakan:
bayi itu meronta-ronta
mencoba menghisap tetek
ibunya
yang ditembus golok
dekat dadanya
1978
Tidak
Setiap Tunas akan Tumbuh
tidak setiap tunas akan
tumbuh
tidak setiap tumbuh jadi
kuncup
tidak setiap kuncup jadi
bunga
tidak setiap bunga jadi
buah
tidak setiap buah akan
masak
masakan tiap luka jadi
bencana?
13 Jan 1978
Sebuah
Perjalanan
kekasihmu telah pergi
jauh
melalui liku-liku di
pegunungan
menyusuri jalan pasir
sepanjang pantai
penuh dengan sampan-sampan
yang kini tinggal siluet
di hatinya
kekasihmu telah pergi
jauh
bersama derasnya angin
senja
dan sisa debu jalan
mengantarkan
angin pagi yang lembut
membelai sayap-sayap
merpati
berhambur terbang menuju
mentari
kekasihmu telah pergi
bersama ombak bengawan
yang kekal
mengenangkan hulunya
yang dangkal
di sela-sela perbukitan
rendah
tempat terhampar padang
bunga
dan bunda terbaring di
bawahnya
1977
Perjalanan
yang Tiada Terselesaikan
ada jalan dan barisan
panjang menempuhnya
melalui abad-abad datang
dan abad-abad lalu
ada semacam kerinduan
menemaniku di sana
sebuah perjalanan yang
tentram dan laju
melalui segala tanah
rata dan bukit terjal tandus
perjalanan yang kudus
tak henti-hentinya menembus
perasaanku pada
perjalanan yang tiada terselesaikan
ialah perjalanan
persahabatan sesama insan
1975
Tentang
Eka Budianta
Eka Budianta lahir 1 Februari 1956 di Ngimbang, Jawa Timur. Pendidikan
Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Memulai karir sebagai penyair dan
wartawan sejak tahun 1975. Menjadi wartawan majalah Tempo, Jakarta. Buku
puisinya al: Bang Bang Tut (1976), Ada (1976), Bel (1977), Rel (1978), Sabda Bersahut Sabda (1978).
Catatan
Lain
Dalam pengantarnya, penerbit Balai Pustaka menyebut puisi Eka Budianta
berisi renungan, keharuan cinta dan suasana religius yang diungkap dalam bahasa
yang sederhana. Sebelum ini saya belum pernah baca puisi Eka Budianta.
Barangkali betul apa yang diungkap penerbit. Perkenalan saya dengan Eka
Budianta sekitar tahun 2000-an, melalui buku yang ditulisnya bersama Frans
Dahler, Pijar Peradaban Manusia, kalo
ga salah. Buku itu diterbitkan oleh penerbit berlogo kapal layar, Kanisius. Di
perpustakaan Provinsi Kalsel juga ada bukunya (puisi) yang lebih baru, lebih
tebal, tapi saya lebih memilih buku tipis dan klasik ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar