Data
buku kumpulan puisi
Judul
: Kitab Suci Digantung di Pinggir Jalan New York
Penulis : Made
Wianta
Cetakan
: I, Februari 2003
Penerbit
: Bentang Budaya, Jogjakarta
Tebal
: xxviii + 311 halaman (262
judul puisi)
Editor : Ema Sukarelawanto
Perancang Sampul : Si Ong
ISBN : 979-3062-65-7
Beberapa
pilihan puisi Made Wianta dalam Kitab Suci Digantung di Pinggir Jalan New York
Adrian Vickers Ceramah di
Harian Nusa, Jl. Hayam Wuruk, Denpasar, 13 Juli 1996
terkulir saja
apa itu durhaka,
kebebasan, sumpek
terkoyak, mencerca
paduan suara
monyet
petualang
meninggalkan wajah
bertuliskan
empot-empotan
berkumandang di
rawa gambut
kembali ke akar,
ranting pun ingin dimadu
melantunkan
kepanikan nyalakan pembauran
kutang berserakan,
buah bibir bertelur
buah harapan buang
hajat, buah hati bertanya
buah-buahan
terinjak bau badan
menghapus tabung
buah dengan buah simalakama
urat nadi
gentayangan memikirkan
kitab suci
digantung di pinggir jalan New York
Umbu Landu Paranggi Ada di
Tanjungbungkak, 29 Maret 1996
terbawa aba-aba,
di lubuk hati teman merampas hak paten. cuaca membenahi rohnya. terhempas dan
terhenyak, nafsu menjulur dan menjalar, berkibar kesucian. akankah terbentuk
sarapan pagi? akankah cangkul membius pendatang musiman? katakan kehilangan
pemukiman, sambil membolak-balikkan berkas perkara di bawah topi kepala.
Di WC General Guisan Str. 42,
Basel, 5 Agustus 1997.
melayang lagi dan
tak terjawab. bergandengan, bermesraan menanti putaran zaman, kendati
meniadakan malaikat. di sela-sela mentari basel yang menawan, jurang-jurang
mengeluarkan harkatnya, setelah
himpitan-himpitan merenungkan kekekalan, tak dapat dielak. rayuan-rayuan dekat
hal-hal meniadakan gambaran sesaat, tapi jauh melampaui cakrawala. hanyut ke
buah bibir kecut diadu domba. belakangan dihadapi setiap saat. bersyukur hati
ikut menentukan yang dipandang perlu. suratan nasib mendatangi kesengsaraan, kesucian
merayu perumpa-maan. jangkauan di luar jangkau memberi gambaran ketidaksabaran
pada nasib membius keadaan. syukur mataangin menyuarakan hati kecil, selalu
bertanya dan bertanya. inikah arti duka mengabdi pada kebersamaan semesta?
Hamburg, 23 April 2002, di
Depan Libertatem Peperere Maiores-Digue-Studeat, Servare Posteritas.
merangkai
kesalahan tanpa menyinggung kesalahan orang lain. sekian pengalaman dilalui.
bermandi uap naik ke podium. injakkan kaki terbersit di ingatan,
kerangka-kerangka manusia menorehkan cap jempol. meniadakan puing-puing basah,
menelusuri huru-hara, menambah personel. mengikis habis jari telunjuk abadikan
potret diri. memang, sedikit tertekan, karena pemasungan sering terjadi.
Santa Barbara, 8 Juli 2000
kenangan
berdiameter
membuat salam
sejahtera
mengumpat baiat
memberi kilau
cahaya
puisi di atas
toilet jadi saksi sikat gigi
mengedepankan
kebiasaan
berulangkali tagih
persembahan
merahasiakan
kelambatan mencari jejak
para pemburu
binatang dan manusia
terungkap oleh
kita
betapa rasa pahit
itu
melampaui ikatan
persaudaraan
tak dapat dielak
napas telah cukup
memberi
benturan nasib
sehingga daya
ingat
lebih manusiawi
semakin kental di
sanubari
Ke Jakarta Menghadiri
Pernikahan Putri Pak Moch. Soebakir, 13 September 1996
siput gerayangi
makanan halal
terisak pertanyaan
paparkan
pengabdian
di hadapan jago
tembak
pendidikan sepihak
melintang jalur
dokar
pengadilan menikam
senapan berbusana
tarik menarik
membuat peringatan
Sanji Batuk, Periksa ke dr.
Hendra Santoso, 29 Januari 1997, Pukul 06.30
serat benang
beranugerah, lakukan hajatan, rona mata kejam, merintih kesakitan, bak kumbang
lupakan sari, bak air mata kisahkan Ramayana dan Mahabharata. satu kewaspadaan,
jadikan diri ingat. lunasi ambisi, mendongkrak pelampung kapal, napas daun
pepaya, dipasung prasangka, sigap jati diri, kesampingkan kejanggalan, ucapan
simpati, belas kasihan ahli nujum, sesumbar sangkaan, ujung pangkal tergoda,
setiap dendangkan lagu. korup, linu, pegel, suram, encer, terbelakang,
berseloroh, menanti pemahaman, kejadian, uluhati, risau. pundi-pundi, kosakata,
membidani. perjuangkan narasumber, dialog batang hidung, menuntaskan senyum,
membiakkan kenyataan. terang benderang, musikalisasi, keteledoran, luruskan
pengawasan melekat. mimpi, karma, nyawa, gumpalan, rok bawah, melamun,
berturut-turut, biangkerok, ditunggangi, mawasdiri, terlaksana. tumpahkan
asusila, daun lontar dijebloskan ke penjara. pyarrrrrrrrrrrrrrr. sakit hati.
Singapura, 20 April 1998,
Meminta Uang Lukisan kepada Viola dan Saling Marah karena Salah Pengertian
bersurat kepada
keraguan. terhenyak menanti kenangan. mencuri dua pasang mata bola, mengantuk
asal muasal. tak sesegera itu lupa keadaan. mengulang kealpaan, kebugaran
terpecah-belah. terantuk kewaspadaan melekat di mana-mana. ambil pisau pengukur
tekanan darah, bersembunyi di bawah lutut mengandung anak dara. mari mencari
kebisuan, sengketa, terpencil, sampai tulang punggung mengantar jalan setapak.
ucapan semesta berkilah memberi arti. puncak perkiraan tersimpan rapi pada
tekanan-tekanan. maafkan, lumpuh kegiatan mencari di luar realita, kesimpulan
diamati sungguh-sungguh. nurani itu bersemi. entah.
3 Maret 2002
mencari akal
di mata pena
menuju langkah
menimba sedekah
bergerak
giliran tiba
terbatas
pada komputer
terbangkan mayat
Menelepon Budi S. Otong ke
Bern, Basel, 5 Mei 2002
hujan berkirim
surat
kepada angin
tertunduk
dicubit melebihi
rasa kantuk
sesekali
menunjukkan paruh
masih menunggu
siang berdandan
Amsterdam, 6 Mei 2002
kunanti warna emas
memegang kendala
selagi bersinar
walau duka memberi
ruang tak sadar
kita berpulang
juga
10 September 2001
aku tidak makan
malam
tapi aku makan
hari
19 September 2001, Pukul 04.00
bunyi
daun-daun membagi
angka
arwah
melipat meja
tersembunyi
kedok
mencari payung
bersorak
entah
baju pesta menusuk
humus
tertekan
menyimpan angin
bersorak
menghadap
kenduri tak
beralas langit
sidak
kelopak mata kail
menggigil
begitulah
nasib malang
Setelah Menelepon Budharmaja
(Ulam) dan Cok Mengwi, 21 Januari 2002, Pukul 22.30
Pura Natar Sari
berkubang lumpur
kicauan burung
terhenti
hanya menjadi
ingatan
tak menentu
seperangkat
gamelan
mengidap penyakit
durhaka
adu nasib
adu kesempurnaan
di bawah
perlindungan
kembali suntuk
berkaca sebatas
kesunyataan
memberi kesan
menit ke menit
kapan tersalurkan?
cobalah genggam
baik-baik
di jurus
kesembilanbelas
telah menengadah
ruas-ruas tanah
Natar dan Sari
22 Mei 1998, Presiden Soeharto
Menyerahkan Jabatan kepada BJ Habibie pada 21 Mei 1998
jalan bergulir di
kening, mengucap kata-kata penyerahan diri dan membubuhkan tanda tangan
kepagian? jiwa hampa gerogoti puing kemerdekaan, jadi bendera kemenangan.
cercaan-cercaan massa bagai suara koor menggulirkan yang tengah berubah.
kendati kedaulatan berada di tangan rakyat, toh tata cara penyerahan diri bagai
patah tulang iga, membuktikan diri pada kebohongan secara signifikan.
persahabatan dan kedekatan memanipulasi keadaan. mengedepankan sumpah serapah
endapan lumpur, kembali reformasi. ajaklah kaum pengemis melawan penjaja kekuasaan,
bayang ketakpastian naik keong, mengubah haluan betapa sia-sia. mengurangi
kepercayaan tabiat. terkadang jiwa bertanya, mengigau panjang, berargumentasi,
kapan merdeka?
Tentang Made
Wianta
Made Wianta lahir di Apuan, Tabanan, 20 Desember 1949.
Dasar susastra dia dia peroleh dari lingkungan keluarga yang mengajarkan
membaca lontar, macapat, kidung dan ilmu pedalangan. Ayahnya, Gde Labdana
adalah pemangku di Pura Natar Agung Pucak Padang Dawa, Tabanan. Pendidikan:
Konservatori Karawitan Bali (1967), Sekolah Seni Rupa Indonesia (Denpasar,
1967-1969), ASRI Jogjakarta (kini ISI) 1970-1974. Selepas kuliah menetap di
Brussel, Belgia (1974-1978) mengajar menari dan bekerja di restoran Le Barong.
Kumpulan puisinya antara lain: Korek Api
Membakar Almari Es (Jogja, 1996) dan 2½
menit (Jogja, 1999). Menerima anugerah Seni Dharma Kusuma dari Pemda Bali.
Catatan Lain:
Ada
lima tulisan dalam buku Kitab Suci
Digantung di Pinggir Jalan New York, yaitu Eka Sukarelawanto, yang memberi
catatan sebagai editor. Kemudian ada Afrizal Malna, Saut Situmorang,
Sindhunata, dan GB Subanar. Dari hitungan saya (yang cuma sekali ngitung), ada
262 puisi di buku ini, dibagi-bagi berdasarkan tahun. Antara lain 1996 (103
puisi), 1997 (62 puisi), 1998 (21 puisi), 1999-2000 (14 puisi), 2001 (20
puisi), dan 2002 (42 puisi).
Saya baca sekilas tulisan Saut dan
Sindhunata, seperti pernah saya baca. Saya bongkar arsip saya dan saya temukan.
Ya, saya ada menyimpan Makalah Diskusi yang bertajuk rupa puisi rupa, sebuah kegiatan diskusi di Bentara Budaya
Yogyakarta, 28 September 2002, pukul 20.00 WIB, dengan pembicara Afrizal Malna,
Saut Situmorang, Hendro Wiyanto, Sindhunata dan moderator Agus Noor.
makalah diskusi made wianta |
Afrizal membuka tulisannya dengan
kalimat ini: Kesibukan teks dalam
puisi-puisi Wianta sangat sibuk sekali. // Kesibukan teks dalam puisi-puisi
Wianta membuat saya ikut sibuk, ikut membuat pontang-panting. Membuat kacau
prosedur-prosedur bahasa yang saya kenal. Di manakah bait pembuka, di manakah
bait penutup, dan apakah yang telah diisi ke dalam tubuh teks itu? Setiap saya
masuk dengan pilihan acak dari halaman mana pun, saya seperti berhadapan dengan
pemantangan baru.// Teks dilepaskan dari referen dan konteksnya. Kalimat
seakan-akan masih tetap dibuat, namun deskripsi pada setiap kata dalam kalimat
itu tidak pasti lagi sifatnya, tidak lagi ditopang oleh struktur sebagaimana
mestinya. Sungguh, semua tanda telah mati dalam puisi Wianta.
Adapun
Saut menulis seperti ini di salah satu bagian puisinya: Membaca Puisi Rupa Made Wianta mengingatkan saya pada sebuah genre
puisi yang disebut sebagai Concrete Poetry atau Puisi Konkrit.
Saut lalu banyak memaparkan sejarah
puisi-puisi jenis ini di dunia Barat. Namun kemudian ia mengambil garis
pemisah. Ia menulis: Representasi teks
puisi dalam bentuk visual dari objek puisi adalah pakem persajakan pada puisi
konkrit pada umumnya. // hal ini berbeda dengan jenis puisi yang saya sebut
sebagai “puisi rupa”. Teks puisi dan ilustrasi yang memang sudah terdapat pada
medium tempat teks puisi dituliskan, bisa sobekan halaman majalah, kartu pos,
tiket atau uang kertas, dikawinkan dalam pesta kolase yang tidak mengutamakan
peranan teks puisi atau ilustrasi tapi keduanya sekaligus. Teks puisi tidak
menerangkan ilustrasi dan sebaliknya ilustrasi juga tidak menjelakan teks
puisi. Keduanya hadir berdiri sendiri tapi sekaligus tidak bisa dipisahnya.
Keduanya menjadi satu tanda (sign) yang utuh.”
Terhadap proses kreatifnya, Saut
merujuk pada pada seniman avant-garde Surrealis dari Perancis. Pencetus dan
teoritikus utama adalah Andre Breton, yang memperkenalkan teori menulis puisi
yang dia sebut sebagai ‘menulis otomatis’, sebuah proses menulis yang dilakukan
secara spontan tanpa terlebih dulu memikirkan puitis tidaknya, bagus tidaknya,
atau logis tidaknya tulisan itu bagi pembaca. Segala control pikiran
ditiadakan, satu-satunya alat dalam menulis adalah alam ketidaksadaran manusia.
Konon, Breton bisa sampai ke teori ini karena pengaruh dua penyair yang oleh
kaum Surealis dianggap sebagai nenek moyang mereka, yaitu Arthur Rimbaud, yang
menganjurkan semua penyair untuk melakukan pengacaubalauan sistematis atas
kelima indera untuk mencapai keindahan. Dan Isidore Ducasse, yang dalam satu
kumpulan puisinya ada menulis kalimat ini: keindahan
adalah ibarat pertemuan tak disengaja antara sebuah payung dan sebuah mesin
jahit di atas sebuah meja setrika! Kira-kira demikian intisari tulisan Saut
Situmorang.
Pengalaman spontanitas inilah yang
kemudian dicatat dalam tulisan Sindhunata. Sindhunata menulis Satu Muka Satu Kalimat (Kata-kata di Dahi
Arahmaiani).
Adapun GB Subanar, mencatat bahwa di momen penting pengalaman manusia, seperti: kelahiran, inisiasi, peralihan dan kematian, ungkapan-ungkapan puisi Wianta menjadi lebih tertata logis, tidak lagi menyerakkan semuanya bersama-sama begitu saja. “Naluri untuk mengeksekusi waktu secara semena-mena menjadi luruh dalam ikatan emosional yang intens dan mendalam di dalam peristiwa-peristiwa tersebut,”demikian tulis Subanar.
momen ketika Made Wianta menulis puisi di dahi Arahmaiani. sumber: makalah diskusi Rupa Puisi Rupa |
Adapun GB Subanar, mencatat bahwa di momen penting pengalaman manusia, seperti: kelahiran, inisiasi, peralihan dan kematian, ungkapan-ungkapan puisi Wianta menjadi lebih tertata logis, tidak lagi menyerakkan semuanya bersama-sama begitu saja. “Naluri untuk mengeksekusi waktu secara semena-mena menjadi luruh dalam ikatan emosional yang intens dan mendalam di dalam peristiwa-peristiwa tersebut,”demikian tulis Subanar.
Adapun editor (Ema Sukarelwanto)
mengungkapkan kesaksian dan perasaannya selama mengeditori buku ini. Salah satu
bagian yang saya suka dari tulisan dia adalah: “Wianta mengatakan rutinitas menulis puisi-puisi seperti itu
dilakukannnya bukanlah untuk membunuh waktu, tetapi justru untuk menyalakan waktu.” Nah, lho.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar