Data Buku
Kumpulan Puisi
Judul :
Cermin Waktu
Penulis : Mudjahidin
S
Cetakan :
I, Desember 2012
Penerbit :
Pustaka Banua, Banjarmasin
Tebal : x
+ 74 halaman (38 puisi)
ISBN :
978-602-98648-3-0
Pengantar
: H. Ahmad Makkie, BA
Beberapa
pilihan puisi Mudjahidin S dalam Cermin
Waktu
Kehidupan
di Ranah Nyata
Jadilah
kita aktor-aktor berwatak
di dalam
sandiwara cerita dibuat
penontonpun
ketawa terbahak-bahak
melihat
badut-badut berperan kocak
Di sudut
gedung ada ketawa geli
alangkah
lucunya drama yang dimainkan
tapi di
sudut hati ini ada silet yang mengiris
alangkah
sedihnya akhir cerita dipentaskan
Dan
penonton di luar gedung
Yang
menunggu kampung dan gunung
Yang
berladang dalam rimba
Yang
mencari ikan di hulu rawa
tak tahu
kalau nasibnya dibawa-bawa
dalam
adegan berlusin cerita
Kisah
gerimis di matanya yang tidak pernah mengalir
Kisah
nestapa
yang tidak
pernah diobati
bilamana
pementasan selesai
para
pemain bersorak, lalu bubar
membawa
oleh-oleh pulang ke rumah
anak
isteri menanti ramah
Besok main
sandiwara lagi
ya bapakku
yang kami hormati
Banjarmasin, 170784
Kehidupan
Bagai Rama
kehilangan Shinta
di ranjang
perkawinannya
tanggung
jawab merangkulnya
di atas
peperangan nasib
di antara
suka dan duka
menusik
nusik
sampai juga
nasib bagai Rama mencari Shinta
di negeri Dasamuka
demi cinta, was-was selalu mempesona
demi kehidupan, curiga selalu
melilitnya
kemudian,
bagaimana
Rama menyatakan Shinta perawan
kalau
cincin kawinnya sudah tergadaikan
ke
seberang lautan
bagaimana
nasib negrinya bagus diperankan
jika
pemainnya kehilangan hakikat peran
Akhirnya,
kehidupan
negri ini
adalah
pertemuan Rama dan Shinta
Di atas
api ujian besar
menyala
Tak mau padam, selamanya
Selamanya!
Banjarmasin, 4775
Ular
dengan Manusia
Jadilah
Dinikahkan
Adam dan Hawa
Di sorga
tak kenal
malam dan siang
Ularpun
menawarkan bisa-bisa penggoda
Khuldi
meledakkan birahinya
Janji keabadian
dilanggarnya
Ular dan
manusia diturunkan dari sorga
Perjanjian
purba disepakati
ular dan
manusia saling dendam
sepanjang
jaman
tiada
damai di antara keduanya
ular
mengintai menggigit
kepada
yang lalai
manusia
menjebak, memukul mati
hati hati
ada manusia seperti ular
lidahnya
bercabang duri
wahai
jika
bermula titismu dari sorga
sebelum
habis melanglang buana
hapus
dendam
tugal
kehidupan
jadilah
matamu penglihatan cinta
jadilah
telingamu pendengaran cinta
jadilah
lidahmu bicara cinta
jadilah
arah ke
depan
teken
perjanjian
disaksikan
tenggang rasa kehidupan
dengan cap
stempel bermatrai jujur dan adil
Banjarmasin, 2004
Puisi
Qasidah
Qasidah
meloncat
loncat
di atas tiang bumi
ke batas malam sunyi
Qasidah
diri,
terus
berlagu, tetapi
tak tahu apa iramanya
dalam diri melayang kian
meninggi
tak kenal sayap kanan
dan kiri
tak kenal rasa dan
nurani
entah ke mana kau
berlari
Qasidah
Nabi
menjerat kepak burung
malam
memadamkan api
mengunci rumah-rumah
setan!
melebar jalan sorgawi
Memberkati fitri
dalam diri
Qasidah
adalah bulan sempurna
dalam lautan kehidupan
menyatukan napas
berwangi
qasidah adalah
mantari di kegelapan
jembatan silaturrahmi
dalam hati
Qasidah
puisi suci
tidak terikat pada
bumi
yang sudah telanjang
pada musim
Tidak terpesona pada
bintang
Yang sudah
terpelanting pada rotasinya
Tidak terlena pada
atas nama tradisi
yang sudah parau
napas maknanya
Tidak terkejut pada
udara
yang sudah lama
gampar sejuknya.
Qasidah!
bukan yang
dikeramatkan
di
sini,
cintaku
kasih ilahi
Rabbi!
Banjarmasin, 1987
Suatu
Malam di Kota Batam
Malam
berkeringat di pasar Nagoya
Bulan
tergantung rendah menjilati jendela
Hotel,
menungguku terbuka
Di sudut
taman
di balik
pepohonan napasnya nakal
kedai-kedai
lampu kristal
satu-satu
siap berpisah
bertiga
minum kopi, melepas lelah
Sepasang
budak silih berganti masuk kamar
Lampu
merah berkedip samar-samar
Ah aku
kesal, lalu bubar
Mobil
taksi berlari mengejar maut
Sopir
mabuk penumpang gelisah takut
Sobat, ini
Batam malam berkabut
Banyak
tamunya berperan badut
Lucunya,
ada studi banding di sini, yang ikut
berebut!
Batam, September
2002
Memandang
Banjarmasin dari Atap Hotel
Memandang
Banjarmasin dari atap hotel
Gedung dan
rumah, ruko berlapis lapis berhimpit
perlu
dididik tentang etika lalu lalang hilir mudik
parkir-parkir
di jalan sempit di situ aku macet
Kaki lima
jadi kaki toko, ah pejalan kaki kakinya sakit
Sementara
berita pagi tadi dua remaja mati
kebut
kebutan malam tadi
Di
jantungnya udara asap makan asap
beraroma
sampah-sampah ratik
Got dan
saka tersumbat plastik
Abang
becak di muka gang menunggu nasib
diterpa
hujan banjir jalanan becek
Sungai dan
antasan diampang pampangan
merumbih
tebing kehidupan
Jukung-jukung
lapuk dimakan globalisasi
Air cuci
air mandi rasanya ragi
Memandang
Banjarmasin dari atap hotel
Jauh di
kampung, kebun-sawah jadi rumah kredit
Ikan-ikan
di rawa kehabisan bibit
Di
sepanjang sungai
Segumpal
mendung merendah
Hatinya
menahan gundah
Bapakku
yang terhormat,
Lebih baik
makan saluang di benua sendiri
Daripada
makan daging bikinan luar negri
Ikan
sampai dapat, serapang jangan belong
Di situ
lelaki ini hadir
Tak tahu
di mana prediksi ini berakhir.
Banjarmasin 2003
Suatu
Waktu
Suatu
waktu
kau hadir
bertamu
Transit di
pangkuan kefanaanmu
Kau
ngembara
nasib yang
dijaja
Memilah
beribu-ribu perkara
Menantang
beribu-ribu perdaya
di wajahmu
berkerut tua
Sebelum
kau berlabuh
Dunia ini
sudah berlaksa tanya
sekarangpun
kau bertanya-tanya
nasib yang
disilang digulati sebelum berbunga
Sementara
aku baru tahu bahwa hidup
adalah
menyelesaikan satu urusan
membangun
jembatan pengembaraan
menuju
suatu pertemuan
Suatu
waktu
Urusan
selesai disepakati
Kau akan
berangkat, tak bisa menolak, pasti
membawa
catatan sendiri
Sebelum
kau pergi
Tanya pada
diri
Benarkah!
Langkah
diolah
yang ditinggal tidak gelisah
Palu, Sulteng, 1994
Upacara Balian
Burung sakung burung
anggang dari sorgaloka
Memekik mengepak
sayap menari menolak bala
Menghentak kaki di
atas kenong irama ditata
Gemerincing gelang
meniti gema gendang
Ini upacara di sini
upacara moyang
Jangan diganggu
jangan dirajam
Fuaaahh!
Apa
Kenapa
Ahhh tidak apa-apa
Hai sangiyang ranjing
hatala – sangiyang ranjing hatara,
aku titis Rangga Bapantung Nyahu tutus Sahawung Bulan
Tempua
Bua Penyang
utus ke sini Burung Ringang bawa daun Batang Caring
barang selembar
Semoga upacara kami
tak keluar pagar
Fuuaahh! Tari
membanjar awas Ingupang
Mamang balian
rasuk ke sukma melata padang
Sesajen beraroma
kemenyan,
air tuak, air kelapa,
darah ayam dikipas setundun mayang
Ini upacara di sini
upacara
Dawen
sawang
jadilah penyang
Diri kami sudah lama
sakit-sakitan
Rimbaku digunduli
impian berkabut sejuta hektar
Bukitku disolongi,
emas – ramin – rotan lama tergadai
Jahit lukaku obati
sakit kami adalah sakit anak negri, setiap kali
dusunku banjir
menggelepar, setiap musim perutku
menahan lapar
Hai
Ranjing Hatala – Hatara Ranjing
Wartakan upacara kami
di Batang Caring
Sampaikan pada Camat
sampai Presiden
ilegal stouning
Ilegal loging
di hotel nyenyak taguring
Upacara tak pernah
selesai, seperti derita kami
Di balian ini kami
lahir, entah di mana kami mati
Kalteng, pedalaman Buntok, 2002
Di Laut Itu
Di laut itu
Dirajutnya jala
kehidupan, ke laut bebas
Jala ditebar mantra
disyiar
Biar ganting jala hidupku, pantang rajutan
putus terdampar
Jika angin kabut
mengamuk, perahu pulang haluan dibelok
Wajah berkerut kecut.
Anakku hari ini kita gagal dalam hidup
Hari-hari mereka membagi
suka duka
Robek jala harapan
kalah
Patah kemudi hatinya
gundah
Hilang kiblat salah
arah
Sebelum angin sampai
ke darat
Sebelum perahu menuju
alamat
Ikan nasibnya hilang
dirompak
kapal-kapal berat
Bapak berdasi bapak
terhormat, yang menikmati ikan-ikan,
enak
sudahkah melayat,
ada perahu nelayan
kehabisan minyak
tenggelam jadi mayat
Tabunio, 1992
Tentang Mudjahidin S
Mudjahidin S, lahir
di Banjarmasin 14 Juli 1946. Pensiunan pegawai Infokom Kota Banjarmasin tahun
2002. Menulis sejak tahun 1972. Puisi pertamanya dimuat di Majalah Caraka,
Jakarta di tahun tersebut. Dan mulai sejak itu karyanya dimuat al di SKH Banjarmasin Post, Upaya, Media Masyarakat,
Barito Post/Kalimantan Post, Pelopor Jogja, Masa Kini Jogja, Harian
Merdeka Jakarta. Antologi puisi yang pernah memuat karyanya adalah Panorama. Penyair ini merupakan salah
satu pendiri Himpunan sastrawan Indonesia (HIMSI) Kalsel dan Kota Banjarmasin
bersama H. Hijaz Yamani, Prof. H. Andi Amrullah, Adam Burhan, Ismail Effendi
dan Drs. H. Yustan Aziddin. Juga menulis naskah Mamanda dan Japin Carita. Pernah
bergabung dalam Teater Tradisonal Mamanda dan menyutradarai pementasan. Saat ini diakui oleh Lembaga Seni Qasidah
Indonesia (LASQI) sebagai pakar perkusi rebana (Qasidah Rebana, Qasidah
Maulidan, Sinoman Haderah). Tahun 2011 mendapat anugerah Astaprana dari
Kesultanan Banjar atas dedikasi dalam memajukan seni budaya Banjar Islami.
Catatan
Lain
Beberapa lama menjadi
“peminjam setia” buku-buku Hajri, buku ini tak pernah terlihat sebelumnya.
Rupanya ini koleksi baru Hajri. Nama penyairnya pun baru kali ini saya dengar,
tepatnya setelah Sainul Hermawan menulis ulasan tentang buku ini di Media
Kalimantan. Tapi jangan salah, penyair ini telah malang melintang sejak 1972. Komentar
Hajri tentang buku ini, jika disimpulkan dalam satu kalimat: “Buku ini perlu
seorang editor!” Hehe, ada-ada saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar