Selasa, 04 Juni 2013

YANG PALING MANIS ITU KATA





Data Buku Kumpulan Puisi

Judul : yang paling manis itu kata
Penulis : A. Setiawan
Cetakan : I, 2005
Penerbit : Bukupop, Jakarta
Tebal : vii + 48 halaman (44 puisi)
ISBN : 979-99370-2-7
Perwajahan: Radite Cahyo Baskoro
Rancangan Sampul : Nanok K.

Beberapa pilihan puisi A. Setiawan dalam yang paling manis itu kata

Nyanyian Sepanjang Belukar

Aku mendapatkan senyummu
Yang tersangkut pada akar-akar rumput
Memberikan kehidupan pada
Anyelir yang dahaga

Lalu kami menemukan tempatmu
Sembunyi
Yang dikabarkan oleh selembar
Puisi
Yang hampir tak bisa lagi
Kukenali
Karena hapus terguyur siraman
Hujan

Tiupan angin memberikan
Bentuk kebahagiaan
Yang dulu pernah terpendam
Meskipun tak pernah padam
Nyalanya

Aku bertemu keindahan
Pada angkasa yang gemerlap



Perasaan

Kau kasihku
Yang tersesat ke dalam kelam
Ketika dingin menyergap ruang
Dan beku dari tubuhku

Maka kerinduan pun menghimpit
Dari lubang dapur atas angin
Dan bara pendiangan

Bila matiku tak sampai
Padamu jua kusembunyi


Yang Paling Manis itu Kata

Kun faya kun,
Dengan kata dunia tercipta
Engkau, aku, hutan, laut, dan hewan
Tercipta dengan kata

Kata telah membentuk kehidupan
Kata telah mendekatkan engkau dan aku

Yang paling ajaib itu kata
Yang paling lucu kata
Yang paling bodoh itu kata
Yang paling cinta itu kata
Yang paling kejam itu kata
Yang paling marah itu kata
Yang pemaaf kata
Yang paling manis itu kata
Engkau bercinta dengan kata
Engkau membenci dengan kata
Engkau gembira dengan kata
Engkau berdoa dengan kata
Engkau mengeluh dengan kata
Engkau kecewa dengan kata
Engkau menangis sebab kata

Tak ada yang paling buruk dari kata
Tak ada yang lebih mesra dari kata
Tuhan mencipta dunia dengan kata
Manusia merusak dunia dengan kata
Peperangan bermula dari beberapa kata
Perdamaian dicapai lewat berjuta kata

Kun faya kun,
Engkau dan aku
Bertemu melalui kata
Engkau dan aku
Bermimpi sebab kata
Engkau dan aku
Berharap dari kata
Engkau dan aku
Menjadi demam sebab kata


Matarahari Terbenam

Tuhan ada di sini,
Duduk di tepi ruang tak terbatas
Dan kita tahu perjalanan sampai di mana
Sedangkan jarak makin tidak kelihatan

Tuhan melihat kita murung
Yang mendaki-menuruni lembah
Memperbincangkan waktu

Tuhan memberi luang pada kita
Tetapi kita selalu merasa tak pasti
Sampai kita tahu
Dosa yang membuat segalanya hitam


Layang-layang

Manusia adalah layang-layang kehidupan
Yang dikendalikan semua benang
Panjang melawan arus angin
Tubuhnya meliuk ke kanak dan ke kiri
Dihempas waktu dan badai dunia
Dibakar matahari, disambar elang
Manusia adalah layang-layang kehidupan
Manakala benangnya putus dia terbang
Lepas ke angkasa – tak terkendali
Sampai akhirnya angin
Tak lagi menjamah tubuhnya dan
Waktu tak menghiraukannya
Kemudian tubuhnya terhempas
Ke tanah
Koyak, rusak, dan binasa


Keranda

Kekasih,
Tidurmu pulas menutup
Seluruh abad lalu
Dan bunga yang telah lama kering
Adalah kesetiaanku


Nyanyian Mentari

Sebelum sampai pada hari
Layarkan perahumu
Bumi akan begitu gaduh
Rindumu tak kan jemu

Kudekap siang kesumatku
Laut akan dalam menyimpannya

Sebelum ada sampai tenggelam
Simpan badai waktuku

Sunyi langit menapasiku

Ilalang terbayang di ladang-ladang


Di Terminal Kampung Rambutan Suatu Senja

Selalu saja kita hanya sibuk menghitung
Jadwal-jadwal pemberangkatan yang menempel
Di dinding waktu ruang tunggu
Padahal senja telah turun
Menangkupkan langit jauh
Mengantar arah mata angin ke kota entah

Sering kita alpa, manisku
Pada isyarat lampu yang telah menyala
Pada guratan nasib dan garis takdir
Yang mestinya tak dapat diduga

Kita seperti tak pernah memahami
Hakikat sebuah perjalanan
Datang dan pergi
Berangkat dan berhenti!


Di Pundak Bukit ini

Dari jendela pintu hatiku hanya terlihat
Sekumpulan burung putih di plaza kota
Mega-mega di perut Gede Pangrango
Deretan angsana di Bogor Boulevard
Serta segerumbulan bunga plastik di mal
Tapi melatiku, mana
Mana lentera biru punyaku


Di Sebuah Penyeberangan

Di laut ini ingin kubentangkan layar
Lebar-lebar
Menyeberang ke sebuah daratan
Sambil menikmati ombak dan badaiMu
Yang menantang perjalananku
Aku akan tersenyum, kawan
Kerena ombak dan badai adalah
Bagian dari lautan
Seperti suka duka dalam kehidupan

Kupandang langit yang merunduk di ufuk
Melepaskan rindu dalam penyatuan
Sedang tanganku
Masih menggapai-gapai di lepas pantai
Lalu kapan kita berjabat? Tanyaku
Aku terus berjalan tanpa menunggu jawaban
Karena di dasar laut pun tangan-tanganMu
Telah siap menangkapku
(suatu saat kita mesti bertemu)


Tentang A. Setiawan
A.    Setiawan lahir di Jakarta, menulis sejak SMP. Selain menulis puisi, juga menulis cerpen dan artikel. Karyanya dimuat al di majalah Hai, majalah Tren, Estafet, Kawanku, Ananda, Mitra, Muslimah, Siswa Way, dan Hikmah. Tercatat sebagai wartawan dan redaktur surat kabar Idea dan penulis tetap untuk majalah budaya Betawi Tesoewir 


Catatan Lain
Buku kecil tipis ini saya beli di TB Karisma Banjarbaru, saya kelupaan menulis tanggal beli dan berapa harganya. Komentar saya tentang puisi-puisi A. Setiawan: “Puisi-puisi yang sederhana”. Tapi adakah yang lebih rumit dari kesederhanaan? Entahlah. 

2 komentar:

  1. kesederhanaan yang membuat puisi penyair A setiawan makin bersinar untuk di nikmati,,aku suka.:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Puisi yang sederhana, tanpa idiom yang rumit-rumit, seperti bernafas dengan udara pegunungan.>>

      Hapus