Data buku kumpulan puisi
Judul : Teriakan
Diam
Penulis : dr.
IBG Dharma Putra
Cetakan : I, Januari
2011
Penerbit : Bali
Kauh Publising, Bali.
Tebal : xvi
+ 72 halaman; 13,5 x 20 cm (44 judul puisi)
ISBN :
978-602-98344-1-3
Foto dan desain cover
: Nanoq da Kansas (sekaligus penyunting)
Tata letak isi : I
Gst. Kade Budi Astawa
Prolog : IBG Dharma
Putra (Kredo Penyembuhan)
Epilog : Nanoq da
Kansas (Cacat Psikologi yang Memanusiakan)
Beberapa pilihan puisi IBG Dharma Putra dalam Teriakan
Diam
Hidup
Abiogenesis,
Air comberan penuh
jentik
Kotor dan bau adalah
sumber asal hidupku
Dan kita semua menjadi
kumpulan manusia jerami
Nyatanya bukan dari
sampah membusuk
Tabung lengkung
berleher angsa
Buktikan sahih tentang
hidup yang baru
Hidup nirmala terjaga
suci
Seharusnya dijaga
begitu
Katanya hidup bermula
ledakan dasyat
Menyatunya empat unsur
dasar
Oleh petir dan
halilintar
Jadi amino yang masih
sangat jauh
Berbatas protein,
daging, badan dan jiwa
Hari ini pun tetap
misteri
Tidak ada jawab yang
pasti
Hidup tersembunyi
sangat rapi
Di balik onggokan
homeostasis
Aturan hakiki yang
ditentukan illahi
Homeostasis
Tepian ilmu tak
terpahami
Berdenyut merefleks
jadikan hidup
Tidaknya berarti mati
Menolaknya berujung
tidak mengerti
Sebelum adanya hidup seharusnya
memang didapat
kosong
Lantas terjadi ledakan
menetasnya telur-telur imajinasi
Dalam loncatan yang
sepenuhnya takdir filosofis
Dari kosong yang penuh
tebakan berisi misteri
Terciptakan udara inti
sumber kelegaan
Hingga ada air pemberi
jalan keluar
Tertempa api abadi
pembebasan
Pada tanah suci yang
netral
Jadikan hidup penuh
arti
di
barabai, tengah malam empat tiga sepuluh
Borneo
Aku bisa menjelmakan
kosong
Menjadi mimpi yang
berujung harap
Harapan kujelmakan
menjadi teriakan amat kuat
Walau akhirnya
kujadikan kelu bisu di jalan buntu
Tenggelam dalam
tindakan ragu yang tak jadi keliru
Kuubah kesumat jadi
semangat dan kecewa jadi nikmat
Hingga bumiku
terjelmakan menjadi guru
Hasilkan hikmat akhir
yang riang gembira
Berujung kebahagiaan
Bagi pengabdianmu
Kurau
Belantara asing
Berbingkai samudera
Tempat tempa dan siksa
Dan suasana aneh
Yang tak sepenuhnya
aku mengerti
Anginnya garang
Lantang berbunyi
lolong
Dan hembusan kencang
menantang
Pekak di telinga
Runtuhkan nyaliku
Luluh
Sungainya besar
Tak jelas batas
lautnya
Hingga tiba-tiba
berombak
Menampar wajahku
dengan garam
Pucat, memutih dan
goyang bergoyang
Takut diombang-ambing
Tak temu arah
Biduk hidupku
Malamnya gulita yang
mencekam
Tak berteman
Sepi
Hanya terisi mimpi
Yang tak tentu
Kurau
Adalah padang
pengabdian
Yang wajib dilewati
Untuk kini
Mati
Rasa
Pada saat susupan
lidokain
Bekerja aktif di
sekitar luka parahmu
Sedikitpun tak ada
rasa yang hilang
Hanya tak sakit
Pada saat kamu
tertidur nyenyak sekali
Rasa-rasa tubuhmu
mengkhayal lain
Dalam bentuk
mimpi-mimpi
Masih ada rasa
Mati rasa adalah
misteri
Kebohongan sebelum
mati
Tak ada menyata
Bahkan di inti khayal
terdalam
Bagi kita yang tak
pernah kehilangan cinta
Lukislah
Untukku
Lukislah buat aku
Sebuah pondok
Dalam hamparan sawah
Pada pagi yang
berembun
Rintik gerimis kecil
Lukislah buat aku
Warna-warna indah
Bau tanah nostalgia
Agar menyentuhku mesra
Tepat di hati
Lukislah buat aku
Titik dan garis yang
tegas
Keberadaan nyata
mimpiku
Pada langit bumi dan
matahari
Serta malam penuh
bintang
Bulan purnama memerah
Lukislah buat aku
Kesederhanaan masa
kecil
Bukan istana penuh
pura
Bukan pengorbanan
terpaksa
Bukan pula pemanfaatan
berlebihan
Seperti yang kita rasa
Lukislah buat aku
Gunungan ketulusan
Pohon buah dan bunga
Yang telah disepakati
Dan bukan hasil
kehidupan
Bernarasi tunggal
Lukislah buat aku
Kemantapan masa depan
Yang penuh gembira
Dan bahagia
Lukislah buat aku
Seperti yang aku duga
Bisa dapat dan mau
Kamu lakukan
Erotika
Ada rasa sangat dalam
Menenggelamkan erotika
lelakiku
Pasrah mengabdi pada
bahagiamu
Rasa yang belum aku
pahami maknanya
Ada kehangatan manusia
tak berkelamin
Merengkuh hatiku di
dekatmu
Hanya ingin menyayang
Tapi tak lengkap
seperti dulu
Hingga kini pun belum
kutemukan maknanya
Ada keinginan yang
sangat terukur
Dengan perhitungan
yang rumit
Yang harus bernilai
kehormatan
Dan menjaga martabat
kemanusiaan
Bernilai luhur
Rasa-rasa itu
tercampur baur
Menjadi aku di depan
wujudmu
Nyata walau belum
kupahami maknanya
KAMU DAN AKU
Masih di sini
Walau kamu kaya
Dan aku dalam
kemelaratan
Tapi hilang
Karena telah biarkan
lapar kelaparan
Dalam foya-foyamu
Kita
Adalah rasa cerdas
Yang bersekat
ketidakadilan
Cinta
Tidak hilang
Hanya oleh aib
Karena petir
Bukan suara pemanggil
hujan
…………………….
Pritha
Langkah tertatih
Rengek kecil
Gumaman manja
Dan tangan tangan
mungilmu
Adalah kenangan kasih
abadi
Di hati sanubari
Kamu adalah sensasi
Puncak cemara bahagia
Bak tawa
Sehabis nafas kita
Ketahuilah
Kau batu putihku
Tergeletak di antara
pasir hitam legam
Mencorong mempesona
Dan aku
Mencintaimu
Keharuan
Akan bayang di depanmu
Adalah semangat
Yang dapat kalahkan
segala aral
Berani menentang
kodratku
Bersama peluk mesramu
Adalah inti kehidupan
dan kehangatan
Dan bau nafasmu
Menyentuhku di hati
Dengan kristal kekangenan
(nb.
kayaknya judul puisi ini merujuk ke putri kesayangan penyair: Pritha Savitri
Dhafa Putra)
Ibunda
Hari ini
Hari yang sama
Hari berdoa dan diam
Hari yang selalu penuh
dan ternikmati
Hari ini
Tetap sepi dan sendiri
Tapi diammu mewarnai
dan memberi
Menginspirasi
kedamaian kami
Buah hatimu, tujuan
doa doamu
Sumber kesibukan dan
pikiranmu
Hari ini
Aku takut menulis
puisi
Karena hormatku tak
terperi
Dan puisi tak
berkecukupan isi
Tapi tetap berarti
Hari ini
Terimalah hormat
proklamasi sejati
Tentang anugrah bumi
tidak tertandingi
Seorang ibu tak
terbandingi
Sekali dan selalu
terbukti
Hari ini
Di kejauhan diri yang
lekat di kalbu
Ingin kuadu rindu dan
nikmatnya pilu
Di pangkuanmu sendu
barabai,
pada pagi tiga tiga sepuluh
Masa
Depan
Aku jauhkan dia
Bukan untuk kupeluk
selalu
Dan kamu susui
Tapi untuk perkenalkan
Naga-naga dan penghuni
liar dunia
Seperti yang aku
ceritakan
Aku jauhkan dia
Untuk ajarkan mandiri
dan toleransi
Seperti yang
teramalkan harus terjadi
Aku jauhkan dia
Untuk sebuah percobaan
siksa
Hingga yang biasa akan
jadi bahagia
Aku jauhkan dia
Dengan kesengajaan
Dan untuk apa rengekan
itu?
Tuhan
Itu Tuhanku
Tuhanku satu
Tetap satu dari segala
penjuru
Sama seperti itu
Mana mungkin tuk
keliru
Ayah ibuku bilang yang
satu
Guruku pun berkata itu
Kawan-kawanku juga
begitu
Buku-buku mendukung
itu
Naluriku katakan itu
Semua satu
Tetap satu dari segala
penjuru
Mana mungkin tuk
keliru
Tuhan itu Tuhanku
Tak terbayangkan tapi
tak keliru
Melebihi batas
pikiranku tapi tak keliru
Tak peduli pikiranku
tapi tetap pedulikan aku
Besar di luar dan
menyelimutiku
Kecil di dalam menjadi
inti hidupku
Tetap satu dari segala
penjuru
Mana mungkin tuk
keliru
Apapun lagi katamu,
ulah gerakmu
Tuhan itu Tuhanku
Akan sama denganmu
Karena satu
Tetap satu dari segala
penjuru
Mana mungkin tuk
keliru
Kawanku
Tiada tuhan selain
Tuhan
Hanya satu
Tetap satu dari segala
penjuru
Mana mungkin tuk
keliru
Aku
Panggil Kamu
Aku panggil kamu
Dengan setiap nama
sesukaku
Nan kebetulan melintas
di benakku
Karena sebuah hormat
yang bisu membeku
Akan keberadaanmu satu
Di ketertundukanku
selalu
Aku panggil kamu
Susuai nama di
nuraniku
Sendiri dan berbeda
tuk keberadaanmu satu
Di benakku padu
menyatu
Menentang pemaksaan
dari umat kaku
Aku panggil kamu
Dalam setiap desah
hidupku
Karena tak ragu akan
dirimu satu
Dalam helaan nafasku
barabai
empat tiga sepuluh
Imaji
Jambu
Ada jambu dalam impian
lama
Dan kini pun belum
jadi nyata
Sampai nantinya
Tertanamkan dan jadi
dalam
Kepemilikan
Jambu hutan
Kecil indah kuat dan
rindang
Pohonnya sejuk
Tempat berteduh
Aroma buahnya pekat
Antar lidah pada
kenang
Selalu terindah
Akan tetap begitu
Jambu itu tambatkan
kuat
Pada kuning serta biji
Setumpuk harapan isi
Bayang kearifan
Jambu itu
Lunak tapi tak layu
Segar dan tak jadi
busuk
Ketangguhan lelaki
Ada jambu lain
Pada warna hijau muda
Keluguan lunak
tercerna
Berair segar
Melimpahi dahaga
Jambu air adalah
perempuan
Kerenyahan mudah patah
Nyala sinarnya rentan
layu
Lalu lembek serta
suram
Jadi onggokan busuk
Daya mampu imaji
jambu-jambu
Telah bawakan kenangan
Pada warna unik
Dahaga serta keteduhan
Rahasia indah
kehidupan
Jungkir
Balik
Di manakah adil
Jika peduli menjadi
frustrasi
Dan keberhasilan
Jauh di seberang
kepedulian.
Di manakah jujur
Jika bekerja bak
terhukum
Dan kecuekan diam
Dipandang cerdik
Berbuah kesuksesan
Di manakah
kebijaksanaan
Jika terjadi pembiaran
Mengarah kehancuran
Dan kesempatan yang
ada
Hanya untuk sesaat
saja
Di manakah Tuhan
Jika jujur berujung
gagal
Dan berhasil tanpa
kepedulian
Jauhkan
Dari persadaku
Walau pasti masih ada
Dan tidak mati
Puisiku
Sepi
Puisiku sepi sulit
dimengerti
Terlalu rapi, berbait,
berirama
Tak punya greget dan
kehilangan roh
Tak nyambung, tak gaul
dan tak zaman
Mana kristalisasinya?
Kurasakan juga begitu
Dipaksakan padat
berisi
Setebal pustaka kuno
Serumit jalan pikiran
Berwarna unik
tersendiri
Hingga jadi tak ragu
apalagi malu
Karena kata spontan
tak peduli
Sentuhan liar mencoba
kalbu
Tak haramkan perbedaan
tafsir
Aku ingin seperti
Rendra walau tak sampai
Ingin pula meniru
Tardji, Goenawan dan Emha
Kadang ingin jadi
Taufik
Dan sering sok Chairil
Anwar
Tapi puisiku tetap
begitu
Berkata tidak
diseragamkan
Tulisan berderet masih
yang dulu
Canggung yang kaku
itulah aku
barabai,
anakku hari ini datang berlibur ke sini, tujuh tiga sepuluh
Doa
Tersayang
Sayangku
Jadilah humanis
Warnai sanubarimu
dengan cerah
Kecerahan Tuhan
Tapi jangan monopoli
Kebenarannya
Doa papamu pasti
Karena aliran darah
kita
Bersumber kelengkapan
yang sama
Beragam tantularis
Dalam sejarah keluargamu
Selalu
Dan selamanya
Teriakkanlah kata
tidak, tidak dan tidak
Bagi benci
Bagi serakah
Bagi kejam
Dan ketidakadilan…
Tentang IBG Dharma Putra
dr. IBG Dharma Putra, MKM. lahir di Banjar Tengah, Negara, Jembrana,
Bali, 1 Maret 1961, dari pasangan IB Putra dan IAP Mutri. Menyelesaikan
pendidikan dokter di Universitas Airlangga dan Magister Kesehatan Masyarakat di
Universitas Indonesia. Merupakan kolomnis tetap “Silat Lidah” di Tabloid Berita
Mingguan Jembarana Forum. Menulis apa saja, mulai puisi, artikel, esai, kolom.
Tulisan-tulisannya dibukukan dalam Silat
Lidah (kumpulan artikel seputar otonomi daerah) dan Catatan di Atas Pasir (kumpulan kolom yang pernah ditulisnya). Saat
kumpulan puisi Teriakan Diam
diterbitkan, masih menjabat sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Hulu
Sungai Tengah (Barabai). Namun sejak 1 Desember 2013, menjabat sebagai Plt.
Direktur Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum. Sampai tulisan ini dipublikasikan,
masih belum dilantik secara definitif.
Catatan
Lain
Buku ini, sebenarnya diterbitkan untuk
memperingati 50 tahun usia pengarangnya. Di bagian awal, ada tertulis kredo.
Judulnya Kredo Penyembuhan. Jika disimpulkan, maka begini kesimpulannya.
“Begitulah puisiku, ditulis dan dipetakan sebagai sebuah karya serius untuk
penyembuhan diri dari berbagai keterpengaruhan wadag terhadap jiwa. Puisiku
membebaskan dan membuat jiwa sampai pada bahagianya.” (saya meresensi kumpulan
puisi ini, termuat di Media Kalimantan, Minggu, 23 Februari 2014). Oya, buku
ini punya teman sejawat di psikologi RSJ Sambang Lihum. Begitu dikasih saya
penyairnya pertengahan Februari 2014, langsung saya pinjam tanpa pemiliknya
sempat membaca dulu. Teman saya itu namanya Rika Kisnarini, Psi. Hehe.
Dibanding penulis puisi di buku ini, saya lebih
dulu kenal dengan penyuntingnya. Nanoq da Kansas. Saya pikir-pikir, sepertinya
Nanoq da Kansas lah penyair Bali yang pertama kali saya kenal dan masih melekat
dalam ingatan saya. Setidaknya sejak April 1997. Waktu itu masih kelas 2 SMA,
lewat penerbitan puisinya di Majalah Horison. Dalam keterangan di majalah itu,
misalnya disebutkan bahwa nama sebenarnya Nanoq da Kansas adalah Wayan Udiana.
Lahir dalam keluarga petani di Dusun Moding – Candikusuma, 2 Desember 1965.
Bekerja sebagai Sekdes di desanya. Apa kabar Oom Nanoq? Ijinkan saya menulis
lagi puisi sampeyan yang saya suka dan bertahun-tahun hidup dalam kepala saya….
Dalam Matamu
karya Nanoq da Kansas
dalam matamu
kumimpikan anak-anak berlarian
mencari ketawa
suara mereka
bersambungan di tali layangan
antara doa dan lidah angin
ke atas
ke atas, sayangku – zaman membisik-bisik
membentuk berbagai kemalangan
di guratan telapak tangan
beribu anak-anak burung lalu terbang
beribu pohon lalu kehilangan
keributan di pagi hari
perempuan-perempuan tua bersimpuh di ambang pintu
mendongeng tentang sepucuk surat yang ditunggu
sementara di jalanan tukang-tukang pos
bergulingan tertikam berbagai berita buruk
hanya aku yang lolos
hanya aku yang luput
tertidur di belantara penyair
dan dalam matamu
kumimpikan anak-anak berlarian
memanggul tawa
bagai menghela sehelai daun pandan
1992
Tidak ada komentar:
Posting Komentar