Data buku kumpulan puisi
Judul: Nyanyian
Anak Cucu, Kumpulan Puisi 1967 - 1999
Penulis:
Upita Agustine
Cetakan: I, Juni
2000
Penerbit: Angkasa,
Bandung.
Tebal: xxviii
+ 280 halaman (172
puisi)
ISBN :
979-665-312-5
Desain
cover : Drs. Tata Sugiarta
Ilustrasi
cover dan dalam : Lian Sahar
Pengantar :
Korrie Layun Rampan, Sapardi Djoko Damono, Abrar Yusra, Mursal Esten
Beberapa
pilihan puisi Upita Agustine dalam Nyanyian Anak Cucu
Lagu
yang Kian Jauh
Kau
dengarkah cintaku, lagu yang kian jauh
Melelapkan
kita di dunia kerahasiaan
Jangan
biarkan dia luput dan berakhir
Dia kan
bernyanyi di hatiku dan di hatimu
Merendah
dan meninggi
Sepanjang
nafas dihembuskan
Padang,
1967
Akan
Menghuni Abad Ini Sajakah Kita
Akan
menghuni abad ini sajakah kita?
Hidup dalam
perubahan warna-warna
Bagaikan
nyala lampu lampu di kapal nelayan
Tak
bergerak memagari tepi lautan
Mengapung
dalam warna senja
Mendatangkan
sunyi demi sunyi
Akan kita
tinggalkankah abad ini
Tanpa suatu
titipan
Padang,
1967
Memenuhi
Janji pada Waktu
Diriku yang
berjalan
Di kerutan
waktu
Menjahit
Kesetiaan
Bumi pada
langit
Burung pada
sarang
Ibu pada
anak
Tanpa henti
Antara kau
dan Dia
Antara aku
dan Dia
Antara kau
dan aku
Antara laut
dan arus
Antara
langit dan bintang-bintang
Antara kemaren
dan kini
Antara
cinta dan janji
Antara
kesetiaan dan khianat
Ada jarak
jauh dan dekat
Tak terduga
Berjalan
pada satu nafas
Dalam rahim
alam
Memenuhi
janji pada waktu
1999
Sajak
Beranak jadi Ibu
Sajak
beranak tak bersajak
Sajak dari
rahimku
Sajak kanak
kanak
Sajak
beranak jadi ibu
Terbenam
aku dalam rumah
Terbenam
aku dalam langkah
Terbenam
aku dalam sepi
Terbenam
aku dalam dunia
Terbenam
aku dalam hidup
Sajak jadi
ibu
Tali
meretas darah
Rasa
meretas kasih
Budi
meretas adat
Turunanku
Sajak jadi
ibu
Meniti
waktu
Pematang
nasib
Turunanku
Sajak jadi
ibu
Resah
menetas sunyi
Sangsi diri
di ujung
Turunanku
1986
Menanti
Musim
Gelisah
angin bertiup
Menanti
musim
Tak
tertidurkan dalam hatiku
Pagaruyung,
1974
Rinduku
Rinduku
rindu
Hutan
belantara yang digunduli bersama
Rinduku
rindu
Air serasah
yang menyusut di perbukitan
Rinduku
rindu
Lelaki tua
kuli pelabuhan yang lelah
Rinduku
rindu
Bau jerami
petani sederhana
Rinduku
rindu
Kampung
kecil di ujung teluk
Rinduku
rindu
Nelayan
diamuk badai nasibnya
Rinduku
rindu
Cakrawalaku
1972
Siut
Uwir Uwir Rimba Sore Hari
Siut uwir
uwir rimba sore hari
Tak
terdengar lagi
Pulanglah
nak sayang
Jenjang
rumah lah berlumut
Sakek di
atap lah berjurai
Jalan lah
dialih rang lalu
Cupak lah
dialih rang panggaleh
Nak sayang
Siut uwir
uwir rimba sore hari
Tak
terdengar lagi
Kampungpun
jadi lengang
Tepian lah
berubah
Pulanglah
nak sayang
Uwir uwir
rimba hampir punah
Pagaruyung,
1974
Yang
Menangis dalam Air Mata
Yang
melihat tak menampak
Yang
menggamit tak memanggil
Yang
mendengar tak menyahut
Berbisik
tak bersuara
Berjalan
tak melangkah
Yang sunyi
dalam nyanyi
Yang ragu
dalam bimbang
Yang rindu
dalam rindu
Yang duka
dalam duka
Menangis
dalam air mata
Menjatuhkan
kata
Tanpa makna
Padang,
1973
Masih
Kau Ingatkah Cintaku
Masih kau
ingatkah cintaku, burung burung kecil
Berkejaran
di pohon culan di rusuk rumahku
Kau
kenangkah jalan menurun ke sungai di belakang rumahku
Dan pangkal
titian bambu, tempat di mana kita berjanji
Untuk
saling menunggu
Masih
hidupkah dalam kenanganmu
Musim panen
kita saling melempar jerami
Dan
beberapa purnama kita tidur bersama di dangau sawah
Di mana
kita saling menatap dan tertawa
Masih kau
kenangkah semua itu sayangku
Rindu kita
yang lalu
Rindu kita
yang terlepas
Rindu masa
kanak kanak bermain
Buo,
Juli 1973
Nyanyian
Anak Cucu
Aroma hutan
hutan dan jerami terbakar kucium sampai kini
Menumbukan
hutan lindung dalam rahimku
Menghamparkan
berjuta piring sawah dan ladang ladang baru di dadaku
Mengalirkan
sungai sungai jernih di nadiku
Mengalirkan
rinduku pada musim panen
Ketika
kupetik harapan
Dalam
perihnya putik gugur menyisip waktu
Wahai nenek
moyangku
Menyebut
namamu
Ada beban
di pundakku entah dari mana
Dan akan
dibawa ke mana
Padang,
1998
Perempuan
Yang
membentang sajadah di belakang suaminya
Yang
memberi air hidup darah dagingnya
Yang
mengalunkan dendang dalam tangis anak anaknya
Yang
membisikkan dongeng sebelum tidur
Yang
melafaskan doa bagi turunannya
Perhiasan
suaminya
Nenek dari
nenek kita
Ibu dari
ibu kita
Ibu dari
turunan kita
Ibu dari
pemimpin kita
Perempuan
Di arus
waktu menderas hilir
Menurunkan
beribu persalinan
Adalah
Tambatan
hati kita
1993
Di
Seberang Tanah Mengandung
(kepada DYP Raja Malewar)
Serasa
terjadi lusa
Takkan
mungkin lupa
Payung
kuning dikembangkan di udara
Dentam
meriam tengah hari
Menyentak
diriku
Saat kau
berangkat
Ke
Semenanjung
Serasa
terjadi lusa
Takkan
mungkin lupa
Saat kau
turuni anak tangga
Diiringi
sedan perempuan
Berpantun
berbuah buah
Kau takkan
kembali
Serasa
terjadi lusa
Takkan
mungkin lupa
Kau
berangkat dalam tata cara
Pedang
jenawi menghunjam bumi
Tombak
janggi mencucuk langit
Gong
bersipongang
Kaukah itu
Yang tak
lagi kembali
Ke tanah
asal ini
Ketika
perahumu oleng
Di riam
sejarah
Kabar
murung Pagaruyung
Serasa
terjadi lusa
Takkan mungkin
lupa
Kutangisi
pesan pesanmu
Sepanjang
rambut sehelai sebatil
Di Tanah
Mengandung
1992
Tombak
janggi = sejenis tombak warisan kerajaan Pagaruyung
Rambut
sehelai sebatil = peralatan utama yang dipakai untuk penobatan
Raja Negeri Sembilan yang dibawa dari Pagaruyung
Tanah
Mengandung = nama mula-mula kawasan kerajaan Negeri
Sembilan yang diperintah oleh Raja Malewar
Di
Seberang Rindu
(kepada
DYD Beringin)
Mengapa
mesti dia
Yang
berangkat tiga abad lalu
Berdiri
dalam mimpiku
Mengucapkan
janji:
“Radin Yang
Dipertuan
kau
dirajakan di rantau ini”
Mengapa mesti
dia
Yang
membawa tanda kebesaran itu
Bersila
dalam renunganku
Melafaskan
sumpah:
“Jika tak
kembali dari Seri Menanti
Jelang
kuburku di Kampung Tengah”
Mengapa
mesti dia
Yang datang
dalam rinduku
Terisak
dalam rangkulan
Mengantarkan
pasrah:
“Dari tanah
ini leluhurku
Ke tanah
ini juga ku kembali”
Yang Maha
Pengasih
Kau
pertemukan dia
Dalam rindu
diriku
1992
Seri
Menanti = kawasan istana raja Negeri Sembilan
Kampung
Tengah = nama bermukin dan bermakamnya DYD Beringin,
dalam kawasan Seri Menanti, Negeri Sembilan, Malaysia.
Di
Seberang Suara
(kepada
DYD Hitam Sultan Alam Bagagar Syah)
Kain cindai
selempangmu
Bewarna
tanah bunga kecubung
Melambai
hidupku
Di sini
Masih
kudengar getar suaramu:
“Pulanglah
kau
Takkan
kujejak lagi Pagaruyung”
Pucuk
rebung destarmu
Merah
berpermata
Biru
manikamnya
Di sini
Masih
menikam diriku
Saat empat
puluh pengiringmu
Pulang
mengabarkan duka
Kau dibuang
ke Tanah Jawa
Curik
Simalagiri kerismu
Bertatah
lukisan Bhairawa
Di sini
Masih
terhunjam
Dalam
nadiku
Saat mereka
menyeretmu
Meninggalkan
tanah pusaka
Segenggam
saja
Segenggam
tanah kuburmu
Kubawa juga
pulang
Kusatukan
dengan tapak
Kebanggaan
negeri kita
Biar kau
dibuang
Nisanmu
berlumut
Dalam
gunjing
Sepotong
saja
Sepotong
batu nisanmu
Kubawa juga
pulang
Kutancapkan
di pandam
Kebenaran
Segenggam
saja
Segenggam
tanah kuburmu
Kubawa juga
pulang
Kusemai
bagi turunanmu
Penyubur
tumbuhnya kejujuran
Kuhidupkan
Dalam bait
bait sajakku
1992
Pucuk
rebung = salah satu motif tenunan
Bhairawa = gambar dewa bertatah emas pada keris yang dipakai Raja Adhityawarman
Surat
yang tak Terposkan
MengingatMu
ada sesuatu yang pecah di hatiku
Hidupku
bagai dalam impian sorgawi
Luas tak
bertepi
Engkau
bagiku:
Padang
rumput yang hijau mengundang kerinduanku
Hutanku
kelam terpendam, tersuruk antara akar akar dan daun daun
Lautku yang
dalam biru teduh berkilau bagai permata murni
Gunungku
yag tinggi menjulang, kokoh, bisu dalam kediamanMu
Aku mabuk
pada semua itu
Segala yang
terungkap dariMu
Aku tak
berdaya menyebutnya
Ungkapan
itu
Padang,
1969
Latar
Latar
Satu
1
Kutulis
latar ini
Setelah
keris Curik Simalagiri
Pusaka
keluargaku tersimpan
Enam abad
yang lalu
Setelah
pedang jenawi hilang hulu
Dimakan api
Setelah
kain Sang Saheto tinggal benang
Dilulur
waktu
Setelah Si
Katimuno terpancung
Pedang
sakti
Setelah cap
kayu kamat dari Turki
Tinggal
arang
Setelah
payung kuning kusam
Dikuncung
zaman
2
Kutulis
latar ini
Saat
Gumarang tak menerjang
Saat
Binuang tak melenguh
Saat
Kinantan tak berkokok
Bundo
Kanduang hilang dalam waktu
Cindua Mato
mengais takdir
Puti Bungsu
menitis darah turunan
Latar
Dua
1
Kutulis
latar ini
Ketika
Yang
Dipertuan Malewar
Dijemput ke
rumah gadangku
Untuk
dirajakan di Negeri Sembilan
Ketika
Yang
Dipertuan Beringin kemudian datang
Menobatkan
Radin Yang Dipertuan
2
Kutulis
latar ini
Ketika
Muningsyah
dengan cucunya Reno Sori
Luput dari
maut dalam pengkhianatan di Kototangah
Menghindar
ke Lubuk Jambi
3
Kutulis
latar ini
Ketika
Rumah
Gadangku terbakar
Dalam
perang saudara
4
Kutulis
latar ini
Ketika
Yang
Dipertuan Hitam dibuang ke Betawi
Kain cintai
selempangnya
Lambaian
perpisahan
Tanah
kelahiran
Pulanglah!
Takkan
kujejak lagi Pagaruyung
5
Kutulis
latar ini
Saat Yang
Dipertuan Sembahyang
Terus
berjuang di Kuantan
6
Kutulis
latar ini
Ketika Yang
Dipertuan Sembahyang
Menikahi
Reno Sori
Menurunkan
Reno Sumpu
7
Kutulis
latar ini
Ketika
Yang
Dipertuan Sembahyang
Dari Lubuk
Jambi ke tanah suci
Singgah di
Negeri Sembilan
Kembali dan
bermakam di Cerenti
Latar
Tiga
1
Kutulis
latar ini
Ketika
Yang
Dipertuan Gadis Reno Sumpu bergegas
Pulang ke
Pagaruyung
Di atas
puing perjuangan
Mamaknya
Yang Dipertuan Hitam
Ayahnya
Yang Dipertuan Sembahyang
Didirikan
lagi rumah gadang
Di tanah
yang dipilihnya
Dikembangkannya
payung kuning
Kebesaran
keluarga
Yang
diwariskan dari bunda
Dari adat
dan sejarah yang panjang
Diangkatnya
Penghulu Nan Tujuh
Dibangkitkannya
kembali Basa Nan Ampek
Disusunnya
anak kemenakan
Sebagaimana
dulu
Sebelum
perang
Dalam
hatinya yang tegar
Dalam
jiwanya yang lembut
Dalam
rasanya yang dalam
Hulu Jenawi
di tangannya
Menitiskan
darah turunan
Sendiri
dia!
2
Kutulis
latar ini
Saat saat
Reno Sumpu
di perjalanannya
Ditunggu di
setiap gerbang
Salamnya
menghangatkan kecintaan
Di
ubun-ubun kanak kanak
Latar
Empat
1
Kutulis
latar ini
Rumahku.
Rumah
Yang
didirikan di atas puing
Rumah yang
dulu terbakar
Yang
didirikan nenek dari nenekku
Di rumah
itu nenek dari ibuku lahir
Di rumah
itu ibu dari ibuku dilahirkan
Di rumah
itu ibuku dipersalinkan
Di rumah
itu juga aku diturunkan
Rumah itu
dinamakan rumah gadang
Alang
Babega dipanggilkan
Tujuh
gonjongnya
Sembilan
ruangnya
Luas
halamannya puding emas pagarnya
Kami
bermain di bawahnya
Di rumah
itu kami
Diasuh dan
dibesarkan kasih sayang
Dipayungi
saudara saudara ibu yang laki-laki
Yang kami
panggilkan mamak
2
Kutulis
latar ini
Saat musim
panen
Kusaksikan
Sanak
saudara, orang-orang kampung
Menuai
bersama, bercanda dan berpantun
3
Kutulis
latar ini
Saat
kusaksikan
Penghulu
Nan Tujuh
Basa Nan
Ampek
Penyangga
tugas nenek
Dalam adat
dan istiadat
Dari Sungai
Tarab Panitahan
Dari
Sumanik Makhudumsyah
Indomo dari
Saruaso
Tuan Kadhi
Padang Gantiang
Dan Tuan
Gadang dari Batipuh
Datuk
Bandaro Kuniang dari Lima Kaum
Datang
Berbincang
Mengadukan
hal kaum dan nagari
Dan nenek
memberi
Kata putus
4
Kutulis
latar ini
Saat
kusaksikan
Nenek
Memasangkan
destar
Menobatkan
Datuk
Bandaro Kuniang di Lima Kaum
Panitahan
di Sungai Tarab
5
Kutulis
latar ini
Saat kami
pindah ke kota
Dan aku
mulai sekolah
Tiap pekan
dia datang
Dibawanya
manggis, jambu, duku dan durian
Rendang
kesukaanku
Beras putih
yang ditumbuk kincir
6
Kutulis
latar ini
Saat pulang
ke rumah gadang
Bermain di
halaman
Berlari
berkejaran
Di padang
rumput yang luas
Menangkap
belalang di embun pagi
Berkhayal
setinggi langit
Terbang
dalam cakrawala kanak kanak
7
Kutulis
latar ini
Saat orang
berburu
Bersorak
sorai
Mengejar
buruan
Aku senang
dan ingin berburu
Diantarkannya
aku pada tua pemburu
Bahkan
sejak itu diajarinya aku bersilat
Memancing
dan main layang layang
Bukan
permainan perempuan?
8
Kutulis
latar ini
Saat aku
pergi diam diam
Berjualan
buah buahan yang kuambil dari ladang
Dia marah
sekali
Aku tidak
boleh pulang
Empat pekan
lamanya
Kenapa
begitu aku tak mengerti
9
Kutulis
latar ini
Saat
menyimak dongeng dongengnya menjelang tidur
Melambungkanku
jadi Bundo Kanduang, Puti Galang Banyak,
Gadih Rantih dan Puti
Bungsu
Dan cerita
dua kakak beradik yang tersesat
Si adik
menangis lapar
Seekor
burung menjatuhkan diri
Dan
berkata: “Hai anak anak, makanlah aku
Yang
memakan kepalaku akan jadi raja
Yang
memakan ekorku hidupnya kan susah
Tapi bila
ia tabah kan mendapat kehormatan.”
Kakak
memberikan kepala burung pada si adik
Adik memang
menjadi raja
Akhirnya
mereka bertemu di istana
10
Kutulis
latar ini
Di usiaku
yang kesebelas
Perang
saudara pecah
Kami
kembali ke rumah gadang
Ayah dan
semua laki laki ikut berperang
Sedang
mamak jauh di rantau
Dia jadi
ayah dan mamak bagi kami
Sejak itu
neneklah segalanya
Perang pun
usai
Ayah
bekerja di tempat lain
Kami
tinggal di rumah gadang
Tiap tiga
purnama ayah pulang
Latar
Lima
1
Kutulis
latar ini
Saat
kemarau panjang
Tiga bulan
hujan tak turun
Sungai
menyusut air
Sawah
mengering
Rumput
menguning
Jalan
berdebu
Burung
gagak terbang berbondong ke selatan
Bunga bunga
padi tak jadi buah
Paceklik!
2
Kutulis
latar ini
Tengah hari
Saat
lengang di kampung
Sat
terinjak bayang bayang
Sejarah
berulang
Rumah
gadang kami dimakan api
Kata orang
dibakar komunis
Padi di
lumbung pirang
Berubah
warna karena panas
Gong pusaka
menyembur cahaya
Terbang ke
Gunung Bungsu
Sapiah
balahan, kuduang karatan
Dari luhak
dan rantau
Datang
menyembahkan duka
3
Kutulis
latar ini
Tujuh malam
lamanya
Tujuh
harimau putih
Pelan
merangkaki sandi
4
Kutulis
latar ini
Kini
Ketika
Gumarangku tak meringkik lagi
Ketika
Binuangku tak melenguh lagi
Ketika
Kinantanku tak berkokok lagi
Ketika
tabuh larangan Gaga Bumi
Tak
berdentam lagi
Mainan
kanak kanakku
Tersimpan
dalam debu
Masa lalu
rumah gadangku
Kecintaan
dan kebanggaan
Hilang dan
raib
Semua
habis!
Bersama
kami mengais
Sasok
jerami hangus
6
Kutulis
latar ini
Sapiah
balahan
Kuduang
karatan
Luhak dan
rantau
Bersusun
jari membincang
Antara
keturunan
Batali
darah
Batali adat
Batali emas
Untuk
menegakkan kembali
Rumah
Gadang pengganti
Tak lekang
dalam kenangan
Latar
Enam
1
Kutulis
latar ini
Saat
Nenek
berpulang
Petir
tunggal
Pandam
menggegar
Langit
mendung
Gerimis!
Pohon
kelapa tumbang ditebang
Semua
lelaki berdestar
Dan
perempuan berkain sandang
Janur
kuning
Jasadnya
diusung dalam upacara duka
Dipayungi
payung kuning kebesaran
Menginjak
kain jejak
Sampai ke
pandam pekuburan
Dan uang
penghibur ditabur
Perempuan
perempuan meratap dalam pantun
Mamang dan
gurindam
Laki laki
merunduk
Larut dalam
kenangan kasih sayang
Latar
Tujuh
1
Kutulis
latar ini
Dalam
lengang sejarah
Dalam galau
kebenaran
Dalam
sirnanya kejujuran
2
Kutulis
latar ini
Ketika
namaMu tak disebut lagi
Dari rumah
ke rumah
Ketika
kasih sayang dan kebencian
Kebur batas
Ketika
kedermawanan dan keserakahan
Bermuka dua
3
Kutulis
latar ini
Dalam
sujudku
Ketika aku
menemuiMu
4
Kutulis latar
ini
Ketika aku
menatap
Diriku di
rumahku
Di rumahMu
Latar
Delapan
Kutulis
latar ini
Latar
penulisanku
1991/1992
Catatan
Si
Katimuno = patung kecil dari Tiongkok warisan sejarah
Pagaruyung
Cap
kayu kamat = salah satu stempel kerajaan Pagaruyung terbuat
dari kayu
Bundo
Kanduang = nama raja Pagaruyung dalam kaba Cindua Mato
Cindua
Mato = nama seorang bujang dalam kerajaan
Pagaruyung
Puti
Bungsu = nama istri Dang Tuanku putra mahkota
Yang
Dipertuan Malewar = anak raja Pagaruyung yang
dirajakan di Negeri Sembilan, Malaysia.
Yang
Dipertuan Beringin = anak raja Pagaruyung yang
mewakili raja Pagaruyung menobatkan raja Negeri Sembilan yang ke IV
Radin
Yang Dipertuan = Raja kerajaan Negeri Sembilan ke IV
Muningsyah = nama raja Pagaruyung
Reno
Sori = cucu Muningsyah, raja Pagaruyung
Yang
Dipertuan Hitam = Raja Pagaruyung yang dibuang Belanda ke
Betawi dan kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Reno
Sumpu = anak Reno Sori yang menjadi raja Pagaruyung
menggantikan mamaknya Yang Dipertuan Hitam
Yang
Dipertuan Gadis = gelar raja Pagaruyung yang perempuan
Penghulu
Nan Tujuh = perangkat raja Pagaruyung di Pagaruyung
Basa
Nan Ampek = perangkat raja Pagaruyung setingkat menteri
pada kelarasan Koto Piliang
Mamak = saudara laki-laki dari ibu
Sungai
Tarab = wilayah, kedudukan bagi Panitahan
Datuk
Bandaro Kuniang = Gajah Gadang Patah Gadian Petinggi dari
kelarasan Bodi Caniago
Lima
Kaum = wilayah, kedudukan Datuk Bandaro Kuniang
Panitahan = salah seorang dari Basa Nan Ampek bergerak Datuk Bandaro Putih
Sumanik = wilayah, kedudukan bagi Makhudumsyah
Indomo = salah seorang dari Basa Nan Ampek
Saruaso = wilayah, kekdukan Indomo
Padang
Gantiang = wilayah, kedudukan Tuan Khadi
Tuan
Gadang = Panglima perang kerajaan Pagaruyung
Batipuh = wilayah, kedudukan Tuan Gadang
Puti
Galang Banyak = nama perempuan dalam cerita rakyat
Sapiah
balahan = keturanan dari hubungan saudara perempuan
dalam tatanan kerajaan Pagaruyung
Kuduang
Karatan = keturunan dari hubungan saudara laki-laki
dalam tatanan kerajaan Pagaruyung
Luhak = wilayah inti Minangkabau
Rantau = wilayah perluasan Minangkabau
Gaga
Bumi = nama salah satu tabuh (bedug) kerajaan
Pagaruyung
Batali
Darah = pertalian hubunga darah
Batali
adat = pertalian hubungan secara adat
Batali
emas = pertalian hubungan perdagangan
Kain
jejak = kain putih yang dibentangkan untuk dilewati
jenazah raja-raja Pagaruyung sejak dari tangga sampai ke pemakamannya.
Tentang Upita Agustine
Ini biodata yang dikemukakan oleh Abrar Yusra: “Pertama
kali dikenal di bawah nama kepenyairan Upita
Agustine, Raudha Thaib (lengkapnya
Puti Reno Raudhatuljannah Thaib) sebenarnya bukan nama/wajah baru dalam
kepenyairan Indonesia. Mulai menulis ejak berstatus mahasiswi, ia dikenal
produktif sekali pada tahaun-tahun akhir dekade 1960-an dan pada dekade 1970-an.
Mengaku diam-diam terus menulis
sajak-sajak tapi kurang getol mempublikasikannya, sebenarnya Raudha adalah
penyair yang subur. Tapi dia tidak teliti menyimpan sajak-sajaknya. Puluhan
sajak-sajak tahun-tahun pertamanya telah hilang, entah dipinjam teman tak
kembali atau tercecer entah di mana.
Sajak-sajaknya dimuat di
korang-korang yang terbit di Padang. Juga di majalah Horison, Jakarta. Juga
telah dimuat dalam berbagai antologi, antara lain Laut Biru Langit Biru susunan Ayip Rosidi.
Upita Agustine – yang kini Raudha
Thaib berkali-kali membacakan sajak-sajaknya dalam forum pertemuan Sastrawan
Indonesia di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Ia juga dikenal sebagai pelukis.
Raudha Thaib yang lahir tanggal 31
Agustus 1947 di Pagaruyung Batusangkar, adalah alumnus dan insyinyur pertanian
Universitas Andalas. Ia adalah staf pengajar Fakultas Pertanian Unand. Pada
pihak lain ia adalah seorang pewaris tahta kerajaan Minangkabau sebab ia adalah
putri mahkota.
Bersama suaminya Wisran Hadi dan
rekan-rekan lainnya ia memimpin Sanggar Bumi
yang bergerak di bidang Teater, senirupa, sastra dan lain sebagainya. Sebagai
orang teater ia juga dikenal sebagai pemegang peran dalam berbagai pertunjukan
teater.”
Ini tambahan: buku puisinya antara
lain Dua Warna (Padang, 1974, bersama
Hamid Jabbar), Bianglala (INS
Kayutanam, 1975), Terlupa dari Mimpi
(Yayasan Studi Kreativitas Padang, 1986). Juga terdapat dalam Tonggak 3 (Gramedia, 1986). Ia adalah
pimpinan Silek Tua Pagaruyung dan wirid adat di Istano Si Linduang Bulan.
Catatan Lain
Kumpulan puisi Nyanyian Anak Cucu,
dibagi-bagi berdasarkan tahun penciptaan. Misalnya Sajak
sajak 1967 (3 puisi), Sajak sajak
1968 (4 puisi), Sajak sajak 1969
(5 puisi), ….. Sajak sajak 1995 (1
puisi), Sajak sajak 1996 (2 puisi), Sajak sajak 1997 (7 puisi), Sajak sajak 1996 (3 puisi), dan terakhir
Sajak sajak 1999 (2 puisi). Total ada
172 puisi. Tahun paling produktif 1978 (22 puisi), 1974 (18 puisi), dan 1975
(17 puisi). Yang paling tidak produktif berisi 1 puisi saja, yaitu tahun 1987,
1989, 1991, 1994, 1995. Ada juga tahun-tahun ketika tak satu puisi pun tercantum,
yaitu 1979-1998. Dan di daftar isi cuma ditulis KELAHIRAN ANAK ANAKKU
1979-1984.
Ini komentar Korrie Layun Rampan: “Sajak-sajak
Upita umumnya bersifat sederhana dan langsung. Emosi puitiknya sering tidak
berdenyar dalam kilatan yang menunjam ke dasar kalbu, tetapi mengambang oleh
imej-imej yang tak sampai. Begitu polosnya sajak-sajaknya dalam kesahajaannya,
sehingga beberapa sajaknya ada kesan kementahan ekspresi….. Suasana yang banyak
tampil dalam sajak-sajak Upita adalah sunyi dan keterpencilan. Hampir tiap
sajaknya suasana sunyi, rawan dan menekan itu tampil dalam rona yang beragam.”
Adapun Sapardi Dojo Damono
mengatakan bahwa Upita dalam sajak-sajaknya menggunakan piranti mitologi dan
pengulangan dalam pengucapan puitiknya. SDD menulis: “Meskipun sejak tahun 1928
kita sepakat untuk menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, tidak
akan pernah ada kesepakatan di antara kita untuk memilih salah satu mitologi
sebagai milik bersama. Jika bangsa-bangsa di Eropa yang berbicara dalam puluhan
bahasa yang berbeda-beda memiliki mitologi Yunani sebagai pengingat kebudayaan
mereka, kita bisa berkomunikasi dalam satu bahasa namun masing-masing – sebagai
kelompok etnis – memiliki mitologi tersendiri. Kenyataan ini sangat penting
sebab tanpa mitologi, sastra tidak akan bisa berkembang dengan wajar. Mitologi
adalah kristalisasi konsep-konsep, nilai-nilai dan norma-norma yang menyebabkan
komunikasi antaranggota masyarakat bisa efisien; tanpa dukungan mitologi sastra
akan jadi cerewet – terlalu banyak kata untuk makna yang tidak seberapa -.”
Lalu di sinilah dilemanya, menurut SDD, jika
mitologi digunakan demi efisiensi, maka pengulangan pada dasarnya adalah
penghamburan kata. Sering anasir yang diambil dari sastra lisan tidak selalu
selaras dengan ketulisanan puisinya. SDD menilai ada sajak-sajak yang
mengambang antara kelisanan dan ketertulisan, dan itu bisa jadi kelemahan, bisa
juga kekuatan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar