Senin, 01 Juni 2015

Harijadi S. Hartowardojo: LUKA BAYANG




Data buku kumpulan puisi

Judul : Luka Bayang, kumpulan sajak-sajak 1950-1953
Penulis : Harijadi S. Hartowardojo
Cetakan : I, 1979
Penerbit : Proyek Penerbitan Buku Bacaan, dan Sastra Indonesia dan Daerah.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Keterangan : Diterbitkan kembali seijin PN Balai Pustaka. BP No. 2131 (1964)
Dihiasi 2 gambar dan vignet oleh Wied Suroso
Tebal : 95 halaman (39 puisi)

Beberapa pilihan puisi Harijadi S. Hartowardojo dalam Luka Bayang

Pengembara

Pengembara bisu mendukung kasih cinta
dalam dirinya ia lihat wujud cinta
remang dan gerimis sediakala

Cinta menghantu di hatinya
harapannya lembut
mengapung dalam panas api neraka
Dalam langkah yang dilangkahkannya
Dalam lagu yang didendangkannya
bersinar caya cemerlang
Agung dalam kekerdilannya!

Pengembara bisu
mendukung kasih cinta
dalam wujud cita
remang dan gerimis sediakala
Kanak-kanak di jalanan
menyorakkan hidup di hatinya

Ke marilah segala dosa
daki debu di tubuh manusia
Pengembara bisu terima bujukan cinta
semenjak Tuhan hilang bayangan



Anjing Makan Akar Kayu
(lagu tari Timor)

Untuk ahli budaya dan ahli pendidik

Mari bone
beta cari gadis, cari nona
beta tukar sirih pinang
bersama melangkah, bersama berlagu
menunggu bulan naik bulan terang
siku beta main di dada
semalam saja, besok
berpasar sejam.

Dansa, hai!
Melangkah, hai!
Berputar dalam lingkaran
berbaris
Tangan berkepit-kepitan
Sahut hormati beta punya lagu:
Asu-asu bukae hau baat1

Langkah satu langkah dua
Entahkkan kaki, dua langkah ke muka
Dua langkah mundur, entakkan kaki!
Nona terima sirih pinang
turut beta punya mau:
Bulan naik, bulan terang,
Anjing makan akar kayu
Dansa, hai!
Berlagu, hai!
Lupakan dingin hawa pagi,
buku-buku, segala teori

Malam ini kita menari

-----
1 Anjing makan akar kayu


Mimpi Malam Sebelum Tidur

Jelajahlah ombak, manisku, tempuhlah!
Aku yang tinggal akan memendam
dalam resia malam.
Bintang tercapak di langit tinggi
tidak kata ba, tidak kata bu
Tapi
Siapa paham kerdipan mataku
beserta bulan-bulan aku nampakkan diri
– Manusia bebas dari belenggu!

Tidak! Tidak, kekasihku!
Tuhan cuma janjikan
Mahkota dalam diri
Singgasana dalam diri
Belenggu dalam diri
Lepas satu: Perahu hilang kemudi

Dan bila
nanti aku membentak
(aku bukan kepingan kaca retak
terberai lepas):
Saat mati tidak bernafas


Tanda

Rindu oleh keengganan tidur ia
Oleh kelelapan ia hentikan segala kerusuhan
Barangkali Tuhan bisa juga. Tapi bagaimana?
Penyair akan lari ke dalam sajaknya. Di sinilah
Aku terpaksa berhenti. Penaku tumpul terlalu.
Rindu oleh keengganan aku mati malu
Ia di sana kurus tak tahu jalan. Enggan berpikir.
Kawannya bikin tanda bahaya pada pintu, berkabung!


Kemenangan

Memoranda untuk adikku
Soesilo Rahardjo yang telah gugur

Hiaskan, sayang
bintang besi bersilang di dada berlobang
kilat yang membelah mendung mencium bulan
Berguguran bintang di langit melanggar udara
Merintik cahaya mengekor menuju bumi.

Jangan kautanya sudah jam berapa hari
jarum jam di tugu itu tidak lagi berputar
Sebab malam ini pun
purnama penghabisan di langit itu,
(purnama yang didekap kilat!)
Kemenangan akan menentukan
tempat kapal bakal tenggelam.
Jangan pula kaugulung layar yang bakal melembung
Aku akan berlayar ke negeri yang jauh!

Untukmu?
Pigura kembang berkarang
berbingkai kayu lapuk dan warna muram
ganti pedang bersilang ini,
pasang di pintu mengetuk masuk, beri berlambang!
Tamu yang mengetuk mesti menunduk!


Sajak Buat Endang Hartati

Ganggang di api ini
dalam panas cinta wajib yang menanti
Dan apa yang kini jadi derita
jadi baja di tanah pesemaian manusia
Biarkan dahulu hujan abu turun
siang menjadi malam
malam bertambah panjang
matahari biru, bulan muda tiada kunjung

Juga jauh di sana
negara muda, hujan abu turun
Anak-anak kehilangan nafas
Ibu kehabisan air mata
Tiada sedu tiada sedan
Udara belirang.

Tapi aku manusia,
jangan panggil
aku kembali sendiri, adikku.


Hakekat

Hidup pacuan derita
menetap dalam ruang terlingkung senja
berputar beredar
sepanjang caya luas lebar tergelar
Mulai pada detik mati.

Gerak tepatan cinta
hakekat segala jadi
Menyebar benih, menuai buah
dan kembali pada asal
– inti tidak berbentuk berwujud
lahir pada titik api
kembang kempis nafas gelisah berharap
anjing mati setia –
Nyaris hidup memacu tegang

Tapi bila asap tak lagi berapi
Bunga-bunga tidak berkuncup
Putusi di sini: derita pacuan hidup


Fragmen

Ada suara membenam ke dalam
Tidak mau ‘nggelegak
seperti pusaran di laut dalam
lahir hanya riak mencumbu lunas
kapal yang lewat agak terlambat
Hanya hujan dan angin sering berputing
seperti cerita kelasi di ibukota
menyuruk ke gubuk di tengah ladang:
Tidak tahan kegaduhan dan kehidupan dan kegagalan
bersatu dalam diri anak dara di tengah remang
Ia membujuk meminta cinta
serta lupa dari kelaluan sebentar
Di mana kelasi bisa bercinta sambil berlupa
peluh dingin sudah mengucur tubuhnya
antara mimpi kemalaman disambar dewata
diri diayun antara tali-temali

Sekali kami bertemu di ujung lengang
Ia memanggilku antara kelam dan gerimis melayah lebar
Menayang dengan perahu motor lewat di Pasar Ikan
Menjelang Teluk Jakarta
Menyusuri layar
Menyusuri jala
Menyusuri nyanyi nelayan sayang kesepian

Apa yang ada antara ia, aku, dan perahu ini?
Deru mesin hampir mati!
Pelayaran akan terhenti terkatung hingga di sini
Ibukota sudah kehilangan tenaga
Mencipta kebenaran dari kelancungan merajalela

Aku? Aku hendak dibawa ke mana
Dengan perahu motor dan mesin hampir mati
Nafas berlalu antara batuk-batuk tiada henti
Tangis bayi menyesali kelupaan dan hidup yang tersambut

Seperti guruku
Tidak mengerti beban membebani
Wajib mewajibi
Kemudian ia lari dari laut ke laut
Mimpi ke mimpi tak minta arti
Ia menyendiri, asing dan sepi.


Perjalanan
Motto: sebagai darah dari jantung ia mengalir melalui urat nadi dan pembuluh-pembuluh darah ke seluruh tubuh, kemudian bertemu kembali di urat nadi dan mengalir bersama-sama ke jantung, demikian kisah ini melalui jalan masing-masing dan kemudian menemui dirinya dalam gelora maha besar.

Buat Sitha

1
Semula daun-daun masih hijau memayung
mata air bening menari muncul
lahir dari kandungan pasir yang kering mati
satu dusun, domba-domba, gembala dan setumpuk rumput

onta mengelai lela menanti
merenungi pohon kurma
merenungi rumput dan air
tahu nanti maut menanti
di padang kering tidak berkiblat

Tidak sadar musafir enak bersenda
gadis dusun menjemput air
biasan mata air
melenggang lela memabukkan mata
dihirup panas yang tajam menusuk
dikipasi daun kurma
diusap angin yang lembut sejuk


2
dua manusia bertumbuk pandang
seorang tercengang dan gadis menghela tantang
hujan merintik
lumut merayap dari spora terbasahi
memanjat batang menyalut menyelimut
meniti ke puncak dalam irama rintikan
menetap jatuh dari langit yang dalam

angin panjang meniup datang
dari kejauhan yang hilang jejak
hawa kering melekap ke lumut riang meniti
mendinding dahaga menguasa atas puas
hijau yang memanjat tumbuh hidup
tunduk meliuk batang meruncing berkembang pucuk
tumbang tenggelam ke mata air
tumpat sumber bening menari muncul
gembala menangisi, domba mengembik meningkahi
kabar tersebar menyeri ke hati
gema ngeri menggaung dari karang ke karang
menusuk-nusuk anak telinga
menghunjam ke hati membedah dada

hyena mengaum di jauhan
mencium mayat berkaparan
hidung mencocok angin kering bertingkah
berputing menggunting tajam bintang
bercahaya sejuk dalam malam
tidak berwatas mendalam kepekatan
lincah beriak berlompatan mengerjap
hyena menyergap pesta senyap

3
Fajar merah menangkup ke pasir lepas
banjir darah membasahi tabir mendalam terkembang
kabar tersiar: tugu telah terpaku
bertulang menjuju ke langit biru
berdaun mendung rendah menggantung
disoraki gonggong hyena
meletup-letup mengatasi deru panas kering

4
Jubahnya berkebar menyapu debu
menahan kaki lemah melangkah
dan berjongkok dia lemah menyerah
deru yang datang segera diseru,
“Quo vadis, Domine?” 1

“Ke Roma, Petrus,” gema halus Tanya berjawab,
“menggembalakan dombaku kautinggal pergi
sendiri tidak berpandu tidak bertali
berdepan maut nganga singa
Nero mabuk darah, Petrus,
Roma ‘kan dibakar kaisar sendiri!”

Berjongkok dia mengisak menyambut bisik perintah
“Kekasih, kembalilah tuan, biar
hamba menyerah ke salib bersama dombamu
membukakan pintu rumah Bapakmu.”

Buat Paman
5
Tiba di pantai Asoka menetakkan jembia
bayi bertangisan, ibu mati karena pelukan
bapa hilang tiada lagi pengasuh
asap mendesak naik ke langit
bara menumpuk mengarang jadi reruntuk
Asandhimitra2 menangis dalam kekaburan gema
Asoka mabuk kemenangan yang menaklukkan
Tissa3 pendeta berdoa memanggil Buddha
Tishyaraksita4 tergelak haus darah menggelegak ke muka
“Ayun pedang, tuanku, ratakan dunia
Cucu Candragupta tiada lawannya.”

Iskandar yang Besar bergugur berani, bersimpuh,
“Candragupta dinasti abadi!”

Senja melarut tenang dan bulan bertakhta
langit dingin, awan tiada, bintang melirik cumbu
angin mengusap
angin membelai
Buddha bersabda, “Tenteram lembah dan ngarai
diam tangis tahan sedan, damai mengembang
Asoka, mari ananda, bercium pangkuku
bersatu kasih di hati bumi.”

Asoka terlena dalam mimpi bertitah,
“Munda5, kerahkan prajurit bersenjata cinta
tindas perampok dalam sabda Gautama
gali perigi tanam boddhi payungi jalan!
Tissa, kenakan jubah pendeta ke tubuh hamba
pendeta dan raja bersatu di kaki Buddha.
Asandhimitra, mari dinda duduki takhta
kasihmu yang setia jadilah salju Gaurisangkar.”

Tishyaraksita galak merentak
fajar merah menangkup puing berasap.

6
Pendeta muda
– anak dunia
bersimpuh depan arca
membakar dupa minta tanda
ingin gerak
jadi jentera
kehendak arca berhala bisu

arca menyeringai
mengisap asap
wangi setanggi
tangan patah sebelah
gigi panjang menjulur bibir
hidung menonjol menjolok langit
bisu

deru lagu seram menyerbu
mengiringi setanggi asap meninggi
memeluk arca
pujaan pendeta
bisu

7
asyik pendeta menatap arca
kejam memandang
bertakhta

gempa mengayun dunia
candi runtuh tercerai
arca rebah terpatah-patah
gunung gugur tanah meluncur
pendeta pingsan berpeluk berhala

di riba pagi
duduk nak muda
sangsi memandangi
rumah suci tinggal reruntuk
di batu berserakan

punggung gunung tinggal di atas
rumpil dirusak erosi
kuil tergelincir ke lembah rata
lakon dunia bermain di depan mata
pendeta silau, bimbang,
tidak percaya dunia ada demikian rupa
dan arca pujaan, tuhan pahatan
diremuk alam semena-mena

dunia keliling sibuk bergerak
pendeta lena bersangsi hati
dilarikan hari

Gorgona6
9
Pada horizon muncul tanda baru
laut beriak disibak layar yang putih
di belakang mengiring camar berkepak
di antara caya merah senja perceraian
sinar penghabisan yang menari lincah di air
sekejap lelap
sinar merah terus bermain berpindah arah
berganti cuaca yang lembut merayu sutera biru
purnama mengintip di tirai urai membelai sayang

tiba ke pandang
bulan lengkap asri berdandan
mimpi bermain pada angin mati asal
ombak naik geladak terus terserak
meninggalkan satu tubuh, menggeletak
gadis manis, anak ombak
senyum meleret pada muka masih terlena
kelasi terpaku
juru mudi terpatah hati
bernafsu
gemuruh teriak dan jerit mengaluk di kapal tua

sepoi angin bernafas liwat mencium geladak
kabut tipis tinggal lambat melawat
beralih rupa tiba-tiba
naga menjulur lidah berekor di langit
api berkobar membakar kapal
jeritan ngeri mengalir menggelincir ke langit
………………………………………………
mimpi berakhir
kapal diserahkan ke angin ulak

10
jalan bertemu dan searah ke muka
pagar hidup rimbun meriap di pinggir
memayung jalan becek sempit teduh
hawa dingin menyergap tulang

jauh di belakang di bawah sinar muram
batu-batu nisan menatap pejalan gentar melangkah
memasuki pagi

sesudah malam panjang tembus dirangkaki
ombak tersibak mencapai pantai
pelabuhan lama menanti

Selamat tinggal
11
Roda menggelinding di atas landasan
rumah-rumah berpindah jejak
tangan melambai
teriak bersatu dalam deru mesin dan ciut angin
sebentar berkisar putar
mesin mengeluh
terlepas nafas berat menindih
dan lepas lepaslah bumi
lepas jatuh ke bawah
mega melambai
langit tersenyum membuka diri
hati ikut mendegup
terbelah
di tanah setengah murni berjejak

12
Lautku dulu, laut yang kukenal
kadang tenang menanti
tempat kasih dulu terpaut
mendatar terhampar biru kini
dan kapal rusak menungging buritan
dibenam muatan
kelasi dan juru mudi
rindu benam yang menyeret kapal
berayun ke dasar

Langit biru dan laut biru
mana pula yang biru
berani bertanding wara
jadi cermin pemantul cahaya
peminjam warna
siapa empunya:
Langit, laut, ataukah aku?

13
   Langit kosong
aku menembus
dinding yang sepi
keluasan yang mati
aku mengisi
berani berdiri tiada alas
selagi derum kuasa meriuh
mengganggu mimpi
mengganggu samadi
di tubir getar dekat terhenti
sebab aku hakekat
diam bergerak memutar saat.


1 Hendak ke mana, tuan?
2 Permaisuri kedua Asoka yang memalingkannya kepada Budha
3 Pendeta Budha, guru Asandhimitra, yang membantu memalingkan Asoka
4 Permaisuri pertama yang selalu menganjurkan perang
5 Perdana menteri Asoka
6 gorgona adalah raksasa dalam mitologi yunani. Rambutnya bisa tampak seperti ular atau lidah api. Dapat salin rupa. Suka mengganggu pelaut-pelaut
(nb. Entah apa yang terjadi, saya tak menemukan puisi no. 8, padahal halamannya urut)


Rindu

datang
datang
bayangan
mata nyelang

sayang,
masih menanti jugakah
engkau dan berdoa
meminta caya
dari Mekkah
Darussalam

ia berjalan terus
luka
sendiri
tak bernabi
lupa Tuhan dalam
derita
beban: manusia

bila hari-hari ria
ia sembah Tuhannya
dalam kepahitan rasa

berjalan terus ia
luka bayang

Meninggalkan rumah tua dan rimba sunyi ini
Sia-sia
Menempa baja dari batukali.


Khudi1

“Aku Alpha dan Omega2
Kini
Yang lampau
Dan akan jadi”
Dalamku terpentang salib
Dengan darah telah kering membeku
Dalamku tersilang pedang Muhammad
Dengan darah telah kering membeku
Dengan mata guram hitam –
Ya, aku Alpha dan Omega.
Yang lampau
Kini
Dan akan jadi

Napasku mendesah lepas
Aku hilang terbenam
Aum mani padme hum!3
Aku hilang terbenam
Bukan fatamorgana
mainan bayang gerak hidupku
sebab
Di bawah pohon bodhi kutemui diri
menjelma dalam bentuk mengujud spora
Kini dan di sini: Aku!
Ada
Mau
Sampai
Aum mani padme hum!

segala kehendakmu terlaksanalah

Kemudian laksana seorang pengecut
Aku serahkan kembali diriku kepadamu
Aku bayang-bayangmu
sejak matahari setinggi tegak
jatuh di bawah telapak kaki
Tapi aku bumimu tempatmu tegak
terban aku terban juga dikau
Menyerahlah,
dalam penyerahan tercekam juga kemenangan
dalam penyerahan kecambah menjadi hijau
Amin!

1 Khudi = pribadi. Digunakan di sini untuk membedakan pribadi mistik dari pribadi dalam pengertian psychology.
2 Alpha dan Omega = huruf pertama dan huruf terakhir abjad Yunani, sama dengan Alif dan Ya dalam abjad Arab. Digunakan di sini berhubung ada kata ‘ya’ digunakan dalam baris ke-18.
3 Aum mani padme hum = mantra bahasa Tibet yang maksudnya kira-kira Dunia dilahirkan oleh pikiran dan ke dalam pikiran pula terbawanya. Diucapkan sewaktu akan duduk bersemedi.


Kediam-diaman

Cahaya berko terbeber depan sepeda
Pelan menjalar ke muka
Segerak sepeda. Tapi pikiran pengendara
Melanjut tiada terdera

Ada suara begitu pelan memanggil
Dari balik kelam di luar sinar memendam
Dan ini resia tergulung mengembang buka:
Ada gadis bersembunyi dalam kubangan!

Sepeda, pengembara dan caya sebentar padam
Hilang dalam kelam. Kelam hitam mulai mencekam
Mendera ini resia, kematian pudar terpuntang-panting
Janganlah sendu; jangan!


Peristiwa

Dengan kataku manusia – mati – tidak – dikubur – :
Elang sudah jemu melihat kembang sayap
Tinggal kita, pipit kehilangan ekor,

bertengger di puncak semak
mengherani mahkota bunga berguguran,
tunas muda melisut kering,
musim semi yang baru mulai
berpisah seri

Tutup kembali kamus di tangan, letakkan.
Coretkan jari bikin garis di kaki
Memijak bayang kemudian pergi
Aku dengar janji sudah diucapkan

Tuhanku,
Aku kembali kepadaku, kepadaMu!


Pengharapan

Lagu yang hanya sebuah mulai meninggi
Cuma untuk dimainkan sekali

Rumah manja kini tidak punya jendela
Tak mungkin kujenguk penghuni dalamnya:
Ada orang berdansa?
Ada orang meratapi Tuhan dengan takdirNya?

Siapa memahatkan kata di muka tangga
kehabisan suara musim bertukar ganti
memaksa janda menggantung diri
serta menikamkan belati ke dada keturunannya
Sejarah tak punya kelanjutan!

Lagu yang hanya sebuah ini mulai meninggi
Cuma untuk berkumandang sekali
untuk kawan yang bertanya tanpa kata
yang dapat jawab dari sorot mata
– Gosong menjorok jauh terasing.


Untukmu, Lagu Cinta dari Pulau Timor

Di dalam
Bukit-bukit karang membujur gundul
rumput-rumput kering kuning
berkarat

Ternak-ternak kurus menulang
Dikunyah angin kering kemarau
terkapai di padang karat

Aku terayun di punggung
Kuda beban, tiada pelana
Menyeret kaki tiada terompah besi
Patung terangguk di kuda permainan adik!

Turunlah!
hela kuda
ambil jalan pintas
botol air kita lah kering pula

Jalan turun licin berdebu
buat sepatu
Tapi kaki terlampau halus
untuk bertemu runcing karang
Batang tempat berpegang tiada
hanya lantana
hanya lantana kehabisan daun

Di dalam
Bukit-bukit membujur gundul
rumput-rumput kering kuning
berkarat
menjauh dalam wilayah 360
Di selatan, ombak bertemu pantai di lautan Hindia
Kelaparan menggantung di awang terang

Tuhan,
tubuh terkapai disalib hidup
mengucurkan darah dalam hatiku
mata mengucur bintang jatuh
Tuhan,
yang berangkat pergi meninggalkan
yang tinggi terbawa serta
Ketulusan pemberian
diterima segan-seganan


Pengurbanan
kepada ibuku marhum

Dan Tuhan pun memberikan janji
Dengan tawaran pemberian pengurbanan

Mati bukan suatu kebutuhan malam
Mati bukan suatu kekaguman tiada bertanda bintang
Tapi mati, karena benih akan tumbuh
Dan berdaun hijau. Rimba hitam akan segera punya harapan

Anak lahir dan merangkak ke luar terang
Dalam sinar nyelang, laut bergetar kata-kata
Kuda bertemu kendali.
Mulut mengeluar busa, punggung berdarah

Di mana ini segala akan hidup kembali
Bersama janji? Langkah kuda sudah payah berkendali.
Ah, siasia kuda berlomba
Siasia berlomba


Tentang Harijadi S. Hartowardojo
Tak ada biodata penyair ini di buku puisinya. Saya mendapatkannya di buku Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1999). Begini rangkumannya (hal. 121-123): Harjadi Sulaeman Hartowardojo, mulai aktif mengumumkan sajaknya pada sekitar tahun 1950. Lahir di Prambanan, 18 Maret 1930. Ia pernah bekerja sebagai redaksi majalah Pudjangga Baru (sesudah perang) dan kemudian hidup sebagai wartawan di berbagai majalah dan penerbitan. Pernah juga menjadi anggoda redaksi majalah Budaja Djaja. Setelah menamatkan fakultas Publisitas, ia kemudian kuliah di fakultas Psikologi. Ia seorang ahli astrologi dan beberapa lama mengasuh ruang astrologi di beberapa surat kabar minggu di Jakarta. Romannya: Munafik, mendapat hadiah Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jawa Barat tahun 1967. Kumpulan puisinya, yang ditulis antara 1950-1953 diterbitkan di bawah judul Luka Bayang (1964).


Catatan Lain
Buku terbitan proyek Departeman P dan K yang tidak diperdagangkan ini, sepertinya seragam dalam hal: desain sampul, kata pengantar, dan ketiadaan biodata pengarang. Setidaknya begitu kesan saya setelah membolak-balik beberapa buku serupa. Secara pribadi, saya belum pernah mendengar nama penyair ini sebelum bergelut dengan Kepada Puisi. Namanya tak terdengar saat saya sekolah maupun saat kuliah. Walaupun punya buku Ajip Rosidi tentang Ikhtisar Sejarah Sastra, tetap saja nama ini terlewatkan begitu saja. Pertama kali tahu, ya karena membongkar-bongkar buku di perpustakaan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar