Data buku kumpulan puisi
Judul: Garis
Putih
Penulis : Sugiarta Sriwibawa
Cetakan: I,
1983
Penerbit: PN
Balai Pustaka, Jakarta
Seri: BP
No. 3169
Tebal: 64
halaman (45 judul
puisi)
Perancang
kulit : Hanung Sunarmono SD
Beberapa pilihan puisi Sugiarta Sriwibawa dalam Garis Putih
Album
Hijau
Kapan kita
terlahir kembali
Entah di
mana, di suatu saat dan di suatu tempat
Saling
memandang meski tidak saling mengenal lagi
Kehadiran
masing-masing yang fitri
Mungkin di
tepi hutan cendana yang rindang
Di ambang
dusun kala pohon belimbing berkembang
Atau di antara
kebun tebu
antara Surakarta
dan Yogyakarta
Timbul
tenggelam warna bajumu
hijau pupus,
dan ayun anggun lenganmu
Pasti
engkaulah itu
Dan
telingamu pun tak akan asing
menyaring suara
panggilanku
Atau
seperti dahulu, di sebuah pesta perkawinan
Karena kita
masing-masing diundang
Kala engkau
tertegun beberapa jenak, lalu
menyapaku dengan
pandang menunggu
dan harap-harap
camas
(Ah,
setidak-tidaknya demikianlah tafsiranku)
Dan sesaat
aku malah mengelak
Tapi
seketika pula aku mengenalmu
Setelah
berhasil menghapus jarak waktu
Yakin daku,
dalam penjelmaanmu nanti
Aku masih
melihat lagi
anak
rambutmu yang ikal pada lengkung dahi
dan sebuah
jerawat suci di bawah pipi
Mungkin aku
melihatmu di sebuah toko buku
Tanganmu
membalik-balik buku sejarah dan candi
Mungkin
pula engkau yang melihatku
dari balik
jendela bis kota,
kala aku
berjalan layung-layung
dengan setia
dan merenung khayali
Mungkin
pula nanti aku penyair setengah baya
Dan engkau
mahasiswa peminat sastra
Atau
barangkali dalam hati bertanya-tanya
Sekali
waktu, nun dahulu entah di mana
Kita berdua
pernah hidup seusia
Barangkali
jua kita telah terlahir beberapa kali
Di suatu
benua dan jaman yang bahagia
Sekalipun
dengan nama lain dan usia berbeda
Tapi dengan
indera dan naluri yang asali
Karena itu,
duhai – puisi ini tercipta lagi
Dan
bahwasanya kita masih akan terlahir kembali
Jakarta,
1982
Kereta
Kencana
Kereta
janazah, kami duduk bersanding dengan sawur
kembang mempelai
Pejamlah,
debar darah sesal karena was-was kehendak suara
Jiwa
mengetuk asing, tapi suara tinggal melampung-lampung
Telapak
tangan waktu yang mengusap pucat
Mengapa
merindukan wajah hari penghabisan
Dengan
gemetar mengenakan kalung sungkawa karangan bunga
Kita lewat
daerah, di mana-mana penduduk tinggal mengeluh
Wabah
dendam pada mereka yang berebut hidup
Dengarlah,
mereka pun orang sahid yang luput kecewa
Sawurlah
kembang, aku dengar gema mereka, betapa jauhnya
Bagai hujan
riris pada tanah mandul yang pernah terkutuk
Kita di kereta
jenazah, kita sawurkan kembang mempelai
Tiada kubur
kiranya, temanten larung dari tanah wabah
Suara kami
asing yang menggapai tangan waktu
Kita gali,
wahai – terasa denyar nadinya di saat terakhir.
Sepanjang
Lapar
Buat
Ramadhan
Memanglah
kurasa, karena habis menanti
Adalah
kata-kata budiman
Bagai rasa
sayang yang terlempar
Di luar
tadah penerimaan kosong
Tiada
tercari mulut yang harus membohong
Senyum
sia-sia karena kepala ditundukkan lapar
Ah, mengapa
kelegaan tindak hanya sesaat
Bukan
menggelenyar bagai penderita yang terkapar
Akankah
kututup telapak tangan di kulai muka
Hanya
karena tepukan bahu yang kurasa
Telah
kukira terlalu manja
Akan
kusebut, kata-kata aneh
Asing bagai
tamu yang mati saat mengetuk pintu
Juga
kutahu, berterus terang betapa sulit perihnya
Bila
padaku, rasa sayang hanya ada di muka pucatku
Kita akan
berjumpa di lurung-lurung sesal
Di
lurung-lurung tak kenal singgah
Ketika
sadar membedakan arti
Nafsu dan
derita lapar
Panggilan
Tengadah
dada garis mati putih tertegun-tegun pergi
Gemetar
meniti sunyi bergayut tonggak usia
Seberang
senja tepian pamit terbentang
Garis
bertaut masih terengah melabuh
Ke terawang
asing terasa cacad yatim piatu
Rendah
menangis disapa, disangka alam hiba
Selembar
senja bersukma bapa bermuka bunda
Putihmu
putihku dari nyawa yang diliput duka
Pulanglah
meniti hinggaplah di teduh warna noda
Patahnya
garis pucat kuraba tangan menangkup dada
Elegi
Mulanya pun
samar memperhitungkan akhir
Dari tengah
jarak yang ditarik mati antara
(kita hanya
menjawabkan ruh)
Ah hati,
hati yang masih kenal menyesal
Bertanya
diri yang menanggung
Ketika
muka-muka yang berkabung
Timbul
kata-katanya
Menjadi
kucinta dan kuhiba
Ajal
pastilah pula kali lain bukan penyelesaian
(Muka-muka
menatap tak tahu pada arah)
Keanehan yang
selalu ada
Dan akan
semakin panjang
Semakin
bertanya
Tapi
diturutinya sebab bukan ketakutan
Di
seberang-menyeberang sepihak-sepihak menyeru
Dai yang
lampau dengan amsal-amsal tua
Tapi laku
dan tindak mengiraikan kendali
Justru
dipesona dongeng-dongeng kelahiran
Dari hasil
yang dicintai
Dari tubuh
yang dinamai
Pernah dan
masih dan akan bisa keliru
Diakuinya
Lahir nama
masing-masing
Dikaguminya:
telah ada awal?
Lantas
tumungkul karena sama tahu
(Aku yang
mengerti takut akan kengertianku)
Sesal yang
ternyata ditagih dari kehidupan
Tapi
kemudian saling berjabat tangan
(Aku yang
mengerti puas akan kengertianku)
Kapan ada
kisah dendam yang berkobar
Akhirnya
padam dan berarang
Lalu
pamitlah
Melipur
muka-muka yang sungkawa
R.S.
Kini kami
di hadapan-Mu, tapi tiada kudengar kata-Mu
Ataukah
nanti di kamar mati, semua jenazah bertanya-tanya
Ah, tiada
sempat tercatat pada setiap abad
Kami
lempung yang sejenak tertawa bila menurunkan anak
Kemudian
bebal, bila tak sanggup bunuh diri
Kini kami
di hadapan-Mu kutunggu sabda-Mu.
La
Canebiere
La
Canebiere senantiasa mengundang senja
Bersalaman,
berangkulan sepanjang bulevarda
Kami orang
asing mengikuti bertanya manja
Mengapung
musim gugur rebah di dada
Bintang-bintang
turun lebih cepat menyala
Lebih
rendah, karena kabut lembut laksana kelambu
Memulas
mataku dalam sejuk cahaya biru
Tangandah,
semua maklum tanpa menyela
Semua yang
singgah sejenak saling berpandangan
Masihkan
kita sesama asing kelu berdiaman
Setelah
tadi petang membuang sauh di bandar Marseille
Kita pun
anak senja di bulevarda La Canebiere
Marseille,
1961
Sampur
Wahai dunia
kenangan berkatalah
Pulas
terbaring dalam sedekap tanganku
Akan
menitis, sealun lagu di lunglai rambutku
Renyap
berdenyut, betapa kuangguk tahu
Telah
kubantah iman dengan curiga
Sekilas
durjana dan pasi wajahku terjamah
Meleleh
peluh kutunggu mahkamah
Kata-kata
dalam ketuk terjaga
Aku pun
maklum, dan kucoba senyum
Kabur
karena tanah-tanah ayunan kubur
Telapak
gemersik, dan mungkin mereka tak tahu
Langkah itu
kulihat tegap, tapi terasa meninggalkan
Wahai dunia
kenangan, berkatalah
Bening
selagi kudengar dilingkar kelam
Lagu yang
jernih di luar camuk nafsuku
Menyusur
batas, di sana segala tanyaku tenggelam.
Sala
Lentera
jalan makin sepi
Rumpun
bambu malam wingit
Kalau
kemarau kali berpasir
Orang desa
bermimpi pada
Kentongan
menyadar pertama
Membawa
urat diri ke kota
Senyum
priyayi berbudi
Lupakan
kepenatan
Orang akan
menggelar tikar
Tapi dingin
gardu tua
Hilir juga
di pendapa
Ah, malam
ini yang ganda dupa
Aku cuma
berziarah saja
Tubir
Jurang
Di situ
memang tempatnya
Sekali
badai tersekap dalam dinding jurang
Di langit
pun guntur terperangkap mendung
Sekali itu
matanya terbelalak, terpaksa menantang
Memeras
makna, demi alam yang terkungkung
Segala
desau dan gelegar menjadi kutuk
Membersit,
melampaui lembah lalu melayang
Membubung,
atap langit bagai kerucut, terantuk
Sesaat
bergantung lalu jatuh bagai ditayang
Tempatnya
memang di situ
Musuh
yang Terbunuh
Letus bedil
menjerit jauh
Sesayup
malam yang berjaga hiba
Matinya
anak murtad yang meronta
Letus
menjerit hatinya
(Jahatku
karena laparku
Laparku
karena kejamnya!)
Kami terus
berbunuhan lagi
Anak-anak
yang tak kenal orang tua
(Sampai kau
menyeru, bapa?)
Sajak
Hijau, Putih dan Jingga
Senzoku
Sarang
burung bisu
Merangkum
kabut
Mencengkeram
lagu
Payung
Payung terkembang
Angin badai ditantang
Kabut melayang
Yokohama
Berkaca
duka
Pelabuhan
terbuka
Kubasuh
muka
Salju
Pusara bumi
Putih dalam sedekap
Terbujur senyap
Ari-cang
Terlena
ancaman
Rahim dalam
bayang
Boneka
sayang
Kebun Binatang Ueno
Ria sejenak kera
Pedihku sandiwara
Melipur anak
Lumut
Ikan
terlena
Mata sisik
mutiara
Hijau
nirmala
Hibiya
Sejuta kembar wajah
Matanya bertanya
Aku berbaju zirah
Musim
Gugur
Bumi yang
sahid
Ah, tak
kusangka pamit
Daun yang
jingga
Tokyo,
1966
Humbalang
Angin
tergugah menjelang pagi
Tak sempat
menyapa
Tapi
kudengar bumi terjaga
Halimun
tersibak fajar
Sekali ini
ada tangan mengusap dada
Secercah
mata
Pasti ia si
perantau yang dihumbalang takdir
Hendak
membuka-buka lembaran hari
Lalu
melangkah seperti burung jenjang
Ah,
silakan, silakan engkau mengucap pamit
Sampai
ketemu di samar senja
Mungkinkah
angin menggerebak merusak pagi
Dan
sepanjang hari aku akan tinggal di rumah
Kau tak
lagi kuingat
Karena di
ujung musim angin berpusar arah
Awan
bagaikan terban, bergulung kelabu basah
Mamang
angin bangkit menggertak hari
Kudengar
desaunya
Kubaca
geram galaunya
Memang,
memang ada iramanya
Karena
ingat pesan si perantau salih:
Tak ada,
tak ada hari yang naas
Kapan angin
melanda sore
Ia pun
pulang dengan langkah burung jenjang
Tak
selembar bulu tercabik
Hanya
matanya berdebu, tapi suaranya bangga:
Aku tahu
makna kutuk prahara
Sekali saat
daun-daun coklat gugur
Dengan
irama iringan menggersik
Membungkah
warna-warna baru kelopak bunga
Diriku diam
Tak
menyela.
Pertemuan
Malam di Kanda
+ : Selamat malam, orang asing
Aku pandang wajahmu
seperti buku
Yang dapat aku baca
sambil tiduran
Lebih-lebih di musim
dingin ini
Dalam kamar hangat tanpa
gerisik angin
Yang suka memanjakan
khayal kala menonton sandiwara
Pun wajahmu seperti koran
Yang bingung melaporkan
peristiwa dan kejadian
Lalu mengecam diri dengan
pena majal
- : Terima kasih, saudara
Jangan salah faham, justru
saudara sebenarnya tarih
Sejarah, yang mencatat
kekalahan dan kemenangan
Dengan tokoh kata yang
tampak sebagai huruf besar
Dalam filsafat,
matematika dan ilmu hayat
Tanpa hukum tanpa dalil
Hanya denyut dada dan
sinar mata
Mencipta nilai untuk 90
atau 100 tahun
Tegasnya sepanjang hidup
sebelum jaman pikun
+ - : Bukankah kita sebenarnya
satu nafas satu darah
Yang terengah-engah dalam
langkah sejarah
Dan
+ : Ah, tidak, tidak!
- : Memang tidak?
+ : Baik kita masing-masing
pulang
Selamat malam
- : Masih ada sepotong malam
Kita habiskan di jalanan
+ - : Mari!
+ : Dengar, aku memang suka
menulis lakon
Sejarah, dari babak hidup
petualangan
Dengan membagi peranan
dan watak
Si kurang ajar yang
mengucapkan kata-kata mutiara
(Pasti, bukan? Hatiku
menebak)
Dan penonton akan
bertepuk tangan
- : Cobalah, letakkan naskahmu
yang akan datang
Di pangkuanmu, lalu
renungkan judulnya
+ : “Dialog Penghabisan”.
Benar?
- : “Dialog Permulaan”. Benar!
+ - : Selamat malam
Tokyo,
1965
Mahkota
Ketika
noktah-noktah kemerlap
Turun bagai
mahkota di ubun-ubun
Aku justru
terjaga di mimpi pertama
Detik-detik
waktu lamat-melamat
Lalu kucoba
mengenali alam
Duhai,
betapa lama aku kaulupakan
Ah, bukan,
bukan
Betapa jauh
kau kutinggalkan
Ketika
geliat tangan menyundul awan
Bola mataku
terpaku
Tapi raga
terseret gelandang waktu
Retas-meretas,
gapai-menggapai
Buyar bagai
tangan menggenggam air
Maka kucoba
mengasihani diri
Ah, tidak,
tidak
Terlalu
sederhana aku merumus tafsir
Ketika
kantuk kusibak
Kudengar
isak meniti
Kapan
detak-detik waktu lari
Sambil menggelengkan
muka
Kini
teriakku runtuh, menjilat pasir
Di
sepanjang pantai dengan pecak tapak
Kaki
sejarah, yang lenyap digulung ombak
Mimpi
pertama, ketika kusahut noktah kemerlap
Ketika aku
menafsir waktu
Ketika
awan-awan memuntahkan mangsa guntur
Kilat-berkilat,
maka kuyakini mata berkejap
Benar,
benar itu adalah mahkota
Noktah-noktah
kemerlap di ubun-ubunku
Berguguran
Tentang Sugiarta Sriwibawa
Sugiarta
Sriwibawa lahir 31 Maret 1932 di Surakarta. Pernah menjadi mahasiswa F. Sastra,
Universitas Gajah Mada dan F. Sastra Universitas Indonesia jurusan Bahasa dan
Sastra Indonesia. Kemudian bekerja sebagai wartawan “Antara” Jakarta dan
beberapa lama menjadi wartawan dan kepala cabang “Antara” Tokyo. Mengumumkan
sajak-sajaknya yang pertama tahun 1951 di Mimbar
Indonesia, lalu Zenith, Seni, Siasat,
Kisah, dan Budaya Jaya. Juga
menulis cerpen, artikel, juga menulis dalam bahasa Jawa. Buku hasil
terjemahannya Puisi Jepang Modern
(1975), Bayangan Memudar (bersama
Toto Sudarto Bachtiar) dari Vergeelde
Portretten (Breton de Nijs) dan Jembatan
Impian (Junichiro Tanizaki). Juga menulis buku bacaan anak-anak dengan nama
samaran Prabandaru. Kini bekerja sebagai editor dan kepala bagian redaksi
Penerbit Pustaka Jaya.
Catatan Lain
Saya tak mengenal nama penyair ini jika tidak
menjadi anggota perpustakaan provinsi. Artinya, namanya baru saya telinga dalam
waktu yang dekat ini saja. Seperti kebiasaan buku-buku zaman itu, biografi
ditulis di sampul belakang. Ada fotonya di sudut kiri atas. Pakai kacamata
ber-frame tebal, mengingatkan saya pada Subagio Sastrowardojo. Puisinya pun,
saya kira, dekat dengan Subagio, meski kalau mau diteliti pasti ada saja
perbedaannya.
Dalam
kata pengantar penerbit dikatakan: “Garis Putih berisi sajak-sajak lirik yang
sederhana namun mengundang keharuan. Sajak-sajak ini merupakan kesan dan
catatan pengalaman pribadi penyairnya. Sugirta Sriwibawa tergolong penyair
generasi tahun 1950-an dan dengan kumpulannya ini dia membuktikan bahwa
penyairnya punya watak sendiri.//Di dalam buku ini terkumpul kurang-lebih 40
sajak-sajak yang ditulisnya selama jangka waktu hampir 20 tahun.”
Ada yang terbalik isinya, yaitu Puisi PANGGILAN dan ELEGI (lihat Majalah Kisah, Nomor 7 Tahun III, Juli 1955)
BalasHapusMakasih informasinya, Mas...
Hapus