Data
buku kumpulan puisi
Judul : Wajah Kita,
sajak-sajak 1972 - 1978
Penulis : Hamid Jabbar
Penerbit: PN Balai
Pustaka, Jakarta
Cetakan : I, 1981
Tebal : 55 halaman (27
puisi)
Hiasan kulit dan gambar
dalam : B.L. Bambang Prasodjo
Beberapa pilihan puisi
Hamid Jabbar dalam Wajah Kita
Kembali
Surat buat Kekasih,
dikirimkan setiap hari: dengan tangan gemetar
Surat buat Kekasih,
kembali ke tangan sendiri: alpa dan nanar!
Surat, diri sendiri, alpa
dan nanar: remuk dalam postcard
Melayang dan melayang,
luruh dan luruh: tak bisa lagi gemetar!
1978
Lagu
Sebuah
dari mana hendak ke mana
dari entah ke entahlah
lagu nenek moyang lagu nan
panjang menggelombang
lagu raungan memedih
terbang dari kerak ngarai
dari mana hendak ke mana
dari entah ke entahlah
sebuah batang padi dan
lilitan pelepah kelapa
sebuah napas panjang dan
lambaian telapak tangan
sebuah bentangan nada dan
gesekan nada bentangan
sebuah katupan mata dan
gelombang gemulai kepala
sebuah ranting bambu dan
jemari tari-menari mesra
sebuah hari sebuah jalan
sebuah lagu sebuah ratapan
dari mana hendak ke mana
dari entah ke entahlah
lagu nenek moyang lagu nan
panjang menggelombang
lagu rantauan mulia nan
celaka melagu sangsai
dari mana hendak ke mana
dari entah ke entahlah
1973
Alang
Kepalang Tak Terduga
(hadiah
hut buat bang im)
bel berbunyi dan lampu
berkedipan, merah dan hijau. Alangkah
gawatnya perjalanan ini,
hari menuju malam, waktu menuju
kelam; dan kita menuju
juga: barangkali ke sana! Alangkah
beratnya tanggungan ini,
bahagia terasa pedih, sengsara
telah mengupih; dan bahu
bertanya juga: sampai ke mana?
Alangkah asingnya segala,
setelah sedikit bahagia mengada,
setelah sedikit putus asa
sirna; dan segala masih saja
kembali seperti semula:
alang kepalang tak terduga!
1974
Wajah
Kita
bila kita selalu berkaca
setiap saat
dan di setiap tempat
maka tergambarlah:
alangkah bermacamnya
wajah kita
yang berderet bagai patung
di toko mainan di jalan
braga
wajah kita adalah wajah bulan
yang purnama dan coreng moreng
serta gradakan dan bopeng-bopeng
wajah kita adalah wajah manusia
yang bukan lagi manusia
dan terbenam dalam wayang
wajah kita adalah wajah rupawan
yang bersolek menghias lembaran
kitab suci dan kitab undang-undang
wajah kita adalah wajah politisi
yang mengepalkan tangan bersikutan
menebalkan muka meraih kedudukan
wajah kita adalah wajah setan
yang menari bagai bidadari
merayu kita menyatu onani
bila kita selalu berkaca
dengan kaca
yang buram tak sempurna
maka tergambarlah:
alangkah berperseginya:
wajah kita
yang berkandang bagai
binatang
di kota di taman
margasatwa
wajah kita adalah wajah serigala
yang mengaum menerkam mangsanya
dengan buas, lahap dan gairahnya
wajah kita adalah wajah anjing
yang mengejar bangkai dan kotoran
di tong sampah dan selokan-selokan
wajah kita adalah wajah kuda
yang berpacu mengelus bayu
mendenguskan napas-napas napsu
wajah kita adalah wajah babi
yang menyeruduk dalam membuta
menyembah tumpukan harta-benda
wajah kita adalah wajah buaya
yang menatap dalam riangnya
dan tertawa dengan sedihnya
bila kita selalu berkaca
dengan kaca
yang mengkilap dan rata
maka tergambarlah:
alangkah berseadanya
wajah kita
yang mendengar segala
erang
berkerendahan hati dan
berkelapangan dada:
wajah kita adalah wajah
yang kurang tambah
serta selebihnya
wajah kita adalah wajah
yang sujud rebah
bagi-Nya jua
wajah kita adalah wajah
yang bukan wajah
hanya fatamorgana
1972
Aroma
Maut
Berapakah jarak antara
hidup dan mati, sayangku?
Barangkali satu denyut
lepas, o satu denyut lepas
tepat di saat tak jelas
batas-batas, sayangku:
Segalanya terhempas, o
segalanya terhempas!
(Laut masih berombak,
gelombangnya entah ke mana.
Angin masih berhembus,
topannya entah ke mana.
Bumi masih beredar,
getarnya sampai ke mana?
Semesta masih belantara,
sunyi sendiri ke mana?)
Berapakah jarak antara
hidup dan mati, sayangku?
Barangkali hilir-mudik di
suatu titik
tumpang-tindih merintih
dalam satu nadi, sayangku:
Sampai tetes embun pun selesai,
tak menitik!
(Gelombang lain datang
begitu lain.
Topan lain datang begitu
lain.
Gelap lain datang begitu
lain.
Sunyi lain begitu datang
sendiri tak bisa lain!)
1977/1978
Kaba
Sirah
Inilah kaba nan terpendam
dalam
ngarai. Inilah kaba nan
hilang
di kabut Singgalang.
Inilah kaba:
"sirah sirah sirah
sirah!" Kata mengerang
dari tatapan nan tajam.
Kata meloncat
dari bibir nan menderu
deram mengucap:
"Allah Allah Allah
Allah Allah ..."
Inilah kaba suatu nagari
suatu saat didekap
"sirah sirah sirah
sirah!" Suatu laknat!
Pada mulanya adalah ludah:
pfuuuh!
Musafir jadi menggigil
terpatah sapa berwujud
pinta:
"sedekahlah
sedekahlah sedekahlah ..."
Dan gigil jadi ngilu nan
menggelombang
naik: amarah.
Menggelombang turun:
ah, apalah. Inilah
keraguan sang peminta:
adakah ludah mengundang
lidah memanjatkan doa
" O Nan Maha Pemurah,
limpahkanlah
azab-Mu pada
peludah!" ataukah
"O Nan Maha Pemaaf,
ampunilah
sahabatku nan
pongah!" Inilah cabang
jauh di dalam beradu erang
beradu serang.
Maka Islamlah adanya:
pasrah pada-Nya
Maka musafir pun memuara
ke telaga merendam rasa
kemudian hilang mendebu
cahaya di 'Arasy-Nya
Dan "sirah sirah
sirah sirah sirah" pun mengerang
dari sahabat Allah nan
menderu dendang malam dan siang
"Allah Allah Allah
Allah Allah Allah!"
Orang-orang pun
mengerinyitkan kening:
gerangan apa sirah apa
igau apa sinting?
Lalu ada nan gelak ada nan
mendecak
pun rusuh pun acuh pun
aduh pun
anggapan terucapkan:
"kasihan, buya tua
jadi kurang satu
sen satu keping satu harga
satu senti!" Inilah
kebutaan nan menidurkan!
Inilah igauan dari mimpi
nan menyedihkan! Inilah
kasihan nan aduhai kasihan!
Begitulah "sirah
sirah sirah sirah!" bukan tinggal kata
bukan tinggal igau bukan
tinggal keping-keping nan sinting!
"Sirah sirah sirah
sirah!" ada dalam nyata
ada dalam rumah mereka ada
dalam pongah mereka
membakar membara
mengabuhampakan makna
segala nan terpeluk nan
tereguk!
Inilah kaba nan terjadi si
suatu nagari
di bibir ngarai di kaki
Singgalang. Inilah kaba
nan meloncat dari mulut ke
mulut nan tinggal renta
"Sirah sirah sirah
sirah sirah!" Suatu laknat!
1974
(Kaba
Sirah = Kabar / berita / peristiwa Merah: mengenang "kebakaran" 1965)
Potong
Bebek Angsa
Tanpa pisau, seseorang
bernyanyi: "Potong bebek angsa ..."
Pinggulnya bergoyang bagai
bebek pulang petang
Orang-orang bergendang dan
bebek-bebek berdansa:
"Dansa saban hari
sampai sakit pinggang ..."
Tetapi kegawatan selalu
saja datang ke negeri ini
Musim panas yang keras
begitu kering-kerontang
Sawah jadi kuburan,
pematang jadi batu nisan; sunyi.
Hanya tikus-tikus yang
terus berdansa sampai kejang
Di manakah kucing? Kucing
mengeong dalam karung berdebu
Karung? Ya, karung yang
memakan habis semua mentimun itu
Mentimun? Ya, mentimun
yang meninabobokkan para kancil itu
Kancil? Nah, kancillah
yang bernyanyi: "Potong bebek angsa" itu
Tetapi kegawatan selalu
saja menerjang rimba belantara ini
Bila kancil kehilangan
akal dan tak sempat lagi bernyanyi
Saat itulah harimau
mengaum dan serigala menerkam
Sementara buaya menganga
sambil tidur-tiduran
Di manakah pawang-pawang
kita yang penuh wibawa dan jantan?
Mereka telah jadi bebek,
siap dipotong sambil berdansa-dansa:
"Sikat ke kiri sikat
ke kanan sampai mabok segala perhitungan ..."
Ya, sampai mati pingsan
segala taman margasatwa di kota-kota.
1977
Nyaris
Lupa
hijau mudamu dara
di mata
kau menggigit lara
ku ternganga
kau menggigit lara
ku ternganga
buaya
tak memuara
buaya
tak memuara
lautan
di hamparan
lautan
di hamparan
ombak dan angin
pilin-memilin
ombak dan angin
pilin memilin
hijau mudamu dara
memilin(ku) ingin nyaris lupa
1973
Debu
jatuh ke dalam dan hinggap
di hatimu demikian lekat
menghitam dan kemudian
berkembang jadi dendam pekat
: memburumu!
1975
Indonesiaku
Jalan berliku-liku
tanah airku
penuh rambu-rambu
indonesiaku
Sehelai karcis di genggaman, hari senja dan kulihat engkau
tanah airku
penuh rambu-rambu
indonesiaku
Sehelai karcis di genggaman, hari senja dan kulihat engkau
terpampang dalam headline
& tajuk rencana koran-koran ibukota.
Engkau tersenyum dan sakit
gigi. Engkau malu-malu bagai kucing
(entah mengeong entah
mengerang entah marah entah sayang) yang
terpendam dalam deretan
kata-kata nusantara yang lalu-lalang
keluar-masuk dalam
kedirianku. Engkau tegak dan tumbang sepanjang
hari : bengkalaian
sajak-sajak para penyair yang sempat terbit, dicetak
dengan rasa sesal serta
malu yang purba.
Dan Maghrib pun menggema
dan bel berdering nyaring dan aku terdesak
ke tepi nian; namun masih
sempat membayangkan engkau, kasihku,
meskipun dengan
terbata-bata
jalan berliku-liku jalan berliku-liku
tanah airku tanah airku
penuh rambu-rambu penuh rambu-rambu
indonesiaku indonesiaku
Sebuah tas di pangkuan, terbentang malam dan kurasakan engkau
jalan berliku-liku jalan berliku-liku
tanah airku tanah airku
penuh rambu-rambu penuh rambu-rambu
indonesiaku indonesiaku
Sebuah tas di pangkuan, terbentang malam dan kurasakan engkau
tunggang-langgang berpacu,
bus tua yang tua-tua keladi (dipermak
ditimbun di kali
berkali-kali) menangis dan bernyanyi seperti deretan
mimpi-mimpi. Engkau yang
duduk terantuk-antuk dalam pasaran
dunia yang berdiri
memaki-maki sepanjang jalanan gelombang
berliku-liku yang
membadaikan tikaman hujan rambu-rambu hingga
aku terpelanting jauh ke
belakang, namun masih sempat membayangkan
jarak yang telah &
akan dilalui (suka tak suka mandi berenang
dalam telaga luka nanahmu
o tanah airku), meskipun dengan terbata-
bata.
jalan berliku-liku
tanah airku
penuh rambu-rambu
indonesiaku
Sekujur tubuh di perjalanan, malam yang akan berdentang-dentang dan
jalan berliku-liku
tanah airku
penuh rambu-rambu
indonesiaku
Sekujur tubuh di perjalanan, malam yang akan berdentang-dentang dan
kaulihat aku
puntang-panting memburumu dari tikungan ke tikungan.
(Barangkali berjuta pohon telah tumbang dalam pacuanmu. Barangkali
(Barangkali berjuta pohon telah tumbang dalam pacuanmu. Barangkali
berjuta mulut telah
mengeringkan tanahmu o indonesiaku. Barangkali
berjuta ke mulut telah
menguap-udarakan segala airmu pengap o
indonesiaku. O siapakah yang telah tercerabut, sayangku : engkau
indonesiaku. O siapakah yang telah tercerabut, sayangku : engkau
tanah airku atau aku anak
negerimu ?) Tetapi aku sungguh merasa
malu ketika kudengar
engkau menyanyikan rasa tak berdaya
anak negerimu diancam
ledakan-ledakan berangan akan purnama
sepanjang malam. Dan engkau pun menangis ketika malu kita jadi
sepanjang malam. Dan engkau pun menangis ketika malu kita jadi
malu semua : tertera dalam
peta kita, luka-luka dan nyeri terbata-bata.
jalan berliku-liku
tanah airku
penuh rambu-rambu
indonesiaku
Sebibir duka tersangkut di bibir ngarai, anak negerimu terjaga dan
jalan berliku-liku
tanah airku
penuh rambu-rambu
indonesiaku
Sebibir duka tersangkut di bibir ngarai, anak negerimu terjaga dan
berhamburan ke jalanan.
Bulan sepotong di atas luka o awan
mengelilinginya bagai
nusantara
“Sebagai supir, saya tak begitu mahir," kata seorang yang mengaku
“Sebagai supir, saya tak begitu mahir," kata seorang yang mengaku
supir.
“Sebagai penumpang, kita tak begitu lapang," terdengar seseorang
“Sebagai penumpang, kita tak begitu lapang," terdengar seseorang
mendengus.
“Huss!”
“Huss!”
tulis kamus.
“Kita membutuhkan lapang !” teriak orang-orang. “Kita
memerlukan kebebasan, “ dengus rambu-rambu dan tiang-tiang.
“Kita membutuhkan lapang !” teriak orang-orang. “Kita
memerlukan kebebasan, “ dengus rambu-rambu dan tiang-tiang.
“Tetapi perjalanan harus
dilanjutkan”, tulis travel biro dalam iklan.
Orang-orang membeli karcis dan kursi
Orang-orang duduk menari hi-hi
Orang-orang menari sambil memaki-maki.
Orang-orang memaki sampai bosan.
Orang-orang bosan dan bosan
Bus-bus jalan.
“Itu Pulau Sumatera,” kata seseorang menunjuk awan di tepi-tepi
Orang-orang membeli karcis dan kursi
Orang-orang duduk menari hi-hi
Orang-orang menari sambil memaki-maki.
Orang-orang memaki sampai bosan.
Orang-orang bosan dan bosan
Bus-bus jalan.
“Itu Pulau Sumatera,” kata seseorang menunjuk awan di tepi-tepi
bulan.
“Bukan, itu Pulau Kalimantan,”bantah seseorang sambil makan
“Bukan, itu Pulau Kalimantan,”bantah seseorang sambil makan
udang.
“Salah, yang tepat adalah Pulau Jawa,” kata kondektur sambil minum
“Salah, yang tepat adalah Pulau Jawa,” kata kondektur sambil minum
bajigur.
jalan berliku-liku jalan berliku-liku
tanah airku tanah airku penuh
jalan berliku-liku jalan berliku-liku
tanah airku tanah airku penuh
rambu-rambu penuh
rambu-rambu
indonesiaku indonesiaku
Sepanjang jalanan sepanjang tikungan sepanjang tanjakan sepanjang
indonesiaku indonesiaku
Sepanjang jalanan sepanjang tikungan sepanjang tanjakan sepanjang
turunan rambu-rambu
bermunculan.
Seribu tanda seru memendam berjuta tanda tanya. Seribu
tanda
panah mencucuk luka indonesiaku. Seribu tanda sekolah memperbodoh
panah mencucuk luka indonesiaku. Seribu tanda sekolah memperbodoh
kearifan nenek moyangku.
Seribu tanda jembatan menganga ngarai
wawasan si Badai si Badu.
Seribu tanda sendok garpu adalah lapar dan
lapar yang senyum-senyum
di luar menu. Seribu tanda gelombang
melambung hempaskan juang
anak negerimu. Seribu tanda-tanda dijajakan
berjejal-jejal di mulutmu.
Seribu tanda-tanda seribu jalanan seribu
tikungan seribu tanjakan
seribu turunan liku-liku o luka tanah airku
dalam wajahmu indonesiaku.
jalan berliku-liku jalan berliku-liku
tanah airku tanah airku
penuh rambu-rambu penuh rambu-rambu
indonesiaku lukamu lukaku
STOP
jalan berliku-liku jalan berliku-liku
tanah airku tanah airku
penuh rambu-rambu penuh rambu-rambu
indonesiaku lukamu lukaku
STOP
1978
Tentang
Hamid Jabbar
Nama sebenarnya Abdul
Hamid bin Zainal Abidin bin Abdul Jabbar lahir 27 Juli 1949 di Kota Gadang,
Bukittinggi, Sumatera Barat. Di usia belasan merantau ke Sukabumi, Bandung dan
Jakarta.Menjadi aktivis Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI) Sukabumi dan Bandung
pada tahun 1966-1969. Pernah bekerja di Perkebunan teh, Gudang beras, Mingguan
Indonesia Ekspres Bandung, PT. Panca Niaga cabang Padang dan wartawan
Singgalang, Padang. Kumpulan karya puisinya: Dua warna (1974), Super
Hilang; Segerobak Sajak (1998), juga Indonesiaku
Catatan
Lain:
Dalam buku itu, Hamid
Jabbar menulis penutup yang dijudulinya "Puisi: Ketidakberdayaan,
Pergulatan, Penyerahan dan Kebangkitan? Ya, dalam Iman". Tulisnya:
"Demikianlah dalam proses penciptaan puisi-puisiku. Ketika momen-momen
puitik muncul, aku disergap secara diam-diam dan tiba-tiba, luluh di sana,
terpesona, menganga, mencekam yang juga sekaligus membersitkan
kenyamanan-kenyamanan, bolak-balik antara ketidakberdayaan dan pergulatan dalam
menangkap dan menyingkap momen-momen puitik dan makna serta hakekatnya".
HJ juga menulis ini: "Dan menuliskannya, kurasa bukan hanya semacam
kesaksian tetapi suatu kebangkitan atau pembebasan".
Dalam blog Asep Sambodja,
ada tulisan mengenai HJ. Judulnya: Hamid Jabbar: Penyair yang Mati di Atas Panggung
(lihat:
http://asepsambodja.blogspot.com/2008/09/hamid-jabbar-penyair-yang-mati-di-atas.html).
Konon suatu ketika di bulan April 2004, bersama Rendra dll menikmati wisata
kuliner di sebuah rumah makan di tepi sungai di Palangkaraya. Tiba-tiba
penyakit diabetesnya kambuh, dan itu sempat mencemaskan kawan-kawan di
sekitarnya, ia mengatakan, “Jangan khawatirkan kesehatanku. Cita-citaku,
kalau tidak mati di depan Ka’bah di Mekkah, ya mati di atas panggung.” Empat
puluh lima hari kemudian ia meninggal di panggung saat baca puisi di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Allah mendengar
ucapannya dan mengabulkan doanya. Pada Sabtu malam, 29 Mei 2004, Hamid Jabbar,
Jamal D. Rahman, Franz Magnis-Suseno, Putu Wijaya, dan Franky Sahilatua tampil
bersama melakukan orasi, baca puisi, baca cerpen, dan menyanyi di UIN. Ketika
sampai giliran Franky untuk membawakan lagu, Hamid Jabbar meminta izin kepada
panitia untuk membacakan puisi. “Saya janji, habis baca puisi saya benar-benar
akan pulang,” ujar Hamid Jabbar sebagaimana diceritakan Agus R. Sarjono kepada
Berthold Damshauser. Dan ketika membaca puisi itulah Hamid Jabbar benar-benar
“pulang”. Ia meninggal saat membacakan puisinya, yang antara lain berbunyi,
“Walau Indonesia menangis, mari kita bernyanyi.” Demikian tulisan Asep Sambodja
di blognya.
Asep Sambodja melanjutkan:
"Hingga akhir hayatnya, kalau kita perhatikan dengan seksama, ada
kesadaran dalam diri Hamid Jabbar ketika menciptakan puisi. Bahwa puisi yang
ditulisnya itu nantinya akan dibacakan di depan publik. Puisi semacam ini,
menurut A. Teeuw, merupakan puisi oral, puisi yang memerlukan pengucapan atau
kelisanan. Karenanya, saya sependapat dengan Cecep Syamsul Hari, bahwa
puisi-puisi Hamid Jabbar sangat memperhitungkan bunyi. Ada unsur musikal dalam
puisi-puisi Hamid Jabbar".
Oya, kalau diperhatikan
cover buku ini, ada kekeliruan menulis nama penyair, ketinggalan satu huruf b.
Yang tertulis Hamid Jabar. Padahal di dalam buku, maupun di riwayat hidup pada
cover belakang, penulisannya betul, yaitu Hamid Jabbar. Saya sadari itu waktu
berselancar di Internet. Saya pikir, buku edisi "salah cetak" ini
akan menjadi salah satu buku yang antik. Hehe.
keren banget Tulisan ini !!!
BalasHapusdari Keponakan Om Hamid yang selalu merasakan rasa sayang nya Om Hamid kami tersayang.
Aku yakin Om Hamid sedang berada di taman2 surga nya Allah SWT....Aamiiin Yaa Robbal 'Aalamiiin