Data buku kumpulan puisi
Judul : Lumpur di Mulutmu
Penulis :
Endang Supriadi
Cetakan : I, 2010
Penerbit : Pustaka
Yashiba.
Tebal : 68
halaman (50 puisi)
ISBN : 978-979-17857-2-0
Desain sampul dan tata letak : Dewi Prenji
Beberapa
pilihan puisi Endang Supriadi dalam Lumpur
di Mulutmu
Lumpur di Mulutmu
terlalu lama lumpur mendekam di mulutmu
suara tajam sms yang masuk, sama misterinya
dengan suara ambulan yang lewat di depan kita
siapa yang kirim pesan dan siapa yang berpulang
lebih dulu? Tanda-tanda itu terus bertengger di puncak waktu
(kita akan segera tahu setelah semua terbuka)
di ujung pisau buah apel menancap. bagian mana
akan kamu bilang renyah, garing seperti kulit kepiting?
aku surati kamu sepanjang tahun agar mati
tak hilang nama, agar rindu tak hilang rupa, agar jumpa
tak hilang sapa. tapi menunggu satu menit saja untuk saat
ini,
rayap pemamah akan menghilangkan satu kaki penyangga
tempat di mana kita bernaung dan berlindung
cuaca berjudi dengan waktu. matahari menuruni hujan
para nelayan lempar jangkar di pasar, gelombang
bersarang di pengadilan, angin berpusing di pekuburan
dan kamu memasang umpan di tengah lapang, berbisik
di tengah ledakan demonstran, meraup pasir di atas
sampah yang terbakar. oh perempuanku, di bumi mana
kita akan beranak pinak kalau sebuah peta
tak menyediakan lagi lahan untuk tempat tinggal kita?
Citayam, 2006/2007
Aku Menyuratimu
lampu-lampu menyala dalam lukisan. bulan
terpotong dua, sepotong di langit
sepotong lagi tenggelam di danau. aku
menyuratimu namun tak kaubalas
sehingga terjadi erosi pada kata-kataku yang lain
ada pasar terbakar, rumah susun yang
tergusur. anak-anak negeri yang lepas
dari tangan kedua orangtuanya,
kini telah jadi bunga di surga
aku darah dalam daging, mendidih ketika
benak terkoyak. angin mengelus punggung
lumut, pasir beterbangan di teras waktu. perahu
yang membawamu ke pulau impian, oleng
di dalam tidurku. jantungku kaubuat dayung di ujung
pantai, dan jiwaku kau tambatkan di batu karang!
Jakarta, 2004/2008
Syair Bersayap di Air
buat Hamsad Rangkuti
syair bersayap di air
berkepak di asin gelombang
rumput melulu berpagut
ke arus birahi yang berdenyut
merendam tubuh
jiwa terasa melepuh
kebun rumput di laut
kian membuat kalut
siapa kembang siapa gelombang
siapa air siapa pasir
siapa anjing siapa ular
siapa luka siapa kita?
syair mengalir di air
memekik dalam jiwa
memagut alam dewata
kita diayun seribu rasa
Sanur, 14 Desember 2006
Mengemasi Jejakmu
sederet jejakmu dirawat oleh zaman
dan kau tak sadar ketika percik api
mengenai kulitmu. kau pernah mencari
tuhan di tengah gelombang suara
menyusun doa seperti menumpuk batu kali
dirimu kau pantul-pantulkan ke dinding waktu
hitam dunia hitam bayanganmu
adalah airmata yang gugur sebelum fajar
sambil menenggelamkan kepala ke dalam air,
kau dapatkan senyummu begitu rapuh
tubuhmu berapi. seluruh dinding pikiran
menguap. menjauhlah dari kulitku, katamu
lahar sedang menanak jiwaku.
di ujung pagi, kau melihat jejakmu
dikerumuni burung bangkai dengan seribu
tombak di mulutnya
ketika tubuhmu dibungkus kain kafan,
aku melihat kau mengemasi seluruh jejakmu
lalu menggambar lautan dengan hembusan angin
dan kau bilang, kita adalah tiada.
Citayam, Nopember 2003
Laut Hijau Tanah Lot
batu cincin raksasa itu mengemas suara zaman
tak beranjak dari kepungan gelombang,
tak kikis dari gigitan ombak lautan. sebuah pura
di atas batu yang terlindung dari jejak-jejak kotor,
teramat misteri daripada pawang ular yang melilitkan
ular di selangkangannya, dan malam semakin siang
di tanah lot
sesembahan untuk dewa ada di setiap jengkal tanah
ritual penyucian diri, melunturkan dosa sebelum ajal tiba,
memohon keselamatan dan rezeki bagi seluruh makhluk bumi
adalah inti di dalam peradaban. selangkah demi
selangkah tapi pasti. dan kematian terasa hidup
di tanah lot
air yang membentuk selongsong arus
mampu membentuk wilayah bagi cahaya
setiap bagian tak merugikan keindahan lain
syair mengalir di setiap kecupan ombak ke
bukit batu. dan laut semakin hijau
di tanah lot.
Tanah Lot, 14 Desember 2006
Menziarahi Hati
sesekali sungai yang mengalir di hatimu itu
kering. hanya bongkahan batu dan kecebong
yang tertinggal di sana. kau merasa tersiksa,
sesak dan dahaga. matamu leleh, pegal leher pegal hari
dunia menguncup di sudut-sudut jalan
udara mencibir, angin mengutil
kau berlari menggunakan sayap dahaga
kau telan debu kau rengkuh debu. kulit dan mulutmu
menganga sepanjang hari. cahaya kerap bergegas
ke arah lain. gelap di kakimu hitam di matamu
ada julangan di ingatanmu yang menyimpan sejuta
airmata. kau teguk sampai tuntas. lehermu
kembali tegar. di bulan kelima kau bisa tertidur
makan dan minum. di hari yang segar kau baru sadar,
ternyata ego tak bisa selesaikan masalah
lalu kau pergi ke pasar kembang, memesan
tiga jenis cempaka untuk sebuah pekuburan
yang lama tak kau ziarahi. dan pekuburan itu
bertempat di hatimu sendiri.
Citayam. Oktober 2008
Lokasari
perempuan itu merancang malam
dengan runcing lidahnya
tak ada api di dalam tubuhnya
kecuali alur-alur sawah yang
membentang, juga sebuah lentera
yang padam
aku melihat semua napas lelaki
masuk ke dalam tubuhnya
ada yang melembung seperti gunung
ada yang ringkik seperti kuda sakit
bangku-bangku menjelma perahu
di dalam lambungnya. botol-botol terapung
dalam genangan cuaca yang remang
semua seakan digiring ke tepi jurang
aku si pengelana, limbung di tengah
alunan musik yang mengeras. seperti
benang basah yang terseret oleh kaki
seekor itik. ia benamkan tikaman satu kali
ke dalam kelam. sesaat aku melihat,
sebuah jalan lahar baru saja ia gali
dari dalam birahiku
Jakarta, 2005/2006
Tentang Endang Supriadi
Endang Supriadi lahir di Bogor, 1
Agustus 1960. Menulis puisi dan cerpen sejak 1983. karyanya tersebar di
berbagai media cetak dan antologi bersama. Antologi puisinya, Tontonan dalam Jam dan Lumpur dalam Mulutmu (2010). Lima buah
cerpennya dijadikan skenario audiovisual untuk sinetron televisi, yaitu: Lelaki itu Bernama Oding, Sosok Bertopeng,
Protes, Sumirah, dan Dendam.
Alamat surat, Gedung AKA, Jl. Bangka Raya No. 2
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. HP. 08128556494.
Catatan Lain
Antologi puisi ini menandai 50
tahun sang penyair hidup di dunia. Buku ini juga dipersembahkan untuk cucu
pertamanya. Di halaman awal ada tulisan begini: Buku yang amat sederhana ini, terkirim buat Bung Micky Hidayat. Salam
kreatif. Endang Supriadi. Tentu ada tanda tangan si penyair dan tanggal:
Depok, 16 Juli 2010. Tentang bagaimana buku itu bisa sampai ke rak Hajri, tanya
yang bersangkutan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar