Data buku kumpulan puisi
Judul : Gitanjali
Penulis : Rabindranath Tagore
Penerjemah : Anna Karina
Penerbit : Liris, Surabaya
Cetakan : I, Januari 2010
Tebal : xvi + 112 halaman (106 puisi)
ISBN : 978-602-95979-0-5
Editor bahasa : Sandiantoro
Desain sampul : Yoyok
Pemeriksa aksara : Agus Hidayat
Beberapa pilihan puisi Rabindranath Tagore dalam Gitanjali
(Puisi-puisi
di buku tanpa judul, judulnya saya yang kasih, kebanyakan diambil dari baris
pertama puisi)
Engkau Menciptakan Aku Tanpa Akhir
Engkau menciptakan aku tanpa akhir, itulah kesenanganmu.
Bejana yang lemah ini kau kosongkan lagi dan lagi, dan kau isi selamanya dengan
kehidupan yang segar.
Seruling buluh yang kecil ini kau bawa melintasi
perbukitan dan ngarai, dan bernapas melaluinya kau hembuskan melodi yang selalu
baru.
Pada sentuhan abadi tanganmu hati kecilku kehilangan
batasnya dalam keriangan dan melahirkan ungkapan yang tak terkatakan.
Pemberianmu yang tak terbatas datang padaku hanya dalam
tanganku yang sangat kecil ini. Masa-masa berlalu, masih kau tuangkan, dan di
sana masih ada ruang untuk diisi
Minuman Suci Apa yang Kau Punyai
Minuman suci apa yang kau punyai, Tuhanku, dari cawan hidupku yang melimpah
ini?
Penyairku, inikah kesenanganmu untuk melihat ciptaanmu melalui mataku dan
untuk berdiri di pintu gerbang telingaku dengan diam untuk mendengarkan harmoni
abadimu sendiri?
Duniamu menenun kata-kata dalam pikiranku dan kegembiraanmu menambahkan
musik pada mereka. Kau memberikan dirimu sendiri padaku dalam cinta dan kemudian
merasakan seluruh kemanisanmu sendiri dalam diriku.
Ketika Kau Perintahkan Aku untuk Bernyanyi
Ketika kau
perintahkan aku untuk bernyanyi nampaknya hatiku akan retak dengan kebanggaan;
aku menatap wajahmu, dan air mata menggenang di mataku.
Semua yang kasar
dan tak serasi dalam hidupku melebur dalam satu harmoni yang manis – dan
pemujaanku mengembangkan sayap-sayapnya seperti seekor burung yang gembira
dalam penerbangannya melintasi lautan.
Aku tahu kau
mengambil kesenangan dalam laguku. Aku tahu bahwa hanya sebagai seorang
penyanyi aku datang di hadapan kehadiranmu.
Dengan tepi sayap
yang jauh-mengembang dari laguku aku menyentuh kakimu yang tak pernah bisa aku
cita-citakan untuk kuraih.
Mabuk dengan
keriangan laguku aku melupakan diriku sendiri dan menyebutmu kawan, tuanku.
Pada Hari Ketika Teratai Mekar
Pada hari ketika
teratai mekar, aduh, akalku tersesat, dan aku tidak menyadarinya. Keranjangku
kosong dan bunga itu tetap tak teracuhkan.
Cuma kini dan lagi
seberkas kesedihan menimpaku, aku terbangun dari tidurku dan merasakan jejak
yang manis dari keharuman asing pada angin selatan.
Manisnya yang samar
membuat hatiku menderita dengan kerinduan dan nampak bagiku bahwa ia adalah
napas musim panas yang tak sabar mendapatkan kesempurnaannya.
Saat itu aku tak
tahu bahwa ia begitu dekat, ia milikku, dan manisnya yang sempurna telah
merekah di kedalaman hatiku sendiri.
Aku Harus Meluncurkan Perahuku
Aku harus
meluncurkan perahuku. Jam-jam yang letih berlalu di pantai – Celakanya aku!
Musim semi telah
memberikan bunga-bunganya dan pergi. Dan sekarang dengan beban bebungaan yang
layu dan sia-sia aku menunggu dan bertahan.
Ombak-ombak
menggelora, dan di tepi jalan setapak yang rindang daun-daun kuning menggeletar
dan gugur.
Betapa kau hanya menatap
kekosongan! Tidakkah kau merasakan gairah melintasi udara dengan nada-nada lagu
yang sangat jauh mengambang dari pantai lain?
Kau adalah Langit dan Kau juga adalah Sarang
Kau adalah langit dan kau juga adalah sarang.
O, kau yang indah,
di sana dalam sarang adalah cintamu yang melingkungi jiwa dengan warna-warni
dan suara-suara dan wewangian.
Di sana datang pagi
dengan keranjang keemasan di tangan kanannya membawa kalung bunga keindahan,
untuk dengan diam memahkotai bumi.
Dan di sana datang
malam di atas padang-padang rumput yang kesepian ditinggalkan oleh kumpulan
hewan, melalui jalan-jalan yang tak terlacak, membawa aliran sejuk kedamaian
dalam guci keemasannya dari samudra barat yang tenang.
Namun di sana, di
mana meluas langit tak berbatas bagi jiwa untuk membawanya terbang ke dalam,
berkuasa sinar putih tanpa noda. Di sana tak ada siang maupun malam, tak ada
bentuk maupun warna, dan tak pernah, tak pernah ada kata.
Sambut Ia dengan Tangan Kosong
Malam menjadi
gelap. Hari kerja kami telah berakhir. Kami mengira bahwa tamu terakhir telah
datang malam itu dan pintu-pintu di desa semua tertutup. Hanya seseorang
berkata bahwa raja akan datang. Kami tertawa dan berkata ‘Tidak, itu tidak
mungkin!’
Nampaknya ada
ketukan di pintu dan kami berkata itu bukan apa-apa cuma angin. Kami mematikan
lampu-lampu dan berbaring untuk tidur. Hanya seseorang berkata, ‘Itu si pembawa
pesan!’ Kami tertawa dan berkata ‘Bukan, itu pasti angin!’
Kemudian datang
satu suara di malam buta. Dengan mengantuk kami mengira itu adalah guruh di
kejauhan. Bumi bergetar, dinding-dinding berguncang, dan mengganggu kami dalam
tidur kami. Hanya seseorang yang berkata itu suara roda-roda. Kami berkata
dalam gumaman mengantuk, ‘Bukan, itu pasti deruman awan!’
Malam masih gelap
ketika genderang berbunyi. Suara itu datang ‘Bangun! Jangan tunda!’ Kami
menekan tangan kami pada jantung kami dan gemetar ketakutan. Seseorang berkata,
‘Lihat, itu bendera raja!’ Kami berdiri dan berteriak “Tidak ada waktu untuk
menunda-nunda!’ Raja telah tiba – tapi di mana cahaya, di mana kalung bunga? Di
mana singgasana tempatnya duduk? Oh, memalukan! Di mana balairung,
hiasan-hiasan? Seseorang berkata, ‘Percuma teriakan ini! Sambut ia dengan
tangan kosong, bawa ia ke dalam ruanganmu yang kosong!’
Aku Mengira bahwa Perjalananku telah Tiba di
Akhirnya
Aku mengira bahwa
perjalananku telah tiba di akhirnya dan pada batas terakhir kekuatanku, --
bahwa jalan di hadapanku tertutup, bahwa bekal telah tandas dan waktu tiba
untuk berlindung dalam kesunyian yang tak dikenal.
Namun aku
mendapatkan bahwa kehendakmu tidak mengenal akhir dalam diriku. Dan ketika
kata-kata lama mati di lidah, melodi baru menyeruak dari hati ini; dan di mana
jalan setapak lama telah hilang, negeri baru terungkap dengan pesonanya.
Aku tidak Menyadari
Aku tidak menyadari
saat ketika aku pertama menyeberangi ambang kehidupan ini.
Kekuatan apa yang
membuatku keluar ke dalam misteri yang luas ini seperti sebuah kuncup dalam
hutan di tengah malam!
Ketika di pagi hari
aku melihat pada cahaya aku merasakan dalam satu saat bahwa aku bukan orang
asing di dunia ini, bahwa hal gaib tanpa nama dan bentuk telah menangkapku
dalam tangannya dalam bentuk ibuku sendiri.
Bahkan, dalam
kematian hal tak dikenal yang sama akan muncul sebagai yang selalu aku kenal.
Dan karena aku mencintai kehidupan ini, aku tahu aku akan mencintai kematian
pula.
Seorang anak
berteriak ketika dari dada kanan sang ibu menjauhkannya, dalam waktu segera
menemukan di dada kiri sebagai pelipurnya.
Ini adalah Kepedihan
Ini adalah
kepedihan akan keterpisahan yang menyebar ke seluruh dunia dan melahirkan
bentuk-bentuk yang tak terhitung di langit yang tak berbatas.
Ini adalah
kesedihan akan keterpisahan yang memandang dalam kesunyian setiap malam dari
bintang ke bintang dan menjadi lirik di antara desiran daun-daun dalam
kegelapan bulan Juli yang berhujan.
Ini adalah
kepedihan yang menyebar yang mendalam menjadi cinta dan gairah, menjadi
penderitaan dan kegembiraan dalam rumah-rumah manusia; dan inilah yang selalu
melebur dan mengalir dalam lagu-lagu melalui hati penyairku.
Biarkan Semua Alunan Kegembiraan Berpadu
Biarkan semua
alunan kegembiraan berpadu dalam lagu terakhirku – kegembiraan yang membuat
bumi mengalir di antara belantara liar rerumputan, kegembiraan yang menyatukan
saudara kembar, hidup dan kematian, menari melintasi dunia yang luas,
kegembiraan yang meniup dalam prahara, menggoncang dan membangunkan semua
kehidupan dengan tawa, kegembiraan yang duduk tenang dengan air matanya menetes
pada teratai merah penderitaan yang terbuka, dan kegembiraan yang melempar
semua yang dimilikinya ke atas debu, dan tidak mengenal satu patah kata.
Cahaya, Cahayaku
Cahaya, cahayaku,
cahaya yang mengisi dunia, cahaya yang mengecup mata, cahaya yang memaniskan
hati!
Ah, cahaya menari,
kekasihku, di pusat hidupku; cahaya berguncang, kekasihku, paduan nada cintaku;
langit membuka, angin berlari liar, tawa melintasi bumi.
Kupu-kupu
merentangkan layar-layar mereka di lautan cahaya. Bunga lili dan melati
menggelora di puncak gelombang cahaya.
Cahaya memecah
menjadi emas di atas setiap awan, kekasihku, dan menyerakkan permata dengan
berlimpah.
Kegembiraan
menyebar dari daun ke daun, kekasihku, dan kegembiraan tanpa batas. Sungai surga
telah menenggelamkan tepi-tepinya dan banjir kegembiraan tersiar luas.
Ketenangan Matahari
Ketenangan matahari
yang bersulam kemuraman hijau pelan-pelan menyebar di hatiku. Aku lupa untuk
apa aku bepergian, dan aku menyerahkan akalku tanpa perlawanan kepada
kesimpang-siuran bayang-bayang dan lagu.
Akhirnya, ketika
aku bangun dari tidurku dan membuka mataku, aku melihatmu berdiri di sampingku,
melimpahi tidurku dengan senyummu. Bagaimana aku bisa takut bahwa jalan itu
panjang dan meletihkan, dan perjuangan untuk meraihmu itu berat!
Tidakkah Kau Dengar Langkah-langkah Sunyinya
Tidakkah kau dengar langkah-langkah sunyinya?
Ia datang, datang, selalu datang
Setiap saat dan setiap zaman, setiap hari dan
setiap malam ia datang, datang, selalu datang.
Banyak lagu telah aku nyanyikan dalam banyak
suasana hati, namun semua nada mereka selalu mengatakan, ‘Ia datang, datang,
selalu datang.’
Di hari-hari semerbak bulan April yang
bermatahari melalui jalan setapak hutan ia datang, datang, selalu datang.
Di suramnya hujan malam-malam bulan Juli di
atas kereta perang dari awan yang menggeledek ia datang, datang, selalu datang.
Dalam penderitaan demi penderitaan
langkah-langkah kakinya itulah yang menjejak hatiku, dan sentuhan keemasan dari
kakinya itulah yang membuat kegembiraanku bersinar.
Waktu untuk Mengisi Kendi
Hari siang tak ada
lagi, bayangan ada di atas bumi. Sudah waktunya aku pergi ke sungai untuk
mengisi kendiku.
Udara malam riang
bersama musik sedih air. Ah, ia memanggilku keluar ke dalam senja. Di jalan
yang kesepian tidak ada orang lewat, angin bertiup, riak-riak merajalela di
sungai.
Aku tidak tahu
apakah aku akan kembali ke rumah. Aku tidak tahu siapa yang akan kebetulan
kutemui. Di sana di tempat yang dangkal dalam perahu kecil orang tak dikenal
memainkan kecapinya.
Pemberianmu
Pemberianmu pada
kami makhluk fana memenuhi semua kebutuhan kami dan kemudian ia berlari kembali
pada kau yang tak dapat dimusnahkan.
Sungai ini memiliki
tugas untuk dilakukan setiap hari dan bersigegas melalui ladang-ladang dan
dusun-dusun kecil; kemudian anak sungainya yang tak pernah berhenti
berkelok-kelok untuk membasuh kakimu.
Bunga ini
memaniskan udara dengan wanginya; kemudian pengabdiannya yang terakhir adalah
untuk mempersembahkan dirinya sendiri padamu.
Pemujaan terhadapmu
tidak memiskinkan dunia.
Dari kata-kata
penyair orang-orang mengambil arti yang menyenangkan mereka; kemudian arti
terakhir mereka menunjuk padamu.
Dengan Satu Salam
Dengan satu salam padamu, Tuhanku, biarkan semua
perasaanku menyebar dan menyentuh dunia ini di kakimu.
Seperti awan-hujan bulan Juli yang tergantung rendah
dengan beban rintik yang tak tercurahkan biarkan semua pikiranku membungkuk
rendah pada pintumu dengan satu salam padamu.
Biarkan semua lagu-laguku yang mengumpulkan bersama
bermacam nada mereka ke dalam satu arus dan mengalir ke lautan keheningan
dengan satu salam untukmu.
Seperti sekawanan bangau yang rindu rumah yang terbang
siang dan malam pulang kembali ke sarang-sarang pegunungan mereka biarkan
seluruh hidupku melakukan perjalanannya ke rumah abadinya dengan satu salam
untukmu.
Tentang Rabindranath Tagore
Orang Asia pertama yang memperoleh hadiah
Nobel Sastra (1913) ini lahir di Jorasanko, Calcuta, India, 7 Mei 1861.
Meninggal 7 Agustus 1941 dalam usia 80 tahun. Terlahir dari keluarga Brahmana
Bengali (ejaan Bengalinya: Rabindranath Thakur). Sebagai novelis, Tagore telah
menulis 8 novel dan 4 novela. Menulis novel pertamanya di usia Sembilan belas
tahun. Sebagai musikus, menulis 2.230 lagu. Ia juga melukis dan mulai terkenal
sejak berpameran di Paris. Sejak usia 16 ikut berteater dan menulis juga naskah
drama (setidaknya ada 7 naskah drama). Pun menulis cerpen. Kumpulan puisinya: Manasi (The Ideal One, 1890), Sonar Tari (The Golden Boat, 1894), Gitanjali (Song Offerings, 1910), Gitimalya (Wreath of Songs, 1914), Balaka (The Flight of Cranes ,1916).
Catatan Lain
Setelah membaca Gitanjali, saya mulai merasa,
bahwa penyair Sapardi Djoko Damono, banyak mengambil jiwa dari puisi-puisi
Tagore. Tapi entahlah, itu perasaan saya saja. Tentu ini tak ada kaitan (tapi
bisa juga ada) dengan kenyataan bahwa penyair SDD lahir di solo dan di solo,
ada jalan bernama jalan Rabindranath Tagore. Misalnya kita tahu, pada 14 Juli 1927, Tagore bersama dua
sahabatnya, berangkat ke Asia
Tenggara selama empat bulan demi
mengunjungi Bali, Jawa, Kuala
Lumpur, Malaka, Penang, Siam dan Singapura. Dan
catatan perjalanannya ini dikumpulkan dalam bukunya yang dijuduli "Jatri". Ya, ada masa ketika
Tagore tergerak oleh jiwa petualang yang besar. Bayangkan, antara tahun 1878
dan 1932, ia mengunjungi lebih dari tigapuluh negara di lima benua!
Seperti
dikatakan di depan, puisi-puisi Gitanjali tak memiliki judul. Dari beberapa
literatur, diketahui bahwa beberapa terjemahan memakai judul Song I sd akhir.
Mengenai jumlah puisi, ada yang menulis 103 puisi. Tapi di buku ini, kayaknya
ada 106 puisi. Di buku ini, untuk menandai puisi diawali dengan satu huruf awal
yang ditebali dan ukurannya diperbesar.
Saya
tak punya ingatan maupun referensi tentang puisi Tagore sebelum buku ini saya
beli bulan lalu. Tapi mungkin nama Rabindranath Tagore sudah bercokol sejak
SMP. Barangkali ada terbaca sekilas dua di beberapa buku atau mungkin ada juga
diterjemahkan Amir Hamzah dalam Stanggi Timur-nya. Nanti saya cek lagi.
Satu
puisi yang ternyata ada di buku Gitanjali adalah puisi yang saya baca dari buku
motivasi Money Magnetism karya J.
Donald Walters. Buku itu dialih bahasa oleh Juanita Koeswinaritha Bawolje dan
diterbitkan Gramedia tahun 2004. Tapi waktu itu, saya tak menganggapnya sebagai
puisi karena ia mengalir seperti bercerita saja. Setelah saya banding-banding,
ternyata saya lebih suka dengan terjemahan Juanita. Maka begini bunyi
terjemahannya:
Aku mengemis dari rumah ke rumah di jalanan desa ketika
kereta emasmu tampak dari kejauhan seperti mimpi indah dan aku bertanya-tanya
siapakah Raja diraja ini?
Harapanku melesat tinggi dan kukira kemalanganku akan
berakhir, dan aku berdiri menunggu pemberian dan kekayaan yang bertebaran di
setiap jejak kereta.
Kereta kuda itu berhenti di hadapanku. Tatapanmu tertuju
padaku dan engkau turun sambil tersenyum. Aku merasa keberuntunganku akhirnya datang.
Lalu, tiba-tiba engkau menjulurkan tangan dan berkata, “Apa yang akan kau
berikan kepadaku?”
Ah betapa lucu lelucon menengadahkan tanganmu kepada
seorang pengemis untuk mengemis! Aku bingung dan ragu, kemudian perlahan-lahan
kukeluarkan sejumput biji jagung dari kantongku dan kuberikan kepadamu.
Betapa terkejutnya aku, ketika sore tiba aku mengosongkan
kantongku dan menemukan biji emas di antara tumpukan hasil mengemis! Aku
menangis pedih dan berharap andai saja aku rela memberikan semua milikku
kepadamu.
Gitanjali terdiri
dari dua kata yaitu Git (lagu) dan Anjali atau Anjoli (persembahan). Jadi kalau
digabung satu menjadi semacam
“lagu persembahan”. Keterangan di buku ini, Gitanjali terbit pertama tahun 1912. Namun dari
literatur lain, terbit tahun 1910. Ada kata pengantar dalam buku ini,
sepertinya ditulis oleh penerjemah dari bahasa india ke bahasa inggris, tapi
tak ada satu pun nama tertulis demi menerangkan siapa yang menulis
pengantarnya.
Numpang Mampir gan :)
BalasHapusJasa Pembuatan Blog,Jasa Pembuatan Website,Jasa SEO http://jasapembuatanblogonline.blogspot.com
Panjutkwn gan
BalasHapusSangat indah
BalasHapus