Data buku kumpulan puisi
Judul: Ziarah
Tanah Jawa
Penulis : Iman Budhi Santosa
Cetakan: I,
Maret 2013
Penerbit: Intan
Cendekia, Yogyakarta
ISBN :
978-979-9857-35-4
Tebal: x +
128 halaman (80
judul puisi)
Penyelia
Aksara : Anes Prabu
Tata letak
: Harmono
Desain
sampul : Latief S. Nugraha
Beberapa pilihan puisi Iman Budhi Santosa dalam Ziarah Tanah Jawa
Ziarah
Tanah Jawa
Tinggal
satu jalan yang ditunjukkan kota-kota berdebu
pada usia
enam satu. “Kembalilah ke Jawa…”
menyusuri
jejak ingas kemadu
merawat
lempuyang sembukan yang makin jarang
memuliakan
gunung sungai, membersihkan halaman
dengan sapu
sebelum matahari terbit dan terbenam
Lepaskan
pula terompah sepatu dan seluruh buku
menapaklah
dengan kaki telanjang
biar pasir
kerikil memijat kembali
telapak
kakimu yang berkarat dan membesi
Disaksikan
rumput ilalang, senyum dan tembang
kusinggahi
makam nenek-moyang
tanpa
bertanya siapa mereka
apakah
keturunan matahari atau rembulan
apakah
babad dan serat pernah mencatat atau menyebutkan
mungkin,
lewat bunyi perkutut atau derkuku
mengejawantah
lagi nasihat para wali
merasuk
kembali papatah-petitih ke dalam puisi
merayakan
sekuntum melati mekar
pada setiap
hati sanubari
2009
Perayaan
Hantu
Malam itu,
anak-anak membuat diriku
dari rautan
bilah bambu
kepala
tempurung kelapa, diberi baju kain rombeng
dikalungkan
pensil, untuk mengail
tanda-tanda
waktu bakal memberi atau berlalu
“Cepatlah
menari,” mereka berbisik
mengusik
roh yang beterbangan
merasuk ke
dalam permainan
Maka, hitam
seperti bukan hitam
ranting
menjelma tulang
benang
melilit nyanyian mambang
sehingga
malam yang pekat jadi benderang
Sebutkan
namamu, sebutkan rumahmu
beri aku
mimpi, beri aku perahu
beri kami
dewi, beri kami pangeran
beri kami
tangga mendaki rembulan
Semalaman
anak-anak merayakan kegelapan
ketika kaki
dan tangan-tangan kecil mereka
demikian
papa, tak bisa mengejar
meraih yang
tampak di depan mata pada zamannya
2012
Hari
ini Engkau Bernama Sri
:
Legenda Dewi Sri
Sehabis
kelir, dalang dan wayang
membuang
petaka pemali
mata dan
hari pun memulai pagi
dan engkau
mengintip di ujung bulir srikuning
menunggu
kapan jemari tangan-tangan itu menyunting
usai
menggelar sesaji sepanjang pematang
doa dan
tembang warisan nenek-moyang
“Tertawalah
sejenak anak-anak desa
karena kami,
Sri – Sadana akan terus menjaga
bukit
lembah tanah Jawa…”
“Bukankah
padi dulu bunting
mengandung
anakmu, Dewi?” Perawan-perawan bertanya
sambil
mengelus perutnya
dan para
perjaka hilir mudik
merasa
perkasa karena keringatnya
engkau
berkahi
serupa nasi
beras
bersanding
ikan teri
kulub daun
pepaya
dan urap
kelapa muda
Hari ini
kusaksikan engkau, Sri
ketika
sawah ladang menuai cerita
langit dan
bumi menjalin cinta
laki
perempuan memboyong puteri jelita
manja
bercengkerama di punggung dan pundaknya
2006
Angin
Negeri Anak Gembala
Waktu angin
mati, layang-layang kembali kertas
rautan
bilah bambu dan benang kehilangan napas
anak-anak
gembala pun segera meneriakkan nyanyian sakti
“Cempe-cempe undangna barat gedhe
takopahi duduk tape
yen kurang goleka dhewe…”
Maka, entah
dari mana asalnya, angin pun tiba
puluhan
layang-layang mendaki
mencari
tinggi, menguji musuh
bakal
dicampakkan ke negeri jauh
tinggal
rangka di pohonan sunyi
atau
koyak-moyak dalam perang anak
ketika
semua tak bisa memiliki
Seindah
itu, sepatuh itu
angin
negeri anak gembala ini.
Tak pernah
ingkar janji diajak bermain
mengajar
daun pohon melambai
mengantar
tepung sari bercinta hingga selesai
usai puji
sanjung dilantunkan membumbung
hanya
dengan tembang tanpa sesaji
hanya
dengan hati lapang, mata terang
mulut lidah
tak menyimpan kata-kata berduri
“Cempe-cempe undangna barat gedhe
takopahi duduk tape
yen kurang goleka dhewe…”
Anak-anak
gembala telanjang dada
tembang,
bau keringat dan tangan-tangan kecilmu
telah
mengibarkan bumi Jawa
dengan cerdas,
di luar sejarah emas yang perkasa
karena
restu berkah para raja
tak pernah
singgah di ubun-ubun mereka
2006
* Cempe-cempe
undangna barat gedhe.., dst : tembang anak-anak gembala di Jawa yang
artinya, anak-anak kambing panggilkan angin besar, saya beri hadiah air tapai,
kalau kurang cari sendiri.”
Sesaji
di Bawah Pohon Manilkara Kauki
Semalam
seorang perempuan muda
meletakkan kembang telon, sebongkah kemenyan
rokok,
susur, dan sekeping limaratusan
dengan
sembunyi-sembunyi
di bawah
pohon Manilkara kauki
di simpang
jalan arah masa depan yang sunyi
“Aku lahir
dari pohon ini.” Bisiknya
lebih tolol
dari boneka
dan memang
sangat bisa
karena ia
bukan siapa-siapa
“Kalian
percaya, aku manusia?”
Tiba-tiba
ia bertanya
sapu
tangannya mengucak mata
orang-orang
tak bergumam
suntuk
menyaksikan pergelaran sandiwara
Sebelum
pergi kubuat namanya dalam hati
Si Wengi,
karena hidupnya lengkap terbenam
sama dengan
bulan bintang di malam hari
tak pernah
menemukan pagi
di kampung
halaman yang bukan miliknya lagi
2008
* Manilkara
kauki : nama latin pohon sawo kecik
* Kembang
telon : tiga jenis bunga. mawar, kantil, dan kenanga, yang menjadi syarat
sesaji upacara ritual tertentu
Tragedi
Kesetiaan Seorang Emban
:
Anjani dan Endang Suwarsih
Selesai
membasuh muka di bibir telaga
ia tak
berani meratap karena duka putri junjungan
sudah
menghunjam dada abdi pidak-pedarakan
“Mengapa
harus terjadi, Putri?” Endang Suwarsih bergumam
sebab ia
hanya emban dan berada di pungkuran
suaranya
pun bukan tembang, pantas didendangkan
setelah sampyuh, nista dan cacat melulur sekujur
tubuh
setelah
Cupu Manik Astagina
diperebutkan
tangan-tangan angkara murka
Sepasang
perawan berwajah wanara
sama-sama
luka, membenamkan diri ke telaga Nirmala
memburu
cantik yang dihapus dewata
yang lain
menjaga, mengembang junjungannya
Ah,
abdi-abdi Jawa yang setia
cantik bandara karena emas permata
cantikmu
karena selendang
rela
memanjakan anak-anak wayang
menimang
benar salah penuh kasih sayang
2008
* pidak-pedarakan
: rakyat kecil, hina dina
* pungkuran
: rumah bagian belakang
* sampyuh : mati semua
* bandara
: sebutan terhadap majikan
Legenda
Damarwulan
Sejak dulu
aku tidak percaya, Raden
serupa
Anjasmara. Engkau bukan pekathik
bukan
sudra, bukan rumput muda
pantas jadi
makanan kuda
Terakhir di
tanganmu bukan lagi sabit
tapi pedang
dan seragam prajurit
mukti-mati
jadi sesanti
setiap
menjaga dia yang memberi
Lalu di
mana dua belas ekor kuda itu?
bukankah
hanya bayang-bayang
menambah
keramat tanah Jawa
yang dihuni
ratusan cerita wayang?
Serat babad
memang mencatat namamu
dalam
tembang piwulang
juga kiblat
nasihat
tapi tidak
menetapkan alamat
di mana
kami bisa datang
berguru dan
berdebat
belajar
mengurai mana lambang
mana
hakikat
2011
*
pekathik : tukang pencari rumput untuk makanan kuda
*
sesanti : semboyan
*
piwulang : ajaran
Rumah
Cinta Kampung Halaman Tanah Jawa
Sepanjang
waktu terus menunggu potret itu
kursi kayu
atau bambu di beranda
kicau
burung, rumpun bunga
ramah
tersenyum menganggukkan kepala
padamu
padaku yang mengaku saudara
Ada
kupu-kupu berkejaran, lebah datang pergi
mengawinkan
putik benangsari sekali jadi.
Pintu-pintu
senantiasa terbuka
jendela tanpa
jeruji, pohon mangga rambutan
siap berbagi,
karena seluruh buah semata berkah Ilahi
Siang di longkangan anak-anak perawan
belajar membatik
udan liris hingga sidamukti
lukisan risau-resah
setangkai melati
sebelum kelak
diserahkan pada sang junjungan
dengan sepasang
tangan, disaksikan bulan dan matahari
Senja
puluhan layang-layang mengajak terbang
membuktikan
langit bukan bayang-bayang
kertas
benang mendaki, membaca awan
menyaksikan
anak ditimang angin musim ketiga
panas
terasa emas di kampung halaman tanah Jawa
Malam keris
pedang disimpan dalam almari
amarah keluh
kesah tak dibiarkan singgah
dendam benci
diikat doa ditiup zikir
mencair dibasuh
air bersuci subuh dinihari
hingga semua
aral melintang dapat dilompati
Pagi ribuan
orang bertebaran sampai ke negeri jauh
menggali tebing
lembah, memungut embun jatuh
menyambung langkah-langkah
patah
menyusuri jejak
rezeki berpindah arah
menampik rindu
pulang hanya badan sebelah
Selama ada
cinta, mata bocah pun memberi tuah
waktu engkau
pamit, perempuan menjelma rumah
saat ciuman
terus menggamit, nasihat kerabat
mengusir ular
kelabang, hantu dan mambang
yang bakal
merusak sawah ladang, juga letak pematang
Selama
lidah basah oleh liur sendiri
di antara
seresah kering tak memantik api
tak menginjak
semut cacing tengah mencari
ke mana pun
singgah, semak duri sedia mengalah
karena cinta
akan membangun cerita indah di mana saja
Saudara,
rumahku rumahmu selalu bertaut
saling mendirikan,
menjaga, dan menitipkan ketika pergi
bertukar selamat
dengan tetangga dan sama-sama memberi
karena letak
tanah Jawa bukan dalam dongeng legenda
tapi dalam
hati, dalam denyut jantung di dada kiri
2012
*
longkangan : celah antara pendapa dengan rumah induk di
Jawa
*
udan liris,sidamukti : motif batik di Jawa
Tembang
Tanah Jawa
Pagi ketika
prenjak bersahutan di halaman
pintu
jendela jadi menanti siapa yang akan datang.
Apakah dulu
benar ada benih ditabur
kemudian
lama ditinggalkan, serupa nama yang dikubur
tapi tak
pernah hancur berpuluh tahun dilupakan.
Adakah kini
sebutir biji bakal jatuh
dari paruh
burung pleci
tatkala
berlompatan di dahan ranting pohon murbei?
Semalam
ketika burung kulik dan tu’u
mengharubiru,
berputar-putar di atas pucuk randu
kemudian
hinggap pada rumpun kembang sepatu
barangkali
ia tengah mengajak cicak dan jengkerik
memagari
hatinya yang lelap
dari
marabahaya di balik gelap dan lindap
Tengah hari
ketika seekor ular lare angon
menyasar ke
beranda dari celah akar pohon sengon
jangan
siapkan cabang bambu ori
tatap
matanya, dan bisikkan lewat hati
irama
tembang kinanthi
dalam liuk
gemulai jemari tangan dan kaki
Menjelang
senja, ketika sepasang derkuku
bercengkerama
di bubungan rumah
katakan
pada mereka, cinta tak akan punah
selama
kicau merdu, lembut kata
dan kelepak
rindu, meluruskan jalan menikung
mengingatkan
hatimu hatiku yang tak kenal manisnya madu
Lalu,
ketika seekor gagak hitam
menyeruak
mahkota pohon salam
menabrak
belimbing muda, menghajar buah serikaya
jemputlah
ia dengan lambaian
lemparkan
sebongkah garam, taburkan segenggam biji asam
agar bala
dan petaka tenang tak bergerak
diperangkap
waktu yang tak mau berhenti walau sejenak
2011
Ziarah
Tembuni
Berkaca
pada lantai pendapa, malam wangi Wijayakusuma
keriput
uban serentak melawan, karena di sudut
dekat pot
bunga berlumut, saudaraku
tembuni
yang ikut serta dari gua garba bunda
masih
tersimpan aman dan patut
Di sana
masih tegak pohon mangga bapang
sepasang kelapa
gading dan rumpun bambu kuning
ditambah tebu
hitam, meniran dan kaca piring
melengkapi salam
sapa pagar halaman yang ramah dan hening
“Ya, aku
masih di Jawa.” Bersama welat dan jamu
menyanding pohon
srigunggu, tuah tapak liman
serta dewa-daru
“Tetapi,
mengapa sekarang engkau merasa jadi tamu…”
Padahal, di
sana masih ada makam leluhur
ada nisan
kayu batu ditatah dengan goresan paku.
Mereka tak
pernah lupa siapa anak cucu
yang dulu
nakal, suka mencuri ketela
dan membakarnya
malam-malam saat bulan puasa.
Maka,
seperti terbangun dari mimpi, kucabuti rumput teki
yang berakar
pada dahi mereka, yang menjalar
menutup nama
yang pernah mendongengkan kisah Nabi,
Ramayana
hingga Mahabharata
Ya, di sini
aku punya kisah lama
ada
perlambang pada anak panah dan gendewa
saat ibu
yang melepaskan dirimu diriku
berguru
pada tunas dan buku lebih dari satu
Kini,
dengan keringat di dahi kucium kembali tanah itu
bersama
derit bambu kusembuhkan penat
perjalanan bersepatu
di sini
engkau aku lahir, menjadi akar dan batang kayu
di sini
pula ribuan dongeng berkait menjelma biduk dan perahu
2011
Lekuk-Liku
Perlambang
Karena wong Jawa
nggone semu
Sinamung ing samudana, sesadone ing adu manis
Maka, aku
tak akan memainkan gelap terang
Dalam puisi
dan membuatmu tercengang
Aku hanya
akan mendendangkan tembang
Ketika
lebah kumbang datang pergi
Menghisap
madu dengan tenang
2006
* wong
Jawa nggone semu…dst : air muka dan
perilaku orang Jawa cenderung semu (terselubung), ucapannya tersamar, segala
masalah selalu dihadapi dengan muka manis.
Pada
Suatu Hari Rabu Umanis Pagi di Pagelaran Keraton Yogyakarta
Jauh dari
celah gunung kampung tak tercatat dalam sejarah
aku datang
dengan dada dan kaki telanjang. Sendiri,
napak tilas
jejak pewaris Senapati; berbekal puisi.
Sebab,
tinggal mereka yang bisa merawat sesanti
tanah Jawa
gemah ripah loh jinawi, tata-titi-tentrem
kertaraharja
menjaganya
dengan pupuh dandanggula atau kinanti
bukan
dengan kalimat sakti seperti dirancang negeri ini
Sampai di
depan pagar besi, disambut bau karat menyengat
aku mematung,
gelisah dan bayangan lewat tak terhitung.
Tak ada
lagikah pasewakan agung di sini
seperti ketika
Sultan menitipkan melati cempaka
kerbau sapi,
juga padi dan ketela, menjadi kerabat sejati
sanak kadang
di bumi Jawa? Tak ada lagikah bedhaya
serimpi,
atau bondhan kendhi digelar untuk menatah
mengasah tutur-langkah
sehingga lentur
dan indah ketika menapak kembali esok hari?
“Siapakah
yang kau tunggu, Saudara?”
Tiba-tiba
ada suara bertanya.
“Raja,”
jawabku singkat, tanpa berpaling pada si orang asing
karena yang
tampak hanya boneka prajurit di ruang kaca
tiang pendapa,
pot-pot bunga, dan sunyi
yang menyeruak
hingga alun-alun utara.
“Dia tak
ada di sini.” Gumam laki-laki tua memakai surjan
berkain panjang
tanpa alas kaki, wajahnya kehitaman
tapi jernih
tak berdaki. Mengisyaratkan dirinya
bukan pidak pedarakan
tapi tak
ingin dikenal nama, tak mau dipuji
“Marilah…”
Ia menggamit pundak, mengajak.
Dan aku,
tahu-tahu seperti kerbau dicocok hidung
patuh pada
dia punya kehendak, bergandengan
mengungkap
ribuan kasunyatan menakjubkan.
“Lihatlah…”
Ia menuding benteng keraton
kini bukan
lagi tembok beku perisai terhadap meriam peluru
tetapi
rumah-rumah abdi magersari beradu bahu
ditambah
kicau burung ramah menyambut para tamu.
Ada taman
terus menanti, membuka gerbang sepanjang hari
ukiran kayu,
gemelan perunggu
batik dan
ratusan pernik cantik tetap menunggu
rendah hati
sebelum menjadi perlu.
Malam,
sepasang beringin alun-alun selatan pun
diajak
bermain, tua muda dengan mata terpejam
belajar
mencari dunia lain. Warna-warni lampu juga menyala
menghias
jeruji sepeda tua, kerdip kerjapnya menyelusup
hingga
pelosok Nusantara
“Raja bukan
penunggu singgasana, Saudaraku.
Ia ada di
mana-mana. Mengalir dalam urat nadi kota desa
sesekali
ikut bertani, menempa di besalen
pandai besi
menuntun
orang-orang buta, menjelma tongkat
kiblat laku
lampah yang ditiru anak cucu
dan merasuk
ke dalam hatimu, juga hatiku.
Pagelaran
juga bukan lagi sebatas pendapa tua ini
tetapi,
seluas tanah Jawa yang membentang di hadapanmu.”
Di bawah
terik matahari ada pesan santun
membuatku
tertegun. Karena kata kalimatnya serupa mantra
memaksa
labah-labah terkejut dan bangun dari tidurnya.
Lalu,
siapakah dia? Apakah beliau raja
yang telah
meletakkan derajatnya
sama tinggi
dengan pundak hamba sahaya?
2011
Orang-orang
Malioboro 2009
Selembar
daun angsana yang gugur musim ketiga
dinihari menyapa
(dengan wajah kecewa)
setelah terinjak
sepatu bersama semut hitam di bawahnya
yang harus
mati sebelum menemukan remah berkah
yang tengah
dicari atau dicuri.
“Apa yang
kau tunggu di sini, laki-laki tua?”
Tapi,
laki-laki beruban itu merasa tak ada siapa-siapa
di bawah
sepatunya, karena dirinya hanya mondar-mandir
sambil mengunyah
catatan lama
“Di sini
pernah ada Rendra.” Gumamnya
setelah di
sepanjang tembok kusam
tak ada
lagi poster dan iklan teater.
Tak ada
lagi denting gitar melantunkan puisi
yang tak
pernah dimuat oleh koran-koran besar
Waktu
sepotong kenangan melintas
di seberang
balkon tua lantai dua
lagi-lagi
ia berhenti. “Di situ ada Umbu.”
gumamnya,
setelah merasa di sana hanya ada gelap
dan aroma
karat. “Benarkah ini Malioboro yang dulu?
Benarkah
sekarang jadi makam, jadi lorong hantu
milik iklan
siang malam yang terus mengharu-biru?”
Maka,
berhari-hari ia pun mencari
orang-orang
yang masih menggenggam puisi
berhari-hari
mencari sketsa lukisan
seperti disimpan
handai taulan
dan dimuliakan
pada kamar-kamar pribadi.
Tapi, yang
ditemukan hanya suvenir yang sengaja diukir
oleh tangan
para fakir membuat cerita terus bergulir.
Tengah hari
ketika hidup serasa makin diburu-buru
sekali lagi
ia melangkah ke utara, mencari puisi
yang dulu
disembunyikan di celah pintu warung kopi
yang sekarang
tiada (dan sejarahnya pun tak ada)
Demikianlah.
Senantiasa ada orang-orang gila
merasa Malioboro
miliknya. Ada orang-orang buta
merasa Malioboro
seperti yang diraba.
Ada
orang-orang bisu bahagia melukis Malioboro
dengan lidahnya.
Ada orang-orang tuli
yang tak
pernah mendengar
hiruk-pikuk
Malioboro begitu bebas merdeka.
Ada
orang-orang lumpuh yang senantiasa mengaduh
ketika harus
patuh menuai peluh
beringsut sepanjang
Malioboro yang terbuka.
Ada rasa
malu ketika tak ada lagi tegur sapa bersahabat
ratusan
orang memilih hidup dalam etalase
berkubang
dalam harga
dan
angka-angka yang senantiasa berkhianat
2009
Perempuan
Rumpun Bambu
:
Perburuan Dewi Kekayi
Semula
hanya kijang yang mengelak diburu
mendadak
hilang ditelan rumpun bambu
Ketika
mantra Rabu Dasarata menyibaknya
di celah
duri seorang putri berserah diri
“Silahkan
ke utara, tiga ekor kijang
akan jadi
milik Baginda.” Putri ini, Kekayi
seperti
meramal matahari ketiga
bakal
terbit di istana Ayodyapala
Dasarata
percaya, sekaligus menerima
tiga janji
dipancangkan sebagai sabda sakti
raja gung binathara yang terpasung sendiri
oleh jerat
cinta kijang liar
penghuni
hutan belantara
Memoyong
perawan rumpun bambu
Sang Prabu
tega menghapus kisah sejarah
kerajaan
yang dititipkan (hanya dititipkan)
pada
seorang menantu
lelaki yang
kandas mengemudikan tiga perahu
2007
Pada
Sebuah Lebaran Idulfitri
Setiap kali
berpaling, masih ada cerita
pahit biji
mahoni, teduh mahkota trembesi
gubuk-gubuk
bersahaja, saluran irigasi
melukis
ciuman teramat jelas di pipi ini
Antara
pergi dan tidak pergi
ratusan
tikungan kulalui, tetap saja kembali
mencari
restu selamat, menghindari cacat cela
biji benih
melupakan asal mula
serupa
beringin tumbuh di celah tembok-tembok kota
Bunda, aku
hanya anak-anak rumpun pisang
malu
berdesak tumbuh menjelma jelatang
hanya kicau
burung dalam detak jantung
menjagamu
teguh meniti setiap pematang
Hari ini,
beri aku lututmu, tanganmu, dadamu
karena
engkau tak pernah menuliskan kata salah
di
ubun-ubunku
2009
Tentang Iman Budhi Santosa
Iman Budhi Santosa lahir di Magetan, 28 Maret
1948. Pendidikan formal di bidang pertanian dan perkebunan. Tahun 1969 bersama
Umbu Landu Paranggi cs, mendirikan Persada Studi Klub (PSK), komunitas penyair
muda di Malioboro, Yogyakarta. Menulis sastra dan kebudayaan dalam dua bahasa,
Indonesia dan Jawa. Kumpulan puisinya: Tiga
Bayangan (1970), Dunia Semata Wayang
(1996/2004), Matahari-matahari Kecil
(2004). Kumpulan cerpen : Kalimantang
(2003). Novelnya : Ranjang Tiga Bunga
(1975), Barong Kertapati (novel
silat, 1976), Perempuan Panggung
(2007). Noveletnya: Dorodasih (1994),
Dan Pertiwi (1995), Bidadari Bukit Seruni (1997),
memenangkan lomba penulisan novelet majalah Femina. Buku lainnya: Kalakanji (esai sastra budaya, 2003), Talipati, Kisah Bunuh Diri di Gunung
Kidul (2003), Profesi Wong Cilik,
Spiritualisme Pekerja Tradisional di Jawa (1999), Dunia Batin Orang Jawa (2007), Nasihat
Hidup Orang Jawa (2010), Nguri-Uri
Paribasan Jawi (2010), Laku Prihatin,
Investasi Menuju Sukses ala Manusia Jawa (2011), Saripati Ajaran Hidup Dahsyat dari Jagad Wayang (2011), Petuah Bijak Para Leluhur Nusantara
Seputar Perkawinan (2011), Sinau Paribasan Jawa (2011), Candi Jawa Tengah dan DIY (2011), Sinau Budi Pekerti Saka Lakon Ramayana
(2012), Spiritualisme Jawa (2012), Ngudud, Cara Orang Jawa Menikmati Hidup
(2012). Alamat sanggar: Jl. Dipokusuman MG I/167 Yogyakarta. Email: imanbudhisantosa@yahoo.com
Catatan Lain
Ada sepotong kertas kecil terselip di dalam
buku, yang tiba-tiba menyeruak begitu saya buka halaman pertama, setelah
menyobek plastik pembungkus buku. Sesuatu yang baru pertama kali saya jumpai.
Sesobek kertas kecil itu bertulisan begini: Salam budaya, Saya bahagia Anda telah mengapresiasi dan
mendokumentasi antologi puisi “Ziarah Tanah Jawa” ini. Jika berkenan, silahkan
mengirim nomor ponsel Anda kepada saya sebagai jembatan menyambung silaturahmi
selanjutnya. Terimakasih. Iman Budhi
Santosa (081328883027).
Dalam
kata pengantar dikatakan bahwa kumpulan puisi Ziarah Tanah Jawa sengaja dipersembahkan kepada khayak, bukan
semata-mata untuk memenuhi tuntutan semangat bersastra belaka. Melainkan juga
sebagai upaya memuisikan nilai-nilai filosofi orang Jawa yang sempat
mengejawantah dalam gerak kehidupan sehari-hari di kalangan rakyat jelata.
Termasuk di antaranya, apresiasi mereka terhadap wayang yang demikian mbalung-sungsum selama ini (hlm.v).
Kata-kata
yang sulit dalam puisi dicetak miring dan penjelasannya dikumpulkan dalam Glosari di bagian belakang buku.
Memakan 4 halaman tersendiri (hlm 121-124). Jadi tidak ditaroh di bawah puisi
seperti yang terlihat di blog ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar