Data buku kumpulan puisi
Judul : Elegi Negeri Seribu Ombak
Penulis : Eko Suryadi WS
Cetakan :
I, Maret 2010
Penerbit :
Framepublishing, Yogyakarta
Tebal :
xxxiii + 82 halaman (51 judul puisi)
ISBN :
978-979-16848-2-8
Penyunting :
YS. Agus Suseno
Gambar cover :
Abu Bakar
Desain cover :
Nur Wahida Idris
Prolog :
Jamal T. Suryanata (Aku, Kau, Kita: Menandai Personalitas Sajak-sajak Eko
Suryadi WS)
Epilog :
Faruk (Kebuau: tentang Artikulasi dan Pengalaman Lokal Orang Banjar)
Beberapa
pilihan puisi Eko Suryadi WS dalam Elegi
Negeri Seribu Ombak
Di Langit Kota Ada Menara
Di atas langit
kota ada menara
Sajak-sajak dibacakan
Penyair
bersayap terbang menjadi dewa
Mengangkangi bulan
Mimpi-mimpi mereka hampari
seperti
permadani
Sepanjang jalan
Para penyair
adalah kunang-kunang cahaya indah
Ketika malam demam kata-kata
Pergantian
siang dan malam
Penyair di antaranya
Di langit kota ada menara
Kudus, 2008
Saranjana
Sambu, kedalaman cintamu menjadi periuk
Kami tanak
kemudian mendidih
Di lubuknya kau simpan hatimu
Sungainya
mengaliri lembah perihmu
Di puncak-puncak keniscayaan kau bangun gerbang
Pembatas
duniamu dan para juriat
Kesunyian kau
genggam – dimensi waktu yang terkapar
Seiring menuju
gundukan buah rindu
Di batas sungkai
dan pohon kuranji
Kau sembunyikan jembatannya
Di punggung fajar kau sekat kabutmu
Siulan igaumu
menjurai ke perkampungan
Apa yang tak bisa kau tembus
Kecuali dinding
nasib dan hasratmu
Sambu, kepurbaan cintamu menjadi pengembaraan
Di
padang-padang sunyi kau gembalakan angan
Memasuki lorong-lorong intipmu
Periuk yang
kami tanak berisi air mata kandamu
Ranjang
pengantin batu bersimbah darahnya
Jangan simpan perihmu ke lukanya
Jangan biarkan keanyiran menyergap
Sangkarmu penuh
tangkapan – bukalah
Biarkan halimun itu tersibak
Burung-burung
kembali ke sarang pertama
Fajarmu harus
kita bangkit ke ufuknya
Angkatlah lubuk cintamu menemu kuali
Kotabaru, 2008
Cinta Ini Kususun
Cinta ini
kususun
Udara
menuliskannya hati-hati. Jalanan meriap embun
Kusapa namamu
dalam ruang beku
Untuk apa
kusampaikan salam kekasihmu
Di pohon perdu dan subuh yang meleleh
Jangan eja
cintaku. Jangan katakan ya
Biarkan ia
berlayar bersama sajak-sajak terakhirku
yang kutulis di kapal waktu di sungai Nuh
Alpakan
pernyataannya. Biarkan serbuk-serbuk darah menaburi
kolam dan ladang masa lalu kita
Jangan jangkau
dengan tanganmu
Biarkan ia beringsut meraihnya
Cinta ini
kususun di serbuk hujan
Hingga kemarau
menjemput musim
Aku ada di antara udara
Banjarmasin, 2009
Elegi Negeri
Seribu Ombak
Di negeri
seribu ombak
kubangun kota-kota peradaban
Kutaburkan
mimpi daun, sungai, cakrawala, hujan
Lewat kasih sayang bunga
Kuhisap udaramu
kuhirup sungaimu
kupijak bumimu
kukayuh lautmu
menjadi semestaku.
Di sini perarakan musim datang dari segala penjuru
membawa mimpi
peristiwa
dari nol kilometer ke kilometer lima puluh tiga
kusapa duka
lara.
Tangismu melarutkan jembatan kekinian
Air matamu
meruntuhkan beton-beton
Menisbikan sejarah
yang lahir dari doa-doa leluhur
Kuburnya
ditenggelamkan para pengembara
Kota-kota telah dibakar para perambah
Mimpi musim pun
diseret putaran waktu:
tak pernah kembali
tak pernah tersisa
Adakah
semestaku.
Mereka
lukai negeri ini
Mereka hirup darahnya
Dengan rasa
haus dan mata terpejam
Di negeri
seribu ombak
Burung-burung
pemangsa meninggalkan bangkai
setelah pesta
Kotabaru, Juni 2003
Sebelum Halimun
sebelum halimun
menenggelamkan senja:
pohon-pohon bakau menjemput jiwa
gairahmu patah
parasmu pupus –
mengalir ke busur sunyi
pantaimu
beringsut ke kelam
tiang-tiang
layar
patah
menunggu
kepulangan
halimun
bergulung turun
mengantar ruhmu
menaiki perahu
menuju laut
sebelum halimun
sisakan air matamu
Kotabaru, 2008
Ibu
Ibu, engkaulah yang mengirim air mata rindu ke langit
Ketika
malam berpendaran dibungkus sunyi
Hening menggesekkan cuaca ke daun-daun
Kabut
menyusup ke tingkap mimpi
Ibu, engkaukah yang merajut doa sepanjang usia
Hingga
menyingkap pintu-pintu langit
Menuliskan namaku, nama anak-anakmu
Air matamu tak pernah kering
Mengaliri sungai kekinian
Menuliskan sajak-sajakku tentang cakrawala dan cinta
dan
menitipkan waktu dalam gerakku
Ibu,
engkau ajari aku membaca peristiwa
Jika kusangsikan cintamu
Dunia tak menoleh kepadaku
Jendela yang kau buka pagi-pagi, Ibu
Adalah
pintu pelayaran
Ketika sore aku kembali
Engkau
membukanya
Dan jika aku tak kembali, Ibu
Engkaulah nisan kuburku
Di dalam
berdiriku
Engkaulah
Ibu
Kotabaru, 2006
Bajau
Atas nama nenek moyang
laut kau tugali dengan sampan
Nasib
membawamu kepada pengembaraan
Berlayarlah menuju musim
mencari
jati dirimu
Atas nama cinta
kau kayuh samudera mendekatkan semesta
mata
angin pijar olehnya.
Kau curi utara kau tanak barat
Kau tenggelamkan selatan kau tiduri timur
Lautmu adalah kelahiran
Daratan mimpi kematian
Berlayarlah dengan waktu
Tak kembali kembali
Juriatmu pengayuh
menegakkan cinta dalam ruh
Kotabaru, 2008
Mengunyah Rasa Sakit, Kuludahkan Darahnya
Sepanjang
kelokan jalan Tanjung Serdang
Kita melukis wajah dengan beton
Rumah yang
dihadapkan pagar
kita durikan pada bola mata
Runcingnya menusuk lengan kita
seperti ada
yang terlepas
Darah membaui hutan pinus
Angin membaui jalan-jalan
Mengunyah rasa sakit ini
kuludahkan ke
hutan-hutan terbakar
Pohon ulin dan
meranti dirobohkan
sebelum
pemantik api dijatuhkan
Ada yang
dihilangkan sebelum pembakaran
Ada yang
diterbitkan sebelum pembalakan
Sepanjang
kelokan menuju kota
Hutan-hutan dikuliti
Luka pohon nyeri
Ketika kita
melupakan waktu
Rumputan tak
pernah melupakan zikirnya
Kenapa kita melukai semesta
Sementara kita
menghirup air susunya
Kenapa kita menyumbat sungai kehidupan
Padahal di sana
ruh dimandikan
Mengunyah rasa
sakit ini
Kuludahkan
darahnya
Nyerinya tak terasakan olehmu
Kotabaru, 2001
Kutimba Badai
Pamor Lautmu
: d.zawawi
imron
Hamparkan semestamu
Kubentang dari
barat ke timur
Di tengahnya aku berdiri
Kutangkap
kejaran ombak hingga badai
Kusalamkan jejak musim
pada almanak
pulaumu
Pelayaran yang
kau kirim menggurat cakrawala
Kutorehkan
pasang di pesisirmu
dalam lautan garam
Di geladak kita
berdiri. Laut hilang
Penanggalan tak bertemu pantai
Kita tandai
arah angin dengan kemudi. Kau orkestranya
Seperti khotbahmu yang menyihir
Penyair itu
melarutkan kata-kata. Menaklukan sungai-sungai
hingga cakrawala
Laut terus
menjadi musikku. Dari dawai yang kau petik
Kubangun tanggul-tanggul peradaban
Dari tafsir lautmu
Pelayaran ombak
terus kugiring
Kujaring angin
penjuru
Kutimba badai
pamor lautmu
dalam hitungan waktu
Surabaya, 2006
Figura (1)
: m. Sulaiman
najam
Puisi senja
yang kau tulis kemarin
Mengendap di
batas usia
Ketika para
sahabatmu bercakap
Tentang bulan
penghujung
yang memberi
ruang
: Palang pintu
membukakan rindu
Kau pun
terdampar dalam titik peta
Ketika gelora kenangan
Memunguti waktu dan jejakmu
Kegairahanmu
seperti desir angin membangkit ufuk
Kau kokangkan
senapan
: sebagai nasib menafsir badai
Adalah figura
yang kau bingkai
Sepanjang hari-hari kembara
Mulutmu terus
mengunyah batu dan kerikil
Sementara jalan
kau hampar dalam kesunyian senja
Siapa pun tak mampu membendung pasang lautnya
Kotabaru, 2003
Terbanglah
Kuat-Kuat ke Langit Lukaku
Kutatap kunang-kunang dalam terbang
jiwaku
mengawang menuju kibasan sayap
Getar cahaya menerobos sakitku
Terbanglah, tanganku menjangkau kenapaku
Sia-sia raihan ini tak membekas
Mengembaralah kunang-kunang ke laut tanpa batas
Semestaku diam
Tak ada yang kukabarkan
kecuali
sangsai yang limbung di udara
Kusapa ruang kosongnya
Terbanglah kuat-kuat ke langit lukaku
kunyahlah
anyir darah perihnya
nikmati makan malammu
sedekat gigitan sedekat kerlingan
simpan
di mejamu
tanpa kusentuh
kenyangnya tiba
2009
Jejak
taman kota
rumah puisi
pasang laut
kata-kata
taman kota
rumah sunyi
waktu terikat
penjarakan senja
taman kota
rumah sendiri
bertiang tombak
beratap perih
perjalanan musim tak menemu hari
jejak mentari menyisakan belati
Makassar, 2008
Hikayat
Di tubir altar
hikayat cerita ditulis
dari nyeri dan kemalangan
Hanya dunia
dimentahkan dari kepiluan cinta
Angin dalam
tatapan tandus
Burung-burung menghilang
Kemana perginya
orang-orang
Pagi patah – batu-batu tak bernama
Di atas sejarah
dihampar jejak
Masa lalu
seperti menara, cukup dipandangi
Cinta milik
kita sebegitu sakit menahan muntahan
Deritanya tak
sempat membakar ladang-ladang
Ya, hikayat tergeletak dalam catatan orang-orang bijak
Masa lalu cuma
derita yang patah
Tak terpikirkan
menyusunnya menjadi bingkai
Kita senantiasa
menganggapnya biasa-biasa saja
Tak teracuhkan, sendirian tanpa cahaya
Buruk bayangnya
Buruk kepandiran kita
Kotabaru, 2008
Di Kedalaman Waktu
aku terangkut
arus menuju sungai-Mu
mengalir di
kedalaman waktu
mabuk
ayo lukai aku
ayo kirimi
perihku
ini jembatan
jangan dirobohkan
ini jalan
jangan belokkan
ini rindu
jangan palingkan
jangan tunda
mabukku
jangan balut
lukaku
jangan rebut
perihku
jangan,
jangan coba bujuk tidur rinduku
Kotabaru, 2008
Tanjung Dewa
Laut mengundang mimpi lewat mantra
Para pengembara
melepas jangkar
Angin selatan menembus tanjung
Ombak
mengirimkan warta duka kepada nelayan
Ketika purseseine
menjelma Segitiga Bermuda
Bola lampunya
menyeret kehidupan nelayan
di keterasingan
Di jemarinya
seperti ada yang terlepas
Di lautku jala-jala diputuskan
ikan-ikan
direbut
Ketika senja meninggalkan mimpi laut
menyandarkannya
di bingkai cakrawala
Tanjung Dewa
tetap misteri
Ketika mereka
melupakan sesaji
Semesta berduka dalam kabut dan badai
Di Tanjung Dewa
Ada yang meraih mimpi
Ada yang ditinggalkan mimpi
Sesaji tidak
lagi berupa kambing dan ayam
Tetapi berubah
benda lain
Di lautku
ketika orang-orang tidak lagi menangkap ikan dengan jala dan rajut
Tetapi dengan api dan amarah
Mereka mengayuh dengan tombak dan parang
Mereka melupakan sejarah nenek moyang
Siapa yang kuat
mereka yang menang
Di Tanjung Dewa
ikan-ikan meninggalkan perahu
Musim dari
manapun tiba
Kotabaru, 2003-2006
Sajak Politik
politik adalah
bermain api dalam sekam
politik adalah
menggunting dalam lipatan
politik adalah
lembar batu sembunyi tangan
politik adalah
kemungkinan
Kotabaru, 2007
Rumah Puisi
Rumah puisi
adalah hatimu
yang merangkai kota-kota dunia
Membaca dan
merekam peristiwa
lewat jemari waktu
Dalam pahatan
hari
tanpa henti
Rumah puisi
kita bangun
dari kecemasan dan mimpi embun
Hati kita
adalah jembatannya
kita biarkan terasing sendiri
Kekosongan kita lukis di selembar kertas
Dengan tipu
daya
warna-warna diputihkan tanpa ujung
Kita melukisnya
dengan tombak, panah, keris, pedang
bayonet, molotov, hingga bom
Kita menguasnya
dengan ekspresi
dan tangan sendiri
Gambarnya
berterbangan di udara
Kita santap setiap sarapan pagi
Rumah puisi tak
lagi kita tulis dengan kata-kata
Atau kita bingkai dengan hati
Tetapi sudah
mereka tulis dengan peristiwa
Setiap waktu
Rumah puisi bukan lagi rumah kita
ia adalah cuaca
sebab musim dan angkara pemiliknya
Kotabaru, 2006
Menggenapi
Langkahmu
Menggenapi
langkahmu, penyair sunyi, siul semesta:
Tamu berjubah malam sudah tiba bertandang
Seperti ingin mengabarimu tentang kepurbaan
Yang mesti diselusur dari musim ke musim
Sebelum segalanya lelap ditelan bayang
Lalu, kau pun
kembali menulis sebait puisi
Jangan sudahi
sebelum jemarimu menjuntai
Menggenapi
kepakmu, camar biduan, penari senja:
Laut diam tersibak angin yang datang tiba-tiba
Tak tahu gelombang harus menepi ke mana
Diabiarkannya kapal-kapal tenang berlayar
Mencari pulau tempat teduhnya bermalam
Ya, kalau kedua
sayapmu sudah terentang
Jangan sekali-kali
kau tengok ke belakang
Menggenapi
rindumu, musyafir cinta, pencari kearifan:
Seseorang berdendang menghela dingin malam
Dipagutinya embun yang menetes di daunan
Lalu dilantunkannya syair kealfaan dunia raya
Agar terbujuk kiranya alam ‘tuk berbagi luka
Wahai, jika
engkau tak lagi perlu bertanya
Jangan biarkan
ada cerita yang tersisa
Kotabaru, 2007
Tentang Eko Suryadi WS
Eko Suryadi WS Lahir di Kotabaru, Kalimantan Selatan 12 April 1959.
Menyelesaikan pendidikan di STIA Bina Banua jurusan Administrasi Negara dan
Magister Manajemen di Universitas Dr. Soetomo Surabaya. Menulis puisi dan esai,
publikasi al: Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Terbit, Pelita, Sinar
Harapan. Antologi puisi Sebelum Tidur Berangkat (1982), Ulang Tahun
(1982), Di Balik Bayang-bayang (1983), dan Di Batas Laut (2005).
Pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Kotabaru (1995-1998 dan
1998-2002) dan anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1997-1999)
Catatan
Lain
Buku puisi Elegi Negeri Seribu Ombak (ENSO) terdiri
atas 3 subjudul yaitu Elegi Negeri Seribu Ombak (periode penciptaan 2000-2005, 16
puisi), Tanjung Dewa (periode penciptaan 2006-2007, 15 puisi), dan Bajau
(periode penciptaan 2008-2009, 20 puisi). Seperti dikatakan Jamal T. Suryanata
dalam esainya, dibanding dengan puisi yang terhimpun dalam Di Batas Laut
(2005), puisi-puisi dalam ENSO mengalami perubahan bentuk dan gaya penulisan,
terutama tampak pada model tipografi (tampilan bentuk) yang bebas-terikat
bahkan cenderung agak kacau. Namun, kata Jamal lagi, dilihat dari segi faset
tematisnya, secara umum garapan tema sajak-sajak Eko sebenarnya tidak beranjak
jauh dari tema-tema yang pernah dieksplorasinya di buku puisi sebelumnya. Kata
Jamal lagi, hampir seluruh sajaknya secara dominan kembali menyuarakan
kegelisahan batin dan sekaligus tanggapan personal terhadap alam atau
lingkungan sekitar. Secara garis besar Jamal mengelompokkan sajak-sajak Eko ke
dalam dua kelompok besar, yaitu yang berkecenderungan kritik sosial dan yang
berkecenderungan religius, yang dilevel tertentu mengarah sufistik, sembari
mengaku adanya wilayah abu-abu.
masyaa_alloh.. indah sekali puisinya....
BalasHapus