Rabu, 02 Januari 2013

Eka Budianta: CERITA DI KEBUN KOPI

 
Data buku kumpulan puisi

Judul : Cerita di Kebun Kopi
Penulis : Eka Budianta
Cetakan : I, 1981
Penerbit : PN Balai Pustaka, Jakarta.
Tebal : 40 halaman (26 puisi)
Hiasan kulit dan dalam : Dahlan Djazh

Beberapa pilihan puisi Eka Budianta dalam Cerita di Kebun Kopi

Seekor Burung Camar

hari pertama:
di dalam sangkarnya besi
burung itu bernyanyi dalam hati
sambil menanti
kekasihnya sebentar lagi
membukakan pintu
lalu mengajaknya terbang
tinggi-tinggi

hari kedua:
di dalam sangkarnya yang kuat
burung itu ingin berkhalwat
mohon ampun atas segala dosa
dan berdoa sekhusuk dapat

hari ketiga:
di dalam sangkarnya yang kukuh
ia merasa tak perlu mengeluh
sebab tanah terjanjinya terasa
tiada terlalu jauh

1976


Ode untuk Goya

Goya telah pergi
ke lembah asing dan gua-gua
Goya telah pergi
jauh menuju bapanya

Goya telah pergi
mengembara di padang-padang sunyi
Goya telah jauh
tinggal jejaknya yang abadi

1977



Pantai Kota di Malam Hari

pelabuhan itu kelihatan
sayup-sayup dan sunyi
ketika sinar matanya yang rindu
dan penuh pengharapan
memandangnya dengan cahaya
lampu sepasang kunang-kunang

1976


Jakarta 1977

di bawah silang-silang kebosanan
tubuhku terlentang menghindari gemuruhmu
deru jeram yang akhirnya tak usah kurisaukan
adalah bising nadimu


Villa Violeta

aku tidak lagi merasa berjalan di bawah bulan
melintasi lapangan mencumbu seorang perempuan
tapi sendiri di antara barisan pohon kenari
kala lampu-lampu kota sayup-sayup memanggil sunyi

di beranda rumah kecil yang jauh
seorang kapten berbincang dengan tamunya
danau di hatiku terasa teduh
dua bait puisi meluncur di atasnya                     

Bogor, 14 Nop 1977


Selingan

selembar langit usang
berkaca di wajah danau tua
sejenak bergoyang-goyang
daun kecil gugur mengusik diamnya
sekuntum teratai mekar di hati
layu terkulai
tiada kusadari

1975


Cerita di Kebun Kopi

bunga-bunga putih
yang bisa dipetik sewaktu-waktu
telah membuat burung kecil itu
termangu

1978


Cerita di Kebun Kelapa

Di jantung malam itu
ia merasa mendengar
tangis seorang bayi di kebun kelapa
Tetapi ia tidak berani mengatakan:
bayi itu meronta-ronta
mencoba menghisap tetek ibunya
yang ditembus golok dekat dadanya

1978


Tidak Setiap Tunas akan Tumbuh

tidak setiap tunas akan tumbuh
tidak setiap tumbuh jadi kuncup
tidak setiap kuncup jadi bunga
tidak setiap bunga jadi buah
tidak setiap buah akan masak
masakan tiap luka jadi bencana?

13 Jan 1978


Sebuah Perjalanan

kekasihmu telah pergi jauh
melalui liku-liku di pegunungan
menyusuri jalan pasir sepanjang pantai
penuh dengan sampan-sampan
yang kini tinggal siluet di hatinya

kekasihmu telah pergi jauh
bersama derasnya angin senja
dan sisa debu jalan mengantarkan
angin pagi yang lembut
membelai sayap-sayap merpati
berhambur terbang menuju mentari

kekasihmu telah pergi
bersama ombak bengawan yang kekal
mengenangkan hulunya yang dangkal
di sela-sela perbukitan rendah
tempat terhampar padang bunga
dan bunda terbaring di bawahnya

1977


Perjalanan yang Tiada Terselesaikan

ada jalan dan barisan panjang menempuhnya
melalui abad-abad datang dan abad-abad lalu
ada semacam kerinduan menemaniku di sana
sebuah perjalanan yang tentram dan laju

melalui segala tanah rata dan bukit terjal tandus
perjalanan yang kudus tak henti-hentinya menembus
perasaanku pada perjalanan yang tiada terselesaikan
ialah perjalanan persahabatan sesama insan

1975


Tentang Eka Budianta
Eka Budianta lahir 1 Februari 1956 di Ngimbang, Jawa Timur. Pendidikan Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Memulai karir sebagai penyair dan wartawan sejak tahun 1975. Menjadi wartawan majalah Tempo, Jakarta. Buku puisinya al: Bang Bang Tut (1976), Ada (1976), Bel (1977), Rel (1978), Sabda Bersahut Sabda (1978).

Catatan Lain
Dalam pengantarnya, penerbit Balai Pustaka menyebut puisi Eka Budianta berisi renungan, keharuan cinta dan suasana religius yang diungkap dalam bahasa yang sederhana. Sebelum ini saya belum pernah baca puisi Eka Budianta. Barangkali betul apa yang diungkap penerbit. Perkenalan saya dengan Eka Budianta sekitar tahun 2000-an, melalui buku yang ditulisnya bersama Frans Dahler, Pijar Peradaban Manusia, kalo ga salah. Buku itu diterbitkan oleh penerbit berlogo kapal layar, Kanisius. Di perpustakaan Provinsi Kalsel juga ada bukunya (puisi) yang lebih baru, lebih tebal, tapi saya lebih memilih buku tipis dan klasik ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar