Data buku kumpulan puisi
Judul : Requiem Ingatan
Penulis : Irma Agryanti
Cetakan : I, Juni 2013
Penerbit : Komunitas Akar Pohon, Mataram.
Tebal : 64 halaman (35 puisi)
ISBN : 978-602-1599-02-0
Penyunting : Kiki Sulistyo
Rancang sampul dan tata letak : Tjak S. Parlan
Pengantar : Bandung Mawardi (Puisi Bermata)
Beberapa pilihan puisi Irma
Agryanti dalam Requiem Ingatan
Layang-layang
hanya jika kau datang ke rumah ini
mereka akan bermunculan
tubuhnya buluh bambu
bergambar awan, berekor panjang
dengan sayap bulan agustus
tentu ia akan setinggi siang
sebab cuma kau yang mahir
menggelas temali
lebih kuat dari jambang nabi
sesekali dibiarkan ia hinggap
ke pohon jambu
tempat sepasang ari-ari dikubur
pengikat raga paling nujum
kukira kau tak lagi datang
sejak kita takut menulari wajah masing-masing
saling melepas biar
seperti layang-layang
dan ingatan pada nama kecilmu
2011
Requiem
10 musim dingin
dialamatkan pada namanya
ia mengadu tentang jadi tua
ngilu gusi
cinta
yang tak datang
kartu pos dari paris
mengirim dingin terburuk
daur garis tangan patah
menggambar perempuan
di mana kesendirian adalah biru salju
dan lengang jalan
sebelum pintu dibuka
mereka melepas sirine
tanda kematian
2012
Sebuah
Lorong di Kotaku
sebuah lorong di
kotaku
lintasan kereta dan
perempuan dalam film
sore adalah 15
menit dengan garis kemerahan
seperti durasi yang
dipendek-pendekkan
sebuah lorong di
kotaku
menunggu adegan
cinta
dan televisi
dimatikan
2012
Penari
ia melangkah
sepanjang selendang
meliuk dengan tubuh
yang bicara:
aku akan mengitari api
membelah dan mengiring
Rambutnya dibiarkan
terulur
menjangkau cahaya
seirama gerak
beburung
matanya, menulis
riwayat-riwayat cemas
sita yang dibawa
rama-rama
rama-rama yang
dibawa mati
sehelai tangis,
sebaris sepi
di tengah tarian
panjang
membuat rinai
tubuhnya
di pementasan ini
penari itu,
melantun seorang diri
dalam riuh ramai
kesunyian
2012
Patung Air Partini Tuin
dalam tubuh batu
padam matahari
sedingin kolam matanya
corak kain batik
tangannya menangkup bagai kuncup
menutup lubang pusar
ia bukan sita
padanya dikenakan
bunga-bunga tanpa warna
sepucat ikan
penjaga setia garis silsilah
tubuhnya basah
keningnya basah
heningnya basah
membuka diri
ke kedalaman air
sepanjang tahun
menunggu
hanyut
2011
Lidah Kaum Betina
kau takkan pernah mengira
betapa jari-jariku hitam dan memanjang
menjangkau dua butir ceri
jauh ke bukit mapel
jubahmulah yang membuat iri
si tukang jahit
hingga berselisih iman
bahkan mati bunuh diri
sebab diam-diam
ia tak lagi bisa menghitung
berapa jumlah kancing bajumu
jubah yang meluaskan niatku
untuk menanam rasa manis
sungguh, bukan permen atau es krim
yang pantas lumer di lidahku
melainkan lidahmu
lidah kaum betina
2012
Dua Mata
matamu yang liar itu
tak lagi pergi berburu
ia sudah tinggal di sini
di dalam mataku yang terpejam
tak lagi pergi berburu
ia sudah tinggal di sini
di dalam mataku yang terpejam
2011
Ritual di Meja Makan
sebelum hari ini sempurna
aku berdoa
untuk sebuah meja besar
dan lukisan ibu yang menggantung
di mana selalu ada iblis
mata pisau
bagi si pencemburu
betapa ia mahir
memisahkan
darah dari nanah
lapar dari birahi
sambil membayangkan
sekerat daging atau bibirmu
yang manis
yang menetap
dalam mulutku
2012
Kematian Jam
tersebab suara-suara bising
seseorang takkan mendengar
bagaimana aku menghitung mundur
sebuah arloji dengan jarumnya yang bingung
terjebak sepanjang hari
seperti angka-angka di kalender
kenapa harus mengentalkan air mata
pada kematian waktu
sedang apa yang bernyawa, kerap lupa
cara merawat rindu
2012
Di Rambutmu Angin Tak Lagi Mampir
di rambutmu, angin tak lagi mampir. setumpuk roti
gandum dan ice cream pada petang yang sahaja.
kenangku, dentang jam adalah genta bagi
kepulangan. sepasang sepatu ungu yang berlumut
dan tak lagi menyusun langkah. tapi rautmu,
setabah bunga tulip, sejak semula patah dalam
pot
tanah. tak ada yang menunggu di beranda ini,
selain
daun-daun gugur dan secangkir teh yang tak
hangat
lagi.
2012
Nostalgia
tak ada yang tiba di sini
tahun-tahun mengubah diri dalam kalender
kota dan kartu nama
menanda pertemuan
ingatku pada kecemasan jam
kenangan merumuskan kembali tubuh kita
Di mana setiap orang sembunyi
dari derita dan asam matahari
juga kau, tak ada lagi yang kujumpai
selain jalanan, gedung tua,
kulit kayu yang melumut
2012
Melankoli Ingatan
ia ingin membuang
ingatan, setelah dikenalnya
banyak hal. hujan
yang tak punya musim,
membiarkan kenangan
memasukkan tangis ke
dalam matanya. mata
yang dibuat dari daun-daun
kering, begitu
halus dan tabah. tahun-tahun
menatapnya.
tahun-tahun yang melukai. tapi kau
membebaskannya dari
kesakitan, juga melankoli. ia
ingin membuang
ingatan, di muka pintu, waktu
berhenti, perlahan
berjalan mundur.
2012
Mata Kancing
demi satu jam yang gelap oleh badai
bajumu lebih lebat
dari barisan pohon marigold
mengasihaniku
agar aku bisa sepenuhnya berteduh
seraya malu-malu pada
misalnya dua batang lilin
atau sebotol anggur putih kulit dada
demi satu jam yang gelap oleh badai
bolehlah merendam
rasa takut dari balik bajumu
seraya berharap
lampu-lampu
tak kembali menyala
2012
Tentang Irma Agryanti
Irma
Agryanti lahir
di Mataram, Lombok, 28 Agustus 1986. Merampungkan studi sastra Inggris di
Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta. Puisinya diumumkan di beberapa media
massa dan antologi puisi bersama. Kini bermukim di kota Kelahiran dan menjadi
volunteer di Komunitas Akar Pohon.
Catatan
Lain
Bandung Mawardi
menulis (hlm. 8): “Irma Agryanti mengundang kita menikmati puisi bermata.
Ungkapan ini dimaksudkan menjelaskan tentang ketekunan menulis “mata” di puisi.
Kita boleh bercuriga jika penggubah puisi tergoda “mata”. Godaan menimbulkan
hasrat menggubah puisi-penglihatan.//Mata sering mengingatkan kerja
kepujanggaan Rendra, Subagio Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono. Tiga pujangga
ini menekuni “mata” untuk mengungkap manusia dan dunia.”
Maka beberapa puisi dikutip. Puisi
“Mata Penyair” dan “Menara Kata” gubahan Subagio Sastrowardoyo, puisi “Mata
Pisau”-nya Sapardi dan “Mata Hitam” milik Rendra. Diperbandingkan dengan “Dua
Mata”, “Ritual di Meja Makan”, “Melankoli Ingatan” dan kutipan bait dari puisi
“Aku Tak Sedang Menulis Puisi Tentang Malam” atau “Ke Balkon”.
Oya, puisi-puisi dalam buku ini,
sebagian besarnya ada dalam blog Penari Kata-nya Irma Agryanti. Di antara puisi
terpilih di sini, ada dua puisi yang tak ada di blog, yaitu “Mata Kancing” dan “Ritual
di Meja Makan”. Satu lagi, puisi dalam buku tak ada penanda kota/tempat puisi
tercipta, hanya ada penanda tahun. Di blog, kerap ada. Nah, saya ingin mengutip
puisi yang asyik di blog Irma, namun tak ada di buku Requiem Ingatan. Salam Puisi.
Gaun
Hitam Dan Malam Pengantin Nona Conway
petang membawa
gamang
di lebat rambutnya
jatuh di
lembar-lembar daun
sebelum sepasang mata
kelabu
melintas gerbang
taman
menangkap pancaran
kesedihan
tak ada warna lain
yang melekat di tubuhnya
selain hitam kelam
lebih kelam dari
maut
padahal tak ada
perkabungan bagi sesiapapun
kuperhatikan ia
mengarang cerita
tentang Count
Fernando yang mati dibunuh
maka dibuatkan pula
malam dari gaun hitam
gaun hitam dan
malam pengantin
Nona Conway
dikenakan bersama
kekasihnya yang lain
Mataram,
2011
Penelopeia
perempuan yang menyanyi
pada sebuah perjamuan malam
dipinang bulan rambutnya wangi anggur
pada sebuah perjamuan malam
dipinang bulan rambutnya wangi anggur
ia mencari laki-laki
seorang odysseus
berdiri mengenakan helm baja
juga perisai dan dua tombak bersayap perak
dulu pernah dibuatkannya selimut kulit lembu
sebelum para peziarah melahirkan kata-kata dusta
lantas dengan berani melamarnya
seorang odysseus
berdiri mengenakan helm baja
juga perisai dan dua tombak bersayap perak
dulu pernah dibuatkannya selimut kulit lembu
sebelum para peziarah melahirkan kata-kata dusta
lantas dengan berani melamarnya
penelopeia, perempuan penjaga ithaca
menabur rambutnya di cawan perak
sesaji bagi para dewa
supaya pilar-pilar penyangga langit dan bumi itu runtuh
maka bebaslah ia
menabur rambutnya di cawan perak
sesaji bagi para dewa
supaya pilar-pilar penyangga langit dan bumi itu runtuh
maka bebaslah ia
perjamuan belum lagi usai
di kamar, penelopeia menenun air matanya
menjadi sungai, menjadi tubuhnya
di kamar, penelopeia menenun air matanya
menjadi sungai, menjadi tubuhnya
Pasar Kembang
seorang perempuan muncul dari gerbong
ketika magrib mulai raib
adakah tuhan turun petang ini
atau ia mati di rel
setelah mencicip doa paling lacur
ketika magrib mulai raib
adakah tuhan turun petang ini
atau ia mati di rel
setelah mencicip doa paling lacur
Ngarsopuro
ngarsopuro, mata malam menari
di sebuah lampu minyak
mercusuar berdiri menyilau
dan lukisan tinta batik
dimana kita memejam pikiran masing-masing
antara duka dan dukana
di sebuah lampu minyak
mercusuar berdiri menyilau
dan lukisan tinta batik
dimana kita memejam pikiran masing-masing
antara duka dan dukana
seperti kau, aku pun menemu diri
menuju pelataran waktu
maka ingatan menjadi sengat sembilu
dan perjalanan menjadi belukar
menuju pelataran waktu
maka ingatan menjadi sengat sembilu
dan perjalanan menjadi belukar
biarlah aku mematung tubuh
ke dalam sunyi pasar malam
sementara ngarsopuro
menjelma rumah burung
riuh dengan siul
yang bersarang di keningku
ke dalam sunyi pasar malam
sementara ngarsopuro
menjelma rumah burung
riuh dengan siul
yang bersarang di keningku
Puisi yang Dibantai
jangan menulis puisi di negeriku
sebab di sini orang-orang tak pandai membaca
kau tulis lapar, mereka baca bakar
kau tulis sakit, mereka baca sikut
kau tulis sekolah, mereka baca selokan
tanda tanya menjadi tanda seru
sebab di sini orang-orang tak pandai membaca
kau tulis lapar, mereka baca bakar
kau tulis sakit, mereka baca sikut
kau tulis sekolah, mereka baca selokan
tanda tanya menjadi tanda seru
tapi kami adalah penyair, katamu
penulis sejarah yang ulung
kami tidak menghujam atau menyimpan dendam
melainkan sebuah kebenaran
penulis sejarah yang ulung
kami tidak menghujam atau menyimpan dendam
melainkan sebuah kebenaran
maka selepas subuh mereka datang
tanpa mengucap salam
kecuali kebengisan yang angkuh
pagi yang kacau bersama syair-syair bertebaran di lantai
dan isterimu yang mati mengapung di atas darahnya sendiri
lantas kau lihat mereka menari-nari
seperti tarian tikus di atas keju
membakar kertas-kertas, buku-buku, dan meludahinya
tanpa mengucap salam
kecuali kebengisan yang angkuh
pagi yang kacau bersama syair-syair bertebaran di lantai
dan isterimu yang mati mengapung di atas darahnya sendiri
lantas kau lihat mereka menari-nari
seperti tarian tikus di atas keju
membakar kertas-kertas, buku-buku, dan meludahinya
sudah kukatakan jangan menulis puisi
tapi kami bukan anjing, katamu
kami menulis tanpa perintah
biarlah kami mengerjakan apa yang selama ini kami kerjakan
demikian hari-hari aku bungkam
sampai generasimu datang
mereka yang lahir dari ujung pena ini
dan menjelaskan apa-apa yang sedang terjadi di negeriku
-mataram, 2010-
tapi kami bukan anjing, katamu
kami menulis tanpa perintah
biarlah kami mengerjakan apa yang selama ini kami kerjakan
demikian hari-hari aku bungkam
sampai generasimu datang
mereka yang lahir dari ujung pena ini
dan menjelaskan apa-apa yang sedang terjadi di negeriku
-mataram, 2010-
Kejahatan
Ciuman
tak perlu doa
untuk sebuah
kejahatan
hanya cinta
sedikit daya
berjalan dari ujung
gang,
sunyi dan ciuman
barangkali bibirmu
memenangkan
pertarungan
mengalahkan
peperangan
kurusetra dalam
diri
tak ada sesal,
meski engkau
terlanjur
merenggutku
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar