Data buku kumpulan puisi
Judul : Jejak Cermin Suatu Senja
Penulis : Rustam Effendi, Sukrani Maswan dan A. Rasyidi Umar
Cetakan : I, 1989
Penerbit : Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI), Komisariat Kalimantan
Selatan.
Tebal : xii + 64 halaman (57 puisi)
Jejak Cermin Suatu Senja adalah kumpulan puisi bertiga, secara berurut,
Rustam Effendi (18 puisi), Syukrani Maswan (15 puisi), A. Rasyidi Umar (24 puisi). Judul puisi
diambil dari puisi masing-masing penyair, yaitu Jejak karya A. Rasyidi Umar, Cermin
karya Syukrani Maswan dan Suatu Senja
karya Rustam Effendi.
Beberapa pilihan puisi Rustam
Effendi dalam Jejak Cermin Suatu Senja
Suatu Senja
Langit yang bagai cungkup
tinggi sekali
kuning tembaga di atasnya
langit yang bagai cungkup
tinggi sekali
ada segumpal putih
terbirit ke sana
langit yang bagai cungkup
tinggi sekali
kadang tak terperi
langit yang bagai cungkup
mengurung hamba di sini
kenapa hamba baru mengerti
Negeriku I
berbatas surga
sungai perak mengalir sejuk
ikan pik-pik di dalamnya
tangkap olehmu sesukamu
di ujung sana
hutan bentara
di atasnya buah surga
ambil olehmu
sesukamu
itu di sana
gunung beledru
benteng perkasa
nyawa kami
Negeriku II
bila malam
gelap semua
juga swara
toleh ke atas
bulan terus purnama
juga bintang yang menabur cerita
wahai pohon-pepohonan
tahan olehmu cahya itu
kecuali seberkas dan seberkas
yang mengukir cerita suci
tentang cinta kepadanya
wahai berkas cahya bulan purnama
cahya bintang yang lip-lip
yang mengukir cerita suci
kudekap isteriku
kupeluk anakku
Aku
aku
adalah doa ayah bunda
yang tangannya cekung
menadah ke atas
yang penuh harap
yang matanya nanar
kadang berair
Pengemis
masih terasa
ketika tangan yang terakhir
menadah dan lunglai
orang-orang berdesak lalu
cepat sekali tak sempat tahu
ada juga yang mengerling sebentar
nafasnya terengah
ketika tangannya yang kosong
rebah bersama tubuhnya
Hujan Turun Lagi Anakku
hujan turun lagi anakku
tentu pohon para basah lagi
dan pucuk-pucuk ilalang
terasa menusuk-nusuk jantung ini
hujan turun lagi anakku
apa yang kau makan pagi ini
sepotong umbi pun jadilah
tapi, angin pun telah lama
sembunyi ke kota
hujan turun lagi anakku
hanya satu yang tersisa pada bunda
semoga malaikat datang segera
membawa sepotong umbi
pun
jadilah
Kemarau Datang Lagi Anakku
kemarau datang lagi anakku
tangan ini semakin kaku
dan ulu cangkul olehku
bara terasa
dan tanah ini batu dan bata
kemarau datang lagi anakku
lihat tanaman tak berpucuk
dan mata cangkul yang mengerang
membacok batu dan bata
kemarau datang lagi anakku
apa yang kau makan siang ini
lihat tanaman tak berpucuk
di tangan bapak ada batu dan bata
Seorang Anak
seorang anak
menoleh sayu
pada temannya
yang mengerat
sepotong daging
yang menyanyi ria
makanan bergizi
dan imunisasi
Beberapa pilihan puisi Sukrani
Maswan dalam Jejak
Cermin Suatu Senja
Cermin
diri
ketika senja
kita tak lagi dapat berkaca
karena bayang-bayang telah luka
Kepasrahan
Diam
Kulihat kau malam-malam
melaju di jalan aspal diburu
bayang-bayang yang ketakutan
Sampai kapankah malam mau menguntitmu
atau telah kau pasrahkan pada bayang-bayang
kesetiaan yang mau berhenti jika kau diam
Satu
Episode
Sempat aku berkencan menunggu magrib
Menyilang hidup tua
Di tempat yang bernama dosa
Tak juga kufahami itu,
kalung isteriku jatuh ke lantai
Selamat
Pagi Sungai Martapura
Selamat pagi Sungai Martapura
Selamat pagi wasiatku yang hilang
pagi lalu. Tuan telah membawanya, dan
sungai ini telah menghanyutkan Tuan
ke muara. Sungai ini pangkal cinta saya.
Berenang saya pada airnya. Telah saya reguk
sepanjang usia. Tak juga saya pernah lepas
dahaga. Tapi Tuan tak juga mau mengerti.
Sebentar tuan akan pergi. Kapan pun tak
akan kembali. Saya percaya, saya yakin
Tuan tak kembali. Tuan pulang, pada negri
tak berjanji. Air ini, diri kini, sekarang
dan lusa adalah dua kehidupan yang berseberangan
Lalu Tuan pun akan tenggelam dalam air,
entahlah
akan jadi apa.
Selamat pagi Sungai Martapura
Cinta saya mereguk airnya
Karasmin
Tanah air dan udara
yang memberi hidup
Suatu ketika
sengsaralah yang diberinya
Tanah adalah gumpalan hikmat
dan air selalu meluncur tak kembali
tinggalkan siapa-siapa dengan caci maki
Dalam rugi sepi dan sendiri
kecuali bekas bercinta yang luruh pada suatu
sisi
Seperti ambul seperti apa
Semua tidak seperti
Udara adalah nafas yang selalu meniup
ubun-ubun dengan suara gemetar
Menyungkal ulu hati, meniarapi jasmani
Lalu dibaginya tanpa belas kasih
Tiada juga waktu diulur
Busur bertatah emas hanya warna sukma suara
yang datang dari nista parigal
Nanti saatnya jendela ditutup hampalah udara
Tanah tak lagi memberi warna alami
Karasmin pun diusaikan dengan rasa menyesal
Beban inilah parigal yang memburu karasmin
Senantiasa ia panahkan
Menangis
Malam
Di istirah malam
Tak terpadamkan lentera
Meski hati dan mata terpejam
Lantaran gundah oleh duka dosa
Di istirah malam
Menangis seribu sesal bergayutan
yang menular dari keyakinan asal
Pada tasbih mengucur deras
La Ilahaillallah
Tatkala teringat beribu pasang kealpaan
Menangis malam
Istirah hari tua
Manifestasi hakiki yang terlalu kelam
Ampunilah aku ya Tuhan
Panggalaman
Ada tempat sunyi, panggalaman
Saudaraku bermukim di sana
Di tempat rawa berpasir putih
Ia menimba nasibnya
tanpa angan-angan
Saudaraku menangguk nasibnya
menyelam ke dasarnya
lalu tak lagi tiba di permukaan
Beberapa pilihan puisi A.
Rasyidi Umar dalam Jejak Cermin Suatu Senja
JEJAK
akhirnya takluklah Adam
di kaki khuldi
pupus nafas surgawi
jejaknya menggores dalam
menikam-nikam Qabil
meninggalkan tangan hitam
menyilang takdir :
dalam sepi begini
khuldi semakin punya
arti
DALAM RINDU ADA PERTEMUAN
DALAM SAYUP ADA HARAPAN
kutangkap dalam riak
debar-debar kerinduan
pada-Mu
serata gelombang
yang berpendar
dan bersatu jajar
menatap setia uji yang dilalui
berkejaran mencapai garis batas
kasih-Mu berbalas
tiara yang kujunjung
terasa semakin menekan
oh, segalanya kian rapuh
tepian merapat semakin jauh
dalam riak
satu dari seribu
adakah terelakkan pecah jadi pilu
PEMAKAMAN
Ke mana lagi kalau bukan di tempat ini
tanahnya yang wangi dan hangat
antara pohon-pohon, kelapa tua
dan kerabat saling damba
Di sini darah kita mengalir
tak pernah kering rasa dukana
menyisih miang
o, tanah tersayang
Kapan lagi kita sama menanti
bercakap dalam bayang, bisik renyah
Antara rumpun kambat
kita menangkap isyarat
tak ada kepulangan yang terlambat
duka dan duka saling dekap
Ke mana lagi kalau bukan di sini
janji itu pun terpenuhi
GERHANA
Lembaran itu telah gugur
butir-butir tanah
mengerogoti hingga tinggal kenangan
dan bayang-bayang
sosok terbanting
Topan bertindih prahara
di bawah tukik matahari
membenamkan nafas redup
kehidupan
Adakah yang lebih perih
dari curah kasih
terkikis dari
kehidupan ini
DI MESJID
di mesjid tua ini
berapa banyak asma
yang kembali ke asalnya
dan betapa
yang sia-sia
menyentuh pintu
ridla-Mu
KETIKA TUHAN BICARA TENTANG
KUN
Bukalah pintu hatimu
ketika Tuhan bicara tentang
Kun
segalanya jadilah :
mula-mula adalah
noktah
mengasing di jagat
raya
kabut susu pada alur
tata surya
Kemudian bertautan
Dan diam
dan
dingin
dan
sepi
Mula-mula adalah noktah
sel paling kecil
bersatu menguak sepi
Maka khalifahlah ia
yang baginya seisi bumi dicipta
Ketika firman itu diturunkan
warna-warni pun bermunculan: cerah dan kelam
Suara-suara sipongang berbantah
antara ragu dan menyambut titah
Ketika Tuhan bicara tentang Kun
datang dari dan kembali
pada-Nya tak ada kepastian nisbi
adaptasi Yasin : 82-83
NELAYAN
digerainya bingkai laut dan mulailah merambah
buih
gelombang menghantar ke tengah medan
berlaga menebar jala menjaring nasib
menyapa laut yang tak selalu akrab
anak dan isteri membekali salam dirangkai doa
dan bulan pun membenah dirinya
kerinduan akan laut membenturkan setiap godaan
jangat yang hitam dan anak-anak telanjang
bayang bahagia semakin jauh jaraknya
ditorehnya pekat malam
garis teriris kemudi, pencalang menuding
langit
kerinduan akan laut yang berulang bangkit
digerainya bingkai laut yang tak selalu akrab
dengan tabah menjaring nasib
di dada padat doa ingat akan beban di pundak
siutan angin merdu nyanyi sukma
karena laut telah menggarami hatinya
Kotabaru, 1980
KETIKA BERPENDAR MUTIARA
DAPATKAH KUTANGKAP SELAIN
KILAUNYA
Di malam Ramadlan
seperti saat Al Quran dinuzulkan
berbilang abad silam
tapi dalam gaung era revolusi elektronika
Layar monitor menangkap bayang transparan
lalu frekuensi gelombang Iman dan pengabdian
menampak nyata saat seorang sahabat
bersimpuh di hadapan Junjungan
merangkai manikam menyimak makna
butiran mutiara
Lewat transformasi waktu dan peristiwa
kutangkap kembali kalimat kaya makna :
TELAH BERWASIAT
KEPADAKU
KEKASIHKU
YANG IA LEBIH KUCINTA
DARI DUNIA BESERTA
ISINYA
“KUATKAN KAPALMU
SESUNGGUHNYA LAUTAN
SANGATLAH DALAM”
Duh, Rasul Junjungan
Kapalku hanya secepuk kayu lapuk
yang peka gelombang
Jangankan gonjang ganjing gelora
di raungan topan angkara
Sesepoi angin, selarik riak
menerpa kapalku oleng
nyaris membuatnya tenggelam
Kecuali dengan syafaatmu ya Junjungan
yang memberinya sayap
meleset kapalku atas lautan
menuju dunia seberang
“INGATLAH WAHAI HAMBA
ALLAH
PERBANYAKLAH BEKAL
KARENA PERJALANAN
MASIH JAUH”
Junjungan
Bekal kebajikan yang kuperoleh selalu tandas
bagai setumpuk abu di atas batu
sehabis hujan badai yang menggebu
Kalau kebajikan kuhimpun satu demi satu
dalam gandaan deret ukur
dosaku menghapuskan
dengan kecepatan deret hitung
sebuah komputer
Ya, Junjungan
menghimpun bekal seperti menapak bumi
jengkal demi jengkal
sementara itu usiaku tak henti berlari
Atau seperti memasukkan biji sawi
dalam kantung penuh lubang
Kecuali kalau karunia Yang Maha Kuasa
menambalnya hingga laba hidup utuh sempurna
“WAHAI MANUSIA
RINGANKAN BEBAN YANG
MENEKAN PUNGGUNGMU
KARENA PERJALANAN
TERAMAT BERAT
BERLIKU”
Aku sadari, ya Junjungan
hidup ini hanya setara bernaung di kerindangan
pohon
seperseribu detik dari tak
terbilang waktu perjalanan
seperseribu kilas dari keabadiaan
Dari hari kesehari kucoba lepaskan ikatan
beban
yang membelenggu pundakku
Tetapi ganda berganda problima
meluruk bagai tersedot mahnit ribuan watt
atas tubuh yang semakin rapuh
Hidupku ya Junjungan, tak bersih lingkungan
jadi diri yang tak berkembang murni
merajakan pribadi, bius dun-yawi
jadi rekaman Sijjin dan Illiyin
tak terhapuskan sepanjang zaman
kecuali dengan izin Maha Rahman
melepaskannya sebagai tanggungan
Akhirnya, mutiaramu ya Junjungan
bermakna kunci dari nilai hakiki perilaku
insani
“IKHLASKAN AMALMU HAI
ANAK ADAM
KARENA MATA
PENGONTROLNYA
TERASA TAJAM”
Duh, Junjungan
kapankah terasa saatnya amal ibadahku
terkikis dari noda
bagai kaca bening tanpa jelaga?
Sedang sebelum niat hati dijalankan
membuahkan kebajikan
mulutku telah mengiklankannya
di delapan penjuru angin
Sedang sebelum tangan
mengulur kasih buat si miskin
seluruh anggota gerak meraup hak si papa
dengan rakusnya
Sedang sebelum ditegakkan amaliah pengabdian
bayang-bayang atasan promosi jabatan kutarik
liriknya seluruh isi kota untuk memuja
akulah ahlul ibadah ?
Di malam penuh berkah, ya Junjungan
kutayangkan kembali kata demi kata
dengan gerak lambat, seraya meluruskan teraju
menghitung detik-detik berlalu
menimbang mutu hidupku
sebelum Perhitungan Agung tiba saatnya
Duh, Junjungan
kereta hidupku tak selalu berjalan
pada rel yang kau rentang
bahteraku tak selalu berlayar pada alur
yang kau rambukan
sedang kapalku rapuh, bekalku kurang, punggung
penuh beban dan amaliahku teraling bayang
akankah bisa kutarik grafik menaik
pada sisa perjalanan sebelum memasuki
pelabuhan
yang pasti tiba walau tak kutahu saat tepatnya
Ya Rasul Junjungan
mutiaramu permata berharga tak bertara
dapatkah kutangkap selain kilaunya
ramadlan 1408
MANTRA
kembang tujuh rupa
kelapa merah tampuknya
menyan putih
minyak boreh
semata pisau
secupak pukau
di ambang berkaki tunggal
kun jada
kun jadi
ah!
jadilah:
beku jadi bara
bara jadi api
asap jadi topan
kelapa jadi sapa
kemenyan jadi kenangan
pisau jadi pukau
berbunga hatinya
padaku
huuuuuu, huuuuuu, huuuuuu
api membakar rasa
topan jadi bara memukau rasa
membuah sapa menikam
kenangan jadi buku dalam
tubuhku menyatu jadi
rusukku menemu pucuk dengan
pangkal kembali ke
asal merasuk akal hilang
malu menuju pada
: Ku
ah!
datanglah
1980
Tentang Rustam Effendi
Rustam Effendi lahir di Limpasu, Kab. Hulu Sungai Tengah, Kalsel.
Menyelesaikan Sarjana Muda fakultas Keguruan Unlam tahun 1974, Sarjana FKSS
IKIP Malang tahun1980, Akta Mengajar V tahun 1986. Sejak tahun 1980 menjadi
salah seorang anggota peneliti untuk penelitian bahasa dan sastra daerah di
bawah naungan Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Kalimantan
Selatan. Sekarang, Rustam Effendi adalah Lektor Muda pada Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Seni FKIP Universitas Lambung Mangkurat.
Tentang Sukrani Maswan
Sukrani Maswan lahir di Banjarmasin tahun 1945. Menamatkan pendidikan
sarjana muda pendidikan bahasa dan sastra Indonesia FKG Unlam tahun 1976 dan
sarjana tahun 1982. Sejak tahun 1976 menjadi salah seorang anggota peneliti
untuk penelitian kebudayaan daerah di bawah Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Kebudayaan Daerah dan Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia
dan Daerah Kalimantan Selatan. Mengajar di FKIP Unlam dan Fakultas Teknik
Unlam.
Tentang A. Rasyidi Umar
A. Rasyidi Umar lahir di Kandangan, 3 Juni 1947. Setamat PGAN tahun 1965,
masih sekolah di PGSLP jurusan Bahsa Indonesia, tamat tahun 1973. Menamatkan
Sarjana Muda di FKG Unlam jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia tahun 1977.
Membuka nuansa baru penulisan puisi dengan puisi adaptasi terjemahan al Qur’an
yang disalurkan lewat LPTQ. Menjadi anggota peneliti kebudayaan daerah melalui
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Kalsel. Bekerja di Departemen
Agama, bagian Tata Usaha. Menggeluti puisi, cerpen, teater.
Catatan
Lain
Di buku ini, di bagian awal akan kita temukan pengurus Himpunan Sarjana
Kesusastraan Indonesia (HISKI) pusat 1987-1990 dan Pengurus HISKI Komisariat
Kalimantan Selatan. Di tingkat pusat, misalnya, segelintir yang saya kenal,
adalah Sapardi Djoko Damono sebagai Ketua Umum dan Bidang Peningkatan Mutu
Akademik adalah Riris K. Toha Sarumpaet. Yang menjadi pelindung salah satunya
adalah Prof. Dr. Fuad Hassan. Di tingkat Kalsel, deretan penasihat ada nama
seperti Djantera Kawi, Yustan Azidin, M.P. Lambut, Durje Durasid dan Baseran
Noor. Yang jadi ketua adalah Rustam Effendi dan sekretaris adalah Sukrani Maswan.
Ada sebuah Pengantar
yang sedikit panjang, yang ditulis Januari 1989. Bagian yang saya suka misalnya
begini: “Mencipta puisi berarti menekan
ke titik rendah kesibukan dan mengangkat ke titik tinggi kadar kekhusukan.
Kekhusukanlah yang memungkinkan terciptanya sebuah puisi.” (hlm. iv).
Pengantar juga mengemukakan dan menjelaskan panjang lebar 5 syarat bagi
penciptaan karya sastra. Pertama, pengalaman yang kaya (komprehensif dan
dalam-intens). Kedua, pengalaman nalar. Ketiga, ada sifat khayali (fictionality). Keempat, ada nilai-nilai
seni (esthetic values) dan Kelima,
ada penggunaan bahasa yang khas (special
use of language). Tak jelas siapa yang menulis pengantar, hanya ada inisial
RSR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar