Data buku kumpulan puisi
Judul: Pesan
Luka Indonesiaku
Penulis:
Ali Syamsudin Arsi (Asa)
Cetakan: I, Oktober
2005
Penerbit: Swakelola
Satu Warna, Banjarbaru.
Tebal: 61
halaman (13 puisi)
Sampul dan
Perwajahan isi : Harie Insani Putra
Beberapa
pilihan puisi Ali Syamsudin Arsi (ASA) dalam Pesan Luka Indonesiaku
Orang-orang
Hilang Dalam
orang-orang
hilang dalam
gelembung
sabun di ujung jemari ibu-ibu
perempuan
yang tetap setia melahirkan
anak-anak
di hempasan riak
memperderas
arus dari luncuran embun pada
tangkai
dahan bulir-bulir merunduk padi
hari-hari
menjadi sedih mendanaukan luka di air mata
orang-orang
hilang dalam
lapisan
kulit kayu hutan dari ranting tanpa akar
tercerabut
di gelak tawa dengan bibir retak tengadah
berwajah kayu;
mempersombongkan getah daun berderak
ketika
dendam dahan yang ternista
tinggal
menunggu hitungan; alasan demi alasan
di
persembunyian rebahan duri-duri
telinga pun
membatu mata pun membatu tangan pun membatu
nadi pun
membatu jantung pun membatu hidung pun membatu
darah pun
membatu selangkang pun membatu otak pun membatu
bibir pun
membatu tulang pun membatu; nama-nama membatu
orang-orang
hilang dalam
selongsong
mesiu di reruntuhan pijarnya matahari
kehilangan
bayang ketika senyap memperlambat jalan
pernyataan-pernyataan
yang terpahat di tingkah
muka-muka
kayu, dari ketinggian tempat kaki berdiri
yang lain
adalah sepi
kokok ayam
di pagi-pagi pun dianggap sepi
kedut ujung
mata sendiri pun dianggap sepi
desir air
di celah batu pun dianggap sepi
orang-orang
hilang dalam
lembar-lembar
kusam catatan sejarah; kata-kata berdarah
ayat demi
ayat mempertontonkan bulu mata terbakar
ucap demi
ucap merentangkan nurani terbakar
menggunungkan
tingginya keangkuhan di bukit khotbah
walau dalam
kesabaran bumi tetap tak bisa diterima
orang-orang
hilang dalam
ketajaman
kilau mata luka belati; angin membias dilibas
mengatasnamakan
percik darah kecurigaan
di rerimbun
buangan anak sungai pembalasan
orang-orang
hilang dalam
gegap-gempitanya
kepalan tangan
di tengah
persekongkolan
orang-orang
hilang dalam
kardus-kardus
kaca penyeludupan
di tengah
raung kemiskinan
orang-orang
hilang dalam
lubang-lubang
hutan menganga di tengah ketidakadilan
banjarbaru,
desember 2003
Menolak
Sepi
(tepat
tengah malam
pada sebuah
rumah di kamar sempit
cahaya
lampu dari neon orang-orang
dengan
tubuh terbaring;
tak pernah
kusaksikan
bahwa anakku bermimpi
seperti juga aku
ia pun tak
pernah melihat bahwa
ibunya bermimpi
seperti
saudaranya)
tepat tengah malam
berkali-kali telah kutolak sepi
namun selalu datang seperti belati
tepat
tengah malam
kubuka
semua pintu; wajahmu wajahmu wajahmu
segala
penjuru hanya
wajahmu
wajahmu wajahmu… seketika wajahmu wajahmu
tiba-tiba
wajahmu wajahmu wajahmu
di ujung
air mataku hanya terlukis wajahmu wajahmu wajahmu
terkulai
sepi
wajahmu
wajahmu wajahmu wajahmu wajahmu …
Bulan
tak Berbilang Bulan
(sajak
panjang untuk mereka yang telah memberi
bahkan
telah banya yang mereka beri
membri tak
habis-habisnya memberi
bahkan ada
mereka sampai menuju lenyap
demi untuk
sekedar memberi)
bulan di
sini tak pernah redup, sebab cahaya
memancar di
ubun-ubun mereka
bulan di
sini tak pernah redup, sebab cahaya
memancar di
setiap sinar mata mereka
(tuhanku
segala jawab
aku yang
terkungkung di antara jejak
membekas
luka tikam matahari
separuh
waktu telah berlari dari
bergumpal
keringat tak banyak arti
sebuih
cakap di pongah mempersombongkan hati
tuhanku
segala harap
berjuta
detik sujudku mempersunting semu
dilibas
bayang-bayang
daun di
ujung bulu mata ini, retak-tegak
mempersarikan
mimpi tentang hijau
dan
rindangnya berhutan-hutan
di bulan
yang tengah kuberpijak)
berbaris
nama yang tertulis dengan sangat jelas
membentuk
lukisan langit dengan keagungan awan dan
lengkung
cakrawala yang membusur di tali senar
kemuliaan
malam bintang
berbulan-bulan
malam
bintang berbulan-bulan
malam
bintang berbulan-bulan
(tuhanku
segala dapat
semakin
merentang jarak
sentak aku
di sudut pembaringan
sebab waktu
mengharumkan kamar dari
desir dan
gelak yang meraung-raung
jengkal
demi jengkal depa demi depa
belantara
keriuhan
jauh
menjauh dan semakin jauh
dari
bulan-bulan yang tengah kuberpijak)
sekumandang
kebesaran bergema di malam-malam
bernama
atau tak bernama; dibaca atau tak dibaca
menjadi
sama dengan apa yang jelas terpampang
tak
berbilang berapa bulan dari hitungan bulan
sekumandang
kebebasan bersahut di siang-siang
walau tak
seberapa dari apa yang pernah disebut memberi
sampai
desah pun enyah mendekat apalagi sekedar resah
(tuhanku
sampai
sudah nyaliku membakar rindu
tolak-menolak
dan tepis-menepis
yang akan
mempertebal lapisan beban)
bulan di
sini tak pernah redup, sebab cahaya
memancar di
setiap sudut ucap mereka
bulan di
sini tak pernah redup, sebab cahaya
memancar di
rentangan telapak tangan mereka
(tuhanku
ini tidak
sekedar doa dan engkau
sangat
memahami; tak ada yang lain
setelah
menistakan kemilau mutiara dari
tafakur di
keheningan sunyi)
langit dan
bumi mempertemukan arus dari rentang
takbir (dan
ada yang tersungkur dengan derai air mata basah
sampai ke ujung-ujung basah)
ranting dan
punggung sungai membuhul dari kelopak
tasbih (dan
ada yang gemetar sampai ke pusat beku
walau lidah berseru-seru dan selalu)
(dari dalam
mencoba
untuk menerobos ke luar
seperti
terkungkung tiang-tiang bulan
hari-hari
pun menjerat di pundak berdebu
bahkan
telah dengan sangat berani dari
kelantangan
debu
yang panas
dari segala panas, penyebar gelisah
sebagai
sihir yang menghalimunkan kabut
setipis
ari-ari)
di kejauhan
tempat berdiri mengaca pada diri yang sepi
ombak
menghempas pada dinding rongga paru-paru mimpi
oh, jagad
raya
melepas dan
rentanglah di rebahan sujudnya rumput
seperti
takbir-takbir itu melangkahi pucuk-pucuk berembun
seperti
tasbih itu membentangkan jejak-jejak ucap
sampai
bulan tak lagi berkata dosa
sampai
bulan menjadi penuh di gema doa
(ini ada
sebuah sujud
tanpa bekas
walau debu
direngkuh-penerimaanmu
tuhanku
aku tak
perlu lagi berkata-kata
tuhanku
pijarku
membawa)
keluasan
sajadah yang tak ada habis-habisnya ini
menutup-menggulung
sampai sehabis-habisnya tak
habis-habisnya
asal habisnya
ke ujung makna
(inilah aku
si angin
bergulung debu
di kelam
lorong waktu
dan kucoba
membuka mata, ternyata masih ada
cahaya)
bulan tak
berbilang bulan, saatnya
jalan
perak ujung 16 banjarbaru
Jantung
Lelaki dan Belati Sepi
Senin
pagi-pagi
angin berhenti
di sini
setelah
batu demi batu berserakan
di antara
lipatan
waktu itu,
ada yang berlari
aini, aini
Kau lelaki
salah satu
jantung kota ini
mengalirkan
detak ke pinggir-pinggir desir
walau semua
orang tahu; desirmu di pesisir
hanya di
pesisir, seperti belati dilingkup selubung sepi
aini, aini
belatimu
tajam menusuk; iris-mengiris
ke jantung
lelaki dan kau
sedengung
simak dari tangkai telinga Albert Camus
menggelinding
turun di titian buih-buih ucapnya
Jean-Paul
Sartre, aini, aini, melengkapkan tujuan
dari
perlawanan Gabriel Marcel, atau kau berdiri
di antara
kedua arus mereka, aini, aini
aini,
siramilah kulit-harapmu dengan air dari
pinggiran
anak sungai kota ini
hanyutkan
jukungmu ke muara
agar
jantung dan belati kita menancap
di ketiak
waktu, seperti batu nisanmu
Aini, aini,
jantung lelaki belati sepi
aini, aini,
jantung lelaki belati sepi
aini, aini,
jantung lelaki belati sepi
Indonesia
dalam Kaca Mata Luka 1
yang
menjerit sekarang bukan hanya pesakitan
indonesiaku
sudah gila
syaraf-syarafnya
kusut-masai tak ada ujung
tak mampu
menemukan pangkal
bagai duduk
di kursi listrik kematian
otot tulang
jantung mata dan angan-angan
serta
gairah seksualnya bergetar tanpa aturan
indonesiaku
sudah tidak punya peta
di gugusan
pulaunya hanya ada mimpi
mimpi yang
menghadirkan keluhan dusta
tangis dan
darah; peluh keringatnya sudah keluar
dari jalur
ketidak-beraturan
indonesiaku
tak mampu mengatakan bulan
sebagai
bulan
indonesiaku
tak mampu mengatakan cahaya
sebagai
cahaya
pernyataan
demi pernyataan
hanya
sebatas ejaan dan kumpulan kosa kata
perbuatan
demi perbuatan
hanya
sebatas peran aktor badut pemain sandiwara
terkadang
indonesiaku dapat menguraikan
tapi
sebenarna indonesiaku buta pada akar persoalan
sebab yang
ada hanyalah pembenaran
di otak
indonesiaku sudah tak ada kebenaran
terselubung
oleh khianat dan pembohongan
indonesiaku
dalam kaca mata luka
sejarah
semakin menjauh sambil menutup wajahnya
ada
sejumlah nama namun tak mampu berbuat apa-apa
ada
seonggok bangkai kata yang tak mampu membangun kerangka
baut demi
baut, engsel demi engsel lepas dan berkarat
indonesiaku
paling canggih meruntuh-lantakkan pilar-pilar
kebudayaan
dan peradaban
namun tak
mampu menjaga keemasan kilau
cahayanya
indonesiaku
adalah keping-keping kapal si Malin Kundang
atau
kebisuan dinginnya batu gunung Raden Pengantin
indonesiaku
tak lagi dijaga datu-datu
indonesiaku
memendam dendam tajamnya kilau belati
iris-mengiris
koyak-mengoyak tikam-menikam
indonesiaku
indonesiaku indonesiaku
o,
indonesiaku
dalam kaca
mata luka
2004
Indonesia
dalam Kaca Mata Luka 2
apakah
harus semua orang mengirimkan caci-maki ini
apakah
harus semua kucing yang berbentuk binatang itu
selalu menghadirkan cakar dalam
meong panjang
mengendap dalam pengintaian yang
teramat sabar
apakah harus semua ombak dan gelombang
menjelmakan
badai
sementara pantai tak bersahabat
karang
siput dan kerang terusik selalu dari
sarang
paus dan lumba-lumba tak tampak
bercanda riang
apakah
harus semua akar yang malu-malu itu bermunculan
“getahku tak berdaun, dengar jeritku
ini!!!”
getahku tak berdaun getahku tak berdaun getahku
apalagi yang dapat aku serap di lorong-tanah
ini
tanahku bau darah tanahku bau darah tanahku bau
apakah
harus semua sungai tak lagi mengenal ke mana arusnya
dan muara selalu mempersalahkan
hujan
dan hujan selalu mempersalahkan
angin
dan angin selalu mempersalahkan
hembus
dan hembus selalu mempersalahkan
desah
dan desah selalu mempersalahkan
gundah
dan gundah selalu mempersalahkan
wahai
apakah
harus semua kompor menutup lubang-lubang sumbu
sementara minyak merindukan nyala
apakah
harus semua zikir menuliskan fonem-fonem persukuan
sementara kata merindukan kalimat
dan kalimat sangat berharap untuk
menjadi paragraf
apakah
harus semua apakah harus apakah
menunggu
bukan kata yang paling tepat
bukan mimpi
yang tak bersambung; indonesiaku bukanlah mimpi
indonesiaku
adalah semua orang indonesiaku adalah semua kucing
indonesiaku
adalah semua ombak dan gelombang
indonesiaku
adalah semua akar
indonesiaku
adalah semua sungai
indonesiaku
adalah semua kompor
indonesiaku
adalah semua zikir
indonesiaku
adalah semua
tak ada
yang tersisa sampai debu tak lagi berdebu
lihatlah
wahai indonesiaku rindu bukan sekedar rindu
lihatlah
wahai indonesiaku luka bukan senganga luka
(menyaksikanlah
aku pada bingkai awan berkaca bening
di
permukaan danau riak gemericik dan kecipakliuk ikan
menari
geliat sisik pantulan bulan; mari ke mari
kita sikut
itu sunyi, mari ke mari kita pasung itu sepi
taman
hijau, taman hati kembali kepada Sang Nurani
sambut
kelingking jari-jemari, wahai indonesiaku)
di tepi
kolam ikan aku berdiri
Pesan-pesan
untuk yang Kesekian Kalinya
Kematian
seperti apa yang harus dihadirkan
pada
masa-masa sulit sekarang ini,
bulan redup
di ujung tahun; seperti yang dahulu juga
pernah
diterima sebelumnya
Sementara
kesimpang-siuran kabar,
agar nalar
kita mampu mencerna
segala
kebenaran, bukan sebaliknya;
tentang
kedustaan sebagai
tontonan
dan dijual-belikan di etalase,
gantungan
baju, pameran
ruang-ruang
pajangan, lembar-lembar iklan
Simpan
air-mata-mu
Jerut seperti apa
lagi yang harus ditangkan sebagai lolongan
panjang
membentang menelusuri celah-celah hati-membatu
gema dan
dengung di telinga pun seperti tak ada bentuknya
tuhan telah
menciptakan untuk digunakan
akan ke
sampah mana sisa-sisa suara akan ke sampah mana
pecahan-pecahan
kata akan ke sampah mana bulir-bulir puisi
akan ke
sampah mana akan ke sampah mana
Kematian
itu pun
seperti
lubang-lubang galian
Alasan apa
lagi yang akan dihujatkan di hadapan
para
malaikat yang telah memutuskan kedatangan, pasti
tepat pada
waktunya; lalu apa yang mampu dibawa
selembar
angin melepaskan kain
kekerdilan
diri
Jangan
tumpahkan kesedihan itu, di sini
tak ada
tempat lagi kalau hanya sekedar mencari
letakkan
telunjuk ke ujung jari
ketika
tanah-tanah retak membelah
ketika
awan-awan tak mampu menahan beban
ketika
panas-panas menyalakan api kobaran
ketika
darah ketika air-mata ketika luka
Simpan
air-mata-mu
Tuhan telah
menetapkan memang
seperti apa
seharusnya menemui kematian
namun kalau
pun boleh memilih; tentu bukan dengan cara yang lain
seperti
orang lain tak mau memilih
Sekarang,
masihkan
memajang
mayat-mayat
di lipatan
kawat-kawat
suara dan
kata
penyair dan
isyarat kadang tak mudah ditangkap
kematian
seperti apa yang ingin dihadirkan pada zaman batu
sekarang
ini, ketika menatap bola mata redup, tak sempurna
terkatup;
bocah itu sebenarnya ingin banyak cerita, tetapi
ke sampah
mana tawa-tawa polos dari pagi yang bergema
ke sampah
mana tengadah tangan-tangan lenting ke sampah mana
wajah-wajah
sepi melepaskan doa ke sampah mana canda
ke sampah
mana lantangnya kata-kata ke sampah mana
suara-suara
di langit embun menolak bencana di gunung
menolak
prahara di bukit menolak prasangka di laut menolah
dukalara di
pulau menolak air mata air mata air mata
siapa-siapa;
tak
Mesjid dan
surau sepi pelanggan
orang-orang
berteduh gerimis, memilih di turunan toko-toko
ruko-ruko
pasar-pasar swalayan-swalayan toserba-toserba
supermarket-supermarket
mall-mall
pegadaian
dan gudang pegadaian
di rumah
yang sombong
di kantor
yang sombong
di pistol
yang sombong
di kapal
yang sombong
di kapal
yang sombong
di seragam
yang sombong
di kursi
yang sombong
di meja
yang sombong
Setelah itu
terjadi lalu apa artinya uluran demi uluran
padahal
sebelumnya banyak arti bila itu dilakukan
kematian
seperti apa yang diharapkan
di masa
paceklik seperti ini
duka hidup
di padang-padang kesuburan
Katakan
derita bukan tayangan-tayangan pemberat luka
senyum ibu
sebagai mayat adalah aku jerit ayah
menggapai
sebagai mayat
adalah aku
tatapan kosong mata sebagai mayat
adalah aku
tulang-tulang
patah
sebagai mayat adalah aku berserak tak berbentuk adalah
Kematian
seperti apa yang dikehendaki, jauhkanlah
ketika
ketamakan melanda nurani jauhkanlah ketika
rasa
ketakcukupan melumuri ingin melanda diri
jauhkanlah
ketika kerakusan melanda tangan-tangan
pada yang
lain bagian jauhkanlah nafsi-nafsi
Daun pun
luruh ke bumi, air mata menjadi batu
yang
terbaring sebagai mayat adalah aku
Kematian
yang bagaimana lagi yang harus dinikmati
seperti
pesan-pesan yang terlalu sering pernah didengungkan
tetapi
setelah ini masih saja, tetapi setelah ini tetap saja
dengan
alasan yang boleh jadi berbeda, padahal sama
karena
mayat itu adalah aku
Kematian
adalah diam, dan air mata bukan tanpa makna
karena
selalu dan terus saja ke muara
semuanya
sekarang
giliran siapa
karena
mayat itu adalah aku
Duka hidup
di padang-padang kesuburan
kematian
adalah perjanjian
sementara
tragedi membangun pemikiran ke arah tanda-tanda;
ada yang
belum lunas dibayarkan, mungkin kepada alam
juga tentu
kepada tuhan
karena
mayat itu adalah aku
Kematian
itu pun
seperti
lubang-lubang galian
menunggu
giliran
karena
mayat itu adalah aku
air mata
membatu
ditunggu
ditunggu ditunggu
selalu dan
selalu
karena
mayat itu adalah aku
Di
kepanjangan doa, malam-malam
di
kepanjangan doa, siang-siang
kapan pun
waktu terus memburu dan menunggu
karena
mayat itu adalah aku
Simpan
air-mata-mu
Biarkan
perjalanan berlalu menuju tempat selayaknya
dituju
lepaskan
beban antara yang ditinggalkan
dan
kesombongan karena keserakahan
menumpuk-numpuk,
semakin digunung-gunungkan
Kematian
adalah perjanjian
tetapi
bentuk dan cara kematian adalah pilihan,
bila itu
memang boleh dan diperkenankan
maka
kewajaran dari kematian
menjadikannya
sebuah penghormatan
Kapan dan
di mana pesan lain disampaikan
Berjuta-juta-ribu
tayangan; sekejap datang dan hilang
datang lagi
dan hilang lagi, datang lagi dan hilang lagi
akhirnya
mayat dan aku sama-sama menjadi sepi
hanya mampu
menunggu giliran
bentuk dan
caranya pun tak ada dalam mimpi
entah kapan
atau di mana lagi
Melangit
cermin dipaparkan sudah
awan
bergerak menuju arah
tak pernah
tetap selalu berubah
melangit
cermin; ke langit wajah tengadah
memahami
kekerdilan diri
tak mampu
berbuat lain
ketika
cermin demi cermin terbelah
mengaburkan
tanda-tanda di wajah
kematian
seperti apa yang diinginkan
lalu untuk
apa bergunung-gunung karun itu
menayangkan
keangkuhan
seperti
senyum dan kekuasaan
walau
banyak suara dan kata-kata
disampahkan,
entah ke sudut mana
tak pernah
mau tahu, bahwa ada sesuatu di baliknya
Mayat itu
adalah aku
sebagai
lanjutan pesan demi pesan
yang telah
sering disampaikan
untuk yang
kesekian kalinya
selanjutnya
adalah penyadaran
membagi
luka atau suka kepada sesama
kepada
sesama
karena
mayat-mayat itu pun adalah kita
Kematian
dan kepasrahan adalah satu bagian
Hilangkan
pesta demi pesta apa pun alasannya;
seperti
aroma kamar yang menolak riuh gempita
ada dukana
memperpanjang renungan, tak berkesudahan
keranda
keranda keranda keranda keranda keranda keranda
hilangkan
pesta demi pesta
tak ada
pesta sampai ke celah sepi dan luka-luka
Kematian
seperti apa yang harus dihadirkan
di
masa-masa sulit
sekarang
ini, walau tayangan pesta
masih
memenuhi ruang-ruang tamu
semua orang
harus sabar menunggu
Kematian
inikah episode terakhir sebagai penutup
ending
untuk memulai perjalanan baru
tanpa pesta
tanpa luka tanpa luka
dari cerita
nyata sebuah bangsa
sebagai
manusia
tuhan
menciptakan untuk dapat digunakan
tetapi
tuhan telah banyak dengan peringatan
sementara
mata dan telinga masih berpundak beban
padahal itu
pun cobaan
kembali ke
sudut nurani
biarkan aku
terbaring di sini
dengan
caraku sendiri
karena
tuhan sangat memahami; doa tak pernah berhenti
Kematian
seperti apa
bagaimana
rasanya
untuk apa
yang sudah ada;
sebab hidup
boleh berkali
tetapi
kematian hanya cukup sekali ini
Kematian
adalah pelajaran dan katakan kepada serangga bahwa
akulah
mayat yang disantapnya
katakan
kepada ulat bahwa akulah
mayat yang
dihisapnya katakan kepada kumbang
bahwa
akulah mayat yang digergajinya katakan kepada
cacing
bahwa akulah mayat yang dilumatnya katakan
kepada batu
bahwa akulah mayat yang ditindihnya
katakan
kepada parang bahwa akulah meyat yang
digoroknya
katakan kepada air bahwa akulah mayat
yang
dihempasnya
katakan
kepada keranda bahwa akulah mayat
yang
diusungnya
katakan
kepada tanah bahwa akulah mayat
yang
dibaringkannya
katakan
kepada langit bahwa akulah mayat yang dilingkupnya
katakan
kepada sesama bahwa akulah mayat yang tak mampu
mayat yang
tak mampu, tak mampu berbuat apa-apa
Kepada
tuhan
biar aku
berkata bahwa akulah mayat yang datang
sesuai
dengan rencana semula
seperti
perjanjian
sama dengan
rahasia
hanya pesan
yang terbaca lewat tanda-tanda
Selamat
tinggal dunia
Selamat
tinggal manusia
(catatan
ketika hempasan datang sebagai bencana
dari
rangkaian bencana yang lain, 26-28 desember 2004,
anak-anakku
betapa kecil dan tak berartinya kita
kesadaran
akan derita sesama adalah sebuah
penghormatan
ulurkan kasihmu semampu, sebagaimana
kita punya
niscaya hidup berjalan sesuai rencana)
*
Kata dengan warna biru, menandakan
kebingungan saya; apa salah cetak atau kata itu memang tak saya mengerti
artinya?
Tentang Ali Syamsudin Arsi
Ali Syamsudin Arsi atau biasa
dipanggil ASA, lahir di Barabai, Kalimantan Selatan, pada 5 Juni 1964. mulai
aktif menulis puisi sejak 1982. Puisi, cerpen dan esainya tersebar di berbagai
media massa daerah, nasional dan regional. Kumpulan puisi tunggalnya: Asa (1986), Seribu Ranting Satu Daun (1987), Tafsir Rindu (1989), Anak
Bawang (2004), Bayang-bayang Hilang
(2004), Pesan Luka Indonesiaku
(2005), Bukit-bukit Retak (2006). ASA
memperkenalkan gumam mulai tahun 2009, yang ditandai dengan terbitnya buku
kumpulannya tersebut, yaitu Negeri Benang
pada Sekeping Papan (2009), Tubuh di
Hutan Hutan (2009), dan Istana Daun
Retak (2010) dan Bungkam Mata Gergaji. Tahun 1999
mendapat penghargaan sastra dari Bupati kabupaten Kotabaru. Tahun 2005 menerima
penghargaan sastra dari Gubernur Kalimantan Selatan. Tahun 2007 dari Balai
Bahasa Banjarmasin.
Catatan Lain
Sebuah buku kecil yang saya temukan di rak buku
Hajri ini, hanya memuat 13 puisi, 2 di antaranya sangat panjang, yaitu Pesan-pesan untuk Kesekian Kalinya dan Tetesan Embun di Tenda-tenda Pengungsian.
Ada suatu ketika, sepulang dari Dialog Borneo-Kalimantan di Samarinda, bis kami
berdua (kami merupakan kloter terakhir yang pulang) terjebak 12 jam lebih di
perbatasan Kaltim-Kalsel. Dari tengah malam sampai tengah hari. Konon ada truk
pengangkut alat berat yang kecelakaan sehingga menghalangi seluruh jalan. Di
sana, selama perjalanan itu, saya banyak mendengar cerita. (Ah, saya memang
pendengar yang baik. Persis seperti yang diajarkan ilmu psikologi). Perihal
pikiran-pikirannya, persepsinya, kisah perseteruannya dengan sesama penyair,
pandangannya tentang kesusastraan. Barangkali tak banyak yang saya ingat
(kebetulan saya juga sedikit pelupa. Hehe), kecuali pengalaman dalam perjalanan
tanpa kepastian itu bersama seorang ASA. Kaitannya dengan buku ini: tidak ada!
Atau barangkali ada. Hanya saya saja yang tak tahu. Entahlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar