Minggu, 01 Januari 2012

Arsyad Indradi, Eza Thabry Husano, Hamami Adaby: TIGA KUTUB SENJA


Data buku kumpulan puisi

Judul : Tiga Kutub Senja
Penulis : Arsyad Indradi, Eza Thabry Husano, dan Hamami Adaby
Cetakan : I, Juli  2001
Penerbit : Kilang Sastra Batu Karaha, Banjarbaru
Tebal : x + 70 halaman (masing-masing penyair 15 judul puisi)
Gambar sampul : Arsyad Indradi
Editor : Eza Thabry Husano
Catatan penutup: Hijaz Yamani


Beberapa pilihan puisi Arsyad Indradi dalam Tiga Kutub Senja

Zikir Senja

Tak terbaca lagi ayatayat
Yang Kau hampar sepanjang perjalanan
Menuju rumahMu
Tak mungkin kembali
Menangkap AlipLamMim dari pintu bumi
Kandang dombadomba yang lapar
Semakin jauh berjalan
Kucurigai langit
Menyembunyikan bintangbintangMu
BulanMu bahkan matahariMu
Kucurigai laut
Menyentuh kakiku
Buihbuih merajah pausMu yang kian punah
Jasadku untaunta
Rohku kafilahkafilah
Di gurungurun bukit Thursina
Kucurigai rumahMu lengang
Kucurigai mengapa Kau tunggu aku
Di Jabal Rahmah
Aku
Anak Adam
Yang tersesat di sajadahMu

Banjarbaru, 2000


Saat Senja Pun jatuh

Jangan kau rangkai bungabunga
Yang kau petik dari taman mimpi
Tapi rangkailah tubuhku
Yang kau ambil dari tulang rusukmu

Tak ada lagi
Rahasia yang menyimpan kesangsian
Maka tatkala gemawan turun lihatlah
Kita tak pernah lagi memiliki malam
Yang luput dari tangan

Lahirlah kerinduan yang kau hamili
Setiap kita menutup jendela
Setiap kita mengatupkan mata
Memandang jauh
Kesetiaan mentari ke kutub sana

Banjarbaru, 2000


Rumah Ilalang

Setiap kukatupkan mata di rahimmu
Fosfor di puripurimu
Senantiasa membangkitkan igauan
Dalam kerlip dan dalam gumpalan warna
Sayatan rindu percintaan kebencian
Dari pusar bumi
Dan dalam desis angin
Memanjang gairah luka
Di langitlangitmu tak bertepi
Tak hentihenti kusebut namamu

Ke mana katupan mata terbuka
Menyaksikan jemarimu gemetar
Membuka fajar senja

Banjarbaru, 2000


Berangkat Pulang

Di atas batu langit kian kuning
Sungai di mana matamu mengaca
Ikanikan berenang di hatimu
Apakah mengukir jauh perjalanan
Ke kutub mana kita pulang

Entah berapa matahari
Telah lengser di sini
Dan entah berapa kali
Kau lahir kembali
Sepanjang tebing
Tak ubahnya bambubambu

Tak ubahnya fatamorgana
Kasidah burungburung senja
Melintasi persawangan
Memahami doadoaku yang panjang

Memahami keduakakiku
Di dusta dunia

Banjarbaru, 2000


Narasi Ayat Batu

Kubelah ayatayat batumu di kulminasi bukit
Yang terhampar di sajadahku
Kujatuhkan di tebingtebing lautmu
Cuma gemuruh ombak dalam takbirku

Angin mana di gurungurunmu beribu kafilah
Dan beribu unta yang tersesat di tepitepi
hutanmu
dan bersafsaf di oasis bumimu yang letih

Kuseru namamu tak hentihenti
Di ruasruas jari tanganmu
Yang gemetar dan berdarah
Tumpahlah semesta langit
Di mata anak Adam yang sujud di kakimu

Banjarbaru, 2000

 ___________________________________________
Beberapa pilihan puisi Eza Thabry Husano dalam Tiga Kutub Senja

Kasidah Senja


hutang sungai belum lunas-lunas kuaruskan
menggali jiwa ombak di keganasan lautan
sebab matahari yang tumbuh di atas perahu
mengabarkan kasidah senja runtuh di hulu
rumpun yang ia rimbuni telah berbunga
: bunga api di pinggir kolam
berparas belati kelam

janji adalah janji
seperti rentang tali akhir di penghujung
“Selamat tinggal sungai”, bisikmu
“Kemana kau pergi?”, kabut lebo menegurku
bunga api di pinggir kolam menatap
menjilat paras belati kelam
lalu langkah kubenam
kukayuh kasidah senja ke tepi malam
dan kutanya casnarina yang menjauh
“Adakah atak dan diang di kebunku
memetik bunga api merangkai lidahnya
dalam jambangan ?”.

Banjarbaru (1995)
lebo = banua, atak dan diang = bujang dan dara / gadis
casnarina = sejenis cemara laut tumbuh di wilayah Barito Kuala.

Menggenggam Granat

apa yang ditulis di mata angin
hingga berbisik sangat sempurna
rindu rancangan langit katanya
di setiap langkah zikrullahku

bukit pinus di atas danau
masih saja mengapung
saat berjuta buih mengepung kita
bersama sepasukan kesunyian
kita berlari sambil menggenggam granat
tapi tak ada keberanian meledakkannya
: disimpan di dada bukit balik semakmu

menyerahkannya kepada Tuhan
meledakkan granat itu

bila kau temukan sesosok bayang di situ
akulah barangkali wujud itu
wujud tak pernah sempurna
gigil tenggelam di kejauhan
sambil mencuri pandang getar namamu
kau tulis begitu padu.

Banjarbaru (1995)


Tangis Berisik Di Ujung Tidurku

kudengar tangis di ujung tidurku
kota mulai melepas kelambu.  Angin sunyi
rumput basah.  Dingin sungai Nya
siapa menangis pagi masih mengunci
susunya?
sekawanan burung mengorak sayap
tak berkicau.  Karena menunggu
pada matahari harus menyusu
merekakah disitu yang terdera memacu
mengais melawan lapar dari ujung tidur
                                    : ujung tidur dunia?
yang sebentar lagi terjaga
membangunkan matahari
membanting kita!
o berisik mata-mata terberai
masih juga kutangkap sepanjang hari
suara yang sama tangis yang sama.

Banjarbaru (1992-2000)

Aerobik Tidur

tidurnya melompat menyeberangi sungai malam
langit hampir kesiangan mencari menara awan
takut tersesat bau tanah melipat bangkai bulan
laut segala spermaku berabad-abad lalu
muak mengacungkan jempol waktu

oi, kekasihku bernama batu
sergap burung gagak di biji mataku

berterima kasihlah airmata dalam rahimmu
bercerai ngilu dengan buah zakar kapalku
kamar hotel, sirkuit lumpur, jauh dari tasik
tak mencari lampu di tiang-tiang listrik
rumah semata kolam menguyupkan jiwa kelam
jika kau lihat sosok bayang dalam kotak tissue
mungkin akulah wujud itu
kering syahwat dan linang-linang janji

ah, tiba-tiba langit gaduh
bintang pisuh memisuh
kuku-kuku hujan mencabik atap rumah
airmata siapa di situ meriap tengadah?

Banjarbaru (1996)


Tragedi Kupu-Kupu

kupu-kupu di pusara penantian itu terguling
cinta mengalir di lengan ranting-ranting
daun-daun senasib tak lagi menoleh
luruh menjadi debu masa lalu
dalam risalah asbak dan puntung rokok
garis perjalanan malam kupu-kupu
gairah tiang-tiang listrik

o tragedi kupu-kupu
tak siapapun lagi mengetukkan nyanyian
di daun-daun pintu kelam kesunyian
sebuah kartupos tergeletak menulis maut
di teras arloji, dari detik ke detik
berpapasan ribuan bayangan letih
bayangan rebah ke tanah. Tanah
menggeliatkan cacing-cacing
kupu-kupu terbang menari-nari
ke arah partitur lagu gamelan kabut

Banjarbaru (2001)

 _________________________________________________
Beberapa pilihan puisi Hamami Adaby dalam Tiga Kutub Senja

Pelangi Senja

Rumah siapa di cakrawala
angin yang beriak di kemarau
pertanda gantinya musim

Daun jendela rumahku yang asri
senantiasa kugantungi kalender tahun
menghitung berapa lagi hari yang tersisa

Cakrawala pelangi selalu kukagumi
karena selingkuhan warna, air
matahari dan bumi
meneteskan gulma paduan zatnya

Kagum dalam pesona
ketika senja membezuk
pelangi langit melenggang pergi

B.baru 99


Akhirnya

Ladang pengembaraan manusia
berpacu musim dalam rimba
sinar matahari jatuh
menembus daun daun dan ranting

Peluh keluar dari pori asin rasa
mengeraskan daging dan otot manusia
seperti kereta awan yang setia
menyandang teriknya matahari

Ladang pengembaraan manusia
juga lautan yang tak pernah teduh
dalam makna dan arti
tujuh petala langit dan bumi
digantungnya bulan dan matahari

98

Bantimurung

Pelangi Bantimurung
taman sejuta warna
kupu kupu bertengger, bercanda
terbang melayang, menukik
mencari desir angin

Kupu Bantimurung
bias kerdip wanita
pesona bianglala
panorama bercinta, bukit berbunga

Dari mana terbang
dari kota ke belantara
di sini tempat bermanja

Bantimurung 98


Ballada di Rumah Sakit

Di rumah sakit Pantirapih
beberapa sahabat menjenguk
terjadi percakapan romantis

Lewat kamar pasien
perawat membagi kasih sayang
suster bergaun putih
bergerai senyumnya

Kereta dorong sarat makanan
kereta mayat bertutup kain
mobil jenazah berlampu merah
di UGD perawat selalu sibuk

Di asrama flamboyant
suster itu menjengukku
menyalami tangan dan memandang

Aku pamit, kubisiki,
kita selalu bersama sayang!

‘89


Kaca Kaca Jendela

Hari ini reformasi serba neka
zaman shabu-shabu?, ekstasi,
narkotika
porno, ganja, selingkuh dan fitnah
konsumerisme, lipstick bibir

Ada yang digebuki sampai sekarat
maling dihakimi massa
santet dihakimi massa
kiyai dibantai massa
PKI dibantai massa
rampok disergap massa
koruptor dikejar massa

Sekarang orang berani bicara
menuntut keadilan, demo, orasi
mogok kerja, kenaikan upah, gaji
hutan, korupsi, SPP, tanah segala macam

Meteor yang jatuh di beranda
seketika bintang redup di keranda
bumi semakin panas
gerhana lelah mengeja

Rentang perjalanan anak cucu
masih jauh dan panjang
ingat cerita kakek masa lampau
pejabat rentan polusi

Kupandangi daun daun jendela
dari kisi kisinya angin berembus sejuk
setelah terbangun dari tidurmu
kita lanjutkan pengadilan itu!

2000


Tentang Arsyad Indradi
Lengkapnya M. Arsyad Indradi, S.Pd. Menulis puisi sejak tahun 1970-an. Juga mendalami seni tari dan musik. Mendirikan pondok Seni Tari Balahindang. Mengeditori buku puisi yang tebal 142 Penyair menuju Bulan (2006). Dijuluki “penyair gila”. Dalam buku Tiga Kutub Senja tercatat Arsyad Indradi belum menelurkan antologi puisi tunggal, hanya tertulis dalam antologi puisi bersama. Adapun kumpulan puisi tunggalnya terbit belakangan, yaitu Romansa Setangkai Bunga (2005), Narasi Musafir Gila (2006), Nyanyian Seribu Burung (2006).

Tentang Eza Thabry Husano
Eza Thabry Husano lahir di Kandangan 3 Agustus 1938. kumpulan puisi yang pernah diterbitkannya: Dawat (1984) bersama Hamami Adaby, Surat dari Langit (1985), Clurit Dusun (1993), Bunga Api (1994), Aerobik Tidur (Citra Media Utama, Jakarta, 1996), dan Lelaki Kembang Batu (2009)

Tentang Hamami Adaby
Hamami Adaby lahir 3 Mei 1942 di Banjarmasin. Tercatat sebagai penyair Kalsel generasi 70-an. Antologi puisinya Iqra (1997), Nyanyian Seribu Sungai (2001), Kesumba (2002), Bunga Angin (2003), Dermaga Cinta (2004), 36 Mata Pena (2007), Badai (2011). Kumpulan puisi bahasa banjar Uma Bungas Banjarbaru (2005), Kaduluran (2006). Tiga Kutub Senja (2001) adalah antologi bersama Hamami Adaby, Eza Thabry Husano dan Arsyad Indradi.


Catatan Lain
Buku ini dikasih oleh mendiang Eza Thabry Husano, lupa kapannya. Mungkin sekitar 2004/2005. Menurut Hijaz Yamani, Tiga Kutub Senja merupakan tiga kesatuan sekaligus tiga kemandirian tematik dari masing-masing penyair yang dijadikan sub judul Antologi ini: Kasidah Senja pada Eza Tahabry Husano, Pelangi Senja pada Hamami Adaby dan Zikir Senja pada Arsyad Indradi. Ada untaian kata yang menarik, yang ditulis di halaman-halaman awal kumpulan puisi ini: “senja itu bagaikan anggur dalam gelas/kami telah mereguknya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar