Data buku kumpulan puisi
Judul : Mereka Menunggu Ibunya
Penulis : Abdul Hadi W. M.
Penerbit : PN. Balai Pustaka, Jakarta
Cetakan : I, 1983
Tebal : 51 halaman (31 puisi)
BP No. 3152
Ilustrasi Kulit : Abdul Hadi W. M.
Perancang kulit : Hanung Sunarmono
Keterangan buku: Bahan sajak-sajak nasehat lama dari
Negeri Cina ini diambil dari Chinese
Poems on Ahimsa, Dr. Raghu Vira, International Academy of Indian Culture,
Nagpur, 1964. Dicipta kembali oleh: Abdul Hadi W.M.
Beberapa pilihan puisi anak gubahan Abdul Hadi W. M. dalam Mereka
Menunggu Ibunya
Tolong-Menolong
Di tepi kali yang deras
seekor kepiting merintih keras
ia tak bisa berjalan buat pulang ke liang
seluruh kakinya putus di batu karang
Jerit pilunya terdengar kawan-kawannya
Hingga berdatangan
“Ada apa gerangan kawan?” tanya kawannya
“Kakiku retak lalu patah dihantam gelombang,” ujarnya
Lalu dua ekor kepiting yang kuat maju
Mereka angkat dan gotong si malang
Penuh cinta dan kasih sayang
Tolong-menolong adalah lambang kedamaian dan kemanusiaan
Aku lantas termenung
Kalau kepiting si makhluk kecil kurang beruntung
Punya rasa belas dan bisa tolong-menolong
Kenapa kita makhluk yang mulia tidak?
Mereka Menunggu Ibunya
Siapa bilang
kehidupan binatang
tak ada artinya
kulit, tulang dan daging mereka
sama dengan kulit, tulang dan daging kita
sama merasakan pedih dan lapar
sama merindukan belaian kasih sayang
Karena itu
burung di puncak pohonan
jangan tembak sebarang
Di sarangnya nun jauh
anak-anak mereka yang kecil
dan kelaparan
mencicit tak henti-hentinya
menunggu ibunya pulang
Anak Desa
Aku anak desa
Aku tinggal di tepi kali hijau
Bersih dan jernih airnya
Segar tak ada bandingnya
Tiap hari kunikmati
kehijauan bumi
dan keindahan
matahari terbit dan tenggelam
Rumahku dikitari sawah dan air
Di sekelilingku kebahagian dan kesuburan
Di halaman rumah kutanam pohon
Telah bertahun-tahun lamanya
Kini pohonku menjulang tinggi
Rindang dan rimbun
Teduh duduk di bawahnya
Kubiarkan ia menjulang
Tak pernah kutebang
Agar burung-burung membangun sarang
Dan berkicauan di dahan-dahannya
Agar mereka tenteram dan damai
Mengasuh anak-anaknya
Bagaimana
Bagaimana kalau anak-anak
diperlakukan seperti capung
badan diikat tali tambang
dan disuruh lari ke padang
dalam panas yang membakar badan
Bagaimana kalau anak-anak
seperti burung dimasukkan sangkar
Bagaimana kalau anak-anak
diadu seperti cengkrik
atau domba di lapangan
Bagaimana kalau anak-anak
diikat bertahun-tahun
seperti monyet di halaman rumah
Bagaimana kalau anak-anak
disakiti dan dipukuli
seperti keledai yang dicemeti
Bagaimana kalau anak-anak
tidak diberi makan
seperti anak kucing
yang kedinginan dan kelaparan?
Tanaman
Di tembok
dekat tangga semen yang retak
di muka pintu
rumahku yang teduh dan naung
telah tumbuh
tanaman kecil
bagus dan molek warnanya
bagaikan kupu-kupu
hinggap dari jauh
barangkali seekor burung mungil
telah menyebarkan biji-biji kecil
di sini
bagai menebarkan kasih sayang
salam dan selamat pagi
Aku bangun
dengan muka cerah
dan hati senang pagi itu
Sebab
tanaman kecil pun
ingin tumbuh dan menikmati hidup
kusiram ia setiap pagi
kupindahkan ke pot
kusayangi dan kupelihara setiap hari
agar segar dan tetap berseri-seri
Bunga yang Harum
Si bunga yang harum
indah dan mempesona
tak lagi semerbak
ia dirampas dan dipetik dari pohonnya
lenyap warnanya yang mendatangkan bahagia
sirna semua keindahannya
layu esok dan dilupakan orang
dibuang ke tepi jalan
Kita pun akan terbuang
seperti bunga layu
dan dilupakan orang
bila culas, banyak berbohong
tak belajar dengan rajin
dan lupa menjaga diri
Kita akan layu terbuang
ke tepi jalan
dipanggang panas matahari siang
Bunga Gugur
Gerimis pecah berderai
seperti airmataku
Bunga lepas dari tangkai
gugur dan layu
Di ufuk barat
matahari mulai terbenam
langit akan gelap
dan sebentar lagi malam
Di udara kudengar
jerit pilu perpisahan
dari seekor burung
ketika si jantan gugur dan jatuh
terkena letusan senapan
Andai Kita Dipenjara
Andai kita dikerangkeng dalam penjara
terpisah jauh dari sanak dan keluarga
tak bisa bermain dengan kawan dan tetangga
pedih hati, lunglai dan tersiksa
kurus badan dan mampus digigit nyamuk tiap malam.
Bagaimana pulakah dengan seekor burung
yang tertangkap dan kita jebloskan ke dalam sangkar?
Bila kita cinta kebebasan dan kebahagiaan
Lepaskanlah si burung
Biarkanlah mereka terbang dan melayang
Di alam bebas antara awan dan pepohonan
Sebab bulu burung di udara lebih cerah
Dan kicaunya lebih merdu mendatangkan bahagia
Dari burung dalam sangkar
Di Tepi Sungai
Air beriak tenang
Bayang-bayang pohonan teduh dan rindang
Padang luas dan sawah terbentang
Jalanan sepi dan damai
Ketika matahari mulai terbenam
Nun jauh di sana
Di desa yang teduh dan tenteram
Asap mengepul
Dari dapur-dapur rumah yang tersembul
Bapak, ibu, anak-anak
Mereka semua sudah pulang
Mandi dan memasak
membuat makanan malamnya
Dan dari sawah
bangau-bangau beterbangan
burung-burung terbang merendah
pulang ke sarangnya
dalam kegelapan pohonan
Anak-anak
bangau-bangau dan burung-burung itu
Seperti kita
mereka terbang jauh mengembara
namun pulang juga ke bumi
karena mereka mencintai bumi
dan mencintai rumah mereka yang tenteram
mencintai kampung halaman dan tanah kelahirannya
Mengail di Kali
Di kali kecil
keruh karena sampah dan kotoran
ikan-ikan tinggal sedikit
dan payah berkembang biak
karena beribu penyakit
Tapi kita masih mengail di sana
Kita masih ingin mendapatkan ikan
ingin memakan dan menghabiskan mereka
hingga musnah semuanya
Mengapa tidak kita pikirkan:
bersihkan kali, jangan buang sampah
dan kotoran semaunya
biar ikan-ikan hidup
dan berkembang biak
seperti sedia kala
Bulu-bulu Berserakan
Bulu-bulu berserakan di tanah
darah menetes dan berceceran
Seraya menangis menciap-ciap
anak-anak ayam memandang dan kebingungan
saling memandang dan kebingungan
“Ke manakah gerangan ibuku pergi?” tanya mereka
“Kenapa bulu-bulu bertebaran di sini
dan darah berpercikan di mana-mana?”
Mereka tetap termangu-mangu
Tak tahu ibunya telah mati, dipotong lehernya
Melihat ini
Aku pun menangis terisak-isak
Anak ayam pun
Mencintai ibunya
Dan anak ayam pun
Mendambakan cinta ibunya
Kasih Sayang
Hewan-hewan pun
punya rasa persahabatan dan kasih sayang
Karena itu
tak jarang mereka tolong-menolong, sayang-menyayang
Semut bergotong-royong mengangkat makanan
dan bersalam-salaman bila ketemu kawan
Lebah bantu membantu
membuat madu
Anjing sangat pandai melindungi anaknya
Sapi cermat dan hati-hati menjaga bayinya
Induk ayam selalu mengawasi
dan siap melindungi anak-anaknya dari ancaman bahaya
Dan ikan belut
senantiasa waspada
pada malapetaka
yang mengintai anak-anaknya
Namun orang hanya pintar omong
suka membunuh dan menyusahkan yang lain
akalnya hanya digunakan untuk menipu dan berbohong
Pemandangan di Dapur
Di dapur
ikan-ikan tergeletak
terpotong-potong
daging sapi atau ayam
tergeletak
dan terpotong-potong
dan di meja
pisau tajam
darah beku dari ikan
dan daging yang terpotong-potong
Alangkah buas manusia
Kemudian periuk mendidih
api mengepulkan asap
kuali panas berkobar-kobar
dan minyak goreng berbunyi
Kita masukkan telor
berisi calon anak bebek dan ayam
kita goreng jadi makanan
anak-anak, bayangkan
berapa ribu nyawa
sebelum kita makan
berapa ribu nyawa hewan
kita cabut dari badannya
tiap kali kita makan
anak-anak, bayangkan
kalau tiap hari kita bunuh makhluk Tuhan
masihkah kita harus berperang
bunuh-membunuh sesama kita?
anak-anak, bayangkan!
Manusia
Kitab-kitab lama mengatakan:
Anak-anakku, manusia itu
tak sempurna
penuh dosa dan kesalahan
dan saling bertengkar satu sama lain
berebut harta dan makanan
Anak-anakku, manusia itu
tak sempurna
bagaikan kain putih
yang cepat kotor dan berdebu
mudah luntur dan musnah suatu waktu
Agar bersih dan bagus
kain dicuci dan disetrika
Dan manusia
harus berbuat baik dan berdoa senantiasa
tolong menolong
tak berbohong, tak menghina
tak saling membunuh antar sesama
Anak-anakku, manusia itu
tak sempurna
jadi jangan sombong walau pandai
dan berharta
Tentang Abdul Hadi W. M.
Abdul Hadi Wiji Muthari, sebagai penyair sudah banyak
menerbitkan buku puisi, antara lain: Laut
belum Pasang (1971), Potret Panjang
Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975), Cermin
(1975), Meditasi (1976), Tergantung pada Angin (1977). Kumpulan
esainya: Gambar Manusia dalam Sastra
Mutakhir. Penyair ini kelahiran Sumenep, Madura, 24 Juni 1946.
Catatan Lain
Ada beberapa sajak di kumpulan ini, yang sepertinya
mengarah ke filsafat vegetarian. Saya tak tahu, apakah penyair hanya tertarik
atau benar-benar menjalankan pola makan vegetarian. Saya pernah menjalani
tahun-tahun ketika tak mampu menyentuh makanan bernyawa. Sejak kecil, saya tak
suka melihat hewan menderita. Jadi, jangan harap saya mampu terlibat
menyembelih atau bahkan melihat penyembelihan ayam, misalnya. Juga tak akan
bertahan jika disuruh mengolah ikan mentah. Rasa nyeri mereka terbayang-bayang
hingga ke meja makan. Saya tak suka melihat hewan disakiti dan diperlakukan
seenaknya. “Ah, mereka hanya hewan!”. Saya tak mampu mengucapkan itu.
Walau
buku ini berlabel “sajak anak-anak”, tak banyak yang mengambil bentuk orang
pertama. Artinya, si penyair tidak banyak memposisikan diri sebagai seorang
anak yang polos. Puisi-puisi dalam buku ini mengutamakan pengajaran, persis
seperti orang dewasa mendongeng buat anaknya. Ia mencari kata-kata sederhana
yang mampu dinalar oleh anak-anak, sementara posisi pendongeng sendiri adalah
orang dewasa. Sementara ada penyair lain yang mengambil posisi sebagai anak: ia
berpikir, merasa, dan memiliki imajinasi naïf sebagaimana halnya seorang anak.
Egosentrisnya lebih kelihatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar