Senin, 01 Juni 2015

Arini Hidajati: SEMBAHYANG KARANG




Data buku kumpulan puisi

Judul : Sembahyang Karang
Penulis : Arini Hidajati
Cetakan : I, Juni 2003
Penerbit : Putra Langit, Yogyakarta.
Tebal : 92 halaman (74 puisi)
ISBN : 979-9373-10-7
Pra cetak : Agus Salim
Cover : Haitami El Jaid

Beberapa pilihan puisi Arini Hidajati dalam Sembahyang Karang

Kemiskinan II

Aku adalah perempuan miskin, yang lahir dari rakyat
kecil, dan dilahirkan oleh sejarah yang miskin. Aku
lahir diantara ribuan mereka yang lahir, di bale-bale
yang keras, di dalam gubug yang berlobang,
disebabkan oleh ayahku yang papa, yang suatu malam
mendatangi ke peluk perempuan ibuku yang miskin.
Aku tumbuh di tengah-tengah mereka yang makan
dari belas kasih matahari dan minum dari air hujan.
Aku tumbuh di tengah-tengah ladang yang kering dan
tandus yang andalkan tanah sempit tegalan bersama-
sama tengadahkan tangan rindukan hujan, membasahi
rumput-rumput dan tenggorokan. Aku hidup dalam
akar yang gersang, kutanami dan kutuai buah-buah
kesengsaraan dan penderitaan. Aku tumbuh menjadi
tetesan embun yang tak berarti, yang hidup dalam
ketakutan akan gunjangan angin, atau gerak
dedaunan. Aku hidup bersama perjalanan hari-hari
dan berputarnya bumi, dalam kemiskinan yang
semakin mengoyaklaparkan tubuhku yang dahaga.
Tapi dalam kemiskinan, aku hanya ingin bicara cinta,
karena ialah rahasia penyelamatan jiwaku, dan
mengayakan diriku dalam kasihNya, menggapai lewat
doa, mencapai kesejatian pengabdian, harap bisa
menikmati wajahNya.

Yogyakarta, Februari 1998


Anggur Kebijakan

Aku belajar menulis puisi, dari desauan angin yang
menerpa, dari panasnya mentari, dari nyanyian
burung, dari tangisan bayi, dari desahan nafas
penderitaan, dari kesendirian yang mengiris kalbu,
dari seluruh gerak dan diam alam, kutuang dan
kutuang, setetes demi setetes, dalam cawan anggur
kebijaksanaan, untuk kupersembahkan padaMu,
meskipun kutahu, Kau tak perlu itu.

Yogyakarta, Oktober 1996



Terkoyak Aku

Aku berjalan di atas padang rumput kekecewaan, di
semak-semak penderitaan, di atas gelombang putus
asa dan harapan. Aku terombang-ambing, dan jiwaku
berkata, “Begitu kenyangkah diriku dengan hidup
yang seperti ini, dimana bagian lain dari dunia yang
bernama kemanisan dan kesenangan? Telah pergikah
semua dari relung jiwaku, dari detak jantungku, dari
udara di sekelilingku, atau memang Tuhan menyengaja
hal ini untuk menguatkanku, untuk menemukanNya
dalam keresahanku yang tiada batas?”

Yogyakarta, Maret 1997


Jiwa Itu Kumpulan Cahaya Rasul

Aku ingin seperti Ya’kub, yang buta demi cinta. Aku
ingin seperti Yunus yang merasakan kedalaman dan
kekhusukan taubat. Aku ingin seperti Musa yang
harap melihat Engkau. Aku ingin seperti Isa yang diam
penuh tapa. Aku ingin seperti Muhammad yang
merasakan mi’raj dan melihat Engkau.

Yogyakarta, 1996


Untaian Fajar II

Aku lapar, tapi hanya kumau anggur, karena rinduku
pada pemiliknya, dan anggur itupun bukanlah apa-
apa, tapi Engkaulah anggur itu sesungguhnya yang
memabukkanku.

Yogyakarta, 30 Maret 1997


Merenungi Hidup

Dalam kebebasannya seorang manusia, dalam
kedalaman penghayatan akan makna dan hakekat
hidup yang dijalaninya, dalam kesendirian, dalam
setiap kesunyian, gelap dan terang, dalam keterlepasan
dari segala kecintaan, kecuali kecintaan dengan Tuhan,
dalam nikmatnya menikmati hidup dan Tuhan,
dalam segalanya, ia ‘kan kian terbebas dari segala
ikatan: ikatan dunia, ikatan kepemilikan, ikatan benda-
benda, ikatan hidup yang membelenggu.
Aku menoleh pada diri, mencari jawab sebuah tanya,
sudah sedemikian terbebaskankah diriku.

Yogyakarta, Maret 1997


Bangun dari Tidur Kehampaan Ini

Perempuanku, cintaku, bagaimana dengan segala
keadaan yang telah memojokkanmu pada sesuatu yang
bernama suratan takdir, garis nasib, tradisi kaum
lelaki, yang telah memaksamu menjalaninya. Tak sadar
kau bahwa semua telah menenggelamkanmu pada
ujung sempit dunia, yang tiada kau mengerti selain
menanti hari-hari berlalu dalam rutinitas yang begitu-
begitu saja! Perempuanku, bangun dari tidur kelenaan
ini, bangun dari semua, dari cengkeraman laki-laki,
dari fatwa dan dogma laki-laki, dari ketentuan-
ketentuan yang belum membebaskan, dari segala
kebodohan dan kepicikanmu, atau dari belenggu
‘tradisi’, tradisi desa, tradisi kota, yang sungguh tak
kau mengerti. Aku lihat semua telah menghitamkan
tembikar di dapurmu. Bangunlah, hanya demi Tuhan,
bukan karena dendam dan hasrat pribadi yang ingin
menang sendiri, atau bukan dari yang lain. Bukan itu
kita disuruh hidup, tapi hanya demi Tuhan. Itulah jalan
keutamaan yang bisa menerbangkanmu ke rahasia zat
Allah. Wahai perempuan, kaumku, kaum ibuku, kaum
anak-anakku perempuan, mari kayuh kebersamaan
yang membebaskan, menuju zat keabadian dengan
cinta, bukan dengan berkoar-koar yang hanya bisa
memekakkan telinga dan hilang ditelan kesemestaan
gempita. Tapi mari korbankan diri, korbankan darah
dan air mata, di setiap ujung dan pojok dunia, atau di
mana saja, dengan ilmu pengetahuan dan kehalusan
cinta. Seperti Ismail kita hendaknya, yang hanya demi
Cinta rela membuang cinta, bukan untuk
memperolehnya, karena Cinta tiada meminta balasan.
Kini, mari topang langkah kita hanya dengan
ketelanjangan, melewati jalan keutamaan, jalan
kebebasan, jalan Tuhan dan cinta Muhammad.

Yogyakarta, Desember 1996


Memang Demikiankah Cinta Itu?

Karena kecintaanku padamu, ingin kuejek diriku, ingin
‘ku melupakanmu, tak mengingatmu lagi. Karena
cintaku tlah merobek kesejatian hidupnya hatiku,
menyingkirkan kesadaran, kalau kau ternyata sudah
menemukan duniamu sendiri. Kini, ingin kubutakan
mataku dari cinta dan kututup dunia, karena cinta
memang harus berpisah, kecuali cinta padaNya.

Yogyakarta, 1996


Rasa Perjalanan

Sekali waktu harus kumanjakan diriku, dengan
perjalanan panjang ini, dengan lapar dan dahaga ini,
dengan kering dan kurusnya tubuh ini, dengan pucat
pasi seluruh wajahku, dengan gemetar dan gemeletuk
gigi-gigiku, dengan panas yang membakar seluruh
tubuhku. Biar! Biar aku puas dalam kenikmatan, dalam
damai jiwa insan petapa.

Demak, 14 Oktober 1996


Asmara Kita

Menanti pertemuan denganMu derita bagiku, puncak
gelisahku. Asmaraku kuharap juga jadi asmaraMu,
kuingin selalu bersatu, sampai hilang keakuanku,
sampai lenyap kedirianku. Terbang! Terbanglah
cintaku menuju ke angin keutamaan.
Wahai Jibril! Antarkan aku pada Kekasihku…
sebagaimana kau pernah mengantarkan Muhammad
untuk menikmati keindahan wajahNya.

Demak, 14 Oktober 1996


Dengan Asma Allah

Dengan asma Allah yang namaNya memenuhi segala
sesuatu, segala ruang, waktu dan keadaan. Dengan
asma Allah yang keberadaanNya bagi manusia adalah
penerang, cahaya, kebahagiaan. Dengan asma Allah
yang keagunganNya menyeret manusia pasrah dalam
ketundukan total akan kebesaran dan kesucian.
Dengan asma Allah yang ketika namaNya disebut
bergetar hati lemah tak berdaya. Dengan asma Allah
yang telah menjadikan indahnya air mata mampu
menerobos segala tabir rahasia kediamanNya. Dengan
asma Allah yang kesucianNya membuat iri aku hamba
yang berbaju dosa, kutambal dan kutambal, dengan
serpihan cela. Dengan asma Allah yang menciptakan
manusia-manusia suci yang tak tertandingi kebersihan
dan ketercerahannya. Dengan asma Allah yang
menjadikan hidup ini begitu misteri, memaku
kebingungan manusia.

Yogyakarta, 27 Shafar 1416 H


Tenggelam di Cahaya Sirna

Dalam diam aku ingin bercinta, dalam hitam aku ingin
tiada, dalam gelap aku ingin tafakur, zikir dan do’a.
Dalam terang hanya kuingin Engkau yang satu ada,
lainnya tiada. Dalam keramaian aku tak ingin semua
ada, kecuali Engkau yang nampak. Dalam terang ini,
dalam gelap ini, dalam semuanya, kuingin diriku sirna,
tenggelam dalam Engkau.

Yogyakarta, 1995


Irama Kehidupan

Musik alam, gemericik air, desauan angin, terasa
kental, spiritual, dalam, agung dan tentram. Wahai
Engkau, tapi suaraMu lebih indah, kekal dan merdu.

Yogyakarta, Desember 1995


Cinta Mawar

Aku tahu cinta mawar banyak durinya. Ia mengusik
dan menguasai diriku, tapi kini kusadar, memang
mawar jelita, namun keindahannya segera lenyap.
Kukatakan, ”Siapa mencari kesempurnaan, jangan
menjadi budak cinta yang begitu cepat berlalu.”

Yogyakarta, 10 Agustus 1997


Bahasa Alam

Di atas batu cadas aku menghadap, alam membentang
sibuk berbenah, menuju ke Yang Terkasih. Ingin kutiru
zikirmu wahai angin, wahai burung, wahai hewan dan
tumbuhan, pun wahai air dan batu, agar sejuk
senantiasa jiwa, damai senantiasa batin, akan khasanah
cinta. Ingin kupelajari bahasa kalian, bahasa isyarat
ketuhanan.

Yogyakarta, Maret 1996


Lumpuhkan Daku dalam CintaMu

Mendekatlah padaku wahai Kekasih, karena telah buta
mataku, telah lumpuh kakiku, tak mampu sudah
pendengaranku mengetahui segalanya, hanya
tanganku yang siap merangkulMu. Tuhan, buta, tuli
dan lumpuhkan daku akan segala yang selainMu,
karena itulah jiwaku sembuh, mengantarkanku
padaMu.

Yogyakarta, Agustus 1997


Terkoyak Aku dalam CintaMu

Oh Allah, memang benar kata Ali Zainal Abidin, mana
mungkin orang yang telah mencerap CintaMu, akan
mencerap cinta pada yang selainMu.

Yogyakarta, 12 Mei 1996


Tentang Arini Hidajati
Arini Hidajati lahir di pesisir pantai utara Jepara. Alumni Ilmu Komunikasi UGM. Bukunya antara lain: Jiwa-jiwa Pencinta, Budak Tuan Raja, Wong Edan, Rumput-rumput tak Mau Kering, Sebeb Aku Burung Fana dan Arang Perempuan. Tak disebutkan tahun lahir di buku itu, hanya dijelaskan bahwa ia berusia 30-an dan sedang menantikan kelahiran anak pertama.


Catatan Lain
Penulis memberi catatan di halaman 5, dijuduli: Pada Sebuah Permulaan: “Kumpulan tulisan ini saya lebih suka menyebutnya sajak. Sajak-sajak terang. Kalau puisi mengingatkan pada sebuah etika keindahan yang harus dipenuhi, dan syair menyadarkan saya akan kehalusan dan ketajaman bahasanya, namun sajak-sajak ini hanyalah kumpulan kata yang tidak mengajak Anda untuk mengerutkan kepala…. Sajak ini, Anda pun bisa menendangnya, karena mungkin ia tidak mempunyai bobot yang cukup berarti, tapi saya tetap berharap, bagai debu, ia siap untuk Anda terbangkan menuju Dzat Keabadian.”
            Lalu penulis berkata bahwa ini adalah catatan yang dibuat antara 1994-1998. Salam puisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar