Data buku kumpulan puisi
Judul : Memento, Puisi 1993-2008
Penulis : Arif
Bagus Prasetyo
Cetakan : I, April 2009
Penerbit : Arti Foundation, Denpasar.
(Diterbitkan dengan
bantuan program Widya Pataka
Badan Perpustakaan Daerah Provinsi Bali)
Tebal : 116 halaman (76 puisi)
ISBN : 978-979-1145-30-5
Ilustrasi sampul : “Desktop
Ash Cable” karya Ronald Wigman
Desain sampul : Made Sukla
Yata
Pracetak : Nyoman
Krining
Sumber download : https://www.goodreads.com/ebooks/download/25305945-memento
Memento terdiri
dari 2 bagian, yaitu Jula-juli
Pejalan Tidur (2008-2000; 17 puisi) dan Inferno
(1999-1993; 59 puisi)
Beberapa pilihan puisi Arif Bagus Prasetyo dalam
Memento
Manhattan Blues
Ditumbuhi sulur-sulur musim gugur
Aku turun dari firdaus lantai ketujuh.
Pelancong lancung. Gentayangan sepanjang
tanjung
Menghela jam dan pohon-pohon yang berdentingan
Sebening kristal-kristal November yang termangu
Kekal, di etalase Lexington Avenue.
Raung klakson lengking sirine tikam-menikam
Berkilauan dihunus hujan tengah hari.
Tak terhingga manik mata, coklat-kuning
Terserak garing sepanjang jalan. Terbengkalai
Seperti sumur-sumur mineral yang ditinggalkan
Usai kafilah menguras teluk. Dan kabilah
terhempas takluk.
Di ufuk gurun, di jazirah firdaus lain, aku
lihat
Matahari membanting zirah perunggunya yang
berkarat.
Menara api berderak runtuh. Jelaga menjilati
mangsa.
Hujan abu mencekik kanal-kanal bahasa.
Debu kelabu angin kelabu flat-flat lengang yang
kelabu
Mengembara di lorong-lorong belulangku.
Raut pucat seorang darwis yang menghilang dari
balkon
Untuk sesaat menyeringai dalam arus kelam
Hudson.
2003
Mcbride
Hanya telaga yang terisak ketika terik tak
henti-henti menetak nadi
dan urat nadi berangsur hancur digerus badai
yang mulai bangkit
menggugurkan daun-daunnya dan setapak jalan
ajal daun-daun pun
tersibak. Kau berjalan menempuhnya dan
langkahmu masih tegak
seteguh batu-batu cadas yang menahan hantaman
martil musim
panas. Tapi inginmu tergelincir dari tubir agar
debur dapat menjalarkan
debar ke sekujur kelenjar air. Dan
sampan-sampan takkan
pernah menepi lagi dan yang berenang tak kembali
dan tak ada
yang menunggu di ujung jalan setapak ini selain
daun-daun gugur
dengan urat nadi hancur dan telaga yang teriak
mengutuk terik
yang pernah tegak menetakmu semusim silam.
2003
Terra Incognita
Berdiri antara tonggak berlampu
Kudengar angin pun langsir
Terusir desir
: dingin itu telah runduk di muka pintu
Hujan pun perlahan turun
Makin hijau
Makin menderam deruMu dulu
: sebelum huruf-huruf jantungKu
senyap
tersekap setiap makna
dalam vakum cahaya
1993
Trembesi
Legam dan menjulang
Burung-burung menyusun sarang di keteguhan
lengan-lengannya.
Puri agung bagi rangrang dan bengkarung
Arsitektur yang tumbuh dari bayang-bayangnya
sendiri.
Hari segera akan runtuh. Sendi-sendinya yang
rumpang
Kian ringkih dan terpiuh.
Digayuti biji-biji pahit karma
Ia belajar mencintai segalanya yang tak layak
dicintai.
Bercakap dengan mambang sepanjang malam
Penghuni dunia bawah yang matanya terbasuh susu
Yang susunya pernah penuh menampung hujan
Januari
Dan putingnya tegak teracung dijilati matahari.
Dulu pernah ia berjalan membenci bintang
Hanya melangkah membunuh jarak, melupakan mata
angin
Berpikir takkan sampai di mana pun
Takkan masuk dalam surga siapa pun
Dan berseru pada mereka yang bertahan,
berjatuhan
dalam Tuhan:
“Hidup kekal memancung tugu
Atau musnah memendam diri dalam tanah!”
Mereka murka dan mengutuknya untuk lenyap
Meresap ke kambium pohon hitam:
Raja bermahkota rangka layang-layang
Lingkaran tahun dan nubuat-nubuatnya.
Menara azan di kejauhan. Burung-burung
berdatangan
mencucuk cahaya terakhir senja dengan kicau
keemasannya.
Para peladang bergegas pulang meramu api dan
berdoa
Seraut wajah, selarik rajah dari surah
sederhana
Kutorehkan pada jasad yang mengerang dalam
batang.
2000
Inferno
Menjelang ufuk mulai terbentuk, kau dan aku
akan takluk. Pinggul tumpur. Sumsum memasuki
api
dengan lenguh lembu hitam.
Kau pun hangus aku arang.
Dan sesudah itu abu.
Upacara mencapai air. Berbulan-bulan
air. Aroma lumut membangun candi
dari puing-puing garam dan cahaya
tubuh mati.
Lalu teluh yang gemuruh semalaman akan kembali
merasuk tanah. Bersekutu. Dan segera tumbuh
genta
yang gemanya menidurkan bunga bungur di pepucuk
perbukitan. Sehabis desis dan peluh punah
diterjang topan yang melesak dari Aras: tahta
bengis
merah-ungu
Yang menumpas. Menghempaskan
kau dan aku, sekali lagi, pada padang
semut api. Buas. Bringas. Kudus.
KuasaNya!
Dia telah selamatkan nikmat ini, laknat ini,
berkali-kali, dari takut dan kiamat.
“Demi Yang Di Atas Sana. Untuk apa?”
1999
Caka 1920
Bahagia menjengukmu. Duduk diam, mengamati
bintang bajak
tergelincir dari alur. Bagaimana aku tahan?
Dari tanggul pelupukmu,
masih basah, kau menggeram menafsirkan jejak
lumpur
yang tertinggal. Ke mana ia runtuh, untuk apa,
bagaimana aku
tahan dan berharap kau meratap. Tapi tidak,
“Dam-dam tahun
telah pecah di dadaku. Air gaduh bergemuruh
hingga pinggang,
menggenangi ladang-ladang malam hari milik
tuhan….”
Ladang-ladang milik tuhan. Radang-radang. Hujan
hama telah
turun menjenguknya, bahagia, dalam desah
akar-akar pepohonan
tercerabut dari tanah, berjuluran ke udara jadi
lidah
merah bara yang menggulung bentang hari. Bulan
pejam
menusukkan rerusuknya ke dadamu. Kau tersengal
dan berguncang
mirip lonceng orang suci pada simpang jalan
itu, yang
abadi memanggilmu waktu tidur, meraih ruh yang
tersentak dari
tubuh.
Bahagia bahwa aku masih tahan. Dan sejuntai
mantel basah
burung hitam yang bertengger di dadaku, sejak
senja, tiba-tiba
berceloteh dengan derit pintu dapur, rangka
bintang bajak tadi,
yang tersungkur menguburmu dalam hutan mantram
ini.
1998
Mahasukka
Di pinggulmu selusin sayap ingin mengerjap,
kunang-kunang terbang,
menikung, mengiang, membandang, terus, terus,
cepat ringkus, remas,
hempas keras-keras jadi jerit bianglala yang
terkulai di telaga, yang terberai,
terkapar menggapai-gapai akar darah si Teratai
yang melepuh
dan terengah dan mengejang digerayang nyawa
lekang nyawa datang
menggelombang melumat lutut yang mencelat dan
berjingkrak dan
mengamuk meledak terpelanting berkeping-keping
berpusingan pada
palung menggelegak.
1997
Api Sita
Lebur jasadku ke
dalam nyala!
Sita memekik. Sebelum ambruk
ke sebalik semak asap yang menjulang. Hawa
panas
dan gemertak busa lemak terbakar menembakkan
meriam
kunang-kunang ke angkasa. Topan api memerahi
lazuardi…
Bibir getir. Sejuta
bola mata nanap menatap
mencabikku
meraung-raung menjeritkan kutukNya.
Berdosakah aku?
Lengan kekar kelabu.
Hasrat bejat.
Kerdip nasib yang
kubenci. Dan musim bunga
cuma pintar
mengajarku bercinta.
Tiada lagi ngeri.
Perang suci yang percuma.
Juga revolusi. Tapi
mengapa masih kudengar
revolver pecah di
sela iga. Aroma amis gerimis
lepas. Ambyar
terkapar dari pelukan
lelaki kasar yang
telah jauh menebus rindu.
Berahi maut. Dan kelak bila elang-elang teluk
meliuk liar mencakari hantu-hantu serdadu,
laskar pembakar titisan dewa, percikkan
rohku dalam perihmu, Dasamuka.
Kita menjelma sepasang naga
memangsa bulan di cakrawala.
1996
Rubayat
Hutan gugur itu terus-menerus melepaskan
daun-daunnya ke
arah
musim yang hampir mati.
Ada selembar: hampir, bisikmu.
Tapi lihat, hei! Dekat telaga aku menjelma
selembar
daun yang kaulepaskan di luar musim: ada yang
memintaku
pada pasir.
1995
Die Fanatiker Sind Mude
lahir dari api
seperti peri
ia tumbuh menjagai
mimpi
Mandi di keramat
Para danyang menabuh kendang.
Akar menyan, benih abu
Dingin. Tajam bagai tatapan
Pisau silet.
Dan orang-orang suci mendadak
mabok menggigil keras
tersungkur
rebah ke tanah basah
minta bunga-bunga.
Pucuk gayam
Bulan tinggal sisik
Tapi masih tak mengerti. Tapi angin
makin dingin di sini dan kau tak mungkin lagi
berani memastikan:
Apa bencana segera
reda
ataukah harus lunas
segala duka
tersambar kilau liarnya!
Dendam kupu-kupu
Dupa
Langit yang hamil
Tua
“Bila aku nanti mati,
siapakah yang setia memercikkan air mawar ke
penjuru
tubuhku beku?”
Kelahiran mengetuk pintu. Tapi
Tiada
Yang
Lebih
Pasti
Maka kaubayangkan orang-orang suci mulai menari
mendoakan awet umurmu agar kelak kau pun rindu
wangi air, gerak ikan yang tersentak tiba-tiba
dan memekik lirih
saat kaumangsa
anak-turunnya.
1995
Mei
Cinta, sajak siapakah yang gemuruh dalam riuh
jemariku yang jauh
Melepas deru beribu-ribu kereta hujan?
Sajak siapakah yang luruh dalam basah tubuh
berdua yang fana
Dingin pada dinding museum, menara laut,
lonceng surup, lalu pilu
Ah, segalanya, cinta. Biografi ini, kutahu,
takkan
lengkap lagi terbaca. Tak akan mungkin lagi.
1994
Epilog Sebuah Pagi
Dalam kemuraman cahaya pagi
Kuterka daun-daun gugur dan menghijau
Kembali. Kemudian tik-tik gerimis
Suara gelap malam hari yang kerap runtuh
Menerpa tubuh-tubuh tak terjaga
Akan membentang laut di atas ranjangMu
Pun di antara desakan massa berseragam
Pernah kudengar bisikmu tertahan:
“Kami ingin berkemas untuk sebuah pantai yang
tenang.
Lihatlah tangan kami berdarah setelah lama
bertempur
Di hutan-hutanmu yang bagaikan peri
Menyihir lolong serigala jadi anjing penjaga!”
Kini kuterka lagi bila saatnya tiba
Dermaga hanya bisa mencintai satu musim seperti
kami
Yakni ketika pasang terulur ke arah utara
Dan kanak-kanak turun berlari menyoraki
Seribu perahu sarat kepedihan
Terdampar di muka pintu rumahmu.
Namun semoga hanya pikiranku terlalu jauh
menyusur laut
Hingga mataku tak lagi mampu bersembunyi
Dari setiap isyarat, kenangan, atau tanda
bahaya.
Maka dengan sopan aku pun belajar menghikmati
langit
Dengan cahaya bintangnya yang selalu rapi
Menyimpan degup jantungku.
1994
Perjalanan Ambang: Meditasi
Mendadak wajah kita penuh kabut
Terjatuh di antara tebing, riak air, dan
Tiang-tiang listrik yang gemetar
Menahan kekosongan langit.
Kita menggenang seperti lembaran musim panas
Rontok dibakar kemegahan lampu taman.
Dan kehijauan asap sampah saat membusuk pada
selasar
Adalah perhentian masa kecil kita yang kembali
Diledakkan. Dan berhambur memenuhi jalan batu,
Kolam pasir, jurang-jurang
Dari kegelapan kenangan.
Tapi waktu senantiasa tahu:
Di depan pintu, kita telah jauh tengadah
Menatap sore hanya serangga
Sambil membayangkan malam nanti bintang-bintang
akan lepas
Bertabrakan. Sebelum luruh, menghilang ke
seberang sungai
Diserap bayang-bayangMu yang menghujan
tiba-tiba
Di setiap reruntuh pepohonan.
1993
Bintang
Mataku lelah, tapi tak mau terpejam.
Bersikeras memandang bintang yang ingin padam.
Aku dan bintang saling pandang.
Bertukar tanda, luka, sehembus hasrat yang
hampir hilang.
Jam-jam dingin.
Dinding menjalarkan angin.
Di jantung bintang aku tenggelam.
Mabuk mencucuki bibir memar malam.
Di jantungku bintang membayangkan hangus.
Gemetar, ingin padamkan cahaya firdaus.
4 pagi: matahari segera datang.
Dan sejoli burung malam akan pulang,
menghilang.
Mataku basah, Bintang, basah.
Sehening daun-daun mapel menjelang rebah.
2008
Libretto Musim Gugur
(chit oo nyo & bounthanong xomxayphol)
Mississippi hanya ingin bernyanyi, ingin
berbagi
seperti Chit yang sering menjelma jadi Rama
saat jauh dari pesing penjara Burma, dan menari
dalam hingar-bising rock ‘n roll, musik traktor
padang-padang jagung Iowa, di demam plaza
malam Sabtu, sehabis dua-tiga gelas dry tequila
dan Jim Beam yang berenang dalam darah Nong
menggerutu:
Bangsat. Tahu apa kalian semua tentang musik?
Tentang sungai yang budiman perangainya dan
suka mengalirkan uang biar semua orang senang
dan tak sudi lagi berperang.
Omong kosong. Whitman sudah lama mati
dan di pesisir Mississippi masih kaulihat
sesosok saman
mengelebat di antara tonggak-tonggak cedar
merah.
Lelaki-lelaki bersisik merah melepas lembing.
Sementara
puak Meskwaki harus membeli tanahnya sendiri
dengan aib rumah judi.
Come on. Mendingan kalian melancong ke Mekong.
Tak ada demokrasi. Dan silakan sepuasnya
mengisap candu dan perawan!
(michael zeller)
Tapi siapa yang tak pergi, desah seorang lelaki
kisut,
di geladak Mississippi. Matanya basah terbasuh
Rhine:
Kita boneka jerami tua. Kuda celaka
yang kehilangan ladam dan penunggang,
terkutuk untuk pergi, sendiri, selamanya
mengusung beban yang tiada.
Dewa-dewa. Mereka juga telah minggat. Tapi
jejaknya
yang bergelimang darah, memburuku sampai ke
sini.
Lihat, Wagner mendekam di etalase Coralville
Mall
- Music of The Gods. Digital Stereo. The Gold
Collection. Made
in USA.
Gila. Aku selamanya pergi, tapi mereka
masih terhina, terluka parah:
‘Apa? Dari Eropa, kaubilang?’ seorang lelaki
Polandia mencegatku
dan bersungut-sungut sengit, ‘Jadi sekarang
kalian pikir
Eropa adalah Jerman!’
(narlan matos)
Yeah. Memang kacau. Ke manapun aku pergi
180.000.000 kanibal mengekorku.
Menabuh tambur-tambur leluhur
di kegelapan rimba-rimba Amazon.
Kita semua binatang bebal, akhirnya.
Air liur kita mencemari sungai-sungai.
Sini, kubaptis kau jadi batu jadi akik jadi
emas
jadi kapal-kapal Portugis jadi Kristus jadi
kadal. Dung-dung.
Mabuklah. Dung-dung. Ini belahan bumi utara.
Dung-dung.
Dingin meretakkan rahang. Dung-dung. Tapi
jangan
bakar aku dengan anggur atau wiski. Dung dung.
Di Java House
ada kopi rasa puisi. Dung-dung. Konon pahitnya
enak sekali.
Dung-dung.
Sayang tak ada orang Jawanya. Dung-dung. Ayo
pesta dan bercinta
di jok mobil di bioskop di asrama dengan kondom
ceri hutan
sambil mengunyah keripik kentang memamah pizza
3 menit
berjingkrak-jingkrak memekik-mekik kesetanan di
jalan-jalan
di bangku-bangku lapangan futbol dan menggelar
bazar amal dan karnaval dan diwisuda dan
menguasai dunia. Dung-dung-dung….
(chorus)
Pergi. Pergilah, Mississippi. Sia-sia kau
bernyanyi.
Gendang telinga kami pecah, melelerkan lumpur
nanah.
Sungai-sungai malam hari di balik belukar dada
kami
bergemuruh, gemeretak, dan gua-gua bawah tanah
menyerpih runtuh. Menyerpih runtuh.
2003
Jula-juli Pejalan Tidur
- Surabaya, suatu masa
Takkan kuputar sumbu tubuhmu
menyusuri jejak hangus kata-kata
yang tercecer sepanjang jam dan bulevar.
Aspal menggigil oleh influenza.
Plaza dan bank perlahan hilang.
Hilang, tenggelam dalam balsam.
Dingin mengasah lembing-lembingnya di udara.
Dingin berdenting. Udara merinding
Terkepung gaung dan bayang-bayang.
Kau terbaring di sisiku. Legam dan berkilauan.
Sungai telanjang pada ranjang keemasannya.
Di tepi sungai, sebuah ponten nyaris meluap.
Beberapa sejoli masyuk memarkir motor di
kegelapan.
Serombongan laki-laki terhuyung masuk ke tenda
rombeng.
Dengus mereka masih membekaskan panas di
tengkukmu.
Menyentuhmu, terpesona ahli nujum kakilima
Gairahku membangun taman air mancur
dengan peri pelacurnya yang sehijau hujan pagi.
Di tepi taman, panglima perang dari perunggu
memandang dingin ke batalyon kupu-kupu
yang bertahan di selatan. Mereka terjebak
di sepetak taman lain yang lebih gaib. Lebih
aib.
Tempat tugu bambu runcing, totem kejantanan itu
tegak memancung batang lehernya sendiri.
Kau tergetar. Getah tubuhmu mulai tercurah.
Angin purbani menggulung bayang-bayang taman.
Gaung berkubang dalam kilang-kilang darah.
Sekujur sungai terserang kejang.
Dam dan bangkai kapal selam berebut bangkit
dari delta
Menghantui etalase yang dahulu sal-sal seram
rumah sakit.
Dari lunglai belulangmu, dari ringsek rerusukku
Fajar kembali memecahkan cangkang-cangkangnya.
Nama-nama terjulai oleng. Simpang kehilangan
lonceng.
Jam terbuat dari air dan tak bisa dipercaya.
2002
Holocaust Rumah Muara
sunyi
telah mati
di muaraku
Tapi, dekat pada malam, bersama dingin
dan pilar senja yang berjatuhan masih
kaupanjatkan;
terus kaupanjatkan ringkik angin, deram ombak,
tiang-tiang kapal yang tengadah
ketika burung-burung hingar di udara,
memekik-mekik!
(seperti ingin mencabik langit)
mesias,
tak kaulihatkah sayap-sayap camar itu terkoyak
sudah?
(meluka, meluka)
Dan kembali: bertahanlah!
Berapa jauh air matamu menyentuh laut
menjelmakan
darah. Menukar warna asin yang berkilauan
seperti hujan. Seperti pecahan karang yang
menghambur
menyusun peta, lukisan nasib, atau penampakan
musim
yang teramat
kelam.
badai, badai
kemana garis pantaimu kian melindap?
Sungguh,
padahal sudah lengkap cuaca: sudah kaukirimkan
gelap pada pasir (cintamu) sudah kaukirim
banjir
kawanan hama, bangkai burung-burung yang
berenang
dalam arus-darah itu
: memburu muaraMu!
1994
Tentang Arif Bagus Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
lahir di Madiun pada 30 September 1971, tumbuh di Surabaya, sejak 1997 menjadi
warga Denpasar. Selain penyair, juga dikenal sebagai kritikus, penerjemah dan
kurator. Alumni International Writing Program, University of Iowa, Iowa City,
Amerika Serikat. Pemenang I Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2007.
Pemenang II Sayembara Kritik Seni (Bidang Seni Rupa) Dewan Kesenian Jakarta
2005. Bukunya yang lain: Mahasukka dan Epifenomenon.
Catatan
Lain
Saya tak banyak
komentar, halaman persembahan buku ini Untuk Pasha
Renaisan, Ida Ayu Oka Rusmini & kalian yang mencintai. Tak ada kata pengantar, tak ada komentar, entah
versi cetaknya. Terima kasih telah berbagi versi e-booknya. Belum banyak
penyair yang punya keluasan hati untuk membagi seluruh puisinya dalam sebuah
ebook gratisan. Sebuah sedekah puisi yang luar biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar