Senin, 13 Mei 2013

Wayan Sunarta: IMPIAN USAI


Data Buku Kumpulan Puisi

Judul : Impian Usai
Penulis : Wayan Sunarta
Cetakan : I, Agustus 2007
Penerbit : Kubu Sastra, Denpasar
Tebal : iv + 133 halaman (99 puisi)
Foto sampul : Feybe I. Mokoginta
Perwajahan : GPS
ISBN : 978-979-16405-0-3

Beberapa pilihan puisi Wayan Sunarta dalam Impian Usai

Sindhu
- buat: i.p.m

di sindhu
selembar daun waru
                        menyerpih
menjadi 17 suku kata
            pada putih pasir

kau sebut itu
haiku yang menunggu
            kehadiranmu

puisi dengan cahaya pelita pudar
mendadak lepas dari kilau tatap matamu
            bagai mutiara yang hampir matang
                        kau rampungkan hening
            dalam nyaman cangkang kerang

namun, di sindhu
yang sisa hanya lagu bisu
                                    dan haiku
menyimpan rahasia
                        daun waru tua

2006



Capung Sayap Ungu
- buat Feybe Mokoginta

capung sayap ungu yang bertengger
di atas daun teratai
            adakah itu bayanganmu
yang menujumku begitu rupa
dengan secercah cahaya keabadian
yang diturunkan langit warna abu

alir air adalah jalan terakhir
bagai kura-kura tua
yang semadi di selokan
            di rerimbun belukar

apakah yang sisa dari daun waru
            yang gugur di ujung waktu
kecuali sebait mantra
            yang hilang makna

capung sayap ungu
            dan segurat bayangan...
seperti kenangan yang punah
                                    di hari ke tujuh

2006


Buka Sedikit Jendela

buka sedikit jendela
agar cahaya
merambat leluasa
pada mata kita

aku lupa
siapa yang memajang potret kita
bersandingan di dinding tua itu

tubuhmu memasuki tubuhku
pengembara tua yang terlunta
ribuan tahun memburu sumur cahaya

aku terkenang kartu
bergambar mawar putih
saat waktu leleh
dalam genggaman malam

kutemukan sumur itu
tubuhmu melunaskan hausku
sejauh perjalanan
dari kubur ke kubur

2001


Larik Ombak

selarik ombak
tertulis di anjungan
mengabarkan wajahmu
                        yang hijau
            digerus air garam

beribu tahun lampau
mungkin kau putri duyung
            atau peri air penipu
yang suka menjebak dan membujuk
     pelaut-pelaut muda yang mabuk
            wangi mawar laut di geladak

pelaut muda itu mungkin aku
yang tiba di anjungan dengan perahu
dan layar robek tercabik angin kemarau
yang berseru pada senja dan cuaca kelabu
                        : daratan! daratan!

aku merasakan daratan
melihat kerajaan
                        dan kau,
putri duyung yang menunggu
di atas singgasana mutiara

pada ranum bibirmu
     tiram-tiram mengulum kelam
hiu-hiu bermata biru saling terkam
            ikan-ikan cahaya padam

menggigil dan gemetar
     aku menunggu
            titah penghabisan
di kerajaan bawah laut

kini di anjungan
selarik ombak tertulis
bau amis dan bau garam
menggerus biru tubuhmu

2002


Penjaga Cahaya

yang luput dari diriku
adalah cahaya
saat sampai di tepi

berwaktu-waktu aku lemparkan kail
ke samudra yang sembunyikan ibu
rindu jadi api
membakar hampar laut

cahaya mengalir
matahari memeram cahaya
duka jadi mata kaki
bagi pejalan letih

o, beribu mimpi
yang merubung hidupku
jadilah nyata
jadilah nyata

1998


Buyan

       kabut:
jiwa nelangsa yang perlahan turun
menyungkupi sepasang bukit mungil dan
       dua ekor walet yang menari di udara
menghayati getar dingin
                            dan getir pertemuan

puncak keindahan:
                        kematian kecil
yang merayap di celah rumpun perdu
mengintip senja penyap di bibir mawar
lalu malam muncul dari pejam matamu
membuka kanal yang membuih dalam diri

       malam di perkemahan
si terkutuk mengendap di rerumputan
meliuk ke dalam liang tikus hutan
yang mendadak basah seperti embun
                           pada kelopak perawan

       o, kemurnian hari
kembali mengingat wajah sendiri
                                           penuh luka
dan pada terang unggunan api
pagi tiba membawa sampan-sampan
yang menanti kenangan
                                   kembali menepi

1997


Requiem

mengapa harus ruhku
menuju ruhmu

kau ternganga di tepi cadas
memandang cemas
                  pada burung-burung
yang mematahkan sayapnya di udara

pada pusaran warna
adakah kau temukan keabadian

       maut lekat
       pada mata
       pisu palet

teriaklah lantang
pilu melolong
seperti anjing
tersihir
bulan telanjang

kutemukan kau
pada tekstur cadas
menceburkan diri
dari jeram

kau meresap ke rekah batu
              tidur seperti batu
        bercinta dengan batu
               mati dalam batu

mengapa harus ruhku
menuju ruhmu

kembali pada diri
aku hablur dirajam mimpi
       mengutuk diri
mensyukuri diri

2002


Artupudnis

sepasang kijang hilang
di lengang ilalang

gerimis tandas
jadi kata-kata
mengalir deras
pada puisi terakhirmu

diam-diam
kau menjelma bunga
dikawinkan lebah madu
saat kau meneliti jejak
       yang mengerak
di kulit kayu
pohon-pohon bakau
yang ranggas dedaunnya

sanur adalah palung masa lalu
       bagi si penyu hijau
               dan hiu bermata biru

aku terkenang pengembara
yang suka menyapa tukang jukung
dengan sajak anak-anak ombak

kau pun kabur
alur-alur puisimu
tak selesai kau tabur
waktu yang uzur
mendekam di situ

2002


Bulan pun Layu
- buat: pelukis kardana -

bulan pun layu
mengenang bayangmu
yang menggenang
di kubangan warna

kau beringsut ke arah kelam
       tak pernah tahu
di mana perahu berlabuh
hanya tiang-tiang layar
               hampir patah
dan angin garam
mengaduk kalbu

aku menyebut usia senja
kau mengulum senyum
       dan kita tahu
               jiwa hanya sesuatu
                        yang hablur
dalam didih waktu

warna ungu menjerit pilu
pada bidang kanvasmu
angin dari pantai selatan
bersuir-suir memanggil jiwamu

aku menemu sisa waktu
menguap dari hidupmu
warna-warna leleh
dalam gairah patah
seperti garis atau gurat
pada kening kelabumu

2003


Toyabungkah
- buat: s.t.a -

dari jantung malam
lirih angin menyeru angan
penari berbibir embun
membujukmu memasuki
lorong hening

o, kabut yang mengurai rambut
                        di lembah batur
berapa sudah bibir embun
sesat dalam mulut malam?

peluh tubuh penari letih
menguap bersama lapar
dan lelah pendakian

kabut mencumbu danau
penari merintih
               perih
mengekalkan malam
di jiwamu lebam

1995


Penjaga Kata

(1)
hilang sudah kau
       angan mendulang
sukmamu, segala lara
ingin abadi dalam pusara musim
               fitrahmu hanya kata-kata hampa

tidurkan mimpimu di sela
                            iga yang segera rontok
demi memuja larik-larik sajak
               aku hanya penyair tua di gua garba
               kau pembaca rabun segala makna

nikmati saja janji-janji puisi
gelegak surga yang ingin kau raih
               entah di atap langit ke berapa
raung itu kembali bergema
               tapi kau yakini sebagai
                                     ilusi yang nisbi

pemburu makna terkutuklah kau
upayamu sia-sia mengais sisa kata
               ihwal yang senantiasa kandas
seperti rama-rama hangus
               ingin tandas di sumbu lampu

(2)
pemuja bintang dini
       upaya apa lagi mampu
imbangi segala igau
       segala resah, segala keluhmu
               ingin raih ufuk yang lapuk

nujumanmu kata-kata semu
       irama yang ragu
               ritma yang kaku
walau kau coba segala peribahasa
       apa inginnya puisi yang melolong sepi
                   ngembara dari puing-puing bunyi

jangan titahkan waktu
       ujung lorong kelabu
               gaung gema yang sia-sia
angankan puisi sejatiku

semestinya cermin itu benar
       akan membuka rahasia kata
memantulkan bayangmu yang gagu
               pada segala warna musim
atau kau hanya penadah
                                halimun yang sirna

kini kilau benakmu
akan segera mengerak
tak mampu lagi
akhiri luka kata

(3)
       fatamorgana apa lagi
alirkan kilasan-kilasan warna
       jejak yang kikuk di simpang jalan
antara kampung kumuh dan kota tua
                            rahasia mimpimu terkubur

aku tak ingin kau jadi pecundang
pesakitan yang sekarat menunggu
                        ajal datang menjelang

mungkin masih mampu kau raih
angan penyair yang tintanya telah tandas
       umpama pohon gugur daun
meranggas sembari memuja masa silam
               untaian kenangan menyerpih

dulu pernah aku mengeram mimpi
endapan kerak yang telah menghitam
               nujuman palsu aksara tua
gurat-gurat pun makin sempurna di keningku
               apa lagi yang mesti diucapkan
nyanyian jiwamu makin sumbang

cuaca tanah leluhur telah lama kita lupa
               embun pun tidak lagi bening
rasa pagi menghilang dari jiwaku
               pudar serupa bayang-bayang samar
                              erang purba yang bikin ngilu
                    nujuman kelabu si tukang sihir

2005


Tentang Wayan Sunarta
Wayan Sunarta, lahir di Denpasar, 22 Juni 1975. menyelesaikan studi Antropologi di fakultas Sastra Udayana. Sempat studi seni luki di ISI Denpasar. Kumpulan puisinya, Impian Usai (2007) dan Pada Lingkar Putingmu (2005), dan Malam Cinta (2007). Kumpulan cerpennya, Cakra Punarbhawa (2005), Purnama di atas Pura (2005) dan Perempuan yang Mengawini Keris (2011). Meraih Krakatau Award 2002 dari Dewan Kesenian Lampung dan dianugerahi penghargaan Widya Pataka 2007 dari Gubernur Bali.


Catatan Lain
Saat memilih sajak "Artupudnis", saya sempat berpikir tentang seseorang yang jauh atau sesuatu yang asing, ternyata hanya kebalikan dari nama seorang penyair = Sinduputra. Hehe. Di bagian awal, ada Pengantar Penyair yang diberi tajuk; Pertemuan dengan Puisi. Ketertarikannya bermula ketika duduk di bangku kelas 2 SMPN Denpasar, tahun 1990. Bagaimana ketika jam-jam istirahat dia suka menyelinap ke perpustakaan sekolah. Dan salah satu buku yang menginspirasi dia adalah Hari-hari Akhir Si Penyair karya Nasjah Djamin, buku yang menceritakan kehidupan penyair legenda Chairil Anwar. Memasuki SMA, kecintaan terhadap puisi makin menggila, sembari terlibat dalam kelompok pecinta alam. Dia mulai mendaki gunung, menyusur hutan dan pantai atau bersepeda ke pelosok-pelosok desa di Bali. Inilah yang kemudian membekas dan mengerak dalam puisi-puisi saya kelak, tuturnya. Tahun 1993, ia mengaku menemukan pergaulan sastra yang telah dia impikan, ia terlibat dalam berbagai kegiatan sastra di Sanggar Minum Kopi (SMK), antara 1993-1995. 
            Ada empat endoresemen yaitu dari Inggit Putria Marga, I Nyoman Darma Putra, Katrin Bandel, dan Joko Pinurbo. Katrin Bandel menulis begini: “Lewat puisi-puisinya yang bertema petualangan, percintaan, dan pencarian spiritual, Wayan Sunarta mencatat kepedihan demi kepedihan. Tapi di tengah perenungannya mengenai makna dan arah kehidupan, yang bagi saya kadang terkesan terlalu kelam dan serius, sesekali mencetuslah baris-baris segar seperti pencerahan tak terduga.” Adapun Jokpin, menulis begini: “Memasuki sajak-sajak Wayan Sunarta adalah menghirup hawa hening yang meruap dari hamparan kata-kata yang tampak tenang di luar tapi penuh gejolak di dalam. Wayan Sunarta adalah penyair yang selalu berusaha mencapai kesubliman perasaan dalam karyanya. Sajak-sajaknya mengajak kita untuk mabuk sepi agar bisa sampai ke bening yang dalam itu.”   
            Di halaman judul ada tulisan dan tanda tangan Wayan Sunarta. Tulisannya begini:

(●  Buat Bang YS Agus Suseno
-     Sampai bertemu di Banjarmasin … 

Lampung, 28 Agustus ‘07
        Salam

    Wayan Sunarta



1 komentar: