Data Buku
Kumpulan Puisi
Judul :
Impian Usai
Penulis :
Wayan Sunarta
Cetakan :
I, Agustus 2007
Penerbit :
Kubu Sastra, Denpasar
Tebal : iv
+ 133 halaman (99 puisi)
Foto
sampul : Feybe I. Mokoginta
Perwajahan
: GPS
ISBN :
978-979-16405-0-3
Beberapa
pilihan puisi Wayan Sunarta dalam Impian Usai
Sindhu
- buat: i.p.m
di sindhu
selembar
daun waru
menyerpih
menjadi 17
suku kata
pada putih pasir
kau sebut
itu
haiku yang
menunggu
kehadiranmu
puisi
dengan cahaya pelita pudar
mendadak
lepas dari kilau tatap matamu
bagai mutiara yang hampir matang
kau rampungkan hening
dalam nyaman cangkang kerang
namun, di
sindhu
yang sisa
hanya lagu bisu
dan haiku
menyimpan
rahasia
daun waru tua
2006
Capung
Sayap Ungu
- buat Feybe Mokoginta
capung
sayap ungu yang bertengger
di atas
daun teratai
adakah itu bayanganmu
yang
menujumku begitu rupa
dengan
secercah cahaya keabadian
yang
diturunkan langit warna abu
alir air
adalah jalan terakhir
bagai
kura-kura tua
yang
semadi di selokan
di rerimbun belukar
apakah
yang sisa dari daun waru
yang gugur di ujung waktu
kecuali
sebait mantra
yang hilang makna
capung
sayap ungu
dan segurat bayangan...
seperti
kenangan yang punah
di hari ke
tujuh
2006
Buka
Sedikit Jendela
buka
sedikit jendela
agar
cahaya
merambat
leluasa
pada mata
kita
aku lupa
siapa yang
memajang potret kita
bersandingan
di dinding tua itu
tubuhmu
memasuki tubuhku
pengembara
tua yang terlunta
ribuan
tahun memburu sumur cahaya
aku
terkenang kartu
bergambar
mawar putih
saat waktu
leleh
dalam
genggaman malam
kutemukan
sumur itu
tubuhmu
melunaskan hausku
sejauh
perjalanan
dari kubur
ke kubur
2001
Larik
Ombak
selarik
ombak
tertulis
di anjungan
mengabarkan
wajahmu
yang hijau
digerus air garam
beribu
tahun lampau
mungkin
kau putri duyung
atau peri air penipu
yang suka
menjebak dan membujuk
pelaut-pelaut muda yang mabuk
wangi mawar laut di geladak
pelaut
muda itu mungkin aku
yang tiba
di anjungan dengan perahu
dan layar
robek tercabik angin kemarau
yang
berseru pada senja dan cuaca kelabu
: daratan! daratan!
aku
merasakan daratan
melihat
kerajaan
dan kau,
putri
duyung yang menunggu
di atas
singgasana mutiara
pada ranum
bibirmu
tiram-tiram mengulum kelam
hiu-hiu
bermata biru saling terkam
ikan-ikan
cahaya padam
menggigil
dan gemetar
aku menunggu
titah penghabisan
di
kerajaan bawah laut
kini di
anjungan
selarik
ombak tertulis
bau amis
dan bau garam
menggerus
biru tubuhmu
2002
Penjaga Cahaya
yang luput dari
diriku
adalah cahaya
saat sampai di tepi
berwaktu-waktu aku
lemparkan kail
ke samudra yang
sembunyikan ibu
rindu jadi api
membakar hampar laut
cahaya mengalir
matahari memeram
cahaya
duka jadi mata kaki
bagi pejalan letih
o, beribu mimpi
yang merubung hidupku
jadilah nyata
jadilah nyata
1998
Buyan
kabut:
jiwa nelangsa yang
perlahan turun
menyungkupi sepasang
bukit mungil dan
dua ekor walet yang menari di udara
menghayati getar
dingin
dan getir pertemuan
puncak keindahan:
kematian kecil
yang merayap di celah
rumpun perdu
mengintip senja
penyap di bibir mawar
lalu malam muncul
dari pejam matamu
membuka kanal yang
membuih dalam diri
malam di perkemahan
si terkutuk mengendap
di rerumputan
meliuk ke dalam liang
tikus hutan
yang mendadak basah
seperti embun
pada kelopak perawan
o, kemurnian hari
kembali mengingat
wajah sendiri
penuh
luka
dan pada terang
unggunan api
pagi tiba membawa
sampan-sampan
yang menanti kenangan
kembali menepi
1997
Requiem
mengapa harus ruhku
menuju ruhmu
kau ternganga di tepi
cadas
memandang cemas
pada burung-burung
yang mematahkan
sayapnya di udara
pada pusaran warna
adakah kau temukan
keabadian
maut lekat
pada mata
pisu palet
teriaklah lantang
pilu melolong
seperti anjing
tersihir
bulan telanjang
kutemukan kau
pada tekstur cadas
menceburkan diri
dari jeram
kau meresap ke rekah
batu
tidur seperti batu
bercinta dengan batu
mati dalam batu
mengapa harus ruhku
menuju ruhmu
kembali pada diri
aku hablur dirajam
mimpi
mengutuk diri
mensyukuri diri
2002
Artupudnis
sepasang kijang
hilang
di lengang ilalang
gerimis tandas
jadi kata-kata
mengalir deras
pada puisi terakhirmu
diam-diam
kau menjelma bunga
dikawinkan lebah madu
saat kau meneliti
jejak
yang mengerak
di kulit kayu
pohon-pohon bakau
yang ranggas
dedaunnya
sanur adalah palung masa
lalu
bagi si penyu hijau
dan hiu bermata biru
aku terkenang
pengembara
yang suka menyapa
tukang jukung
dengan sajak
anak-anak ombak
kau pun kabur
alur-alur puisimu
tak selesai kau tabur
waktu yang uzur
mendekam di situ
2002
Bulan pun Layu
-
buat: pelukis kardana -
bulan pun layu
mengenang bayangmu
yang menggenang
di kubangan warna
kau beringsut ke arah
kelam
tak pernah tahu
di mana perahu
berlabuh
hanya tiang-tiang
layar
hampir patah
dan angin garam
mengaduk kalbu
aku menyebut usia
senja
kau mengulum senyum
dan kita tahu
jiwa hanya sesuatu
yang hablur
dalam didih waktu
warna ungu menjerit
pilu
pada bidang kanvasmu
angin dari pantai
selatan
bersuir-suir
memanggil jiwamu
aku menemu sisa waktu
menguap dari hidupmu
warna-warna leleh
dalam gairah patah
seperti garis atau
gurat
pada kening kelabumu
2003
Toyabungkah
-
buat: s.t.a -
dari jantung malam
lirih angin menyeru
angan
penari berbibir embun
membujukmu memasuki
lorong hening
o, kabut yang
mengurai rambut
di lembah batur
berapa sudah bibir
embun
sesat dalam mulut
malam?
peluh tubuh penari
letih
menguap bersama lapar
dan lelah pendakian
kabut mencumbu danau
penari merintih
perih
mengekalkan malam
di jiwamu lebam
1995
Penjaga Kata
(1)
hilang sudah kau
angan mendulang
sukmamu, segala lara
ingin abadi dalam
pusara musim
fitrahmu hanya kata-kata hampa
tidurkan mimpimu di
sela
iga yang segera rontok
demi memuja
larik-larik sajak
aku hanya penyair tua di gua
garba
kau pembaca rabun segala makna
nikmati saja
janji-janji puisi
gelegak surga yang
ingin kau raih
entah di atap langit ke berapa
raung itu kembali
bergema
tapi kau yakini sebagai
ilusi yang nisbi
pemburu makna
terkutuklah kau
upayamu sia-sia
mengais sisa kata
ihwal yang senantiasa kandas
seperti rama-rama
hangus
ingin tandas di sumbu lampu
(2)
pemuja bintang dini
upaya apa lagi mampu
imbangi segala igau
segala resah, segala keluhmu
ingin raih ufuk yang lapuk
nujumanmu kata-kata
semu
irama yang ragu
ritma yang kaku
walau kau coba segala
peribahasa
apa inginnya puisi yang melolong sepi
ngembara dari puing-puing bunyi
jangan titahkan waktu
ujung lorong kelabu
gaung gema yang sia-sia
angankan puisi
sejatiku
semestinya cermin itu
benar
akan membuka rahasia kata
memantulkan bayangmu
yang gagu
pada segala warna musim
atau kau hanya
penadah
halimun yang sirna
kini kilau benakmu
akan segera mengerak
tak mampu lagi
akhiri luka kata
(3)
fatamorgana apa lagi
alirkan
kilasan-kilasan warna
jejak yang kikuk di simpang jalan
antara kampung kumuh
dan kota tua
rahasia mimpimu terkubur
aku tak ingin kau
jadi pecundang
pesakitan yang
sekarat menunggu
ajal datang menjelang
mungkin masih mampu
kau raih
angan penyair yang
tintanya telah tandas
umpama pohon gugur daun
meranggas sembari
memuja masa silam
untaian kenangan menyerpih
dulu pernah aku
mengeram mimpi
endapan kerak yang
telah menghitam
nujuman palsu aksara tua
gurat-gurat pun makin
sempurna di keningku
apa lagi yang mesti diucapkan
nyanyian jiwamu makin
sumbang
cuaca tanah leluhur
telah lama kita lupa
embun pun tidak lagi bening
rasa pagi menghilang
dari jiwaku
pudar serupa bayang-bayang samar
erang purba yang bikin ngilu
nujuman kelabu si tukang sihir
2005
Tentang Wayan Sunarta
Wayan
Sunarta, lahir di Denpasar, 22 Juni 1975. menyelesaikan studi Antropologi di
fakultas Sastra Udayana. Sempat studi seni luki di ISI Denpasar. Kumpulan puisinya,
Impian Usai (2007) dan Pada Lingkar Putingmu (2005), dan Malam Cinta (2007). Kumpulan cerpennya, Cakra Punarbhawa (2005), Purnama di atas Pura (2005) dan
Perempuan yang Mengawini Keris
(2011). Meraih Krakatau Award 2002 dari Dewan Kesenian Lampung dan dianugerahi
penghargaan Widya Pataka 2007 dari Gubernur Bali.
Catatan
Lain
Saat memilih sajak
"Artupudnis", saya sempat berpikir tentang seseorang yang jauh atau
sesuatu yang asing, ternyata hanya kebalikan dari nama seorang penyair =
Sinduputra. Hehe. Di bagian awal, ada Pengantar Penyair yang diberi tajuk; Pertemuan dengan Puisi. Ketertarikannya
bermula ketika duduk di bangku kelas 2 SMPN Denpasar, tahun 1990. Bagaimana
ketika jam-jam istirahat dia suka menyelinap ke perpustakaan sekolah. Dan salah
satu buku yang menginspirasi dia adalah Hari-hari
Akhir Si Penyair karya Nasjah Djamin, buku yang menceritakan kehidupan
penyair legenda Chairil Anwar. Memasuki SMA, kecintaan terhadap puisi makin
menggila, sembari terlibat dalam kelompok pecinta alam. Dia mulai mendaki
gunung, menyusur hutan dan pantai atau bersepeda ke pelosok-pelosok desa di
Bali. Inilah yang kemudian membekas dan mengerak dalam puisi-puisi saya kelak,
tuturnya. Tahun 1993, ia mengaku menemukan pergaulan sastra yang telah dia
impikan, ia terlibat dalam berbagai kegiatan sastra di Sanggar Minum Kopi
(SMK), antara 1993-1995.
Ada empat endoresemen yaitu dari
Inggit Putria Marga, I Nyoman Darma Putra, Katrin Bandel, dan Joko Pinurbo.
Katrin Bandel menulis begini: “Lewat
puisi-puisinya yang bertema petualangan, percintaan, dan pencarian spiritual,
Wayan Sunarta mencatat kepedihan demi kepedihan. Tapi di tengah perenungannya
mengenai makna dan arah kehidupan, yang bagi saya kadang terkesan terlalu kelam
dan serius, sesekali mencetuslah baris-baris segar seperti pencerahan tak
terduga.” Adapun Jokpin, menulis begini: “Memasuki sajak-sajak Wayan Sunarta adalah menghirup hawa hening yang
meruap dari hamparan kata-kata yang tampak tenang di luar tapi penuh gejolak di
dalam. Wayan Sunarta adalah penyair yang selalu berusaha mencapai kesubliman
perasaan dalam karyanya. Sajak-sajaknya mengajak kita untuk mabuk sepi agar
bisa sampai ke bening yang dalam itu.”
Di halaman judul ada tulisan dan
tanda tangan Wayan Sunarta. Tulisannya begini:
(● Buat Bang YS Agus Suseno
-
Sampai bertemu di Banjarmasin …
Lampung,
28 Agustus ‘07
Salam
Wayan Sunarta
Mabruk Broo :)
BalasHapus