Data buku kumpulan puisi
Judul : Tiga Kutub Senja
Penulis : Arsyad Indradi, Eza Thabry Husano,
dan Hamami Adaby
Cetakan :
I, Juli 2001
Penerbit :
Kilang Sastra Batu Karaha, Banjarbaru
Tebal :
x + 70 halaman (masing-masing penyair 15 judul puisi)
Gambar sampul : Arsyad Indradi
Editor :
Eza Thabry Husano
Catatan penutup: Hijaz Yamani
Beberapa pilihan puisi Arsyad Indradi dalam Tiga
Kutub Senja
Zikir Senja
Tak terbaca lagi ayatayat
Yang Kau hampar sepanjang perjalanan
Menuju rumahMu
Tak mungkin kembali
Menangkap AlipLamMim dari pintu bumi
Kandang dombadomba yang lapar
Semakin jauh berjalan
Kucurigai langit
Menyembunyikan bintangbintangMu
BulanMu bahkan matahariMu
Kucurigai laut
Menyentuh kakiku
Buihbuih merajah pausMu yang kian punah
Jasadku untaunta
Rohku kafilahkafilah
Di gurungurun bukit Thursina
Kucurigai rumahMu lengang
Kucurigai mengapa Kau tunggu aku
Di Jabal Rahmah
Aku
Anak Adam
Yang tersesat di sajadahMu
Banjarbaru, 2000
Saat Senja Pun jatuh
Jangan kau rangkai bungabunga
Yang kau petik dari taman mimpi
Tapi rangkailah tubuhku
Yang kau ambil dari tulang rusukmu
Tak ada lagi
Rahasia yang menyimpan kesangsian
Maka tatkala gemawan turun lihatlah
Kita tak pernah lagi memiliki malam
Yang luput dari tangan
Lahirlah kerinduan yang kau hamili
Setiap kita menutup jendela
Setiap kita mengatupkan mata
Memandang jauh
Kesetiaan mentari ke kutub sana
Banjarbaru, 2000
Rumah Ilalang
Setiap kukatupkan mata di rahimmu
Fosfor di puripurimu
Senantiasa membangkitkan igauan
Dalam kerlip dan dalam gumpalan warna
Sayatan rindu percintaan kebencian
Dari pusar bumi
Dan dalam desis angin
Memanjang gairah luka
Di langitlangitmu tak bertepi
Tak hentihenti kusebut namamu
Ke mana katupan mata terbuka
Menyaksikan jemarimu gemetar
Membuka fajar senja
Banjarbaru, 2000
Berangkat Pulang
Di atas batu langit kian kuning
Sungai di mana matamu mengaca
Ikanikan berenang di hatimu
Apakah mengukir jauh perjalanan
Ke kutub mana kita pulang
Entah berapa matahari
Telah lengser di sini
Dan entah berapa kali
Kau lahir kembali
Sepanjang tebing
Tak ubahnya bambubambu
Tak ubahnya fatamorgana
Kasidah burungburung senja
Melintasi persawangan
Memahami doadoaku yang panjang
Memahami keduakakiku
Di dusta dunia
Banjarbaru, 2000
Narasi Ayat Batu
Kubelah ayatayat batumu di kulminasi bukit
Yang terhampar di sajadahku
Kujatuhkan di tebingtebing lautmu
Cuma gemuruh ombak dalam takbirku
Angin mana di gurungurunmu beribu kafilah
Dan beribu unta yang tersesat di tepitepi
hutanmu
dan bersafsaf di oasis bumimu yang letih
Kuseru namamu tak hentihenti
Di ruasruas jari tanganmu
Yang gemetar dan berdarah
Tumpahlah semesta langit
Di mata anak Adam yang sujud di kakimu
Banjarbaru, 2000
Beberapa pilihan puisi Eza Thabry Husano dalam Tiga
Kutub Senja
Kasidah Senja
hutang sungai belum lunas-lunas kuaruskan
menggali jiwa ombak di keganasan lautan
sebab matahari yang tumbuh di atas perahu
mengabarkan kasidah senja runtuh di hulu
rumpun yang ia rimbuni telah berbunga
: bunga api di pinggir kolam
berparas belati kelam
janji adalah janji
seperti rentang tali akhir di penghujung
“Selamat
tinggal sungai”, bisikmu
“Kemana
kau pergi?”, kabut lebo menegurku
bunga api di pinggir kolam menatap
menjilat paras belati kelam
lalu langkah kubenam
kukayuh kasidah senja ke tepi malam
dan kutanya casnarina yang menjauh
“Adakah
atak dan diang di kebunku
memetik
bunga api merangkai lidahnya
dalam
jambangan ?”.
Banjarbaru (1995)
lebo = banua, atak
dan diang = bujang dan dara / gadis
casnarina = sejenis
cemara laut tumbuh di wilayah Barito Kuala.
Menggenggam Granat
apa yang ditulis di mata angin
hingga berbisik sangat sempurna
rindu rancangan langit katanya
di setiap langkah zikrullahku
bukit pinus di atas danau
masih saja mengapung
saat berjuta buih mengepung kita
bersama sepasukan kesunyian
kita berlari sambil menggenggam granat
tapi tak ada keberanian meledakkannya
: disimpan di dada bukit balik semakmu
menyerahkannya kepada Tuhan
meledakkan granat itu
bila kau temukan sesosok bayang di situ
akulah barangkali wujud itu
wujud tak pernah sempurna
gigil tenggelam di kejauhan
sambil mencuri pandang getar namamu
kau tulis begitu padu.
Banjarbaru (1995)
Tangis
Berisik Di Ujung Tidurku
kudengar tangis di
ujung tidurku
rumput basah. Dingin sungai Nya
siapa menangis pagi
masih mengunci
susunya?
sekawanan
burung mengorak sayap
tak berkicau. Karena menunggu
pada matahari harus
menyusu
merekakah disitu
yang terdera memacu
mengais melawan
lapar dari ujung tidur
: ujung
tidur dunia?
yang sebentar lagi
terjaga
membangunkan
matahari
membanting kita!
o berisik mata-mata
terberai
masih juga
kutangkap sepanjang hari
suara yang sama
tangis yang sama.
Banjarbaru (1992-2000)
Aerobik Tidur
tidurnya melompat menyeberangi sungai malam
langit hampir kesiangan mencari menara awan
takut tersesat bau tanah melipat bangkai bulan
laut segala spermaku berabad-abad lalu
muak mengacungkan jempol waktu
oi, kekasihku bernama batu
sergap burung gagak di biji mataku
berterima kasihlah airmata dalam rahimmu
bercerai ngilu dengan buah zakar kapalku
kamar hotel, sirkuit lumpur, jauh dari tasik
tak mencari lampu di tiang-tiang listrik
rumah semata kolam menguyupkan jiwa kelam
jika kau lihat sosok bayang dalam kotak tissue
mungkin akulah wujud itu
kering syahwat dan linang-linang janji
ah, tiba-tiba langit gaduh
bintang pisuh memisuh
kuku-kuku hujan mencabik atap rumah
airmata siapa di situ meriap tengadah?
Banjarbaru (1996)
Tragedi Kupu-Kupu
kupu-kupu di pusara penantian itu terguling
cinta mengalir di lengan ranting-ranting
daun-daun senasib tak lagi menoleh
luruh menjadi debu masa lalu
dalam risalah asbak dan puntung rokok
garis perjalanan malam kupu-kupu
gairah tiang-tiang listrik
o tragedi kupu-kupu
tak siapapun lagi mengetukkan nyanyian
di daun-daun pintu kelam kesunyian
sebuah kartupos tergeletak menulis maut
di teras arloji, dari detik ke detik
berpapasan ribuan bayangan letih
bayangan rebah ke tanah. Tanah
menggeliatkan cacing-cacing
kupu-kupu terbang menari-nari
ke arah partitur lagu gamelan kabut
Banjarbaru (2001)
Beberapa pilihan puisi Hamami Adaby dalam Tiga Kutub
Senja
Pelangi Senja
Rumah siapa di cakrawala
angin yang beriak di kemarau
pertanda gantinya musim
Daun jendela rumahku yang asri
senantiasa kugantungi kalender tahun
menghitung berapa lagi hari yang tersisa
Cakrawala pelangi selalu kukagumi
karena selingkuhan warna, air
matahari dan bumi
meneteskan gulma paduan zatnya
Kagum dalam pesona
ketika senja membezuk
pelangi langit melenggang pergi
B.baru 99
Akhirnya
Ladang pengembaraan manusia
berpacu musim dalam rimba
sinar matahari jatuh
menembus daun daun dan ranting
Peluh keluar dari pori asin rasa
mengeraskan daging dan otot manusia
seperti kereta awan yang setia
menyandang teriknya matahari
Ladang pengembaraan manusia
juga lautan yang tak pernah teduh
dalam makna dan arti
tujuh petala langit dan bumi
digantungnya bulan dan matahari
98
Bantimurung
Pelangi Bantimurung
taman sejuta warna
kupu kupu bertengger, bercanda
terbang melayang, menukik
mencari desir angin
Kupu Bantimurung
bias kerdip wanita
pesona bianglala
panorama bercinta, bukit berbunga
Dari mana terbang
dari kota ke belantara
di sini tempat bermanja
Bantimurung 98
Ballada di Rumah Sakit
Di rumah sakit Pantirapih
beberapa sahabat menjenguk
terjadi percakapan romantis
Lewat kamar pasien
perawat membagi kasih sayang
suster bergaun putih
bergerai senyumnya
Kereta dorong sarat makanan
kereta mayat bertutup kain
mobil jenazah berlampu merah
di UGD perawat selalu sibuk
Di asrama flamboyant
suster itu menjengukku
menyalami tangan dan memandang
Aku pamit, kubisiki,
kita selalu bersama sayang!
‘89
Kaca Kaca Jendela
Hari ini reformasi serba neka
zaman shabu-shabu?, ekstasi,
narkotika
porno, ganja, selingkuh dan fitnah
konsumerisme, lipstick bibir
Ada yang digebuki sampai sekarat
maling dihakimi massa
santet dihakimi massa
kiyai dibantai massa
PKI dibantai massa
rampok disergap massa
koruptor dikejar massa
Sekarang orang berani bicara
menuntut keadilan, demo, orasi
mogok kerja, kenaikan upah, gaji
hutan, korupsi, SPP, tanah segala macam
Meteor yang jatuh di beranda
seketika bintang redup di keranda
bumi semakin panas
gerhana lelah mengeja
Rentang perjalanan anak cucu
masih jauh dan panjang
ingat cerita kakek masa lampau
pejabat rentan polusi
Kupandangi daun daun jendela
dari kisi kisinya angin berembus sejuk
setelah terbangun dari tidurmu
kita lanjutkan pengadilan itu!
2000
Tentang Arsyad Indradi
Lengkapnya M.
Arsyad Indradi, S.Pd. Menulis puisi sejak tahun 1970-an. Juga mendalami seni
tari dan musik. Mendirikan pondok Seni Tari Balahindang. Mengeditori buku puisi
yang tebal 142 Penyair menuju Bulan (2006).
Dijuluki “penyair gila”. Dalam buku Tiga
Kutub Senja tercatat Arsyad Indradi belum menelurkan antologi puisi
tunggal, hanya tertulis dalam antologi puisi bersama. Adapun kumpulan puisi tunggalnya
terbit belakangan, yaitu Romansa
Setangkai Bunga (2005), Narasi
Musafir Gila (2006), Nyanyian Seribu
Burung (2006).
Tentang Eza Thabry Husano
Eza Thabry Husano
lahir di Kandangan 3 Agustus 1938. kumpulan puisi yang pernah diterbitkannya: Dawat (1984) bersama Hamami Adaby, Surat dari Langit (1985), Clurit Dusun (1993), Bunga Api (1994), Aerobik Tidur (Citra Media Utama, Jakarta, 1996), dan Lelaki Kembang Batu (2009)
Tentang Hamami Adaby
Hamami Adaby lahir
3 Mei 1942 di Banjarmasin. Tercatat sebagai penyair Kalsel generasi 70-an.
Antologi puisinya Iqra (1997), Nyanyian Seribu Sungai (2001), Kesumba (2002), Bunga Angin (2003), Dermaga
Cinta (2004), 36 Mata Pena
(2007), Badai (2011). Kumpulan puisi
bahasa banjar Uma Bungas Banjarbaru
(2005), Kaduluran (2006). Tiga Kutub Senja (2001) adalah antologi
bersama Hamami Adaby, Eza Thabry Husano dan Arsyad Indradi.
Catatan Lain
Buku ini dikasih
oleh mendiang Eza Thabry Husano, lupa kapannya. Mungkin sekitar 2004/2005.
Menurut Hijaz Yamani, Tiga Kutub Senja
merupakan tiga kesatuan sekaligus tiga kemandirian tematik dari masing-masing
penyair yang dijadikan sub judul Antologi ini: Kasidah Senja pada Eza Tahabry Husano, Pelangi Senja pada Hamami Adaby dan Zikir Senja pada Arsyad Indradi. Ada untaian kata yang menarik,
yang ditulis di halaman-halaman awal kumpulan puisi ini: “senja itu bagaikan anggur dalam gelas/kami telah mereguknya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar