Data buku kumpulan puisi
Judul: Dendang
Kabut Senja, tiga kumpulan sajak 1955 - 1970
Penulis:
Mansur Samin
Cetakan: I, 1985
Penerbit: Gunung
Agung, Jakarta.
Tebal: viii
+ 140 halaman (58 puisi)
Pencetak :
PT Sumber Bahagia Jakarta
Kumpulan sajak Dendang Kabut Senja terdiri dari tiga kumpulan, yaitu Dendang (22 sajak), Kabut (21 sajak), dan Senja
(15 sajak).
Beberapa
pilihan puisi Mansur Samin dalam Dendang
Kenalan
Ke sana saja duduk, katanya pelahan
kamar, tilam seakan baru didandan
di pojok kembang delima, kaca dan
dolanan segar
rumah dan santunnya memikat kawan di
mana-mana
melupakan resah melepaskan duka
gelisah
kadang semua dipasrahkan memenuhi
malam
seolah kami berdua keluarga rukun di
dunia
Kala gerimis mengamatinya di Pasarmanis
kunyalakan pelita: sandal, piring
dan gauntua
seperti ada ia di sini memanggil
darahku lagi
tapi dari kabar polisi terlambat
sudah
Rukayah dilanggar mobil tadi pagi ke
rumah sakit pusat
karena tiada pamili dimakamkan di
tanah wakaf
Mendatangi desa di rimba wilayah
selatan kukira
dari pusaka: ladang, risalah
sederhana
bekas lurah menggundikinya tak tahu
ke mana
di suratnya di bawah tikar yang
lunyah
murid madrasah, anak wedana, anggota
palangmerah
betapa mudahnya ia hadapi hidup
serba warna
datang dan pergi menentukan jalan
yang dipilih
Kini pun gerimis
di makamnya kembang delima telah
berbunga
dan di balik hari
hidupku kluyuran larut berakhir
entah di mana
Penyair
Pengagum kecintaan dunia
pencari kedalaman manusia
tapi kantuk dan lesu
pengisi jalan hidupmu
Pandangan makin jauh
sambil lupa satu pegangan
memainkan ini hidup
uang dan kesehatan
Penyair adalah cinta yang mengalir
Telaga
Gerimis hujan akhir Agustus
menggenapi selokan dan tubir kampung
aku makin kerap bertandang ke
rumahmu
seakan curah hari-hari pedih yang
menindihku
Kemudian kita sering berjumpa di
tepi telaga
bisu tak berkata-kata sangking
pedatnya jiwa
kudengar kabar dari Pedanda:
gadis itu telah kawin sejak tuan
pulang ke Jawa.
Ajakan
Mari serahkan kepadaku semua
sengsara
sampai di manalah tangis orang-orang
putus asa
tiada percaya hidup ini nyanyian
mesra
sedang baiknya
jiwa memperkelahikan nasib tiada
habisnya
Mari serahkan kepadaku semua
sengketa
sampai di manalah sedih orang-orang
kecewa
tiada percaya hidup ini hadiah indah
sedang baiknya
jiwa menegakkan keyakinan yang patah
Mari serahkan kepadaku semua cedra
sampai di manalah tuntutan ingin
bagia
terlalu menyalahkan dunia
terlalu menyalahkan sesama
sedang baiknya
jiwa mengisi hari yang masih kita
miliki
Pendatang
Percaya dengan dera pertama
lentera besar reda depan samar
di sudut rindu rasa kenal menyasar
Peluk mata bermimpi raga
luasa dan percaya ialah Nina
tapi di mana pernah jumpa?
Zaman Siap sepanjang bukit utara
membuarkan warna semua tengadah
kotaku korban aksi bumihangus
Sepi kamar begini ke mana ia pergi
di pojok tertulis: “Sekretaris
Menteri”
ujud kehidupan serba bisa
terlangsungkan?
Tukang Kebun
Betapa sering di sore hari
kami berjumpa di pojok jalan ini
menyajikan senyum dia menghormat
mesra sekali
sambil mengetam bunga-bunga: apa
kabar sudara?
Kemudian kami jarang berjumpa
hidupku disibuki zaman yang sukar
ini
tapi penggantinya tadi menuding arah
ke sana
di bawah cemara kini kuburnya
alangkah sunyi
Perbandingan
Siang makin tenang saja
mengisi hangat ruang angin segar
dari pelabuhan
di ranjang kudapati kau telanjang
dan diam
sedang di meja kotak obat,
botol-botol belum dibuka
Selama sakitmu menjadi
harga pilihan sukar tersudahi
dan jengukan dari luar sana
berakhir pada maksud yang itu-itu
juga
Begitulah diajeng manis
nilai kasar yang menyamari hidup ini
kata benar bukan kebenaran itu
sendiri
dan perbandingan gerak segala tiba
percaya tak percaya adanya Kuasa
tugas kita
menyelesaikan, bertahan dan
mengakhiri bahaya
Kala kaubenahi bekas kita terbaring
di luar kudengar ketukan giliran
lain
kerna hidupku mengisi alam berkisar
sekianlah aku pergi tanpa pamit dan
kabar.
Kami
Kami tak siasia mempertahankan
bumimu ini
menyerahkan gerak jiwa masak oleh
tenaga
pandanglah jalan suram masa kalut
yang dikeluhi
setiap kata mencari nilai dalam
benda
Kami tak siasia mempertahankan
keindahanmu ini
melepaskan ria dunia mencari arti
sederhana
lihatlah kedamaian sejuk larut
diremuk hari
seluruh malam menepis tibanya fajar
Kami telah bercinta dengan dunia dan
air mata
inilah masa retak menghancurkan
bintang sejarah
kesederhanaan jiwa menggelita sudah
tinggal kecewa melulu menjenguki
hati yang mabuk
dan dari kerentaan pencapaian bentuk
pitam berkata: Tuhan sudah tiada di
dunia!
Kami tak siasia mempertaruhkan jiwa
ini
merebut derita dunia mendengungkan
tangis anak manusia
bangkitlah penyair, rebut sikap yang
masih kita miliki
seluruh makna kembalikan pada
pencapaian sederhana.
Beberapa
pilihan puisi Mansur Samin dalam Kabut
Tarutung
jalan padat melumat direguk mata
hamparan Silindung dan luhak Toba
derai angin gugur menusuk hampa
senandung leluhur pisah meraba
dara yang menolak duka
pupuklah cinta menyubur desa
lanjutan ini sendu yang pasrah
sedang di dalamnya kita tak tahu
apaapa
Desapantai
Dari bukit terjal
semak pantai berkijapan
kincir di telaga dulu
berganti sebuah gardu
Itu bandar di hulu
tinggal lengangnya pucat samar
bukan seperti dulu
disibuki pedagang dari Medan
Hingar rebana tak riuh lagi
apakah sibuyungdeli telah mati?
Dekat magrib sendirian pulang
di bondongan gadis pergi sembahyang
sekilas senyum betapa nyaman:
Kapan abang datang
apa kabar dari rantoan?
Memancar sinar jelita malam
berkemas pribumi menginap di lobang.
Sibolga
sendiri beratap malam bersih
serasa dalam awal mengembara
di sini pijar kota menyepi
rimba laut pantai padaku lama bicara
hati menyisih makin lunyah
berdiri di luar makna penuh harga
di sini swara akhir semua wajah
kerja dunia lahir padaku tanpa
bicara
kitalah pengungsi bumi sepi ini
sebab damba yang paling pasih
antara cinta dan hati menunda
hidup bersandar dalam dera.
Kenangan
Dataran sayup tanjung selatan
dalam hatimu nyalang menggetar
dan dari siraman kilatan bintang
biduk ke kuala berdendang nyala
melintang duka sengsara dan puja
dunia
bagai larutan kasihmu dulu
datang meraih merangkul daku
Apalah artinya rindu
bila hanya merendam risau
tinggallah pasrah wahai dusun
kenangan
hutang kerja menumpuk sepanjang
rantauan.
Padangsidempuan
ucapkan semua harga dari suara
dihadapi pijar resah dalam tiada
takutku dan takutmu hasrat yang
ramah
menyubur jauh dalam hari dan dera
dan memadatlah hubungan duka
raba yang merungrung jiwa
di luar harga cinta dunia
bagiku nanti menggenggam jari
atau kita semua berangkat mati.
Ratap Ibutua
Sebelum tidur ditumalam
ibu tunggu kalian di halaman
yang diantar orang
dua jenazah sebuah keranda panjang
Kalian tinggalkan ibu seorang
menghadapi sisa ini kehidupan
oceh siapa lagi di gubuk kita
selain rasa sunyi seharian
mengembara?
Musim pukat yang bakal tiba
berduyun orang ke laut dan ke sawah
ibu bayangkan kalian ada di sana
pulang sore, seorang menutup jendela
yang lain menyalai ikan untuk makan
malam kita
Betapa damai kalian sepanjang tahun
nelayan dan peladang keduanya rukun
akan jadi apa kesendirian ibu
jika ingat kematian kalian tempohari
sisulung menembak adiknya sendiri
Ketika surat penghargaan tiba
ibu tak dapat membaca
tapi di dalaman ada terasa:
Alangkah mudah pemuda berkorban
untuk membela kekuasaan seseorang
Tak dapat ibu ikut musim menyabit
ini
lumbung dan jaring sudah lama terkunci
kerja ibu sekarang seharian
ke tetangga bertandang
sering tanya, kapan selesai ini
perang?
Beberapa
pilihan puisi Mansur Samin dalam Senja
Sibaganding
Sirajagoda
Tengah
siang
di pojok
nun, ke dalam restoran
berbondong
para kuli berlesuan
duduk di
sebaris bangku
dari bisik
dan keluh:
Telah
berbulan
tak ada
kapal datang!
Sedang sama
menatap ke bandar sana
terkuak
pintu muka
suara siul
mengalun
dari mulut
kumis brenteng
tegak
melangkah lagak perlente
bertopi
pandan, bercekak pinggang
menatap
awas ke tiap ruang
dengan
gerak angkuh
menggeser
sebuah bangku
Kuli-kuli
cepat menyisih
terserak
pergi
dari
pandang yang heran
hati terus
bertanya:
Dari mana
pula munculnya
ini
Sibaganding Sirajagoda
bukankah
dirinya
sudah lama
penghuni penjara?
Sambil
mengunyah kacang
ia buka
topi pandannya
tiba-tiba
tinjunya
menghentam
meja
dengan
megahnya:
Kasi bir!
Sambal Udang
Rokok Kowa
dan Sate Padang!
Tengah
bersantap dengan lahapnya
dari lorong
utara
muncul
kepala berpet kuning
Simarkamin
Sikenpetai
kuli-kuli
kerumun kembali
menanti apa
kan terjadi:
Ini
restoran
apakah
bakal jadi gelanggang
dua jagoan?
Dengan
gerak mengintai
berpaling
Sibaganding
pelan
meletakkan bir
tegap
berdiri seperti singa
sambil
memilin kumisnya:
Sibaganding
Sirajagoda
siapa
berani boleh coba!
Markamin
terdiam
dan duduk
tenang:
Teruskan
makan Bung, silahkan minum
kedatanganku
ke mari
bukan buat
menangkapmu!
Satu demi
satu
bubar para
kuli
dan dari
kerumun
terdengar
bisik:
Sibaganding
Sirajagoda
apa ada
tandingnya di kota Sibolga?
Suatu hari
gerimis
mendung memucat langit
sedang
berteduh para kuli
dari sebuah
bendi
turun opsir
Nippon
menggandeng
nona Indo
belanja ke
dalam toko
Akan keluar
dari meja kasir
di pintu
telah menanti
Sibaganding
Sirajagoda
dengan
tampannya
bercekak
pinggang
topi pandan
berkibar
menatap
tenang
Setelah
bersiul
sebuah
senandung
ia
melangkah tegap maju
tangan yang
hitam berbulu
menarik
pinggang Sinonaindo
digandeng
ke dalam sado
sedang
Siopsir
melongo tak
berkutik
Kembali
beraksi Sirajagoda
menggeger
kota Sibolga
inilah
korban keduapuluh dua
perempuan
kena tenungnya
Sibaganding
Sirajagoda
siapa
berani boleh coba
Musim gajian
di akhir bulan
para kuli
keluar dari labuhan
satu-satu
hilang ke pakter tuak
di tengah
celoteh dan cakap
dari pintu
samping
muncul
Sibaganding
semua jadi
hening
ke sebuah
meja makan
duduknya
mekangkang
jarinya
yang bugil
pelan
mengusap kumis
Dalam
kecemasan itu
semua
dikagetkan dentaman tinju:
Mana tuak
baru
Jengkol,
Sambal pari
Cepat bawa
ke mari!
Kuli-kuli
balik menyisih
menanti apa
yang akan terjadi
Selagi
semua diam
dari lorong
selatan
terdengar
tawa riuh
menuju
pintu
Di teritis
dekat terali
sepuluh
tentara Nippon
akan masuk
terhenti
serempak
melongo
menatap
awas ke satu pojok
Semua mata
penuh tanya
menanti
gerak Sirajagoda
tapi
tingkahnya yang bebas
senyum
segar
jari
mencukil gigi
mata
melirik
dan tangan
yang hitam
tenang
mengangkat gelas
Dari
rombongan tentara Nippon
seorang
maju melangkah pelan
geraknya
bagai kan menohok
mengekarkan
lengan
tapi
Sirajagoda
bersiul dan
biasa
seolah tak
terjadi apa-apa
Maka
di akhir
teriakan tinggi
beterbangan
stoples dan kursi
tuak
berhamburan
dan di
pojok tiang
sepuluh
tubuh tentara Nippon
bertindih
susun
tergeletak
tak bergerak
Sibaganding
Sirajagoda
dengan
tenangnya
membersihkan
bajunya
memilin
kumisnya
dengan
langkah pongah
pergi
keluar
Sibaganding
Sirajagoda
siapa
berani boleh coba
Di hari
Sabtu, hari pasaran yang sibuk
berdengung
mobil-mobil truk dari timur
berloncatan
tentara Nippon
menjaga
ketat setiap lorong
sekitar
pakter tuak
dikepung
rapat
Gegerlah
setiap pojok
telah
tertangkap Sirajagoda
digiring ke
Bonandolok
potong
leher hukumannya
Sebuah pagi
di bawah
langit yang cerah
ke sebuah
pokok tusam
tubuh
Sirajagoda
dirangket
kuat
Tiba-tiba
pedang samurai
menebas dan
mendesing
tapi pental
lalu
dicucuki dengan bayonet
ditikam
dengan berbagai senjata tajam
tubuh
Sirajagoda
tak apa-apa
Berapa senjata
telah patah
berapa
tangan telah benjol
tapi leher
Sirajagoda
segubris
pun tidak luka
Setelah putusasa
dibuka
rangketannya
Sirajagoda
senyum
dengan santun
minta minum
Hampir
selesai meneguk cangkirnya
entah
bagaimana mulanya
tubuh
Sirajagoda
gaib tiada
bekasnya
Begitu
tersiar berita
ketakutan
menggeger Sibolga
Atas
ikhtiar Kenpetai
dihimpun
para ahli
dari saran
Datu Balemun
tentara
Nippon dapat maklum:
Ilmu yang
dipakai Sibaganding
bernama
Ilmu Jugil
jika
lehernya akan dipotong
jangan
dirangket dengan tali
jika akan
dibunuh dengan besi
jangan
diberi minum air
Sedang
merancang akan menangkapnya
dekat senja
betapa
gempar kota Sibolga
dari sebuah
kedai rampah
muncul
Sirajagoda
menggandeng
nona Cina
dan topi
pandannya
berkibar
megah
Maka
beredarlah cerita:
Sibaganding
Sirajagoda
bukan mati
bukan menyerah
tapi
korbannya keduapuluh tiga
nyonya
tauke dari Singapura
Di pagi
bersih
ketika
ibu-ibu pergi mandi
tersiar
pula berita:
Tadi
dinihari
kedua
orangtua Sirajagoda
telah
diangkut dari rumahnya
Menjelang
tengah hari
berita
tersiar lagi:
Kedua
orangtua Sibaganding
telah
hampir mati
dipukuli
kenpetai
Dari cerita
seorang opas kantor
gempar pula
setiap lorong:
dekat jam
satu tadi
ada yang
melihat Sibaganding
di Sarudik
di tepi kali
sedang
mandi hadap ke hilir
suatu hari
di hari Rabu
betapa
kaget para buruh
dari sebuah
sampan
muncul
tenang
mendarat
Sirajagoda
menuju
tangsi tentara
Bersorak tentara
Nippon
telah
menyerah Sirajagoda
di hari Selasa
di Bonandolok
bakal
menerima ganjarannya
Pada jam
yang ditentukan
suatu pagi
yang rawan
di bukit
hutan selatan
tenang
berdiri Sirajagoda
menanti
hukumannya
Anak mata
yang jingga
menatap
jauh ke lembah
dari bibir
yang basah
terdengar
kata:
Kaulah
rupanya Abang Daud
orang yang
mereka suruh
harus
membunuhku
Adikku
Sibaganding
ketahuilah,
tadi pagi
kedua
orangtua kita
telah
berpulang ke rahmatullah
Beginilah
akibat darah mudamu
karena
dorongan napsumu
telah kau
cemarkan ilmu pusaka kita
yang
diwariskan leluhur
guna
keselamatan bersama
Dua hati
lama berdeburan
semua kata
tak terucapkan
Adikku
tunggal Sirajagoda
ilmu pusaka
dari warisan leluhur kita
bukan untuk
pemuas napsu manusia!
Adikku,
Sibaganding Sirajagoda
jika benar
kau jantan
cobalah
nilai perbuatanmu
apakah
semua perempuan korbanmu
dapat
membayar
nyawa kedua
orangtua kita?
Sibaganding
Sirajagoda
telah kau
nodai kemurnian senjata
telah kau
khianati nilai pusaka
untuk
penebusnya
harus nyawa
kita berdua
Dengan air
mata berhamburan
dari sebuah
rajut kumal
Daud
mengeluarkan bungkusan
seberkas
duri pandan
dilantingkan
ke dada Sirajagoda
dipurukkan
pada pundak dan kepalanya
serentak
dua tubuh rebah ke bumi
tak
bernyawa lagi
Mendung
mengatapi kota
alam bagai
berduka
melepas dua
saudara
mati
bersama
Di hari
Rabu itu
empat
jenazah sekeluarga
diusung ke
kubur
dimakamkan
bersama
Sibaganding
Sirajagoda
tamat
riwayatnya.
Warga
Terbuang
Sebuah
petaka
menimpa
istana dan rakyatnya
putri
jelita yang cantik itu
dijangkiti
sampar telah seminggu
Di itu pagi
ketika
gadis-gadis menumbuk padi
saling
bertanya dalam hati
apakah
akibat penyakit ini
bagi
seluruh negeri?
Di labuhan
nun, di pinggir kampung
para
nelayan berkerumun
masihkah
dikenal putri itu
jika sampar
memenuhi tubuh?
Di bawah
awan retak-retak
para
menteri mupakat di teratak
apa
disujudkan ke depan Baginda
agar
segenap rakyat
terhindar
dari bencana?
Menteri tua
merenung
lama:
Betapa
sedih Baginda
jika harus
pisah
dengan
putri jelita
Menteri
muda
menjawab:
Raja yang
bijaksana
tetap
mementingkan rakyatnya
daripada
keuntungan
dirinya
Dari sudut
memutus:
Tak adakah
jalan lain
agar putri
jelita itu
jangan
hidup terkucil?
Sampar
adalah setan penyakit
jika
berjangkit ke tengah rakyat
apa jadinya
kerajaan Luwu ini
satu-satunya
kebijaksanaan
putri
jelita
harus
dikucilkan!
Di malam
yang penuh bintang
sujud
menteri di balai dalam
mohon
terbuka duli Baginda
keinginan
rakyat kita
putri
istana harus dikucilkan
karena di
tubuhnya bersarang
penyakit
menular yang mengerikan
Raja Luwu
terdiam pekur
mengenang
putri terbuang jauh
mengenang
pribumi kena bencana
apa jadinya
memilih
mana
putri
seorang atau nasib rakyat
untuk
membanding apakah jawab?
Bersujud
pula menteri muda
patik
maklumi beratnya cinta
haruskah
menolak kasih
membuang
darah sendiri
cuma sebab
penyakit
yang akan
merusak rakyat
yang akan
menjangkiti rakyat
Antara
cinta dan bijaksana
berbenturan
di hati Baginda
sambil
pekur bertitah:
Inilah
undang Kuasa
inilah
ujian Pencipta
menguji
sikap seorang raja
Raja adalah
pelita bagi rakyatnya
raja adalah
tongkat bagi rakyatnya
kami
menteri
cuma abdi
pribumi
mohon maaf
dan dimaklumi
kami pun
tahu kebimbangan itu
kami pun
tahu kesedihan tuanku
Dari barat
sinar empuk keemasan
Baginda
melangkah ke peraduan
direnungi
tubuh putri yang terbujur
dinanapi
kaki yang busuk bernanah
lalar
menghitam karena bau busuk
duka
mengguncang dada:
Nasibmulah
itu anakku
harus
terbuang jauh
apa jadinya
Ayah ditinggal nanti
bersunyi
sendiri sepanjang hari?
Perlahan
terbuka mata bengkak
nyalang
tapi tak dapat berkata
tinggal
hati berbisik
menjeritkan
pedih
antara
kasih Ayah yang dijunjung
dan nasib
diri yang busuk
ditentukan
oleh hukum kampung
Di malam
yang menentukan itu
telah hadir
para menteri di balairung
Baginda
bertitah:
Atas nama
rakyat
atas kepentingan
rakyat
putusan
yang kupilih
membuang
anak sendiri!
Hilirmudik
para menteri
malam kerja
malam ini
sebuah
rakit besar
disiapkan
untuk berlayar
bagi putri
dan inang pengasuh
menjelang
subuh
akan
bertolak meninggalkan Luwu
Langit
subuh pucat mendung
rakit pun
dibawa arus
tinggallah
kerajaan Luwu
tinggallah
Baginda seorang
akan pergi
anak terbuang
entah ke
mana mengembara jauh
membawa
pilu!
Mentari
pagi menyemburat
di bukit
nun, rakyat berjejal
melepas
putri tak dapat melihat
akan
bertolak warga terbuang
karena
tuntutan
harapan
rakyat
keselamatan
rakyat
Setelah
berbulan dimainkan gelombang
rakit
terdampar di pintu karang
turunlah
dayang-dayang
mencari
daratan
mencari
tempat berlindung
untuk
melanjutkan hidup
Pagi yang
amat sibuk
pontang
panting para inang pengasuh
mendirikan
sebuah bangsal
mencari
tempat berladang
untuk
napkah kehidupan
warga
terbuang
Di atas
tanah gembur
segalanya
tumbuh subur
padi
menjadi
kentang dan
ubi
oleh berkah
kehidupan
melimpah
seharian
Setelah
bertahun duka berlalu
di terik
siang tengah hari
di sebuah
dangau
putri yang
sendiri
menjaga
jemuran padi
Tiba-tiba
dari semak hutan
merangkak
kerbau putih
mendekati
padi jemuran
menanapi
putri yang sendiri
Terkejut
sang putri
cepat
menghalau kerbau putih
telah
dilempar berulang kali
tapi makin
mendekati
Digerakkan
oleh kecemasan
berlari
kencang sang putri
sebab
kegugupan
tersandung
rubuh ke bumi
Maka kuasa
takdir
kerbau
putih
menjilati
tubuh putri
hingga
bersih
bersinar
lagi
Hari kedua
berlaku pula
kerbau
putih mendekati putri
menjilat
tubuh berulang kali
hingga
berbinar
oleh segala
sinar
jadi
rupawan gemilang
Telah
tercipta hukum kuasa
tubuh putri
tambah jelita
menyinar ke
seluruh rimba
menyuburkan
mayapada
oleh
kecantikan parasnya
Di pagi
dingin langit bersih
lahirlah
sumpah sang putri
Untuk anak
cucuku nanti
jangan
dibunuh
jangan
diganggu
kerbau
putih sibaik hati
kerbau
putih yang penuh kasih!
Sampai kini
di sekitar Palu
sumpah
putri masih berlaku
melarang
tiap pribumi
menyembelih
sikerbauputih
Bukankah
kasih
harus bertimbang
dengan
kasih?
Jelmaan
Siapakah
kau
nakhoda,
bajak atau nelayan
awas lewat
di sini anak cucu
ingat
jembalang cermat siga gelombang
ini laut,
kubur kisahku sepanjang zaman
Itu perahu
berisi
pengantin baru
berlayar di
pagi bersih
dua jiwa
menyatu kasih
Silir ombak
berdesiran
mengelus
sanggul kembang haruman
mata dan
kasih bersiutan
sibuk
menjahit menolak sungkan:
tanganmu
itu Nakhoda Ragam
jangan liar
di tengah lautan
Bila Siti
terus menjahit
diam
sendiri terasa sunyi
ingin
jemari bercumbu kasih
rangkullah
Abang, peluklah mari!
Dhuh,
matamu Siti sibintangpualam
mendebur
rasa penuh kobar
dhuh,
jelitamu Siti sipijargumilang
menjirat
cinta kalbu menggetar
Santun
orang di perahu
ada sopan
tahu malu
Angin segar
kasih
membakar
sitangan
liar
merangkul
nakal
Alihkan
tangan Nakhoda Ragam
kita di
perahu ingatlah sopan
apakah tega
cinta terbuang
benam
berdua mangsa lautan?
Sekalipun
di laut
sekalipun
di gelombang
rangkul
cintaku
peluk kasih
sayang
Menolak
yang tak dapat ditolak
tangan
merangkul sejadinya
cinta pun
liar, liarlah jarum
menembus
jantung
seraya
terjun
Laut
menggelora
jingga oleh
darah
suara di
mana-mana:
onarnya
cinta
kerna ulah
napsu manusia!
Siapakah
kau
nakhoda,
bajak atau nelayan
awas lewat
di sini anak cucu
jika jumpa
buaya putih
jangan
takut anak cucu
itu jelmaan
nenekmu Siti.
Dukacerita
di Belukar Senja
Beratap
awan retak-retak
sampailah
laskar di pinggir kota
mengiring
putri Citrarasmi
menuju
Majapahit
bakal jadi
suntingan
prabu Hayam
Wuruk
bakal
berkerabat
dengan
kerajaan Pajajaran
Setiba
utusan di istana
wirawiri
para penggawa
Ke
singgasana
bersembah
patih Gajah Mada:
Baginda
Majapahit Raya
apa gunanya
tamu disambut
bukankah
kerajaan Pajajaran
telah lama
takluk
di bawah
duli Tuanku?
Balik
utusan ke pinggir kota
Bawa pesan
patih Gajah Mada
Setelah mendengar
pesan
Sri Baduga
Maharaja Pajajaran
lama
terdiam
menahan
duka, menahan murka:
Tidakkah
Hayam Wuruk sendiri
melamar
putriku Citrarasmi
kenapa
harus aku pula
bersembah
ke depannya
cuma karena
dia
lebih
kuasa?
Di itu
siang
laskar
Pajajaran jadilah bimbang:
Kecongkakan
Majapahit
apakah
dianggap angin
atau
dijawab dengan lembing?
Atas
perintah Sri Baduga
utusan
kembali ke Majapahit
membawa
jawaban singkat:
Adat mana
pula
harus
seorang bapak
menyerahkan
putrinya
ke depan
bakal mantunya?
Saat
menerima jawaban
patih Gajah
Mada jadilah murka:
Sebelum
patih bertindak
suruh Sri
Baduga
cepat ke
mari membawa putrinya
bersembah
ke depan baginda
Sebagai
adat, Pajajaran yang takluk
rajanya ke
mari harus bersujud!
Dengar
pesan-perintah patih Gajah Mada
para laskar
dan panglima
serasa
mendapat tamparan hina
serasa
mendapat lemparan nista
sibuk
bersiap:
Daripada
Baginda tercoreng arang
lebih baik
tak pulang ke pangkalan
Bondongan
porak peranda
siap tiap
senjata
Bersama
angin dari selatan
menderu
sorak di jauhan
laskar
Majapahit telah bangkit
akan
menawan Raja Pajajaran
yang tak
mau tunduk
yang tak
mau takluk
Maka laskar
Pajajaran
menyambut
serangan dengan perwira
dan di tiap
arah
perang
tanding pun terbuka
Dari tiap
penjuru
laskar
Pajajaran mengamuk
lembing,
kelewang dan anak panah
berlaga
memorak angkasa
Hampir
magrib
awan di
langit makin tipis
laskar
Majapahir masih mengalir
mengepung
rapat setiap arah
Di segenap
tempat
perang
terus berkobar
laskar
Pajajaran yang bertahan
betapapun perwira
kerna musuh
yang menggelombang
tenaga
bertahan tak imbang
perlawanan
yang tangguh
jadi lumpuh
Nun di
belukar barat
dari
seorang laskar
Citrarasmi
mendapat kabar:
Ayahanda
Sri Baduga
telah tewas
dengan perkasa
Meratapi
berita itu
putri
Citrarasmi
mengajak
para inang pengasuh
mati
bersama, bunuh diri!
Di bawah
lazuardi pucat kesumba
semua
laskar Pajajaran
tewas
perkasa
membela
malu
membela
nama
Melintasi
bangkai terkapar
semua
perangkatan
kembali ke
Majapahit
membawa
berita akhir:
Putri
Citrarasmi
telah bunuh
diri!
Malam pun
turun
sampai
berita ke Hayam Wuruk
beliau
pekur
sesal makin
menjadi:
Putri
jelita Citrarasmi
putri molek
bakal permaisuri
tak dapat
dipersunting
karena ulah
kurang teliti
karena ulah
kecongkakan diri
Demikianlah
telah
tercipta sebuah kisah
dukacerita
di belukar senja
nun, di
Majapahit sana
ada cinta
yang sengsara
ada cinta
yang kecewa
sebab
pilihan Citrarasmi
daripada
hidup terhina
lebih baik
mati
membela
nama
Maka pesan
dari sejarah:
setiap
tindak manusia
jika
terlalu mengagungkan kuasa
jika
terlalu menghina sesama
akhir
nasibnya tentu kecewa!
Tentang Mansur Samin
Uh, tak ada biodata Mansur Samin di buku ini.
Seingat saya, oleh H.B. Jassin dikumpulkan ke dalam angkatan 66.
Catatan Lain
Kata pengantar berisi panjang lebar
penjelasan penyair. Kata Mansur Samin: “Kumpulan Sajak DENDANG semula
dititipkan ke tangan almarhum Anas Ma’ruf pada tahun 1960. Saya berpesan saat
itu kepada beliau, jika ada penerbit yang berkenan menerbitkan, cukup
berhubungan dengan beliau saja. Kumpulan sajak ini bersuasana dendang pencarian
terhadap hakikat hidup seorang penyair. Tempat terciptanya di beberapa kota
Jawa Tengah, Bali dan Sumatera.”
Paragraf selanjutnya: “Kumpulan
Sajak KABUT semula akan diterbitkan oleh PT Pembangunan. Diserahkan tahun 1962.
Suasana sajak-sajak dalam kumpulan ini mendung berliput duka-cerita akibat
sengketa perang-saudara yang berkobar di kawasan Sumatera Utara. Semua
sajak-sajak dalam kumpulan ini, tercipta di beberapa tempat sekitar Sumatera
Utara.”
Kemudian: “Kumpulan Sajak SENJA
pertama kali diserahkan kepada Bapak HB. Jassin tahun 1964. Pernah kumpulan ini
dipamerkan dalam Pameran Dokumentasi Sastra di TIM. Sajak-sajak panjang dalam
kumpulan ini, bersuasana kerakyatan. Karena khazanah penciptaannya dari jiwa
rakyat yang tersebar di kepulauan Nusantara. Selesai dikerjakan di Surakarta
dan Jakarta. Tentu saja dalam mengerjakannya makan waktu yang lama, mengingat
sumbernya berupa bacaan dan lisan yang masih bermain dan beredar dari mulut ke
mulut rakyat.”
Lalu kata penyair: “Pada tahun 1967
saya himpun menjadi sebuah kumpulan sajak. Berhari-hari Kumpulan Sajak ini saya
kepit mapnya sambil mengedari beberapa penerbit di Ibukota guna menawarkannya
untuk diterbitkan. Suatu ketika saya mengepit map kumpulan sajak itu dalam berkunjung
ke rumah Bapak H. Adam Malik almarhum dengan keperluan menawarkan lukisan
seorang teman pelukis kepada beliau. Sambil berbincang-bincang tentang lukisan,
beliau menanyakan map apa yang saya kepit sejak tadi. Sesudah saya tunjukkan
pada beliau, sambil tersenyum beliau menyuruh tinggalkan. Setahun kemudian
tepatnya tahun 1968 kumpulan sajak itu saya ambil kembali dari tangan beliau
dan disuruh antarkan ke penerbit Gunung Agung.”
“Kumpulan Sajak ini saya serahkan ke
penerbit Gunung Agung tahun 1968. Setahun kemudian antara saya dengan penerbit
menandatangani surat perjanjian penerbitannya. Dan kini setalah menempuh
perjalan yang panjang, kumpulan tiga sajak ini, saya persembahkan ke tengah
bumi persada sastra Indonesia.”
Yap, saya menarik nafas panjang.
Betapa panjang perjalanan buku ini. Jika kontrak kerjasama terjadi tahun 1969,
dan kata pengantar bertanggal 1 Oktober 1985, maka ada rentang waktu 16 tahun
manuskrip sajak ini teronggok. Yang paling mudah dikenali dari 3 kumpulan ini
adalah SENJA. Semua puisinya panjang-panjang dan bercerita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar