Data Kumpulan Puisi
Judul : Sansana
Anak Naga dan Tahun-Tahun Pembunuhan
Penulis : JJ Kusni
(Magusig O Bungai)
Pertama kali diterbitkan: Stichting ISDM, Culembor,
Nederland, 1990
Diterbitkan (kembali) dalam bahasa Indonesia: Penerbit
Ombak, Juli 2005, Yogyakarta.
Tebal : xxxvi + 88 halaman (33 puisi)
ISBN : 979-3472-41-9
Ilustrasi sampul dan isi : Surya Wirawan
Pengantar editor : A. Kohar Ibrahim
Prolog : Prof. Dr. W. F. Wertheim
Beberapa pilihan puisi JJ Kusni dalam Sansana Anak
Naga dan Tahun-Tahun Pembunuhan
Tentu Saja
tentu saja ada yang tak mengenal kemiskinan
sedang pahitnya kutelan sepanjang usia
maka namaku salah satu dari nama duka
tentu saja ada yang tak mengenal penindasan
beratnya orang dikejar diburu terhalau dari kampung
kelahiran
sedangkan aku adalah buruan itu sendiri maka jadi kembara
nah, bukankah sejarah penuh tikungan
tajam dan mendadak di luar hitungan aljabar
hidup kadang seperti meja perjudian
tak ubah medan laga
kaya intrik kejam tanpa kasihan
kelanggengan sangat jauh dari padanya
tentu saja ada yang tak buta aksara tapi tak sanggup
membaca
lalu mengambil jalan gampang malas bertanya
tak heran sebagai budak membunuh pun jadi
tak enggan. bangga!
penyair
kukira di sini kau dinanti
menarung kejahilan memanusiakan bumi
1990
Revolusi Hijau
hijau padi hijau sawah dan ladang
mengira tercapai ramalan wayang
tiga empat kali panen setahun
derita si miskin makin menimbun
sesuap nasi melemparkan tanah
dibawa mimpi petani ke kota
menggelandang tak berumah
di tangan petrus mereka binasa
1990
Kata yang Z. Afif tak Ucapkan
pada dingin angin musim makin menggigilkan
ketika matahari makin jauh ke selatan
dibawa burung melepas diri dari tekanan kutub
pada pepohonan kian merontok dan dedaunan
bertaburan di aspal jalan dan taman
mata jeli kan tahu
dukaku tercatat di situ
duka dari orang kehilangan
kendati benar memang mendapat dan hilang
dua sisi satu matauang
bernama hidup
sejak remaja
kami -- afif dan aku bersama
menjelajah kilometer demi kilometer kembara tak
terbilang
dan bulan ini ia meninggal
di rantau semenanjung asing klayaban
aku juga masih klayaban mencari rumah tempat kembali
-- kami asing di mana-mana
asing di kampung
asing di negeri orang
barangkali kau katakan aku terlalu dungu
mengapa tidak bisa menggantikan Indonesia dengan
Prancis
mengapa Swedia tidak bisa menggantikan Indonesia
tidak bisa menggantikan aceh atau dayak
aku memang mengarungi harapan dari masa silam
di mana diri tertempa karena itu tanahair menjadi
bermakna
tanahair adalah tanah di mana kaki berpijak
udara langit yang dihirup paru
indonesia ada di belakang
indonesia juga ada di depan
laut di mana perahuku mengarung
sebagai indonesia dunia kugauli dan kukenal
indonesia dan diriku memang satu titik kecil peta bumi
tapi itulah diriku
maka dukalah jadi anak terhalau
mati di rantau
duka yang tak kau ucapkan
tapi kupahami, Fif!
dingin angin
dingin sungai
dingin jembatan sembilan
duka dingin menggigilkan
aku dingin di ruang kenangan
harapan dahan sempal
pohon tumbang
Hutan pun Bukan Lagi di Mana Rahasia Bisa Berlindung
hutan pun bukan lagi di mana rahasia bisa berlindung
waktu akan bertutur membongkar segala cerita
orang-orang pun semua telanjang di kaca dunia
limapuluh tahun berlalu limapuluh tahun hutan katyn
menutup rahasia
15000 prajurit polan dimasakre di tengah rimba
50 tahun kemudian waktu memaksa kekuasaan terkuat
membuka suara menutur kebenaran
presiden dan para jenderal! ucapkanlah apa yang
kalian mau ucapkan hari ini
sumpah-serapah, pengagungan diri segala gelar dan
kepahlawanan
kekuasaan memberimu jalan terbuka menghitamputihkan
segala
tembaklah siapa yang mau kau lenyapkan kerena aral
melintang jalan
memang benar hutan, sungai, pasir pantai dan laut amis
bau busuk -- barangkali masih belum padan bagi
ketakutan membayang
maka dunia kau coba bungkamkan dengan hukum
kedaulatan
hutan, sungai, pasir laut memang terlalu pendiam
untuk berdemagogi
tapi lubuk terdalam sekali pun bukan lagi di mana rahasia
bisa dipendam
patner sejati kebenaran, waktu kan merentanghamparkan
segala
juga kau, juga kau dan masakremu yang mulia, juga
diriku
1990
Gua Gas di Tengah Hutan
ada sebuah gua di tengah hutan, sebuah gua gas
kemudian penduduk desa menyebutnya "gua gas
berhantu"
karena di antara kemersik daun digoyangkan angin bulan
sabit
menggema suara jeritan dan pekikan menggelombangkan
subuh
memekikkan hidup indonesia
menyanyikan larik-larik internasionalisme
menyerukan nama-nama perempuan
barangkali ibu atau kekasih yang tak sempat dipamiti
malam itu bulan sabit 1966, angin lembut semilir, di
langit bintang berkedip
empat truk orang dipasung dikawal tentara bersenjata
empat truk orang-orang itu didorong ke dalam gua
jerit pekikan mereka membangunkan desa-desa
mengendap di lubuk jiwa tak tersetip waktu
menatap bintang memandang bulan mendengar angin
berdesir
sejak itu orang-orang kampung mendengar selalu jeritan
dan pekikan membahana
juga gemuruh truk-truk lalu dalam kelam dikawal orang-
orang berseragam hijau
tak hilang dari kenangan tak pupus dari sejarah
senantiasa menggugat pembunuh
1990
Pinisi
dari tebing-tebing sungai pernah kutelusuri
pada bekas-bekas jejakku tak terhapuskan
pasang dan surut silih berganti
terbaca jelas tanda-tanda duka enggang terbuang
kalau sungai merah, yang tsekiang, danube, rhin atau
pun seine
tetap tak kuasa menambat perantau
artinya tanahair cuma kau
tak pernah tertukar karena hijau merahnya warna
paspor
tiba di muara sungai bertemu laut
ombak dan topan senantiasa mencoba
inilah hidup! dan pada pinisi bertebaran di atasnya
kulihat diriku
yang entah kapan lagi bisa merapat
masuk pelabuhan menjenguk kampunghalaman
sehingga kenangan menjadi buku catatan
kian menebal kian menebal
semenjak tahun-tahun pembunuhan
banyak orang disingkir
alam mencatatnya
negeri-negeri menampung mereka
hari ini maut berseragam itu masih saja mondar-mandir
berceloteh dan bermain dengan bedil
undang-undang negeri membalut mata peluru
presiden menjadi dewa republik jadi kerajaan
karena itulah aku sesungguhnya hanya pinisi
sejak itu dan sejak itu pinisi tanpa dermaga
sakitnya dan sakitnya, o, perempuan merah putih di
tangan
aku terlanjur terlalu mencintaimu
1990
Matinya Arjo Pilang di Tengah Mimpi
berselimut kelam desa orang-orang berseragam
hijau dan hitam
bagai banteng mengamuk menyeruduk pintu gubuk arjo
pilang
di sisinya perempuan tersayang, keduanya bergandengan
menelusur mimpi dan hidup petani
di sawah, di desa
di kebun tebu dan tembako
bergandengan arjo pilang dan istrinya
wangi bunga tembako bulir-bulir padi
wangi kembang tanjung, kembang kemuning
wangi kembang di hati arjo pilang dan perempuan kekasih
sampai ke hatiku
orang-orang berseragam hijau dan hitam malam
purnama itu
menghunus pedang mengkilat tajamtajam seputih perut
ikan katingan menyerbu bagai hewan
pedang itu kemudian mengerat leher arjo pilang dan
buah hati
tanpa suara atau kata penghabisan kecuali gelepar
terpisah sudah kepala dan badan arjo pilang dan
perempuan hamil janin mereka
desa makin sunyi purnama dan angin gemetar
menyingkir ke subuh
arjo pilang dan mbok warti keduanya anggota bti*
pernah aku mereka suguh sepiring tela di masa aksi**
kukenal mimpi kutahu hidup mereka - mimpi dan
hidupku yang sederhana
1990
* bti, barisan tani
indonesia, organisasi petani terbesar pada masa Soekarno
** aksi, gerakan
aksi sepihak untuk melaksanakan UUPA dan UUPBH -- undang-undang tentang
perubahan agraria yang dilahirkan pada masa pemerintahan Soekarno
Ketika Lidah tak Lagi Boleh Buat Berkata
tadinya rambut yang memutih kini mata mulai rabun
sedang ketika berangkat dulu bagai hutan dia riap rimbun
bagai mata elang ia sigap menangkap yang merayap
dilindung daun
dan aku masih saja di perjalanan tak ke kampung sudah
menahun
menjadi orang terbuang dari tanah sungai pengasuh
tak ubah kerakap tumbuh di gunung batu
musim datang silih berganti menggaungkan di kalbu
panggilan matahari dan alam bertalu-talu
apakah aku berubah dari kasihku
apakah aku bukan lagi yang dahulu
indonesia kembang wangi kembang kemuningku
di hatiku mekar tak berwaktu
lihatlah, o, kampung halaman, kalian tentu sejak lama
amat
paham
cinta mematang di alur waktu berarus riam
cinta jugalah yang mendesakku tak bisa diam
langkah tak henti berjalan tangan tak henti mengayun
menjawab tantang
terbuang aku, terbuang aku dari kalian, wahai sungai
dan hutan kelahiran
terbuang anak enggangmu, anak naga hilang lubuknya
di sini kita tak boleh lagi membuka mata
lidah tak lagi boleh buat berkata
rantau tak mengubah kasihku
aku masih saja aku
masih saja anakmu dahulu
amis darah angkasa pembunuhan
wangi kemuning wangi cintaku
1990
Kepada Penyair Agam Wispi
1
terasa padaku ada kesunyian besar mengisi ruang
ketika tidak lagi mendengar langkah dan suaramu
dahulu biasa tingkah-meningkah sahut-menyahut
dengan badai laut kampung pasir menghampar
karena jiwamu sepeka permukaan sungai
gampang beriak disentuh peristiwa demi peristiwa
apalagi kesewenang-wenangan
pasang merendam negeri
2
aku ingat benar dahulu
betapa puisi kau jadikan jari-jari terkepal
membentuk kepalan pertarungan
menyerukan orang-orang tidak menyerah
bertahan dan memenangkan tiap inci kehidupan
seperti tanahair dan hidup pun selalu menyeru
menuntut kehadiran penyair di jengkal-jengkal pergulatan
mandi darah
3
semestinya karena penyair
dan kukira itu juga yang kau mau
penyair itu manusia yang tak bisa mati
sepanjang darah mengaliri nadi
maumu memang penyair
orang paling terdera sebagai manusia
pantang menyerah tapi aku pun menundukkan kepala
memandangmu mengerdip kepadaku berkata:
"bung, aku kalah, dikalahkan waktu yang menohok
tenagaku"
wispi, masih kudengar suara dan langkah-langkahmu
dahulu sambil melangkah aku menyusur jalan sunyi kita
bagai sediakala senantiasa siap menghadap apapun yang
menyergap di tikungan sementara kau masih saja
mencandaiku dengan pertanyaan hari ini apa siapa lagi
yang hilang dari hatiku, waktu akhirnya mamtangkan
kepahitan demi kepahitan jadi buah-buah manis ranum
ranumnya o ranumnya di pohon kenangan
4
tanahair dan hidup
tak kelebihan penyair, bung!
sering dihina
tapi tetap diserukan
dan kau tentu saja masih bersanjak di hati
kendati jemarimu sudah tak kuasa menulisnya
karena penyair memang
orang yang sanggup meleceh mati
Kuterima Mati Tetap Sebagai Pemberontak
seperti bayang-bayang menguntit
kemiskinan dan maut di sampingku
perempuan tersayang bertahun bersamaku
makan dan minum dukaku
siang-malam diusik kegundahan
mengaburkan segala
karenanya aku pun ragu mengucap cinta
malangnya tetap saja tak kuterima tanahair dijual
tetap saja kuingin kita menjaga harkat dan martabat
tetap kuyakini hidup layak semua penduduk bukan khayali
malangnya ketetapan begini mengundang petaka
membunuh jutaan nyawa
aku pun hanyut dari muara ke muara tanpa lagi tepian
berlabuh
tak kukutuk orangtua melahirkan pernah memberontaki
jepang-belanda
tak kukutuk siapa pun telah mengajarku kenal kehidupan
kampung-halaman
mengenal harapan-harapan terbanting orang desa dan
gubuk-gubuk kota
karena kurela mati tetap sebagai pemberontak
membangun idaman
1990
Tentang JJ. Kusni
JJ. Kusni
lahir di Kasongan, di pinggir Sungai Katingan, Kalimantan Tengah, pada 25
September 1940. Pada usia 11 tahun sudah meninggalkan rumah orangtuanya untuk
sekolah hingga akhirnya menyeberang ke Jawa dan kuliah di bidang publisitik
pada Universitas Gadjah Mada. Pada akhir tahun 1965 ia diundang oleh Himpunan
Pengarang Seluruh Tiongkok untuk mengunjungi Republik Rakyat Tiongkok sebagai
salah satu anggota Lekra. Setelah terjadi tragedi Nasional September 1965, ia
melanglang buana dari benua ke benua. Dalam lika-liku hidupnya, ia pernah jadi
sopir truk mengangkut padi dan batu untuk bangunan, penggembala kambing,
pemelihara babi, petani, pencuci piring di restoran, mendirikan sekolah bahasa
Indonesia di Paris, guru, pegawai koperasi restoran Indonesia di Paris. Di
Paris ia menyelesaikan S1 ekonomi pembangunan, S2 sosiologi dan antropologi,
dan S3 bidang sejarah. Juga sempat belajar di New South Wales, University
Sydney, buat belajar hukum internasional dan diplomasi. Karya puisinya terdapat
dalam bunga rampai penyair muda Jogja, Sanjak
dan Bunga (1961), Indonesian
Progressive Contemporary Poem (Yayasan Pembaruan, jakarta, 1963). Karya
dramanya: Api di Pematang (1963), Tanah Ketaon (1964), dan Bukit Belleville (1968).
Catatan Lain
Saya membaca dan menyajikan kumpulan puisi JJ. Kusni dengan perasaan
berdebar. Lekra, Komunis, adalah dua kata tabu pada masa orde baru dan
bekas-bekasnya masih terasa. Pelajaran ayah saya tentang komunis hanya ada dua,
komunis berarti tidak bertuhan, dan komunis berarti berprinsip sama rata sama
rasa. Dulu, cerita ayah saya, Kakek saya di kampung pernah ditawari masuk BTI.
Tawarnya, “karena pian petani, maka cocoknya masuk BTI.” Lalu jawab Kakek saya,
“Kami NU saja, kada handak yang lain-lain”. Saya pernah membaca sekilas buku
putih Taufik Ismail dan DS Moeljanto, juga membaca kesaksian Goenawan Mohamad
sekitar Manifes Kebudayaan vs Lekra, juga mengikuti polemik sekitar pemberian
hadiah Magsaysay kepada Pram di Republika, menyantap penggambaran yang asyik
tentang situasi zaman itu lewat novel Para Priyayi karya Umar Kayam.
Namun saya juga percaya dengan apa yang ditulis dalam Kitab Suci, bahwa
kebencianmu terhadap suatu kaum, jangan membuatmu bersikap tidak adil. Apalagi
secara fisik saya tak pernah bersentuhan. Ya, masakre paska G30/S saya pikir
sedikit berlebihan. Pembunuhan dan penghukuman tanpa proses peradilan yang
jujur dan terbuka terhadap banyak rakyat, yang kadang buta terhadap politik.
Itulah pangkalnya.
Saya kadang mengaitkan
perseteruan itu sebagai perseteruan id dengan superego dalam teori klasik
psikoanalisa. Ada trilogi id, ego dan superego. Id sering digambarkan memuat
naluri instingtual , yang terutama adalah agresi dan seksualitas. Agresi
ditunjukkan lekra dengan sikap yang tanpa konpromi, oral agresi, mengecam,
mengkritik pedas. Sedang seksualitas tersublimasikan dalam bentuk-bentuk
kesenian rakyat yang kerap menghiasi panggung-panggung orasi dan pengumpulan
massa. Ketika id sudah cukup memuakkan, hadir superego untuk menghukum. Id dan
superego sama irrasionalnya. Penghukuman superego bisa lebih keras dan lebih
irrasional. Penyiksaan, pembunuhan, penstigmaan, dendam adalah milik superego.
Satu-satunya yang menjadi penengah dan rasional adalah ego. Memaafkan itu
rasional, memaafkan itu ranah ego, tapi itu tidak populer dan ditentang baik id
maupun superego. (Ini hanya analogi, jangan terlalu dipikirkan)
Dalam catatan
penyairnya, saat pertama terbit tahun 1990, ia menggunakan nama pena Magusig O
Bungai, nama yang berlatar budaya dan sejarah etnik Dayak. Penyair ini juga
pernah menertawai diri karena pernah takut membaca tulisan ini buat pertama
kali. Ah, saya bicara terlalu banyak ya. Sebagai penutup, saya hanya ingin
berkata: Ini bukunya Hajri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar