Data buku kumpulan puisi
Judul: Potret
Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur, Kumpulan Sajak (1967-1971)
Penulis : Abdul Hadi W.
M.
Cetakan: I,
1975
Penerbit: PT
Dunia Pustaka Jaya, Jakarta
Seri: PJ
167
Tebal: 68
halaman (39 judul
puisi)
Gambar
jilid: Popo Iskandar
Dicetak
oleh: Yamunu, Jakarta
Beberapa pilihan puisi Abdul
Hadi W. M. dalam Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur
Langit
di Mana-mana
Langit
berjalan atas pohon-pohon. Di mana-mana
bayangan
mereka di atas air, di atas pasir
dan gelap.
Bintang-bintang seperti lampu-lampu yang ditaruh para
nelayan
dan
bunyi-bunyian. Ditabuh senja pada batu karang
lapar itu,
haus itu! Dan awan cair
menembus
hatimu
Ayolah
buyung, kaubaringkan tubuhmu
Tak ada
bulan, tak ada nyanyian, bagi tumbuhan di bumi
Kami kan
tidurkan kamu pada ranjang kayu
muara
sungai dan musim kemarau
Ayolah
buyung kautembangkan pucung belum tidur
baik di
atas mimpimu, putri-putri buih naik ke badan
tengah
malam dan jika bintang-bintang menembus sunyi para nelayan
perahu-perahu
dagang yang tua, membersihkan laut, bayangan
Mereka di
mana-mana. Dan gelap
Ayolah
buyung tidur. Ombak sudah siap
menelan
lelahmu. Dan dongengmu teramat bagus
Seperti
penunggu muara sungai yang ramah itu
Dan bergegaslah
pergi, ke mana-mana
Sebab
langit di mana-mana. Dan mimpimu di mana-mana
Tanah air
di mana-mana
1969
Lagu
Putih
Malam itu
datang dengan sayap burung
Yang
berisik menuju kota
Di luar
daunan menderu
Menyeru
kelam
Mengapa
lonceng di sana itu bermimpi
Dan rinai
jatuh mengabut padang yang sepi?
Betina:
berikan aku saat berlupa
Dan firman
itu sampaikan
Aku butuh
segala rusuh, segala nanar, segala bosan
Aku butuh
impian dan dugaan
Menyeru
malam dan lenyap dalam rusuk
1971
Malam
Teluk
Malam di teluk
menyuruk ke
kelam
Dan bulan
yang tinggal rusuk
Padam
keabuan
Ratusan
gagak
Berteriak
Terbang
menuju kota
Akankah nelayan kembali dari pelayaran panjang
Yang sia-sia? Dan kembali
Dengan wajah masai
Sebelum akhirnya badai
Mengatup pantai?
Muara sempit
Dan kapal-kapal menyingkir
Dan gonggong anjing
Mencari sisa sepi
Aku
berjalan pada tepi
Pada batas
Mencari
Tak ada pelaut bisa datang
Dan nelayan bisa kembali
Aku terhempas di batu karang
Dan luka diri
1971
Di
Tapal Batas, Lalu Engkau
Di tapal
batas, matahari melelehkan panas
Sosok
tubuhmu melayang dalam gelap
Mengapa
ditingkap senyap dan daunan jadi ranggas
Nafasmu
luka dan tak lelap?
Pada tidur
aku meraba diri. Mencari makna
Pelupuk.
Sutra. Mawar. Nanap. Hampa
Dan tak
tahu, kota terantuk pada hujan
Menghembus
debu dan menghilang
Lindungkan
kelambu ranjangmu. Pada sisa
Perempuan
bergegas menyusuri malam penciptaan
Menari,
menarik remuk, menarik bumi dan akan terbit
Bulan yang
menggosokkan gading pada pimping. Langit
Memperlihatkan
bintang susu, lalu sengit
Nafasmu
yang luka membayangkan rupa
1971
Lagu
Bulan
Sajak-sajak
Li Po, buku-buku Nietzsche
Bakal jadi
apa
Dalam kamar
yang kukutuk sebagai dia
Bowo
mengajakku pergi lagi
Pergi lagi
Dengan
rambut kusut
Angin
berkabut
Keriuhan
kota yang undur
Dalam mata
hati kami yang tak pernah mau tidur:
Tuhan, kami adalah piatu
Bulan yang dingin
Menghampar bayangan rumah
Yang ditinggalkan
Di tengah malam buta
Lewat
jembatan
Gang-gang
yang melelahkan pikiran
Lagu “Don’t
believe….”. Dan
Bunyi
langkah kaki kami
Menindas
malam yang celaka
Bowo bicara
keras dan ketawa
Meneguk
bier-nya lagi
Mentertawakan
udara yang hampa:
Tidakkah Tuhan juga bersedih
Mencarikan nabi buat kita?
Sajak-sajak
Li Po, buku-buku Nietzsche
Bakal jadi
apa
Dalam kamar
yang kukutuk sebagai dia
Kami yang
tersaruk pergi lagi
Dan rumah
kami di awan
1971
Lagu
Biasa
Musik jazz
yang tenang dengan kalimat-kalimat
Chu Yuan
yang masih berdebat
Riung
Gunung, kabut Puncak dan aku malam ini
Punya
langit yang terpejam
Dan
bintang-bintang yang menuangkan anggurnya
Kau akan dijemput oleh guide asing itu
Dan aku
diam-diam akan pergi melewati
Tengah
malam yang larut sebelum kau tahu
Bahwa aku
akan mendapatkan batu-batu karang di langit
Lengking
Satchmo, telegram singkat dan daun-daun pinus
Pemandangan
yang menyayat
Kau akan ditanya oleh guide asing itu
Dan
diam-diam bulan akan menyoroti wajahku
Sebelum ia
menutup matanya melipat selimutnya dan membelakangi
Awan. Dan
mereka akan melukiskan malam seperti ini
Dengan
hujan yang mulai turun di sebuah kota
Night Club, losmen dan gang yang menuju ke rumah
Fransiska
Sudah
lembab dalam langsai Agustus
Aus, dingin, jazz dan engganku berada di udara
beku
Dan guide itu menuliskan namamu kembali di
agenda biru
1971
Elegi
I
Di sorga:
ada juga derita
Ketika
keranda-keranda putih
Dalam gelap
gulita
Ditarik
kereta berkuda
Ke sungai
perak
Ruh-ruhpun
terbang
Pulang ke
sarang senja
Dan
matahari pucat
Tuhan
berdiri
Di tepi
telaga darah
Dan pada
nisan seorang Gembala
Tertulis
berita:
Di padang Kerbela
Telah terbunuh Hasan dan Husein
Dengan lidah terulur ke tanah
Dan tubuh yang remuk
Tuhan
berduka
Memandang
bumi yang jelaga
Di mana
Adam telah buas seketika
Dan Hawa
melahirkan anak-anak cacad muka:
Muhamad, Muhammad!
1971
Baitl
Makdis, Pada Malam Israk
Kita tunggu
gemintang, mengerdipkan matanya lembut
kita tunggu
angin mencecah arusnya kencang
suara laut
di bawah benua dan cuaca
yang
membersihkan tanah-tanah di dataran Palestina
dan sejuta
suara bagai lonceng berdencang ramai
di mesjid
itu, suara para nabi. Terasa waktu
menanti
cuaca tiba
Apakah yang bakal terjadi
di benua kita?
di jazirah hitam ini
di mana para rasul dan nabi
diburu dan dibunuh
oleh orang-orang kerdil
dari tengah benua?
Muhammad!
Lempangkanlah jalan kami
yang dahulu
(Gaib arwah rasul dan nabi mengucap salam
waktu shalat selesai) dan di relung jagad
yang risau
kerdip gemintang memutih
sampai juga ke negeri masyrik
1970
Mikraj
Di ujung
musim yang menggasing
bagai
dengus gurun pasir
cahaya melompat
dalam laut salju
diseretnya langkah
malam itu
dalam putih waktu
Muhammad,
Kutawarkan
padamu:
jenuh semesta itu
Kupenuhi
isi dadamu;
nasib manusia
bentangkan kedua tanganmu!
pohon-pohon
kurma
di tepi
ka’bah
di pusat
Mekkah
menyanyi dalam gaib malam
dan mengucap malam
ke seluruh alam
yang mencecahkan kalam
di puncak
jagad
leburlah
rindunya
menjadi
zarrah itu
marhaban, Kuutus kau
juru selamat
1970
Pertemuan
Ada
percintaan gaib
antara
dingin yang tiba dan pohon-pohon cemara tua
Ada
percakapan gaib
antara
bulan dan suara-suara hutan yang mengelana
Ada
perjanjian gaib
antara
detik lonceng dan suara adan waktu isya tiba
Ada
pertemuan gaib
sewaktu
risau. Sewaktu kau bertanya
Siapakah di
mesjid jauh itu
Sujud dan
mendo’a?
Membacakan
surat Yasin yang panjang. Waktu
angin
merendah
Ia hilang
di puncak
Sepi
1969
Sendiri
Mengalir di
udara sepi
Seakan
rinai
dan Ratapan
sukmaku
Waktu
kawanan peri
beterbangan
di gugusan
awan Mei
Runcing
pohon cemara
memagut dan
melecut
suara angin
seakan
langkah mayat
melengoskan
dahaknya
ke bumi
Ah, jalan
begitu gelapnya di situ
di ujung
jalan itu
dan di
kejauhan
antara
dengus hantu
Dan kini,
antara bauran kekacauan pikiran
dan
kebosanan
dan
kegelisahan
kujotoskan
tanganku
dan
kutindas kata-kata keyakinanku
Mengalir di
udara sepi
Seakan
rinai
dan Ratapan
sukmaku
Waktu
kawanan peri
beterbangan
di gugusan
awan Mei
1970
Sajak
waktu sinar
bulan
luncur
karena angin Selatan
ia berjalan
lewat hutan
bagai
melodi
suara
kayu-kayuan
dengan
ranting-rantingnya yang tua
kau tak
tahu jalan ke Utara?
memotong
atau lurus?
dan hutan
itu
sudah ada
yang empunya?
kau tahu
jalan ke Utara?
terpotong
atau menembus
sungai
lebar?
dan ia
berjalan
lewat hutan
sinar bulan
berpendaran
embun jatuh
1971
Lagu
Danau
kelabu pada dataran
Hutan-hutan
di sekitarnya, perkasa
Gumpalan
dingin di langit malam
Menghamparkan
bayangan salju
Mengapa
pimping pada mabok
Dan
mengimpikan pagi musim rontok?
Tuhan dan
gemuruh itu
Menghembus
dan menyerbu
Melepaskan
gasing
Dari
pohonan tak berwarna
Tak bernama
1972
Ada
Sebuah Kota, Katamu, Tak Pernah Teduh
AKU ingin mengunjungi sebuah negeri
tanpa mesjid dan rumah
sakit,
tanpa kedai minum, lewat peperangan yang tak selesai di sana,
menyebrangi
sungai-sungai dan jembatan-jembatan, melupakan
pengemis-pengemis
yang merintih.
ADA kota yang tak pernah teduh,
katamu setelah meneguk
kopi susu
yang kental, bukan Paris bukan Roma bukan Jakarta dan
orang-orang
telah diungsikan perlahan-lahan sebelum subuh, mereka
beriringan diam-diam
melewati lembah yang gelap dan tak tahu
TERBACA pada koran sore yang bertumpuk
di meja, berita-
berita pemboman
di Vietnam Utara dan lapangan-lapangan terbang
di Tel Aviv
dan Karachi. Kita luka ketika anak-anak yang berpawai
kemarin sore
masih berkabung menyanyikan lagu perpisahan dan
kenangan pada
pahlawan yang pergi, seorang pemetik gitar dan
penyanyi.
Tapi kita selalu lupa bahwa orang-orang selalu punya
kalimat percakapan
setiap berjumpa: mau ke mana atau langit di
kota itu
selalu gelap dan setiap orang mengatakan demikian,
mengangguk-anggukan
kepalanya demikian dan menyanyikannya
demikian
SUARA-suara mobil yang mondar-mandir
dan orang-orang
di pasar,
kaupun berkata: “Lihatlah kamar orang asing di hotel
itu, itulah
yang selalu kita angankan, dengan blues yang selalu
memberikan hiburan
nikmat bagi setiap pelancong dan dari atas
kamar bertingkat,
pada kaca jendela yang kukuh bisa kaulihat orang-
orang bergerak
diam-diam setelah pembantaian selesai untuk semen-
tara dan
mereka itu selalu berkata: langit di atas kota selalu gelap
dan yang
lainnya selalu berusaha mengatakannya demikian”.
kemudian kita
dengar hujan dengan bunyi gamelan yang sayup,
menyebut nama
seorang raja yang lama dirindukan.
DARI rahim senyap orang-orang
sekonyong-konyong berjejalan
meneriakkan
bahwa perang telah selesai, tanpa mengatakan bagai-
mana selesai,
bagaimana bisa selesai, seperti perumpamaanmu
tentang Perang
Badar, Perang Kerbela, Perang Salib, Perang Bubat
dan lain-lainnya
dan lain-lainnya
KAU menunjuk langit yang menampakkan
bintang susu, seperti
dilihat para
pelaut, lalu ribuan bintang mengerumuni langit, lalu
kautaruhkan
bibirmu membelitkan paha dengan penuh perasaan dan
mendoa agar
bisa bermimpi dan bisa melupakan segala-galanya
dan segala-galanya
ADA sebuah kota, katamu setelah
merebahkan tubuh yang
penat,
sebuah kota yang tak pernah teduh dan kita musti pergi biarpun
belum selesai,
bukan Paris bukan Roma bukan Jakarta, tapi di mana
kita hanya
mengerti dengan menyebutkan sebuah amsal yang tak
jelas
1972
(nb.
puisi di atas bertipografi paragrafik, rata kiri-kanan)
Tentang Abdul Hadi W. M.
Abdul Hadi W. M. lahir di Sumenep, Madura, 24 Juni 1946. Pernah
kuliah di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, dan kemudian pindah ke
fakultas filsafat universitas yang sama. Kumpulan puisinya Laut belum Pasang (Litera, Jakarta, 1971), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (Pustaka Jaya,
Jakarta, 1975), Cermin (Budaya Jaya,
Jakarta, 1975), Tergantung pada Angin
(Budaya Jaya, Jakarta, 1977)
dan Meditasi (Balai Pustaka, 1982). Kumpulan esainya Gambar Manusia dalam Sastra. Mengasuh ruang kebudayaan Dialog di
harian Berita Buana dan pernah bekerja sebagai redaktur di PN Balai Pustaka.
Abdul Hadi W.M. sering disebut-sebut sebagai salah seorang penyair liris
terkemuka di Indonesia
Catatan Lain
Kumpulan puisi
ini, yang merupakan koleksi Perpustarda Prov. Kalsel, pengembalian pertamanya
tanggal 20 September 1978. Saya belum lahir. Dipinjam terakhir 16 Mei 1988.
Baru dua puluh lima tahun kemudian ada yang meminjam lagi, yaitu saya. Ada satu
lembar halaman terobek, saya baru sadar belakangan, yaitu halaman 52-53. Maka
tak dapatlah saya lihat sajak Penjelmaan-penjelmaan
dan bagian awal dari Mabok Malam I. Biodata
Abdul Hadi W.M. ada di bagian sampul belakang, tersenyum lebar hingga terlihat
giginya. Rambutnya juga panjang, kira-kira sebahu. Baik foto maupun tulisan
terlihat kebiruan.
makasihhh :D
BalasHapusSama-sama :)
Hapusnice post kak
BalasHapussuka puisinyaa :D
sesama penggemar puisi saling mampir donk kak hehe
andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn