Judul : Pantun Anak Ayam
Penulis : Ajip Rosidi
Cetakan :
III, 2008 (cetakan I, 2006)
Penerbit :
PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta
Tebal :
40 halaman (29 judul pantun)
ISBN : 978-979-419-337-2
Beberapa pilihan puisi / pantun Ajip Rosidi
dalam Pantun Anak Ayam
Pantun Musim Rontok
Di musim rontok daun berubah warna
menjadi kuning, merah, lalu berguguran;
Dalam hidup tak terasa usia menjadi tua
sedang denganmu tak sempat berteguran
Angin dingin mulai keras meniup
suhu menurun dari hari ke hari;
Jalan berliku sepanjang hidup
ketentuanmu penuh misteri
Di musim rontok di musim momiji*
udara dingin daun pun gugur;
Kurenungi nasib penuh misteri
kasihmu tak henti mengucur
* momiji, saat ketika daun-daun berubah
warna sebelum gugur pada musim rontok
Pantun Hari Jum’at
Pergi ke Kobe setiap Jum’at
dengan kereta dari Umeda;
Mencari engkau setiap salat
sampai atahiat tidak berjumpa
Naik kereta dari Umeda
lalu turun di Sannomiya;
Meski berjumpa kita tiada
namun engkau kucari juga
Waktu pulang dari Sannomiya
aku turun di Kitasenri;
Meski di mana engkau berada
namun tetap akan kucari
Waktu turun di Kitasenri
aku berjalan seorang diri;
Engkau kan tetap kucari
meski harus melintasi mati
Pantun Tanjung Katung
Tanjung Katung airnya biru
kalau boleh menumpang mandi;
Hidup selalu memendam rindu
bertemu denganmu meski sekali
Tanjung Katung airnya biru
tempat gadis berenang-renang;
Hdiup selalu menanggung rindu
hanya padamu aku terkenang
Tanjung Katung airnya biru
berkecimpung simbur-simburan;
Hati selalu ingat yang satu
kian dekat dengan kuburan
Tanjung Katung airnya biru
lautnya dalam langitnya jernih;
Hati selalu ingat padamu
semakin kuat terpaut kasih
Pantun Burung Pipit
Burung pipit terbang melayang
turun minum di dalam paya
paya dinaung pohon kelapa;
Terasa sempit hidupku sekarang
engkau tinggalkan tak berdaya
meraba-raba hilang cahaya
Burung bangau pulang ke sarang
pohon asam di atas atap
ditunggu anak sudah dahaga;
Hanya engkau pemberi terang
bagi hidupku dalam gelap
agar selamat dari neraka
Batang kelapa sangat tinggi
beruk meloncat sekali jadi
buah menimpa pedagang sayur;
Aku mengharap kaukasihani
hati menangis tiada henti
sia-sia ingin kautegur
Pantun ke Teluk Sudah
Ke teluk sudah ke tanjung sudah
ke Campa saja yang belum;
Bersujud sudah berkhalwat sudah
berjumpa saja yang belum
Hendak ke teluk ke tanjung belum
hendak ke Mekah tiada perahu
kembali ke pulau kejauhan;
Hendak kupeluk hendak kucium
hendak kudekap melepas rindu
engkau raib dari jangkauan
Pantun dari Kyoto
Kyoto kota seribu jinja1
tujuan orang berwisata
menonton matsuri2
sepanjang hari;
Hidup sejahtera di dunia
tanpa engkau tidak bermakna
seperti terbuang ke lorong sunyi
Dalam istana peninggalan shogun3
taman luas pohon pun rindang
benteng dan parit di sekelilingnya;
Mencari engkau bertahun-tahun
tiada henti malam dan siang
namun engkau tetap rahsia
Benteng dan parit mengelilingi
menjaga dari serangan musuh
meski jumlahnya beratus ribu;
Hidup terasa tak punya arti
karena engkau terlalu jauh
entah di mana aku tak tahu
______
1 Jinja:
bangunan suci penganut Sinto
2 Matsuri:
festival
3 Shogun: panglima militer penguasa
sebenarnya di Jepang ketika Kaisar (Tenno) hanya
sebagai lambang
Pantun Musim Bunga
Musim bunga sakura mekar
hawa dingin menjadi hangat;
Dalam hidup segala yang sukar
menjadi kayu pembakar semangat
Musim dingan pemandangan berubah
segala menjadi segar dan hijau;
Kalau hidup menemu susah
hanya padamu aku mengimbau
Sakura mekar hanya sebentar
cepat gugur karena hujan;
Kalau engkau tidak mendengar
hati pilu berkepanjangan
Tentang Ajip Rosidi
Tak ada biodata
Ajib Rosidi di buku ini. Mencarinya di internet. Telah lama saya mengenal
sastrawan asal Sunda ini, mungkin sejak SMP. Kumpulan puisinya pernah saya baca di perpustakaan sekolah. Puisinya
yang terkenal ya Balada tentang Jante Arkidam itu, yang sering diteaterkan
juga.
Ajip Rosidi lahir di Jatiwangi, Majalengka, Jawa
Barat, 31 Januari 1938; adalah sastrawan
Indonesia,
penulis, budayawan, dosen, pendiri, dan redaktur beberapa penerbit,
pendiri serta ketua Yayasan
Kebudayaan Rancage
- Tahun-tahun Kematian (kumpulan cerpen, 1955)
- Ketemu di Jalan (kumpulan sajak bersama SM Ardan dan Sobron Aidit, 1956)
- Pesta (kumpulan sajak, 1956)
- Di Tengah Keluarga (kumpulan cerpen, 1956)
- Sebuah Rumah buat Haritua (kumpulan cerpen, 1957)
- Perjalanan Penganten (roman, 1958, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis oleh H. Chambert-Loir, 1976; Kroatia, 1978, dan Jepang oleh T. Kasuya, 1991)
- Cari Muatan (kumpulan sajak, 1959)
- Membicarakan Cerita Pendek Indonesia (1959)
- Surat Cinta Enday Rasidin (kumpulan sajak, 1960);
- Pertemuan Kembali (kumpulan cerpen, 1961)
- Kapankah Kesusasteraan Indonesia lahir? (1964; cetak ulang yang direvisi, 1985)
- Jante Arkidam jeung salikur sajak lianna (kumpulan sajak, bahasa Sunda, 1967);
- Jeram (kumpulan sajak, 1970);
- Jante Arkidam jeung salikur sajak lianna (kumpulan sajak, bahasa Sunda, 1967)
- Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia (1969)
- Ular dan Kabut (kumpulan sajak, 1973);
- Sajak-sajak Anak Matahari (kumpulan sajak, 1979, seluruhnya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh T. Indoh, dan dimuat dalam majalah Fune dan Shin Nihon Bungaku (1981)
- Manusia Sunda (1984)
- Anak Tanahair (novel, 1985, terjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh Funachi Megumi, 1989.
- Nama dan Makna (kumpulan sajak, 1988)
- Sunda Shigishi hi no yume (terjemahan bahasa Jepang dari pilihan keempat kumpulan cerita pendek oleh T. Kasuya 1988)
- Puisi Indonesia Modern, Sebuah Pengantar (1988)
- Terkenang Topeng Cirebon (kumpulan sajak, 1993)
- Sastera dan Budaya: Kedaerahan dalam Keindonesiaan (1995)
- Mimpi Masasilam (kumpulan cerpen, 2000, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang)
- Masa Depan Budaya Daerah (2004)
- Pantun Anak Ayam (kumpulan sajak, 2006)
- Korupsi dan Kebudayaan (2006)
- Hidup Tanpa Ijazah, Yang Terekam dalam Kenangan (otobiografi, 2008)
- Ensiklopédi Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya. 2000
Ajip juga menulis drama, cerita rakyat, cerita wayang,
bacaan anak-anak, lelucon, dan memoar serta menjadi penyunting beberapa bunga rampai.
Catatan
Lain
Pantun?
Ya benar saja? Pantun juga merupakan khazanah puisi. Ia disinyalir merupakan
bentuk puisi asli Nusantara. Dari catatan Ajip Rosidi di dalam buku ini, bentuk
puisi pantun dikenal juga dalam bahasa daerah. Dalam bahasa Sunda ada sisindiran, dalam bahasa Jawa ada parikan, dalam bahasa Batak ada pardohom, dll. Sebagai bentuk puisi
lama, pantun setiap bait lariknya selalu genap, ada yang setiap bait terdiri
dari 2, 4, 6, 8, 10, 12 larik dst. Setiap bait terbagi menjadi dua bagian,
yaitu sampiran dan isi. Sering tidak ada hubungan apa-apa antara sampiran dan
isi, kecuali persamaan bunyi akhir. Tapi saya setuju dengan pernyataan Maman S.
Mahayana dalam suatu tulisannya, bahwa sampiran bukan berarti kosong dari
makna, ia justru merekam bawah sadar kolektif bangsa Melayu.
Kalau melihat sampul buku ini, so
pasti lah saya pinjam bukunya di perpustakaan atau di taman bacaan. Hehehe.
Tepat sekali. Buku Pantun Anak Ayam
saya pinjam dari perpustakaan daerah Banjarbaru. Hari Sabtu kemarin, tanggal 31
Desember 2011, untuk menutup tahun, saya resmi menjadi anggota perpustakaan
kota Banjarbaru dan langsung membawa pulang dua buku, yaitu buku pantun ini dan
buku Alwi Shihab tentang Akar Tasawuf di Indonesia (antara tasawuf sunni dan
tasawuf falsafi). Tak banyak ragam buku puisi saya temukan, paling dalam
hitungan jari saja, dengan pengecualian buku-buku yang dipinjam (kalo ada). Tidak
semuluk penyair Banjarbaru, Alm. M. Rifani Djamhari, yang di sebuah puisinya
menginginkan perpustakaan buka 24 jam, saya hanya menginginkan setidaknya
perpustakaan buka hingga jam 10 malam. Kira-kira 2 (dua) shift lah. Hehe.
Kenyataannya perpustakaan hanya melayani paling telat jam 4 sore. Saya harus
pandai mencuri waktu. Apalagi hari libur dan hari besar juga libur.
O
ya, kembali ke pantun, konon pada awal kelahiran sastera Indonesia modern
pantun pernah populer. Balai pustaka dan penerbit lain banyak menerbitkan buku
pantun. Tapi sejak tahun 1930-an, setelah S. Takdir Alisjahbana mengejek pantun
sebagai ocehan nyinyir nenek-nenek yang tak ada kerja, maka semangat menulis
pantun mulai luntur. Pantun dianggap bentuk puisi kuno yang ketinggalan zaman.
Di sini Ajip berontak, dikatakannya, mengapa soneta tidak dianggap kuno, malah
dianggap modern. Para penyair pujangga baru -- yang mengusung kemodernan --
banyak menulis soneta, padahal kata Ajip, bukan tidak mungkin soneta lebih tua
dari pantun dan tidak mustahil di negeri asalnya sudah menjadi semacam
kerajinan nenek-nenek tua nyinyir yang tak ada kerja juga. Jadi kata Ajip, yang
menentukan sebuah puisi itu indah atau tidak, adalah kreativitas yang
mendukungnya. “Kita jangan silau oleh yang datang dari luar, karena yang kita
miliki pun cukup berharga,” katanya kemudian. Terlepas dari nasib pantun yang
nyinyir dalam tradisi penulisan sastra modern, ternyata ia tetap hidup dalam
tradisi sastra lisan. Pantun tetap disukai masyarakat dan tetap didendangkan
hingga sekarang. Oya, tentang buku pantun, sepertinya waktu saya ke toko buku
Riyadh, Banjarbaru, saya ada terpegang buku pantun yang ditulis sastrawan Syamsiar
Seman. Kita tunggu saja, semoga bisa tampil juga di blog tercinta ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar