Data Buku
Kumpulan Puisi
Judul :
yang paling manis itu kata
Penulis : A.
Setiawan
Cetakan :
I, 2005
Penerbit :
Bukupop, Jakarta
Tebal : vii
+ 48 halaman (44 puisi)
ISBN : 979-99370-2-7
Perwajahan:
Radite Cahyo Baskoro
Rancangan
Sampul : Nanok K.
Beberapa
pilihan puisi A. Setiawan dalam yang paling manis itu kata
Nyanyian
Sepanjang Belukar
Aku
mendapatkan senyummu
Yang
tersangkut pada akar-akar rumput
Memberikan
kehidupan pada
Anyelir
yang dahaga
Lalu
kami menemukan tempatmu
Sembunyi
Yang
dikabarkan oleh selembar
Puisi
Yang
hampir tak bisa lagi
Kukenali
Karena
hapus terguyur siraman
Hujan
Tiupan
angin memberikan
Bentuk
kebahagiaan
Yang
dulu pernah terpendam
Meskipun
tak pernah padam
Nyalanya
Aku
bertemu keindahan
Pada
angkasa yang gemerlap
Perasaan
Kau
kasihku
Yang
tersesat ke dalam kelam
Ketika
dingin menyergap ruang
Dan
beku dari tubuhku
Maka
kerinduan pun menghimpit
Dari
lubang dapur atas angin
Dan
bara pendiangan
Bila
matiku tak sampai
Padamu
jua kusembunyi
Yang Paling
Manis itu Kata
Kun
faya kun,
Dengan
kata dunia tercipta
Engkau,
aku, hutan, laut, dan hewan
Tercipta
dengan kata
Kata
telah membentuk kehidupan
Kata
telah mendekatkan engkau dan aku
Yang
paling ajaib itu kata
Yang
paling lucu kata
Yang
paling bodoh itu kata
Yang
paling cinta itu kata
Yang
paling kejam itu kata
Yang
paling marah itu kata
Yang
pemaaf kata
Yang
paling manis itu kata
Engkau
bercinta dengan kata
Engkau
membenci dengan kata
Engkau
gembira dengan kata
Engkau
berdoa dengan kata
Engkau
mengeluh dengan kata
Engkau
kecewa dengan kata
Engkau
menangis sebab kata
Tak
ada yang paling buruk dari kata
Tak
ada yang lebih mesra dari kata
Tuhan
mencipta dunia dengan kata
Manusia
merusak dunia dengan kata
Peperangan
bermula dari beberapa kata
Perdamaian
dicapai lewat berjuta kata
Kun
faya kun,
Engkau
dan aku
Bertemu
melalui kata
Engkau
dan aku
Bermimpi
sebab kata
Engkau
dan aku
Berharap
dari kata
Engkau
dan aku
Menjadi
demam sebab kata
Matarahari
Terbenam
Tuhan
ada di sini,
Duduk
di tepi ruang tak terbatas
Dan
kita tahu perjalanan sampai di mana
Sedangkan
jarak makin tidak kelihatan
Tuhan
melihat kita murung
Yang
mendaki-menuruni lembah
Memperbincangkan
waktu
Tuhan
memberi luang pada kita
Tetapi
kita selalu merasa tak pasti
Sampai
kita tahu
Dosa
yang membuat segalanya hitam
Layang-layang
Manusia
adalah layang-layang kehidupan
Yang
dikendalikan semua benang
Panjang
melawan arus angin
Tubuhnya
meliuk ke kanak dan ke kiri
Dihempas
waktu dan badai dunia
Dibakar
matahari, disambar elang
Manusia
adalah layang-layang kehidupan
Manakala
benangnya putus dia terbang
Lepas
ke angkasa – tak terkendali
Sampai
akhirnya angin
Tak
lagi menjamah tubuhnya dan
Waktu
tak menghiraukannya
Kemudian
tubuhnya terhempas
Ke
tanah
Koyak,
rusak, dan binasa
Keranda
Kekasih,
Tidurmu
pulas menutup
Seluruh
abad lalu
Dan
bunga yang telah lama kering
Adalah
kesetiaanku
Nyanyian
Mentari
Sebelum
sampai pada hari
Layarkan
perahumu
Bumi
akan begitu gaduh
Rindumu
tak kan jemu
Kudekap
siang kesumatku
Laut
akan dalam menyimpannya
Sebelum
ada sampai tenggelam
Simpan
badai waktuku
Sunyi
langit menapasiku
Ilalang
terbayang di ladang-ladang
Di Terminal
Kampung Rambutan Suatu Senja
Selalu
saja kita hanya sibuk menghitung
Jadwal-jadwal
pemberangkatan yang menempel
Di
dinding waktu ruang tunggu
Padahal
senja telah turun
Menangkupkan
langit jauh
Mengantar
arah mata angin ke kota entah
Sering
kita alpa, manisku
Pada
isyarat lampu yang telah menyala
Pada
guratan nasib dan garis takdir
Yang
mestinya tak dapat diduga
Kita
seperti tak pernah memahami
Hakikat
sebuah perjalanan
Datang
dan pergi
Berangkat
dan berhenti!
Di Pundak
Bukit ini
Dari
jendela pintu hatiku hanya terlihat
Sekumpulan
burung putih di plaza kota
Mega-mega
di perut Gede Pangrango
Deretan
angsana di Bogor Boulevard
Serta
segerumbulan bunga plastik di mal
Tapi
melatiku, mana
Mana
lentera biru punyaku
Di Sebuah
Penyeberangan
Di
laut ini ingin kubentangkan layar
Lebar-lebar
Menyeberang
ke sebuah daratan
Sambil
menikmati ombak dan badaiMu
Yang
menantang perjalananku
Aku
akan tersenyum, kawan
Kerena
ombak dan badai adalah
Bagian
dari lautan
Seperti
suka duka dalam kehidupan
Kupandang
langit yang merunduk di ufuk
Melepaskan
rindu dalam penyatuan
Sedang
tanganku
Masih
menggapai-gapai di lepas pantai
Lalu
kapan kita berjabat? Tanyaku
Aku
terus berjalan tanpa menunggu jawaban
Karena
di dasar laut pun tangan-tanganMu
Telah
siap menangkapku
(suatu
saat kita mesti bertemu)
Tentang A. Setiawan
A.
Setiawan lahir di Jakarta, menulis sejak SMP.
Selain menulis puisi, juga menulis cerpen dan artikel. Karyanya dimuat al di
majalah Hai, majalah Tren, Estafet, Kawanku, Ananda, Mitra, Muslimah, Siswa Way, dan Hikmah. Tercatat sebagai wartawan dan
redaktur surat kabar Idea dan penulis
tetap untuk majalah budaya Betawi Tesoewir.
Catatan
Lain
Buku kecil tipis ini
saya beli di TB Karisma Banjarbaru, saya kelupaan menulis tanggal beli dan
berapa harganya. Komentar saya tentang puisi-puisi A. Setiawan: “Puisi-puisi
yang sederhana”. Tapi adakah yang lebih rumit dari kesederhanaan? Entahlah.
kesederhanaan yang membuat puisi penyair A setiawan makin bersinar untuk di nikmati,,aku suka.:)
BalasHapusPuisi yang sederhana, tanpa idiom yang rumit-rumit, seperti bernafas dengan udara pegunungan.>>
Hapus