Data
buku kumpulan puisi
Judul : Sebelum Senja
Selesai, kumpulan puisi pilihan 2001-1991
Penulis : Moh. Wan Anwar
Penerbit: Imaji Indonesia
dan FKIP Untirta Banten
Cetakan : I, Mei 2002
Tebal : vii + 100 halaman
(79 puisi)
ISBN : 979-96860-0-8
Gambar dan Desain Sampul :
Herry Dim
Tata letak : Moch. Syarif
Ramadhan dan Armat Masari
Kata Penutup : Maman S.
Mahayana
Beberapa pilihan puisi
Moh. Wan Anwar dalam Sebelum Senja Selesai
Di
Ruang Tunggu
kita duduk berdua saja
kau tamu, aku tamu juga di
sini
ke mana tuan rumah,
tanyamu
lantas kita pun berkenalan
lewat bahasa yang tak
kumengerti
meski aku paham isyarat
sorot mata
dan kulit muka yang kelabu
kita sama-sama menatap ke
luar jendela
di sana kemiskinan gemetar
membuka taring-taringnya
kabut mencium kota. Kaca
tiba-tiba basah
tapi tak ada Marx dan
Engels di sini, katamu
ya, tak ada para buruh
yang diramalkan itu
Bandung,
1993
Loket-loket
Kosong
seperti tadi di kantor itu
loket-loket di stasiun ini
kosong
cuma ada komputer,
gundukan karcis
daftar harga dan pluit
mengiang dalam kenangan
bangku-bangku peron
termangu, rel menggigil
penanda arah menggantung
sendirian
"halo ..."
sapamu -- namun tak kaudapat jawaban
operator sibuk dan
kabel-kabel
mengirim kalimat yang
berulang
"halo ..."
sapamu padaku karena kereta tak juga
tiba -- tapi sungguh aku
terlanjur tahu
kau tak pernah benar-benar
merindukanKu
Depok,
2001
Kau,
Laut, dan Kata
di geladak sudah tercium
kata-kata
anyir seperti bangkai, di
antara bayang-bayang
kausebut hidup adalah
perjudian dan entah siapa
entah di mana seseorang
mengangguk
untuk yang tak terbaca
kau mengarungi lautan,
dengan riang
menjemput yang akan
datang. Kaukutuk masa silam
sambil merapikan rambut
dan kenangan
kapal melaju, sunyi
merambat jauh
ke palung-palung di
batinmu
di dasar laut takdir bisa
saja semacam gurita
ke mana kau berlayar, ia
akan mengantar
setia bersama waktu yang
tak letih berkibar
di angkasa burung-burung
terbakar
dibidik terik dan gerimis.
Di lengkung langit
cakrawala menuju waktu,
mengepungmu
sampai senja berakhir,
sampai luka tak lagi ngalir
tetapi apakah artinya
senja? Tak lain adalah waktu
berkesiur di tengah bakau
dan buih ombak
hingga memutih sayapnya,
hingga mengeras dagunya
menantimu ketika telah
lenyap segala kata
dan aku -- tahukah kamu?
-- akulah gurita itu
senja dan waktu yang
kausebut sebagai kepulangan
Merak,
2001
Kasidah
Lilin
-- 27
mei
pada hari ini telah
kaugenapkan hitungan napas
dengan iringan kasidah
cahaya. Dua puluh tiga tahun
waktu dan cuaca menguji
setiamu pada bumi
langit yang menciptakan
musim dan cakrawala
aku harap kaupun menyala,
meski angin teramat deras
menggempur pepohonan yang
sedang khusuk ruku
di jiwamu. Meliuklah seperti
para darwis
mengikuti loncatan irama
dalam batin
seperti para penari yang
bercakap dengan
gerak tubuhnya sendiri.
Mabuklah bersama pengembara
menjelajahi ruang-ruang
yang tak pernah terjangkau
pikiranmu. Dan pada
detik-detik yang lambat ini
akan kauundang para
malaikat untuk membasuh
rambut dan lumpur yang
membaluri kulit tubuhmu
bersiaplah kau dari pedang
yang tiba-tiba
membelah dadamu, menghapus
bercak-bercak
hitam bersembunyi dalam
lipatan-lipatan kalbu
dan ketika kautiup nyala
api pada tubuhku
pahami: aku kekal menyala
dalam kekosonganmu
Bandung,
1996
Hari-hari
yang Lewat
angin nyaris tak sempat
menuliskan kata
bagi orang yang terbunuh
di jalanan
sosok bayangan yang
mengerang panjang
seperti sekarat daun-daun.
Kita tak lagi bisa
berduka pada teriakan
parau jalan raya
kecuali igauan yang
menguap ke udara
dan sekarang hari seperti
akan lewat
tanpa keluhan. Tanpa warna
merah
di almanak dan upacara
bendera setengah tiang
di kamar kita memang
selalu berdekapan
menjilati seluruh perjalanan
dan kenangan
di bawah lampu neon
pinggir jalan
kutemukan diriku mengunyah
kemuraman
kemuraman. Meraba jantung
yang kian berdebar-debar
Bandung,
1993
Sebelum
Senja Selesai
di sebuah senja pertemuan
kita, kaulekat kutatap
dari seluruh penjuru mata.
Perlahan kau menurun
ke laut dan ikan-ikan
memasang jaring
menjerat tubuh molekmu
yang panas
di antara jeruji besi,
rangka pinisi, dan tiang-tiang
kau kuintip dari
kerimbunan rindu
-- sebuah pulau begitu
saja tumbuh dari pelupukmu --
dan ketika sedikit kureguk
kopi, kau balik mengintip
dari sela-sela pohon di
pulau itu
seperti kata-kata selamat
berpisah, cahayamu
merebak ke cakrawala bagai
lukisan
memancarkan usia
pelukisnya. Kupegang erat
pagar besi di sampingku
setelah rokok dimatikan
berjalan ke sebuah sudut
tempat sepasang remaja
-- dari dunia berbeda --
khusyuk menerjmahkan
nyala senyummu. Mungkin di
dasar laut
kau malah berpeluk dengan
gugusan karang
ketika kusadari kopi di
meja mengubur waktu
-- sebenarnya aku tak
biasa minum kopi --
mamang tak ada lagi yang
perlu ditunggu
juga liku-liku jazz --
mengapa bukan losquin -- di kafe
sebelah sana, atau alunan
adzan yang pada setiap baitnya
bersembunyi puisi --
tempat jantungku
memompakan kata-kata ke
sekujur kepulanganku
Makasar,
2001
Kita
akan Sampai pada Langit
kita akan sampai pada
langit
yang birunya menebalkan
keangkuhan
kita akan membawa kabar
percakapan tergesa
dari tanah yang
mengepulkan asap hitam
kita akan selalu menuju
waktu
walau segala gegas
dilambatkan
kita akan menghitung
setiap kelokan
menanam benih-benih
keabadian
dan sibuk mencari satu
pegangan
Bandung,
1992
Lagu
Braga Malam
dengan siapa lagi aku
mesti bercakap
selain dengan hati
sendiri. Atau jalan lengang
di antara bangunan angkuh
yang berhadapan
saat selamat malam
digumamkan. Sedang kau
tetap setia pada arah tuju
yang entah, selain
doa dan mabuk yang jadi
keyakinan
tapi aku akan belajar
menumbuk luka
dari mercury dan hingar
bingar aroma bir
yang menawan. Bukan dari
omonganmu
tentang bocah lusuh di
emper toko atau warna
kelaparan yang kecoklatan.
Sebab aku sendiri
dan kau sendiri,
barangkali. Kita tak pernah
berkenalan (deru mobil
terdengar begitu jauh)
1993
Menantimu
di Pinggir Kolam
menantimu di sini, di
belantara kota
di pinggir kolam yang
tanpa teratai
air mancur mengguyuri
nasib kita
udara yang kelam tiba-tiba
mengepungku
-- seperti ada yang
gemetar
di balik hamburan kata, di
sela lengking serapah
di antara orang-orang yang
berderet
letih dan nanar itu
: kau belum juga tiba
orang-orang menatap kosong
seperti mata manekin
sendiri-sendiri, larut
dalam jeda
setelah seharian hanyut
dalam putaran roda
juga aku yang terselip di
kisaran mereka
: kau masih belum juga
tiba
demikianlah memang,
rencana selalu larut dalam cuaca
seperti juga maut, mungkin
akan tiba tanpa aba-aba
menantimu di taman ini,
sore semakin rahasia
dan ketika kau tiba,
tahulah
sesuatu yang lain pun akan
segera tiba
Jakarta,
2000
Selain
Sia-sia
selain sia-sia, adakah
dosa tercatat di bentangan aspal
dan ketenteraman kebun
belakang rumah kita
mungkin yang ada cuma
kecemasan biasa
seperti sering ada sesuatu
yang tak selesai
kita memang sudah terlalu
fasih mengunyah butiran debu
aroma percakapan yang
gagap atau bau diam yang demam
tapi kisah-kisah di jalanan
memang selalu saja tak usai
dan cinta tak
sampai-sampai
kita sudah terbiasa
mengucapkan kata-kata lain
dari mata angin lain,
bersama cinta lain
bahkan perasaan yang sama
sekali lain
kita selalu setengah
percaya, setengah tidak
seperti dalam mimpi, setengah
tak berdaya
lalu kita tandai jarak dan
luka yang tertera pada jejak
sambil membayangkan uban
kelak tumbuh di kepala
kita bacai lagi nama
gedung-gedung, kalimat pada spanduk
dan sisa pekik protes yang
menggantung di angkasa
selain sia-sia, mungkin
memang tak ada dosa
di antara kita. Cuma telah
lama kita tak paham
ke mana sebenarnya kita
sedang berjalan
Serang,
2000.
Membangun
Kota Sunyi
maafkan keputusanku, dik:
hengkang dari kota gelisah
menyeret sisa-sisa
pertemuan. Barangkali ada yang
berharga untuk kujadikan
tiang-tiang kesaksian, bahwa
kita pernah bersama.
Langit memang telah lama murung
ingin menumpahkan
kekesalannya lewat hujan yang dahsyat
ingin menggiring penghuni
bumi ke neraka yang paling
pengap, ke kedalaman samudera
di mana ikan-ikan hiu
siap meniadakannya. Tapi
aku hengkang bukan karena itu
bukan juga karenamu, dik.
Aku ingin membangun kota sunyi
dari bongkahan perasan
yang paling akhir, bukan dari
lempengan baja atau
sisa-sisa plastik yang terbakar
di sana akan kusapa
kenangan dan tangan penuh embun
akan kupelihara potret,
sapu tangan dan bajumu
meski tanpa lemari dan
harum parfum. Lantas suatu saat
kukirimkan surat padamu
bahwa aku tak bisa melupakanmu
1993
Bertamu
di Kamar Sunyi
kubersihkan diri,
kurapikan baju, bertamu
di kamar sunyi. Tapi tak
ada Tuan rumah
yang tiap malam menggedor
jantung, merobek
sarang rindu,
mengoyakmoyakkan hati kering ini.
aku hanya bertemu kelam,
kelam, dan kelam saja
sedang air mata telah jadi
sungai perih
di sajadah yang melapuk.
Mataku letih
menghamilkan rindu,
dendam, cemburu, kecewa
dan sakit, bertahun-tahun. Tangis dan sujud
menjadi fana, nyaris
sia-sia
seperti surat-surat yang
tak pernah kau balas itu
kekasih, bagaimanakah aku
menggapaimu
dan Cahaya padaku
menjelma?
Bandung-Cianjur,
1994/1995
Tentang
Moh. Wan Anwar
Moh.Wan Anwar, lahir di
Cianjur, tahun 1970. Kuliah di Bandung dan Jakarta, tinggal di Serang. Bersama
kawan-kawannya mendirikan Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) IKIP Bandung
tahun 1991. Puisi, cerpen, dan eseinya dimuatkan di sejumlah koran dan majalah,
antara lain: Pikiran Rakyat, Mitra Budaya, Bandung Pos, Suara Merdeka, Kompas,
Republika, Media Indonesia, Suara Karya, Koran Tempo, Jurnal Puisi, dan Majalah
Horison. Buku yang ditulisnya: Sebelum Senja Selesai (2002), Sepasang Maut
(2004), Kuntowijoyo dan Dunianya (akan terbit pertengahan 2006), dan Batas
Kesetiaan (manuskrip siap terbit). Lulusan S-2 Ilmu Sastra UI ini sehari-hari
mengajar di FKIP Univ. Negeri Sultan Ageng Tirtayasa dan sebagai redaktur
majalah Horison. Penyair ini, setahu saya, telah hidup di alam lain. Alam di
mana kita semua bakal menuju ke sana. Kumpulan puisi untuk mengenang penyair
ini juga telah diterbitkan dengan judul: Berjalan ke Utara. Coba nanti dicek
lagi di internet.
Catatan
Lain:
Dalam kata penutup Maman
S. Mahayana di satu paragrafnya ada menulis begini: "Kegelisahan! Suasana
batin yang seperti itulah yang segera terasa ketika kita mencermati antologi
karya Wan Anwar ini. Dengan caranya yang khas, ia kadang kala memposisikan
dirinya sebagai pengelana yang penasaran, pencari yang tiada pernah puas
mencari, atau sebagai penggelisah yang menikmati dan memelihara
kegelisahan."
Maman S. Mahayana juga
mengkritik: " Dilihat dari majas yang ditawarkan, kita dapat mencermati
kesungguhan usaha Wan Anwar dalam mencetak begitu banyak analogi, metafora,
paradoks, dan berbagai macam gaya bahasa (majas) lainnya. Dalam konteks ini, kita
juga masih dapat melihat kesulitan Anwar untuk menghindar dari pengulangan
(duplikasi) idiom atau ungkapan yang sama. Ia juga terkesan masih bertindak
terlalu hati-hati. Akibatnya, pengembaraan imajinasi dan keliaran mencetak
majas secara lebih bebas, tanpa sekat, banyak tergoda oleh keinginan untuk
kembali pada pola pembentukan majas yang sangat lazim, untuk tidak
mengatakannya, terlalu biasa."
Buku ini terbagi 2 bagian,
yaitu Sebelum Senja Selesai (2001-1999), berisi 25 puisi dan Solitude
(1996-1991), berisi 54 puisi. Sepertinya buku ini dikirim langsung oleh
penyairnya kepada Y.S. Agus Suseno. Begitu membuka lembaran pertama ada tulisan
begini: Buat Sahabatku Agus Suseno di Banjarmasin, 2 April 2004."
Juga ada alamat rumahnya: Citra Gading E 2 No. 9 Cipolok, Serang, Banten.
bagus puisinyaa..
BalasHapus