Data buku kumpulan puisi
Judul: Gema
Secuil Batu
Penulis:
Iswadi Pratama
Cetakan: I, Oktober
2008
Penerbit: Akar
Indonesia, Yogyakarta.
Tebal: 96
halaman (49 puisi)
ISBN :
978-979-16848-6-6
Supervisi :
Joni Ariadinata
Penyunting
: Raudal Tanjung Banua
Desain isi
dan cover : Nur Wahida Idris
Ilustrasi
cover : Dalbo Swarimbawa, “Tanpa Batas”, Acrilik, 2007
Beberapa
pilihan puisi Iswadi Pratama dalam Gema Secuil Batu
Gema
Secuil Batu
-
SS
ada yang
terus menjauh
kebun
randu, rumpun perdu, dan angin abu-abu
seperti
tepukan pada batu
lalu
dongeng-dongeng baru
menutup
semua jendela dan pintu
di belakang
matamu
di depan
langkahmu, tak ada ibu
sungai
tempat segala kenang terasa hijau
mengalir ke
lubuk lampau
di situ kau
melemparkan secuil batu
dan
menunggu gemanya sepanjang harap
lalu kau
pun tahu, ada yang tak bisa lenyap
tak mungkin
lengkap
2005
Lubuk
Sajak
sekali waktu
aku hanya
ingin menulismu
seperti
kata yang gemetar
dan hampir tak terdengar
kupilih sisi pada sajak ini
serupa lekuk
dalam suluk
yang tak
dapat kau peluk
biarpun jauh kau masuk
di lubuk ini
setiap
pohon tumbuh tanpa nama
dan sekali
kau ingin menyebutnya
tak kan cukup sekadar luka
Bandar
Lampung, Desember 2004
Fragmen-fragmen
Hujan
hujan yang
berletupan dan berulangkali
kau
tafsirkan ke dalam kitab-kitab sajak itu
hanyalah
hujan yang dulu tergelincir
dari
teritis atap dan kau kumpulkan
senyap demi
senyap
bunga yang
berulangkali kau sayat
dengan
kata-kata itu
hanyalah
bunga yang dulu kau biarkan
menjalar di
pagar dan kini menjadi belukar
memelihara
desis ular dan impian sasar
sunyi yang
ribuan kali kau terjemahkan
ke dalam
puisi
adalah
sunyi yang dulu gemetar di rahim ibu
khuldi yang
melontar kau ke pusaran waktu
September,
2001
Sore
Seorang Pemurung
di manakah
kegemilanganku yang dulu
pemabuk
yang gemar bertualang
menyanyi
dengan suara ringan
bagi
sepasang kaki, untuk semua jalan
betapa
nikmat hati yang tak bisa pasti
bayangan
yang sakit di bumi
mendekap
seluruh mimpi masa muda
bergetar
dan hancur dalam suka cita
aku
mengenangnya seperti setiap orang
mengingat
seberkas pagi di sepanjang
tahun yang
pucat. lalu menceritakannya
menjelang
padam semua hasrat
Lampung,
2004
Penyair
aku selalu
tumbuh
bagi
teman-teman,
untuk
setiap orang
menciptakan
kubangan
cahaya
kata-kata
dari
separuh kesedihan
hari-hari
adalah pohon-pohon di musim hujan
tahun-tahun
merawat bayangan setiap pohon
buah
membusuk dalam hutan ingatan
di tepi
hutan itu, di batas ilusi
sebatang
sungai yang seperti sunyi
mengalirkan
bayanganku yang berdarah
semua yang
tak kukenal atau
yang pernah
tergesa mencintaiku
mengarak
bayangan itu sepanjang kota
Tanjungkarang,
10 Maret 2005
Perempuanku
perempuanku
seperti burung atau langit biru
aku sering
menatapnya dari jauh, dari sunyi
kehidupanku
kalau ia
terbang menjadi burung, aku berlari
mengikuti
ke mana saja ia bentangkan sayapnya
ia sering
hinggap di pohon-pohon tinggi, di bukit
di
karang-karang laut yang putih
kalau ia
jadi langit, aku menulis puisi di lembaran angin
menjadi
musim dan cuaca yang dingin
dalam
tidurku yang letih, perempuanku menjadi laut
di pantai,
cuma gema tak bisa surut
tapi masih
kuciumi bekas garamnya
sepanjang
tahun, berlarut-larut
Lampung,
1998
Aku
dan Ibu
di atas
kapal
dari sebuah jendela
ibu menatap
laut lepas
aku memandang
ibu
ingin terjun ke dalam matanya
di mana
laut lebih luas
tetapi mata
ibu sudah kering
hanya batu-batu terkubur di situ
ibu
menyaksikan laut tanpa batas
berenang menggantang gelombang
menuju
pantai.
aku melihat
ibu dari atas kapal
menyimpan kedua matanya
dalam
pelayaran tak pernah usai
Lampung,
1998
Laut
apa yang
dikenang pantai dari ombak
mungkin
hanya garam dan remah air
apa yang
diingat ombak dari laut
barangkali
hanya angin dan anyir
apa yang
disimpan laut dari pantai, ombak,
dan angin
selain angan
apa yang
disembunyikan angin dari laut, ombak, dan pantai
selain
sajak yang kini gemetar kau pandang
2005
Menunggu
Kereta
sang, aku
sudah di stasiun
menunggu
kereta malam
kemarau
menyisakan debu dan guram
pada
tiang-tiang besi tua, sebaris bangku hijau,
dan tubuh
boyak pendongeng yang kehabisan cerita
aku
berbicara pada seseorang yang tak ingin mendengarkan
(apa pun
tak diminatinya selain jadwal keberangkatan)
tentang
pendongeng yang menduga-duga
kisah apa
yang luput dari ingatannya
sang, aku
masih belum mengerti
apa yang
patut kusimpan dalam perjalanan pulang ini;
wisata ke
kuil, pagoda, sungai-sungai bertuah,
para santo
yang kecewa?
bahkan
cerita-ceritamu tak menarik lagi
yang
kuhafal dari setiap peristiwa
hanyalah
ruang antara tadi dan nanti
sang, aku
di stasiun
kau sudah
kutinggalkan
kereta,
mungkin, tak datang
Desember,
2005
Asmara
aku
mengantarmu setelah hujan di minggu lengas itu
aku tahu,
aku akan menyukai kesedihan
seperti
kabut pada rumput di sepanjang
jalan
setapak yang becek dan penuh jejak
hari-hari
pun akan mengambang
menjauh
dari peristiwa-peristiwa
melupakan
semua pertemuan
dan
percakapan yang menyisakan asam di tenggorokan
aku tahu
akan datang
saat di mana tangan jadi senyap
meraba
debar dan bentuk-bentuk yang luruh
sebelum
lengkap
tapi aku
akan mengenangnya
sambil
menyusuri kota
pakaian
lembab oleh cuaca
perasaan-perasaan
tak bisa nyata
aku akan
terjaga sepanjang malam
menyimpan,
mungkin membuang
bagian-bagian
tertentu dari hidup
yang
dihancurleburkan waktu
dan aku
tahu
yang
kubuang tak akan kau pungut
yang
kusimpan tak mungkin kau minta
kita telah
saling memasuki dan membentuk sebuah dunia
tapi kita
tak tahu di mana awal dan akhirnya
dan setelah
hujan di minggu lengas itu
semua yang
tiba bukan yang kita tunggu
semua yang
kita tunggu remuk di kaki waktu
Tanjungkarang,
Februari 2005
Di
Lubuk Mabuk
aku
teringat nietzsche di tengah swalayan
tapi yang
kubutuhkan cuma sebotol whisky
bukan
zarathustra, dongeng para penggembala,
atau
hamparan puisi penyair yang sedih
sejarah dan
buku-buku
akhirnya
cuma kalimat tak selesai di tengah pasar
melahirkan
sysiphus yang mencintai kutuknya
aku melihat
nietzsche menyusuri swalayan
membawa
luka di telunjuknya
berpeluk
dengan rumi
dalam dansa
dalam
tarian
berpusar di
tengah keriuhan
mabuk sunyi
mabuk
whisky
(tapi di mana sill mari, roma,
ranum anggur, mawar di tepi batu,
cawan para pencinta…?)
aku hanya
menyaksikan sebuah daratan
jutaan
tabung suara dari abad-abad yang cemas
dan
orang-orang yang merindukan nabi
sujud di
sini
dengan
kepala
yang
meleleh
Bandar
Lampung, 2000
Fragmen
Pertempuran
1. menjelang berangkat
sebenarnya
hari telah letih
ketika ia
dijemput pergi
menuju
tanah lapang di kaki bukit
tempat
sembunyi para demit
tapi sang
pertapa merapal mantra
membangkitkan
remah pagi
yang
terbaring di bawah dedaun
memeluk
bulir biji yang ranum
lalu embun
menetas di gandasuli
kaki-kaki
rumput basah
aroma
kambium meruap
dari kulit
mahoni yang terluka
maka ia pun
menaiki kudanya
kuda
bersurai biru, bersuara lembu
kuda yang
dulu membawa bapaknya
memburu
raksasa pemangsa mimpi
mimpi
anak-anak dan para pengantin
juga
mimpinya
raksasa
tumpas dengan sepasang pisau
meliang di
leher dan dada
lalu dari
lubang bekas pisau itu
menyembur
ribuan mimpi
(udara
seperti layar penuh warna
Langit
pestapora cahaya)
setiap hati
meleleh, dingin meleleh
benih-benih
yang bertahun membeku
bersembulan
dari bawah kaki
menebarkan
harum bebiji
anak-anak
dan para pengantin
menyambut
kembali mimpi mereka
dibasuh di
sumber air dekat telaga
digosok sampai
berkilap seperti sediakala
(tapi ada
mimpi yang tak kembali; mimpinya)
konon
itulah satu-satunya mimpi
yang
disembunyikan raksasa
di tanah
yang tak pernah terang
dijaga
prajurit bayang-bayang
“mengapa
hanya mimpiku?”
ia bertanya
ketika itu
menepi dari
pesta pendudukan negeri
menuang
tangis di rimbun pakis
srigunting
berkumpul di dahan manggis
tiga hari
ia bersedih
peri pandan
menghampiri
menyanyi
dengan kecapi
kumbang dan
kupu berbagi madu
“aku tak
ingat lagi mimpi apa yang dicuri raksasa”
“bukan apa
yang kau mimpikan, tapi mimpi”
“apa aku
bisa menemukannya, peri?”
“tak ada
yang dapat menduga”
tapi ia
memang ingin segera mengerti dan terus bertanya
lalu
bapaknya pergi bersama para lelaki
yang tak
punya jeri
merebut
mimpi di tanah yang tak terjamah cahaya
dijaga
prajurit bayang-bayang yang tak bisa dikalahkan
bertahun-tahun
para lelaki meninggalkan negeri
setiap
derita dalam pertempuran itu
akan juga
sampai di hati yang menunggu
hingga
jiwa-jiwa mereka
terhisap
lubang-lubang hitam di dasar jurang
“hanya
jiwamu yang bisa kujaga
sampai kuda
bersurai biru ini menjemputnya
mereka kini
menunggu,”
ia pun
gemetar di punggung kudanya
serombongan
kabut kuning muncul di ujung jalan
berdera
daun palma diikat di ujung tombak
coklat dan
boyak
merunduk
tak bergerak
pohon-pohon
jati berbaris di kanan-kiri
memberi
hormat setakzim sunyi
sementara
para penduduk negeri
mengintip
dari balik bilik
msygul oleh
ingatan
; rantai
duri yang mencekik
(seekor
penyu merambat
memanggul
waktu)
(sepi
mengharum
berayun di
bunga waru)
“setiap
kali kau tikam prajurit bayang-bayang
luka dan
perihnya kau tanggung di badan”
“perih
seperti apa?”
“seperti
lembu hidup dikuliti”
tapi kuda
bersurai biru akan membawanya
ke
tempat-tempat di mana semua rasa sakit akan tamat.
“kudamu akan
berlari secepat kau inginkan
berpantanglah
pada gentar dan gundah
sebab akan
membuatnya musnah
seperti
rumah lebah menjadi remah
dan aku
hiudp sepanjang kau tak menyerah”
sebenarnya
hari telah letih
ketika
laki-laki yang mencari mimpi itu
dijemput
pergi, dan sang pertapa tahu,
lelaki itu
tak akan punya pagi lagi.
“dalam
perjalanan atau pertempuran
jangan
sekejap kau lelap
karena di
batas ingat dan silap
arwah-arwah
jahat
menyediakan
perangkap”
sang petapa
meruat tubuh lelaki pencari mimpi
dan kuda
bersurai biru dengan debu dari belulang elang,
bunga yang
tak pudar warna, dan embun yang jatuh pertama
(bahu kurus
ia tegakkan
mata samar
dinyalangkan
sepasang
pisau dibebat di pinggang)
maka
berangkatlah ia memacu kudanya
hari pun
gerimis, meski mendung tak ada
dan terang
masih berjaga.
angin awal
tahun memeluk tengkuk
prenjak dan
kutilang terkesiap di dahan dadap
rerumpun
kabut tersibak, pilar-pilar cahaya pun tegak
di hari
yang sebenarnya telah letih
tubuh sang
pertapa menghitam perlahan
menghisap
gelap dari tanah, pepohon, dan udara
dari setiap
lekuk dan celah
lalu ia
kenang lagi negeri di ufuk timur itu
ia berbisik
padamu,
padaku,
ia pergi untuk
pertempuran
yang musykil
dimenangkan
pun dielakkan…
2. sungai
kuda
bersurai biru bersuara lembu
larinya
mendahului angin memintas waktu
hingga
senja berulang tenggelam
ia tiba di
tanah masa silam
tak tumbuh selain
perdu
tak ada hewan selain
kupu
tak terdengar selain
ngilu
tak ada warna selain
abu
ia meraih
kantung air
hanya
beberapa butir membasah mulut getir
kuda
bersuara lembu menghempaskan kaki di tanah kelabu
memancar
sungai dari celah bebatu
sungai yang
abu-abu
memantulkan
rupa ibu
terbata
mengusung kendi di kepala
menggamit
tangannya yang belia
dulu,
mantra diterakan
hingga air
beku dalam kendi itu
berminggu-minggu
ditempa
jadi
sepasang pisau di pinggangnya
sungai
menggerai rambut-rambut cahaya
dingin
merayap dari kaki hingga kepala
berdenyut
di ubun-ubun
berpusar
jadi taifun
dihempas
ganas taifun
ia berlayar
dengan perahu angsana
liuk liku
arus secepat air tempayan tumpah
(seluruh
kenangannya mengelupas dari rongga kepala
berlepasan
seperti benang dari kainnya)
“tinggal
satu mimpi, tinggal satu nyeri”
(semesta
hanya gemerincing di telinga)
sungai itu
terus mengapungkannya
menembus
ribuan labirin udara
di mana
menjulur sungai kedua
angin
lembab melarungkan perahu
layar
berkertapan laksana sayap pelikan
di atas
punggung kuda ia dengar nyanyian jeram
kita tinggalkan masa
kanak
bersukacita menuju
kesedihan
kita tinggalkan tempat
yang tentram
setelah terjaga dan
merasakan kecemasan
…..
di hari
pertama penghujan menabur benih jamur
di
tambatkan perahu di hutan yang daunnya
tak pernah
gugur
dan
pohonnya tak bernama tak berumur
lalu ia
menempuh hutan itu
menggoreskan
pisau pada setiap batang
; semacam
jejak untuk pulang
pohon-pohon
yang diiris
mengalirkan
getah serupa tangis
menjelma
sungai ketiga yang gelap dan amis
sungai yang
penuh taring dan kuku-kuku runcing
sungai
tempat ikan-ikan bersirip pedang
sungai
tempat seluruh jenis ular bersarang
sungai yang
menyimpan jerit hantu
sungai
seluruh dendam dan nafsu
sungai yang
berderam memburu
ia dan
lembu kudanya dimangsa arus
digerus
lorong-lorong stalagtit
sampai
tunai seluruh rasa sakit
lalu
tenggelam di alir tenang
dijaga
sepuluh kura-kura, peri, dan mambang
(lumut
berjalinan menjadi selimut
luka-lukanya
dibalut plankton dan liur siput)
batu-batu
saling menggosokkan badan
ikan-ikan
berenang dan berlompatan ke permukaan
mengiring
hingga muara senyap
di mana
sungai ketiga lenyap
tak bertaut
pada laut
3. gurun garam
lalu hari
melengkapkan tahun
gelap yang
tegap berbaris rapat
“hantu-hantu
itu tak bisa kucegah
mereka
mulai menguntitmu
merasuk ke
jantungku”
sang
pertapa itu berbisik terakhir kali
mungkin
padamu
mungkin
padaku
(kini laut
beku menanti;
padang
garam penghisap ingatan)
di laut itu
seorang penyair telah tenggelam
tapi
jiwanya bersemayam di istana karang
memberi
ombak sukma sajak
para
kekasih pun datang, tak bisa mengelak
lalu pada
sebuah malam purnama
ketika
bulan duduk di punggung naga
seorang
penyihir mencuri setiap ombak
yang datang
dan yang masih terpendam
laut pun
membeku menjelma gurun garam
(sejak itu,
siapa yang melintas
kenangannya
akan tumpas)
ia
memandang hamparan masa lalu yang beku
mengusap
punggung kuda yang menunggu
“tinggal
satu mimpi, tinggal satu nyeri”
ia hela
kuda itu membelah laut beku
secepat
angin mendesir, selekas embun tergelincir
suara-suara
pun menggema di jagat samudera padat
berebut
masuk gendang telinga hendak merampas
ingatannya
tapi ia
telah diruat sebelum berangkat
4. hutan bambu
tahun
sebenarnya sudah berkali lalu
ketika
langkah kudanya tertambat di hutan bambu
denging
seruling meruncing di seluruh penjuru
seorang
perawan yang, mungkin, peri hutan
mendekat
merayu
ia membuka
tubuhnya seperti cahaya
menyingkap
gelap di padang sabana
kulitnya
salju merah jambu
rambutnya
harum biji srikaya
dadanya
bukit pagi di gurun sahara
menanti
angin pertama
“lekatkan
jarimu di pinggulku
enduslah
riap rerumput di hilir perut
basahkan,
pagutkan…”
lelaki
pencari mimpi tahu
bila
hasratnya bertaut pada mulut, dada kuncup,
dan jurang
lembut muara kembara;
ia akan
usai sebelum perjalanan tunai
(tapi
penempuh sepi manakah
yang mampu
berlalu tanpa meragu)
“telah kau
pandang aku dengan mata menggebu
maka akan
sama bagimu melunaskan atau mengabaikan
gelora itu.
seluruh rasa sakit telah kembali
mustahil
kau tampik kepedihan dari setiap keindahan
kini
biarkan putik-putikku mekar dalam geletar zakar”
lalu peluh
terakhir tergelincir
lenguh
membakar pembuluh
lelaki
pencari mimpi bergulir ke tubir tubuh
matanya
menjelajah lembah
“mantra itu
telah berakhir”
“kau tak
lagi memerlukan sihir”
“tapi aku
akan binasa seperti bapak dan para lelaki
dirajam
luka dalam pertempuran itu”
“aku akan
memujamu karena kau dapat dilukai”
“apakah aku
akan merindukanmu?”
“selama kau
tak utuh”
“adakah kau
akan menungguku?”
“aku rumpun
bambu bagi serulingmu”
angin
mendesir di pesisir
ia menghela
kuda bersurai biru
cahaya dan
bayang-bayang
menyata
dalam pandang
5. pertempuran
ia tiba di
kaki bukit itu
ketika
padang gelap menguasai lengkung lembah
di punggung
gunung,
seluruh
pohon merontokkan daun
angin
menerbangkan amis luka
kuda-kuda
meringkik tanpa penunggang
tangan-tangan
yang menggenggam pedang
gemetar
menahan perih rajam dalam perang
yang
sebenarnya telah menahun itu
prajurit
bayang-bayang merentangkan lagi jubah
para
pembebas mimpi tak beringsut walau sedepa
satu
teriakan, belati dan pedang dihunus kembali
lembing-lembing
mendesing
menembus
tubuh-tubuh tanpa darah-daging
panah-panah
dari bulu rajawali mendengung
menyergap
ribuan kali
tapi
pasukan bayang-bayang bergeming
tak ada
tajam yang mampu menggores
tak setitik
darah menetes
para
pembebas mimpi yang
tak lagi
punya tempat untuk luka
berhempasan
ke tanah
debu gelap
mengental darah
membungkus
tubuh-tubuh yang tak mau kalah
tapi setiap
kali ada yang tumbang
selalu ada
yang bangkit meradang
lalu
lengking prajurit bayang-bayang
memuntahkan
lalat-lalat beracun
kuda
bersurai biru bersuara lembu
menghunuskan
dengus memancarkan
juta kunang
berbusur api
seketika
udara membara
bangkai-bangkai
hangus lalat beracun
berjatuhan
bertimbun-timbun
di bumi
membantun
sementara
nun di gurun laga
lelaki yang
mencari mimpi berlari di lumpur darah
merobek
setiap kelebat bayang-bayang
dengan
selendang pertapa
: sekujur
tubuhnya pun luka
sepasang
belati berwarna toska
terbang di
kedua sisi pundaknya
ia
menerjang ke jantung kecamuk perang
dengan
gelora laut beku yang terpendam
kunang-kunang
berbusur api menjelma kereta kencana
menderu ke
garis terdepan pertempuran
: gelap dan
terang bertabrakan
di antara
serpihan daging dan belulang
ia berdiri
bertilas sunyi
ia merasa
gemilang
karena
tubuhnya tercabik
karena
darah mengucur
karena kuda
meringkik
lalu ia tak
bertanya lagi
di mana
mimpinya
seorang laki-laki
dengan
dada yang
pecah menghampiri
“kau telah
datang
kau tak
akan pulang”
Bandar
Lampung, Agustus 2006
Tentang Iswadi Pratama
Iswadi Pratama lahir di Tanjungkarang, 8 April
1971. Menulis sajak, prosa, naskah drama dan esai sejak 1990. Merupakan
Sutradara dan Aktor untuk Teater Satu Lampung sejak 1996. Menetap di
Tanjungkarang, Lampung. Publikasi sajak di Lampung Pos, Media Indonesia, Koran
Tempo, Kompas, Jurnal Puisi, Horison. Bunga rampai puisi al: Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ, 1996), Hijau Kelon (Kompas, 2000), Living Together (TUK, 2005), Asia Literary Review (Autumn 2006, Vol.
3), Lima Pusaran (Festival Seni
Surabaya, 2007). Even
sastra yang pernah diikuti al. UWRF (Ubud, 2006), Wordstorm Festival
(Australia, 2006).
Catatan Lain
Salah satu puisi epik yang saya
pikir mempesona, adalah yang dibuat oleh Iswadi Pratama dengan judul Fragmen Pertempuran. Dalam buku
yang saya ambil di rak Hajri ini, halaman 12 kosong, seharusnya di situ ada
sajak Seorang Sahabat. Waktu di rak
Hajri, sering saya lewatkan, karena saya pikir penyair baru dan debutan. Pikir
saya, nanti-nanti sajalah ditampilkan. Hehe. Tak tahunya sudah berkecimpung
lama, sayanya aja yang gak kenal. Saya baru sadar ketika membaca Paus Merah
Jambunya Zen Hae. Puisi Paus Merah Jambu ternyata ditujukan untuk Iswadi
Pratama. Memang sejak menekuni “Kepada Puisi”, kerap muncul penyair-penyair
yang sudah top sejak lama, tapi sayanya saja yang tak tahu (ke mana saja saya
selama ini?).
makasih, sangat bermanfaat Thanks for info https://bit.ly/2RNeCTv
BalasHapus