Data buku kumpulan puisi
Judul : Serumpun Ayat-ayat Tuhan,
kumpulan sajak 1963-1971 dan 2001-2011
Penulis :
Iberamsyah Barbary
Cetakan : kedua edisi revisi, Januari 2012
(cet. I. Agustus 2011)
Penerbit : Kelompok Studi Sastra Banjarbaru
(KSSB)
Editor :
HE. Benyamine
Penyunting Bahasa
: Ali Syamsudin Arsi
Perancang Sampul
: Deden K.F.
Penata letak :
Ahmad Syahmiran dan Ridha Nugraha Barbary
Tebal : xvi + 150 halaman (105 puisi)
ISBN : 978-979-1333-05-4
Catatan penutup :
Radius Ardanias Hadariah
Beberapa
pilihan puisi Iberamsyah Barbary dalam Serumpun Ayat-ayat Tuhan
Nahkoda Muda di Pulau Dara
Buat anakku: Syah Ridha Nugraha
Yang terbawa
deru angin
Akhirnya sampai
jualah langkah di dermaga angan
Doa-doa yang
mengapung didera gelombang
Ikhtiar
menggulung dan mendebur, menyibak derunya samudera cinta
Tersingkaplah
tabir kasih sayang-Nya
Merapatlah
cinta sang nahkoda di siang terang
Di pulau dia
akan menerjemahkan ayat-ayat Tuhan, pada:
Burung yang
selalu rindu dengan sarang dan tak pernah tersesat pulang
Semut yang
selalu silaturahim dan mengerti menghimpun rezeki
Kerbau yang
penyabar, dalam menghela tanggung jawab
Tawon yang
setia menjaga martabat
Ikan tak pernah
asin, dalam kebebasan merenangi lautan
Di dermaga,
sang dara dengan serumpun bunga di taman,
pesona cinta
Nahkoda merapat
kasih menebar bunga rindu berderai-derai
Bertautlah debur
gelombang, meresap di hamparan pasir putih,
yang lama
memendam rindu
Pernah Sayang
Bila engkau
pernah sayang
Sanjungan yang
pernah dilepas, jangan dibuang
Titipkan sama
burung yang selalu terbang
Bermadah kicau,
alam menyambut sayang
Bila engkau pernah
sayang
Jangan cinta
dipatah, hati dengan benci
Sengsara jiwa,
buah tak jadi
Cinta dipatah,
retaklah cermin
Cemberut muka
tampak jiwa menyesal nasib
Bila sayang
ditanam, pasti kasih bersambut
Daun yang layu
berputik rindu
Insya Allah,
benci membawa hikmah
Bila Daun Berzikir
Daun diam, bila
daun berzikir
Memandang angin
semilir
Daun diam, bila
daun berzikir
Memandang
hangat matahari mengalir
Maka hijaulah
cintanya, daun berzikir
Daun bergoyang,
bila daun asyik berzikir
Di majelis
angin lembut berdesir
Daun menguning
emas, bila daun di puncak zikir
Di majelis
matahari, membakar cinta
Menghias
rimbun, menyebar teduh
Gugurlah daun
dihantar senja yang kuning
Tertelentang,
tertelungkup memeluk bumi
Daun berzikir,
humus membumi, asal berseri
Daun gugur
Kuning emas
Cintanya lebur
Kembali
Penyair Cacing
Aku penyair
cacing, mau melubangi batu
Air menetes
saja, batu berlobang, kata puisi
Setiap saat dia
kirim salam di celah batu
Batu tersanjung
membuka diri
Dan aku paham,
batu akan menjadi liang tapaku
Dalam geliat
zikir, kulepas salam
Mencari celah
terangnya cinta
Air mengalir
gelora jiwa, berselancar rindu
Mencari tuah
kumala, kebesaran hati
Sebuah hikmah
yang pasti terjadi
Aku menyelinap,
dalam diam membara
Mengembara
tinggalkan rumah cinta
Rumah puisi,
piring pecah di hati
Batu besar di
depan mata, dalam buta aku lobangi
Zikir lembut
lendir tubuhku kekuatan diri
Senjata Illahi,
yakin memberi arti
Aku penyair
cacing, 30 tahun diam dalam nyanyi
Puisiku menggeliat
melobangi batu inci perinci
Dingin malam
panas matahari, senyuman Sang Illahi
Menempa tajam
mata hati
Batu berlobang,
kuraih kumala naga
Tahta jiwa,
rumah baruku, bertatah puisi
Bersyairlah
sang cacing, bermahkota naga
Cacing masih
tetap seperti dulu
Menggeliat
bersyair dalam lembutnya puisi
Menggemburkan
tanah, asal rumah masa lalu
Selesailah tapa
cintaku
Yang dicari
telah diberi
Piring pecah
yang disimpan di lemari besi, aku tautkan lagi
Dan aku ingin
bermanja bersama puisi
Di hari senja
bermahkota ridha Illahi
Kata Ibu
ayah
engkau tidak
mendengar tangis tawaku
yang selalu
ditunggu
sejak aku kenal
tetes air dada ibu,
sampai tumbuh
mengepak sayap
wajahmu hanya
dalam cerita
engkau
laki-laki pemberani
juga sudah naik
haji
tangis pudar
membuah rindu
namun, ke mana
kepak terbang mencari
lama-lama, aku
merasa banggaku hilang terbang sendiri
ayah
cinta bunda
kering di dada
karena selalu
mengembara membawa hati
dulu berembun,
berbinar kalau cerita
tentang sayang
dan gagahmu
kerling bening
bundar cahaya matanya
lama-lama pudar
terlalu banyak
mengecup, gelombang bah derita
ayah
ini kata ibu
dalam
kekeringan cinta merangkul aku
mimpinya
terbang menggendong bintang
merekah hatinya
memetik takdir
mengharumi
bunganya semata wayang
menanti,
laki-lakinya purnama bulan di dadanya
Buka Puasa
buat: Ajamuddin Tifani
Bila muara
malam menjelang
Bersemangat
riang langkah menyeberang
Duduk berderet
melingkar, membaca tasbih dan shalawat
Mata mencuri
pandang, nanar menatap agar-agar
kurma, kue
lapis, bubur kareh penutup lapar
Kaum mesjid
menabuh beduk
Pecahlah puasa
menghalalkan rasa
Lega dahaga, es
kelapa menghibur orang berbuka puasa
Alhamdulillah
Kami peserta
yang paling setia bulan ini
Mesjid Noor
dambaan penjamin buka puasa
Ajamuddin
anggota gubuk ampih marista tersenyum
Lapar telah
bubar
Pus...pus...pus,
kepul asap ahli hisap
telah terbang
ke awan
Setelah itu
langkah panjangnya hilang dalam barisan
Entah di sudut
mana dia tafakur
Katanya dia
ingin bermanja-manja
Membangun rumah
Tuhan di hatinya
Gamitan
Buat: Arsyad Indradi
Lihatlah
tenang-tenang mari kita tetirah
Di gubuk ampih
marista ini, tempat kita berlabuh dan merapat
Menjala
bintang-bintang di langit,
menggenggam
yang tercampak
Tidak usah kita
berpacu untuk naik ke bulan
Serahkanlah
pelana kepada beduk mesjid
Dan kita perlu
dulu berguru pada kursi usang
Berguraulah
untuk gembira
Gembiralah
untuk rista dan derita
Hingga tiada
enggan lagi, kita
meneguk air
hujan yang kepanasan
tempat nyamuk
bersarang dan bertelur
Manis tanpa
gula, dahaga telah terhibur seadanya
Mari kita
hitung bintang-bintang yang tertangkap mimpi
Dan kita
pamitan dulu sama pemilik mesjid
Mari kita
berpacu
Kejar cita
Kejar cinta
Pasti kasih
dalam pelukan
Darah
menjalar
membuyar,
menebar
dalam sewadah
kendi
dari ujung
muara
ke ujung dasar
meruncing merah
putih lagi
mengalir deras
menguning padi,
menunduk dalam denyut
dari sekerat
bumi
menetes ke
cairan suci
menempa bentuk
untuk janji
menjaga bumi
sebelum putaran
jarum jam mendenting
mau menundukkan
waktu yang bergulir
sekilat puyuh
melesat
dari suatu yang
menggenggam
rahasia langit
dan bumi
dihembusnya
dengan suatu kejadian
dengan suatu
kekerasan, amat lembut sekali
dalam suatu,
bukan suara
jadilah maka
terjadilah
darah
berapa detak
hidup jantung berdenyut
jadi apa? dalam
sandiwara
bila hidup
sudah kering dalam cerita
pilar-pilar
kembali mengkristal bumi
dari kebekuan,
cairan berkata
semua telah
mengalir sesuai kodrat
dalam nafiri
hiruk pikuk lembah manusia
Banjarbaru
Kota kecil,
berbunga karamunting ungu-ungu, itu dulu
Sekarang
terbabat, tumbuh rumah-rumah
Para pensiunan
betah menetap
Kuburan
mengepung kota, itu dulu
Sekarang kota
tambah pesolek, dilirik-lirik
Para makelar
tanah menjanjikan kue lapis
Berlapis-lapis,
ruwet-ruwet manis
Para petinggi
yang mengerti, pasang lukah di tengah hari
Matahari tambah
meninggi, semarak kota menyingkap rezeki
Ramai burung
berkicau, berburu buah ungu-ungu
Karamunting
sudah matang, waktunya untuk dipetik
Banjarbaru,
kotaku mau jadi apa?
Tergantung
petinggi yang ada di Murjani
Kita lihat
saja, geliat naga mengaduk awan
Banjarbaru
Kota
pemerintahan
Kota pendidikan
Bangga, harap
kami bergelayut di atas pelangi
Menanti hujan,
berarak awan membawa angin perubahan
Bismillah
Kupinjam
ayat-ayat-Mu untuk berpuisi
Biar selamat,
merenangi lautan hati manusia
yang selalu
bersiasat
Yang semua
belum tentu mengerti,
luasnya rasa
apalagi prasangka
Bismillah
Kupinjam
ayat-ayat-Mu untuk berpuisi
Biar tidak
tenggelam menyelam dalam duga
Yang semua
orang terbatas dalam meraba
dan menyimpan
napas yang tersisa
Bismillah
Kupinjam
ayat-ayat-Mu untuk berpuisi
Biar aku tidak
besar kepala, dalam bangga membusung dada
Jangan sampai
puisi menjadi berhala
Bismillah
Kupinjam
ayat-ayat-Mu untuk berpuisi
Biar aku
semakin mengerti,
keterbatasan
mampu merangkai kata
Satu hurup pun
aku tak punya
Bismillah
Kupinjam
ayat-ayat-Mu untuk berpuisi
Kurangkai
tulis, kurangkai kata, pena tulis menggores arti
Sedikit tak
punya arti, mampuku hanya basa-basi
Kasih sayang-Mu
lah yang bisa memberi arti
Untuk
dimengerti
Tentang Iberamsyah Barbary
Iberamsyah Barbary lahir di Kandangan, 2 Januari
1948. Semasa sekolah dan remaja tahun 1960-1970 di Banjarmasin, aktif di IPNU,
KAPPI, PMII, Pramuka, LESBUMI, PERPEKINDO. Selain menulis puisi, juga bergiat
di seni drama dan tari. Mengundurkan diri jadi PNS/guru, untuk menjadi sales di
PT. Asuransi Jiwasraya hingga pensiun tahun 2002 sebagai Regional Manager untuk
wilayah Kalimantan di Balikpapan. Setelah pensiun aktif kembali di dunia
pendidikan sebagai pengurus Yayasan Melati di Samarinda, dan sejak 2008 kembali
menekuni puisi dan bergabung dengan Komunitas Studi Sastra Banjarbaru.
Catatan Lain
Sebelum
Dialog Borneo Kalimantan di Samarinda, Juli 2011 lalu, saya tak pernah
ketemu dengan penyair ini. Jangankan
ketemu, mendengar namanya saja belum pernah. Rupanya penyair ini telah lama
menghilang dari rimba perpuisian di Kalsel. Tajuddin Noor Ganie dalam Antologi
Biografi Sastrawan Kalsel hanya menulis biografinya tiga baris. Hanya disebut
bahwa publikasi puisinya antara lain di RRI Banjarmasin dan SKH Banjarmasin
Post. Kesan saya, orang ini cepat akrab dengan siapa saja, walaupun baru sekali
bertemu, seperti saya. Pembawaannya gembira. Ia menjadi “penunjuk jalan” bagi
sastrawan Kalsel yang datang dalam perhelatan itu. Di hotel Lambung, beliau
tinggal sekamar dengan penyair Arsyad Indradi. Kepada saya, beliau mengakui
kalau yang berjasa besar mengembalikan dia ke dunia puisi adalah penyair Arsyad
Indradi. Beliau juga mengajak saya dan penyair Ali Syamsudin Arsi (sedikit di
antara peserta yang belum pulang paska penutupan dialog borneo) berkunjung ke
rumah sahabatnya, seorang pengusaha, anggota DPR/MPR RI, Ketua NU dan pembina
yayasan Melati, H. M. Rusli. Rupanya beliau mengungkapkan keinginan untuk
menerbitkan buku puisinya. Setelah dialog Borneo itu, saya jarang lagi bertemu,
padahal beliau mulai aktif kumpul-kumpul di Minggu Raya. Itu saya ketahui
setelah pertemuan berikutnya di Temu Sastra Indonesia, Banjarmasin, November
2012 lalu di hotel Palm. Di kesempatan itulah beliau ngasih saya buku Serumpun
Ayat-ayat Tuhan dan Kumpulan Sajak Asmaul Husna. Buku kumpulan puisi
ini dicetak hard cover oleh percetakan PT. Grafika Wangi Kalimantan. Dalam
catatan penutup, penyair Radius Ardanias Hadariah menulis begini: Puisi tak
pernah cuma.... bagaimana cuma, jika puisi tidak sekedar hadir untuk dirinya,
yakni puisi, tapi selalu membawa pesan yang berlapis-lapis, seluas langit
terbuka dalam benak sidang penbaca. Puisi-puisi Bram hadir dengan semangat
membawa pesan, hampir-hampir tidak peduli yang lain selain pesai. Banyak pesan
yang diangkut dalam puisi-puisi Bram, tapi pada puisi mana pun selalu ada pesan
dasar, yang menjadi nampan tempat pesan-pesan khusus itu diletakkan, yakni
kesetiaan dan kejujuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar