Data buku kumpulan puisi
Judul : Sembahyang Karang
Penulis : Arini Hidajati
Cetakan : I, Juni 2003
Penerbit : Putra Langit, Yogyakarta.
Tebal : 92 halaman (74 puisi)
ISBN : 979-9373-10-7
Pra cetak : Agus Salim
Cover : Haitami El Jaid
Beberapa pilihan puisi Arini
Hidajati dalam Sembahyang Karang
Kemiskinan II
Aku adalah perempuan miskin, yang lahir dari
rakyat
kecil, dan dilahirkan oleh sejarah yang
miskin. Aku
lahir diantara ribuan mereka yang lahir, di
bale-bale
yang keras, di dalam gubug yang berlobang,
disebabkan oleh ayahku yang papa, yang suatu
malam
mendatangi ke peluk perempuan ibuku yang
miskin.
Aku tumbuh di tengah-tengah mereka yang makan
dari belas kasih matahari dan minum dari air
hujan.
Aku tumbuh di tengah-tengah ladang yang kering
dan
tandus yang andalkan tanah sempit tegalan
bersama-
sama tengadahkan tangan rindukan hujan,
membasahi
rumput-rumput dan tenggorokan. Aku hidup dalam
akar yang gersang, kutanami dan kutuai
buah-buah
kesengsaraan dan penderitaan. Aku tumbuh
menjadi
tetesan embun yang tak berarti, yang hidup
dalam
ketakutan akan gunjangan angin, atau gerak
dedaunan. Aku hidup bersama perjalanan
hari-hari
dan berputarnya bumi, dalam kemiskinan yang
semakin mengoyaklaparkan tubuhku yang dahaga.
Tapi dalam kemiskinan, aku hanya ingin bicara
cinta,
karena ialah rahasia penyelamatan jiwaku, dan
mengayakan diriku dalam kasihNya, menggapai
lewat
doa, mencapai kesejatian pengabdian, harap
bisa
menikmati wajahNya.
Yogyakarta, Februari 1998
Anggur Kebijakan
Aku belajar menulis puisi, dari desauan angin
yang
menerpa, dari panasnya mentari, dari nyanyian
burung, dari tangisan bayi, dari desahan nafas
penderitaan, dari kesendirian yang mengiris
kalbu,
dari seluruh gerak dan diam alam, kutuang dan
kutuang, setetes demi setetes, dalam cawan
anggur
kebijaksanaan, untuk kupersembahkan padaMu,
meskipun kutahu, Kau tak perlu itu.
Yogyakarta, Oktober 1996
Terkoyak Aku
Aku berjalan di atas padang rumput kekecewaan,
di
semak-semak penderitaan, di atas gelombang
putus
asa dan harapan. Aku terombang-ambing, dan
jiwaku
berkata, “Begitu kenyangkah diriku dengan
hidup
yang seperti ini, dimana bagian lain dari
dunia yang
bernama kemanisan dan kesenangan? Telah
pergikah
semua dari relung jiwaku, dari detak jantungku,
dari
udara di sekelilingku, atau memang Tuhan
menyengaja
hal ini untuk menguatkanku, untuk menemukanNya
dalam keresahanku yang tiada batas?”
Yogyakarta, Maret 1997
Jiwa Itu Kumpulan Cahaya
Rasul
Aku ingin seperti Ya’kub, yang buta demi
cinta. Aku
ingin seperti Yunus yang merasakan kedalaman
dan
kekhusukan taubat. Aku ingin seperti Musa yang
harap melihat Engkau. Aku ingin seperti Isa
yang diam
penuh tapa. Aku ingin seperti Muhammad yang
merasakan mi’raj dan melihat Engkau.
Yogyakarta, 1996
Untaian Fajar II
Aku lapar, tapi hanya kumau anggur, karena
rinduku
pada pemiliknya, dan anggur itupun bukanlah
apa-
apa, tapi Engkaulah anggur itu sesungguhnya
yang
memabukkanku.
Yogyakarta, 30 Maret 1997
Merenungi Hidup
Dalam kebebasannya seorang manusia, dalam
kedalaman penghayatan akan makna dan hakekat
hidup yang dijalaninya, dalam kesendirian,
dalam
setiap kesunyian, gelap dan terang, dalam
keterlepasan
dari segala kecintaan, kecuali kecintaan
dengan Tuhan,
dalam nikmatnya menikmati hidup dan Tuhan,
dalam segalanya, ia ‘kan kian terbebas dari
segala
ikatan: ikatan dunia, ikatan kepemilikan,
ikatan benda-
benda, ikatan hidup yang membelenggu.
Aku menoleh pada diri, mencari jawab sebuah
tanya,
sudah sedemikian terbebaskankah diriku.
Yogyakarta, Maret 1997
Bangun dari Tidur Kehampaan
Ini
Perempuanku, cintaku, bagaimana dengan segala
keadaan yang telah memojokkanmu pada sesuatu
yang
bernama suratan takdir, garis nasib, tradisi
kaum
lelaki, yang telah memaksamu menjalaninya. Tak
sadar
kau bahwa semua telah menenggelamkanmu pada
ujung sempit dunia, yang tiada kau mengerti
selain
menanti hari-hari berlalu dalam rutinitas yang
begitu-
begitu saja! Perempuanku, bangun dari tidur
kelenaan
ini, bangun dari semua, dari cengkeraman
laki-laki,
dari fatwa dan dogma laki-laki, dari
ketentuan-
ketentuan yang belum membebaskan, dari segala
kebodohan dan kepicikanmu, atau dari belenggu
‘tradisi’, tradisi desa, tradisi kota, yang
sungguh tak
kau mengerti. Aku lihat semua telah
menghitamkan
tembikar di dapurmu. Bangunlah, hanya demi
Tuhan,
bukan karena dendam dan hasrat pribadi yang
ingin
menang sendiri, atau bukan dari yang lain.
Bukan itu
kita disuruh hidup, tapi hanya demi Tuhan.
Itulah jalan
keutamaan yang bisa menerbangkanmu ke rahasia
zat
Allah. Wahai perempuan, kaumku, kaum ibuku,
kaum
anak-anakku perempuan, mari kayuh kebersamaan
yang membebaskan, menuju zat keabadian dengan
cinta, bukan dengan berkoar-koar yang hanya
bisa
memekakkan telinga dan hilang ditelan
kesemestaan
gempita. Tapi mari korbankan diri, korbankan
darah
dan air mata, di setiap ujung dan pojok dunia,
atau di
mana saja, dengan ilmu pengetahuan dan
kehalusan
cinta. Seperti Ismail kita hendaknya, yang
hanya demi
Cinta rela membuang cinta, bukan untuk
memperolehnya, karena Cinta tiada meminta
balasan.
Kini, mari topang langkah kita hanya dengan
ketelanjangan, melewati jalan keutamaan, jalan
kebebasan, jalan Tuhan dan cinta Muhammad.
Yogyakarta, Desember 1996
Memang Demikiankah Cinta
Itu?
Karena kecintaanku padamu, ingin kuejek diriku,
ingin
‘ku melupakanmu, tak mengingatmu lagi. Karena
cintaku tlah merobek kesejatian hidupnya
hatiku,
menyingkirkan kesadaran, kalau kau ternyata
sudah
menemukan duniamu sendiri. Kini, ingin
kubutakan
mataku dari cinta dan kututup dunia, karena
cinta
memang harus berpisah, kecuali cinta padaNya.
Yogyakarta, 1996
Rasa Perjalanan
Sekali waktu harus kumanjakan diriku, dengan
perjalanan panjang ini, dengan lapar dan
dahaga ini,
dengan kering dan kurusnya tubuh ini, dengan
pucat
pasi seluruh wajahku, dengan gemetar dan
gemeletuk
gigi-gigiku, dengan panas yang membakar
seluruh
tubuhku. Biar! Biar aku puas dalam kenikmatan,
dalam
damai jiwa insan petapa.
Demak, 14 Oktober 1996
Asmara Kita
Menanti pertemuan denganMu derita bagiku,
puncak
gelisahku. Asmaraku kuharap juga jadi
asmaraMu,
kuingin selalu bersatu, sampai hilang
keakuanku,
sampai lenyap kedirianku. Terbang! Terbanglah
cintaku menuju ke angin keutamaan.
Wahai Jibril! Antarkan aku pada Kekasihku…
sebagaimana kau pernah mengantarkan Muhammad
untuk menikmati keindahan wajahNya.
Demak, 14 Oktober 1996
Dengan Asma Allah
Dengan asma Allah yang namaNya memenuhi segala
sesuatu, segala ruang, waktu dan keadaan.
Dengan
asma Allah yang keberadaanNya bagi manusia
adalah
penerang, cahaya, kebahagiaan. Dengan asma
Allah
yang keagunganNya menyeret manusia pasrah
dalam
ketundukan total akan kebesaran dan kesucian.
Dengan asma Allah yang ketika namaNya disebut
bergetar hati lemah tak berdaya. Dengan asma
Allah
yang telah menjadikan indahnya air mata mampu
menerobos segala tabir rahasia kediamanNya. Dengan
asma Allah yang kesucianNya membuat iri aku
hamba
yang berbaju dosa, kutambal dan kutambal,
dengan
serpihan cela. Dengan asma Allah yang
menciptakan
manusia-manusia suci yang tak tertandingi
kebersihan
dan ketercerahannya. Dengan asma Allah yang
menjadikan hidup ini begitu misteri, memaku
kebingungan manusia.
Yogyakarta, 27 Shafar 1416 H
Tenggelam di Cahaya Sirna
Dalam diam aku ingin bercinta, dalam hitam aku
ingin
tiada, dalam gelap aku ingin tafakur, zikir
dan do’a.
Dalam terang hanya kuingin Engkau yang satu
ada,
lainnya tiada. Dalam keramaian aku tak ingin
semua
ada, kecuali Engkau yang nampak. Dalam terang
ini,
dalam gelap ini, dalam semuanya, kuingin
diriku sirna,
tenggelam dalam Engkau.
Yogyakarta, 1995
Irama Kehidupan
Musik alam, gemericik air, desauan angin,
terasa
kental, spiritual, dalam, agung dan tentram.
Wahai
Engkau, tapi suaraMu lebih indah, kekal dan
merdu.
Yogyakarta, Desember 1995
Cinta Mawar
Aku tahu cinta mawar banyak durinya. Ia
mengusik
dan menguasai diriku, tapi kini kusadar,
memang
mawar jelita, namun keindahannya segera
lenyap.
Kukatakan, ”Siapa mencari kesempurnaan, jangan
menjadi budak cinta yang begitu cepat
berlalu.”
Yogyakarta, 10 Agustus 1997
Bahasa Alam
Di atas batu cadas aku menghadap, alam
membentang
sibuk berbenah, menuju ke Yang Terkasih. Ingin
kutiru
zikirmu wahai angin, wahai burung, wahai hewan
dan
tumbuhan, pun wahai air dan batu, agar sejuk
senantiasa jiwa, damai senantiasa batin, akan
khasanah
cinta. Ingin kupelajari bahasa kalian, bahasa
isyarat
ketuhanan.
Yogyakarta, Maret 1996
Lumpuhkan Daku dalam CintaMu
Mendekatlah padaku wahai Kekasih, karena telah
buta
mataku, telah lumpuh kakiku, tak mampu sudah
pendengaranku mengetahui segalanya, hanya
tanganku yang siap merangkulMu. Tuhan, buta,
tuli
dan lumpuhkan daku akan segala yang selainMu,
karena itulah jiwaku sembuh, mengantarkanku
padaMu.
Yogyakarta, Agustus 1997
Terkoyak Aku dalam CintaMu
Oh Allah, memang benar kata Ali Zainal Abidin,
mana
mungkin orang yang telah mencerap CintaMu,
akan
mencerap cinta pada yang selainMu.
Yogyakarta, 12 Mei 1996
Tentang Arini Hidajati
Arini
Hidajati lahir
di pesisir pantai utara Jepara. Alumni Ilmu Komunikasi UGM. Bukunya antara
lain: Jiwa-jiwa Pencinta, Budak Tuan
Raja, Wong Edan, Rumput-rumput tak Mau Kering, Sebeb Aku Burung Fana dan Arang Perempuan. Tak disebutkan tahun
lahir di buku itu, hanya dijelaskan bahwa ia berusia 30-an dan sedang
menantikan kelahiran anak pertama.
Catatan
Lain
Penulis memberi
catatan di halaman 5, dijuduli: Pada
Sebuah Permulaan: “Kumpulan tulisan ini saya lebih suka menyebutnya sajak.
Sajak-sajak terang. Kalau puisi mengingatkan pada sebuah etika keindahan yang
harus dipenuhi, dan syair menyadarkan saya akan kehalusan dan ketajaman
bahasanya, namun sajak-sajak ini hanyalah kumpulan kata yang tidak mengajak
Anda untuk mengerutkan kepala…. Sajak ini, Anda pun bisa menendangnya, karena
mungkin ia tidak mempunyai bobot yang cukup berarti, tapi saya tetap berharap,
bagai debu, ia siap untuk Anda terbangkan menuju Dzat Keabadian.”
Lalu penulis berkata bahwa ini
adalah catatan yang dibuat antara 1994-1998. Salam puisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar