Data buku kumpulan puisi
Judul : Paus
Merah Jambu
Penulis :
Zen Hae
Cetakan : I, Mei
2007
Penerbit : Akar
Indonesia, Yogyakarta
Tebal : x +
116 halaman (44 judul puisi)
ISBN : 979-998383-5
Supervisi : Joni
Ariadinata
Penyelaras akhir :
Raudal Tanjung Banua
Desain dan produksi :
Nur Wahida Idris
Lukisan Cover : Abu
Bakar, “Song of the Sea”
Beberapa pilihan puisi Zen
Hae dalam Paus Merah Jambu
kail
di danau ini, paman
khidir, betapa ngeri
tuhan-tuhan sebesar
jagat
berjuntaian mengailku!
1994
mitologi
keluarga kami
:
frans nadjira
lihat, ibu mengunyah
permen di beranda
merasa burung di
gaunnya berkicau. ada angin
menerbangkan kebayanya
ke lautan. kemudian ibu
memuja warna langit
yang hitam, seperti warna api
yang melahap gladiol
tua di vas bunga, negeriku
gumam ibu, hanya derit
keranda di tepi jurang
: tahun-tahun
berkejaran. langit meranggas
(adik melompati pagar.
usianya memanjang
pada pilar-pilar
jalan. seakan pohon pinus
tak pernah menyentuh
langit. betapa nestapa!)
bapak tiba dengan
lukisan. setiap hari
ada kuda terpanah,
juga pohon-pohon menaburi
kamar dengan erangan
panjang. mengapa tak lahir
sebait puisi sufi dari
seutas tali penjerat leher
teriak bapak di
sajadah, ketika senja mengguyur
jalan. rerumputan
mencuri embun dari gelas
sedang aku melubangi
matahari. menggenggam api
dari meteor yang
dilempar senja. tapi aku ingin
mengapur langit. sebab
malam akan memancung
bulan di samudera.
menggantungnya di dahan
1993
paus
merah jambu
:
iswadi pratama
seekor paus lapar, bung,
ingin mencaplok gunung
sebuah sajak
mengumpaninya tongkang dan kecubung
bermalam-malam
kau terbangun oleh
runcing taring dan luas rahang
ombak gagu yang
menggeram di punggung tebing hitam
arwah basahmu
timbul-tenggelam – mencari pesisir
menjeritkan suaka di
antara keriut perut
“berhentilah mengejaku
ambil harpunmu
bebaskan aku!”
kamarku terguncang
oleh pelbagai suara
tapi aku terus membaca
– menyusuri bait-bait tegang
hingga jerit paraumu
menjelma semburan tinta
gigil tubuhmu
merontokkan huruf dan tanda baca
seperti lidi-lidi kemarau
berjatuhan dari
matahari hijau tua
tapi anak-anak yang
mengutip biji-biji usiamu
setiap kau tidur dan
tersesat di lorong bercecabang
yang bermuara di teluk
hitam – hanya tertawa
sekeras guntur di
kuburan. punggung mereka
berkilatan di laut
rumput pagi hari
mereka menunggumu
dengan sayap berkelepakan
yang bunyinya
membuatmu menangis
di atas ranjang besi
berkemul seribu-satu
lapis
doa penolak
bala
kamar ini menjelma
bubu saat kututup buku
kau melompat-lompat
dengan tubuh berlendir
banjir kiriman dari
gunung
hujan berlapis-lapis
di laut lepas
membujuk kapal-kapal
merapat sepanjang malam
menantang orang-ikan
mengosongkan sarang
kau bergegas – di
kepalamu
rahang-rahang paus lapar
umpan mahabesar
“ke teluk, paman, ke teluk. kupeluk, abang,
kupeluk”
jalan ke teluk dijaga
sembilan pungguk
pepohon berdahan
karang merah berdaun lokan perak
sulur-sulurnya
terjuntai menggenggam batu
bukit-bukit di selatan
sehijau-sebisu bangkai kapal
terdampar ribuan tahun
setelah badai meteor menggebah
dan pulau-pulau berpindah
melulu begitu!
hingga matamu memejam
mencari segala ciptaan
yang pernah dikabarkan
para perawi dari
samudera dan jazirah mahajauh
: rupa, suara, rasa,
gerak elmaut serupa sapu
dan kautemukan pada
sebuah bait murung
bintang-bintang kuning
gading
dari rasi tak dikenal mencair
menjelma ikan
dan orang usiran
“semesta tubuh kami
adalah umpan segar. kami rindu
taring runcing, liur
asin, daging koyak, tulang retak
– kraak!”
kau teringat kembali
akan seekor paus
yang terluka dan
menjerit di samudera biru tua
sebuah tembakan harpun
membuat lorong di tubuhnya
seorang nabi hanya
berdoa. sepotong tangan tuhan
akan berdarah di sorga
– inna lillahi
semua ikan dan udang
akan ditangkap
akan terus ditangkap
terkubur bumbu di atas
nampan
diperam di dalam kaleng
paus itu berkuasa di
laut dalam
paus itu berpuasa di
musim kawin
tubuh raksasanya hanya
sebesar guling
di selembar hasrat
orang-orang berwajah api
yang lidahnya terjulur
ke tanah
ludahnya hijau muda
nafsu makannya
serakus setan tasmania
hauk!
seekor paus sekarat,
bang, menabrak tongkang
sebuah sajak
menguburnya dalam bait-bait riang
kau menanti sekelompok
pemburu paus
kapal mereka merapat
di bawah hujan selebat baleen
lunasnya hitam,
layarnya rompang, tiangnya goyang
kelasi-kelasinya
turun. bersiul sebunyi kalkun
“ini pemburuan paling
sial, syahbandar
seluruh paus
bermigrasi ke selat hangat
kawin dan beranak.”
kau hanya anak kecil
di situ. pengisap dongeng
berharap asap mukjizat
memandu langkah mereka
ke samudera dan
jazirah impianmu. tetapi tak
langkah mereka bergetar
di bawah matahari
tujuh jari
bayang mereka terjulur
ke rumah bambu
tempat aneka suara
bergema dan kembali ke lautan
sebunyi camar kawin
di rumah itu paus-paus
merah jambu
menunggu dengan
berkendi-kendi arak
dan sepotong lagu
nina-bobo akan menidurkan
para pemburu selama
ratusan tahun
tubuh mereka akan kisut
tulang-belulang sekeras batu
dipeluk pasir dan debu
sementara duabelas
matahari mabuk
terbakah di
tiang-tiang kapal dan gulungan layar
oleng dan jatuh ke
geladak – muntah bara
menunggu arak-arakan
tiga saf panjang
pemadam
“semesta tubuhku
adalah umpan segar. kurindu
taring runcing, liur
asin, daging koyak – menjelma sajak”
kakimu menjejak pasir.
di bawah riak air
bayang-bayangmu serupa
tokoh kartun
biji-biji khayali itu
pecah lagi – kaupecahkan lagi
: pasir terasa rumput,
ketam bagai belalang
tubuh ringkihmu
menyesap serbuk taifun
kembung dan
melayang-melayang
– meledak
menjelma jutaan ikan
dengan girang mereka
berlompatan
memancing paus lapar
naik ke pantai
2004
di
halte malam jatuh
akhirnya, aku mahir
menggambar hujan
menirukan
langkah-langkah pulang
menulis
reklame-reklame sunyi dan menempelnya
di bebatang pohon
sepanjang jalan
dan di sebuah tikungan
tujuh kelopak bintang
gugur sebelum pagi
kembali
“bus yang penuh sesak
itu akan berangkat?”
tanyamu. orang-orang
masih terus mengembara
tak ada bintang di
langit
: nujuman nasib,
kompas para kafilah
di mana-mana kautanam
bendera. aku ingin
berkibar-kibar
mengikut gelombang hujan
menjejaki liang
rahasia sepanjang uluran senja
tetapi, duh, selalu
ada yang kauisyaratkan
lewat deru angin yang
tertahan di awal musim
aku jadi terbiasa
menyimpan cinta
di batu-batu. mungkin
besok
akan menjelma gadis
kecil
yang belajar mengeja
kata-kata bunga
aku akan menunggunya,
memberinya ciuman
menyematkan melati
(dan belati)
“dan bus itu,” kataku,
“akan berhenti di terminal
yang tak ada bintang.”
seperti usia
kota-kota lapar. letih
dan tidur
tik…tik…tik… hujan
menombaki senja
malam jatuh dengan
ubun terluka
1992
mayat
canggung dan hutan riang
: kebumikan aku di sana. di ujung rel-rel itu
bersama
matahari
yang digodam suara azan dan cekikikan
: tapi
itu kereta terakhir
yang membawa para tukung cukur ke pekuburan
menangisi mayat-mayat bermisai lebat
orang-orang bermata
embun itu telah menggodaku
serta menghidupkan
lagi matahari
di gerbong terakhir
dan membayangkan kota
itu
menjulurkan lidahnya
ke punggung gunung
apakah mereka akan
sampai ke rumah-rumah
di balik dingin itu?
aku pernah memasuki
mereka
menyentuh dinding-dinding mereka
tersiram arus listrik
di dalamnya aku
seperti liliput
berjingkrakan dan bernyanyi
memainkan sesulur cahaya
dari kereta kuda yang
tersangkut di ranting awan
tapi kunang-kunang
yang setia menjaga mataku
mengulur sulur cahaya
itu ke jalan raya
para penjaga malam
yang kehabisan bara
menampungnya dalam
gelas-gelas sunyi
: “hanya serbuk
matahari, man
merombengi sisa malam
dan embun
melukai sesayap hujan
ditaburkan di kamar-kamar”
impian yang terbakar
terus mengembara
tak henti mencari
sebuah kota
tempat terompet-terompet
dibunyikan
di atas pekuburan
sunyi
“kami tengah bersedih
untuk para martir
yang telah memandikan rumah kami
dengan nyanyian dan
cahaya”
sampai angin yang
ajaib mengelus
suara terompet itu
jadi tetabuhan lima
setan pejajaran
berkepakan sesayap hujan:
rombeng dan gigil
berkelibang membungkus
tubuhku
“mari berangkat”
tapi siapa yang
terbang dengan tubuh bergemerincing
melintasi setiap bubungan rumah
sedang udara yang kian sekarat
hanya memercikkan doa
di sepanjang dinding memar
“halo, ini hutan riang. dilarang menggali kubur
halo, ini hutan riang. mayat-mayat jangan
bersedih”
di sini mataku kian
melenting
seorang pesulap
menyepuh ususku yang terburai
jadi kabel-kabel
tembaga
o, tubuhku bercahaya
seperti tawa orang laknat
hingga pepohonan dan
sungai
tak kuasa membasuh
sekujur tubuh mereka
dengan gelap dan
pengap
tempat nyamuk dan ular
menetaskan sekeranjang
mimpi buruk
terbuka semua kelopak.
menetas kicau membusuk igau
hutan terbangun dari
tidur paling mematikan
mengipas matahari
membikin sepasang sayap
: putih dan kekar
“pasang di punggungmu,
buyung
kau akan terbang
melintasi
kota-kota yang terendam hujan
dan mimpi buruk”
tapi aku bukan orang
suci atau pelancong
di sana hujan telah
membusuk. kota-kota berkarat!
1996
penantian
nuh
kau tentu lelah
mencari jejakku
kuhidangkan sepasang
cinta, kapal kayu
sepiala airbah.
kesendirianmu yang renta
dan purba telah
kaupahatkan
di puncak bukit
kini kau menunggu
seorang pengiman
yang akan mengabarkan
betapa aku ada
dan sorga perlu
dibela. tapi seorang asing datang
menera setiap jengkal
batu dan menyimpulkan
“di sini pernah
terbaring ia tanpa pengiman
sebelum masa kelahiran
semesta alam”
kau menangis dan
mencium tangannya
1995
bandang
tuan, di ladang
matahari pantat dandang
tapak liman rindu ganggang
berkelindan
lalu
tujuh arwah telanjang
memanjat pohon santan
: kencing jadi hujan
tapi
kauayun kapak – mabuk
mendongak hutan tonggak
bumi mati pucuk
musnah rongga tanah
meluap segala – menggenang
kota bandang!
siang malam
jaring maut mekar di teluk
tak habis duka disindik
bertangan-tangan
ayo ke seberang, abang
bikin proposal, gelar seminar
“kota ditelan kolam”
anak-anak meriang
“ibu, raung siluman empang”
“hanya gerung katak betung,
buyung”
orang lendir di pesisir
memasang insang dan capit udang
“hiruplah segala bala,
raja air!”
tapi
sepanjang malam
ia hanya menekur dan bertelur
mengerang dan merejan
fajar tanpa azan
kerik akbar riang-riang
: ohoi, telur dendam
seantero kota
nanti,
semua menetas – bebas
terbang-berenang-melata
menyerbu segala penjuru
ludah paling tuah
cakar paling bakar
pagut paling maut
beraksilah!
tu(h)an akan tamat!
2002
aku
dan tungganganku
:
agam wispi (1930-2003)
kau menyebutku orang buangan. aku seorang kelana, sebenarnya. aku tidur
dan jaga di atas kudaku. aku dan tungganganku adalah satu. kami saling
meringkik saling menggoda. hiya, sambil melintasi kota-kota masa silam, kuseru
kata-kata paling tajam. kubisikkan lagu paling merdu: “tubuh digodam pulang
jiwa ditebas terbang. oi”
ah, betapa ajaib siklus waktu. kutagih pagi dibayar petang. kuminta
pulang diberi buang. dari kandang macan ke asem lama ke teluk tonkin ke nanking
ke leipzig ke kanal-kanal amsterdam. tersuruk di rumah jompo bagai orang mabuk
gadung. menunggu salju turun, memindai tahun mati.
pernah kuminta camar bersarang dan bertelur di atas tumpukan buku.
menetas jadi lidah-lidah api. huruf-huruf terbakar. kata-kata mengaduh. bukan
karena api tapi karena rindu. anak-bini berbiak di benak, seperti jamur kuping
di kayu lapuk. mekar dalam suhu minus duapuluh. ribuan mil jauhnya, ribuan mil
jauhnya, tapi dapat kudekap dalam sekejab. bisa kucium dalam sajak.
tapi sajakku jutaan bintang merah di bawah langit tanpa pintu. setiap
malam melayang-meliuk-menukik, jatuh dan aus di pepucuk putri malu. serupa arah
luku ditarik kerbau mabuk daun singkong sampo kuru. sajakku jejak kaki kaum
tani yang menghadang buldoser selepas zuhur. racau pemabuk di tepi danau ketika
panen tiba. sedang doa, mantra merah tua itu, hanya batu penyusun dinding.
tindih-menindih, saling jabat. makin tinggi makin pedih. tuhan pergi dari
puncak menara, ternyata.
kukenang turang. jalan turun-naik sepanjang medan-lubuk pakam. oi,
kampung halaman, hanya bisa kukenang. bukankah tubuh dibikin dari tanah. tapi
jiwa menampik bentuk di mula cipta. menolak rumah di ujung usia. jiwaku pergi
ke mana suka. tidak ke kubur, bukan ke sorga atau neraka. mungkin ke planet
paling jauh. asal ada kopi dan tembakau dan perempuan bermata biru dan
bintang-bintang berekor putih.
mungkin aku akan pulang sebelum sebuah negeri tenggelam oleh kutuk
tuhan. tapi aku tak tahu negeri apa, pulang ke mana, tuhan siapa. kugelar peta
buta. telunjukku menunjuk seperti ke jantung seorang tiran, ke negeri impian:
satria uzur dan putri cantik, baju zirah dan tombak kayu, kincir angin dan
iblis hijau, seekor bagal kurus dan langit coklat tua. tembok-tembok hitam yang
meruapkan bau gandum, menggemakan sepotong nyanyian orang gipsi:
“sepasang mata perempuan melarutkan hari-hari tuan dalam sekendi khamar.
ngak ngik ngok…
seorang satria memburu sebilah pedang di malam-malam badai. tang ting tung…”
tak ada yang datang ke pondokku minggu dini hari itu. orang-orang masih
tertidur di atas panggang musim dingin. mimpi musim panas, sebuah pulau menyala
di lautan. aku terbangun di tahun yang baru tumbuh. tak ada ibadah minggu.
hanya secangkir kopi dan puntung rokok, berserakan seperti prajurit kalah
perah. aku berbenah dan menata ingatan seperti buku-buku di dalam rak. lalu
kusepuh lidahku dengan haiku. “tidakkah aku tahu, bung, katak yang jatuh ke
kolam menjelma lagu?”
aku dan tungganganku berjalan ke arah cahaya. kota-kota baru
dibangkitkan. segalanya masih sangat muda…
2003
kota air
kematian hanyalah kunci pembuka sebuah kota
: orang bersisik cahaya, rumah siput,
pepucuk ganggang yang menyala.
menyanyikan nada hopla
aku memasukinya
setelah kautenggelamkan tubuhku ke dasar danau
setelah laskar api menyergap kota tua
dengan tujuh kata sandi
“seguci benih dendam, berpijar ladang arwah,
bakar!”
bandar sawan, tetiang hujan gemetaran, kota sehitam
arang asam, malam sekaku tunggul jamblang
“yang paling dalam memeram siksa badan
akan meradang
lebih nyaring dari jerit tujuh kelenteng”
“jangan meracau sebentar lagi tubuhmu akan
lumer
suaramu akan sember
dan danau dan surau hanya kubur sunyi
para pengigau”
kukenakan tubuhku yang baru
agar kau tak mengenaliku: sili yang lolos dari
bubu
di rong tujuh tangan aku berkhalwat
meniru nabi di gua hira
memindai telur raja ikan, yang tampak sosok
kenang
: kau berteriak bagai seekor pungguk mabuk
“sebentar lagi darah kami akan hitam
dan kami akan menguasai malam”
kaupaksa tubuhku jadi malam
dan butir keringatku jadi bintang
lalu seorang cenayang pincang membacakan
ayat nujuman
menyajikan seloyang batu api setandan kata maki
sejembung ganas berahi semangkuk cemas peri
di atas altar sembahyang
“tapi aku tak memesan semua kekerasan ini
tapi aku tidak menggelapkan hatimu
dan mewahyukan pembantaian
aku bukan…”
ohoi, para pembenci dunia, berhentilah sejenak
merapat di puncak khalwat. nikmati musik
: jerit bulan sabit erang bintang meriang nyawa
meregang
di antara amuk api dan lontar batu
orang bersisik menari meliuk berputar
melompat menerjang
hingga tubuh mereka letih
dan di ufuk berpijar sembilan bintang pagi
“ahai, putri jangkung, jangan murung
di sini perang hanya tarian, kekerasan hanya
kenangan
mari merapat – untukmu satu kecupan”
akhirnya kudiami sebuah kota
duapuluh lima depa di bawah peta tua
: orang bersisik letih, rumah siput
pepucuk ganggang yang membiru
“kami orang usiran. kami tak punya dendam”
2001
kitab pelarian
tidurku masih disesaki kemarahan langit
sebelas malaikat menghardik-meludah di angkasa
: sawan bayi di kandungan, mendidih air di bendungan
empat puluh hari sehabis mimpiku, tuan hakim
kota tanpa pengiman itu akan luluh-lantak
bumi diremas langit diayak – awan serupa dedak
dan aku mencium maut dan aku menuju laut
di dasar laut – di perut seekor ikan besar
aku beriman dalam kegelapan pijar.
menulis selarik ayat
seirama degup perih jantungku. mengukir ketakutanku
pada dinding-dinding karang merah tua
kelak para penyelam, para pemburu hikayat
akan membaca pengakuanku:
“kenapa ia memilih si lemah hati sepertiku?
kenapa ia menitipkan kota tua padaku?”
sepuluh jari tanganku
tak cukup untuk sebuah kota
pun untuk seorang sahaya atau seekor ulat
aku hanya ingin menyendiri di pondokku – di timur kota
akan kutanam pohon paling rindang
dan kupiara beberapa ekor ternak
tapi mereka menangkapku pada suatu pagi
tapi apa gunanya kalian memintaku kembali?
“yunus, tuan layak marah sampai mati
sebab kota besar itu urung dihancurkan”
1993
rumah
jagal
para pemburu meneluh
malam
bayang kita tersalib
di dinding
hujan paku dan beling
meleleh dari genting
perih kian deras,
sayangku. menyiram bumi
bagai luka bakar
“oleskan lagu nina bobo, abang!”
anjing-anjing terus
berlari
menggonggong sekerat
sepi kuburan
kudengar mereka
meletuskan senapan
o, di bawah selimut
ini
betapa merdu kaing
mereka
mungkin mereka lupa
memutuskan batang tenggorok
hingga taman kotalah
kamar ini
mari bercinta
hidupkan anjing dalam kepala
siram patung-patung angsa
tetapi lidahmu seperti
bulu babi, manis
mengerami racun di
sarang darah
ayo tanggalkan dendam.
kunci pintu-jendela
dari tempias sunyi si penyendiri
di luar pepohonan bertukar salam
tanah menakar berahi akar
ada rumah jagal dalam lenguh panjangku, abang
pintunya tak terkunci. lihat, para pemburu itu
melompat masuk
tiang listrik dan kentongan
dipukul tiada henti
“ada
prahara!
rumah kami tak lagi berpenjaga”
kita berpesta. merajah
tubuh menyadap hayat
telah kusimpan mayat
ibu-bapakmu di bawah ranjang
: dua matahari yang
tenggelam tanpa doa
jangan terlalu iba pada kematian
siram air kembang
saksikan mereka
meleleh dan menguap jadi hantu
pengisap madat
peminum darah ayam
hoek, kita sepasang
mempelai. mohon restu
menjaga malam dari
serbuan pelayat dan anai-anai
tapi kau takut pada
ribuan jangkrik
yang melompat dari mulut ayahmu
mengerat rambut merah ibumu
seperti gunting kuku
“jangan lari, manis
yang mati malam ini
akan segera menjadi burung
kita tak boleh tidur
membiarkan sepasang hantu
berkacak pinggang
atau orang-orang cebol
akan mengarak bangkai
anjing sepanjang jalan
: tubuhnya membesi
tua. darah mereka berkarat
di antara liang luka
berjagalah!
burung-burung akan
pulang memanggili ruh-ruh anjing
siapa menyuling kepak
sayap menjadi bergalon kaing?
alirkan ke urat-urat nadi
semburkan tiga canting
seperti kita. anjing-anjing tak berumah, abang
jiwa-jiwa sepanjang jalan memanggul kutuk
ibu-bapak
lalu engkau melenguh
lagi. ruh-ruh anjing itu
kembali ke kamar ini.
o, semesta anjing dan pemburu
berseteru dalam gelap.
kata-kata iblis
berakar dalam gerimis
kaing bertunas di danau bulan
dikerkah awan
dan binatang buas
dipusatkan mata angin
disedekapkan tangan
dirapal doa purba –
“bunga, kartu, dupa
lisong, nasi uduk,
kentongan, senter, serbuk gerimis
siapa yang menyantapmu?”
hei, di mana kutemukan
tempat berjayanya para
penjaga malam
pemburu menciumi
anjing-anjing seperti dua sejoli?
malam menggelepar, abang, malam menggelegar
gerigi runcing berpusar dalam daging
sayap-sayap terbakar akar-akar dipangkur
kubur-kubur mengapak tali darah
hura, semesta ruh beterbangan
mencari kandang raja burung
akbar akbar
akbar
1996
kaba
dari negeri khalish
1. lobang jepang
kau membawaku ke
kerajaan tanah
negeri leluhur batu nisan
mayatku yang kanak
dijabat hantu ngarai panjang
: layang-layang daun gadung
ringkik udara di destar orang bodi
ke empat penjuru angin
kaulepas tabik
“ini serumpun salam,
dua kuntum tawa bujang
datuk bermisai akar
bambu
sambutlah anak-cucumu
bukakan lepau lampau
kami menanti sebuah
kaba
ditulis dengan linggis dan
bercangkir darah gadis”
maka, bermula kaba:
suara batu dipapas
jetis cambuk, tengkorak remuk
menjalin sirih pinang dalam mulut
berlentera ribuan kuku
orang mati
kita cari sumber suara
tak ada tangan tak ada
kaki tak ada kepala
tubuh pun sirna
dilumat tanah keramat
: perang suci
sepanjang dinding
puh, jiwa-jiwa
disembur tuan imam
orang-orang berenang di udara
melepas ribuan tombak
kota-kota terendam api
lalu kau berdoa lebih
khusyuk dari mabuk
bismillahi, aku menggonggong dari lorong ke lorong
memanggili arwah para
romusha
di kepalaku, balon gas
ini
tumbuh sepasang sungut
ungu
terekam denging
dinding
“kembalikan kepala dan
tanah kami
orang-orang kuning!”
2. panorama
maka, jangan hentikan
kabamu, khalish
bangsi menyayati
lambung awan
tiga belas juta bilah
hujan meliuk di angkasa
mengipas lembah dan
tebing batu
tujuh laskar tua
berdendang dengan tubuh menggigil
mencuci asma di danau
o, perampas rempah dan
emas telah datang!
menggada kembali
sejarah
bakar saja kalender itu
pancung matahari itu
mayatku demam lagi
: ibu memanggang bayi
di halaman
ayah berkhotbah di
tepi kolam
lalu kaulubangi dadamu
kausembunyikan aku
bersama ribuan gaung
“lorong ini, abang,
menghubungkan para pencinta
dengan bulan”
terentang jala keramat
sejumput mantra
dilempar pawang
“selamatkan bukan yang memar itu, inyik
dari sergapan kucing hutan”
malam-malam tanpa
bulan
orang-orang menanam
obor di tanam
menafsir sihir nenek
moyang
3. kayutanam
siapa yang bisa lolos
dari sihir ini?
aku merasa tak ada
lagi hari
setelah kereta jenazah
itu berangkat
gerimis mengunci
kotamu
di kamar, tempat puisi
disucikan
dari darah dan ingar,
para pencinta
mengemplang
pundi-pundi airmata
mengalir tiga luhak kenangan
mayatku kembali kelonjotan
tersengat cinta tujuh malam
beri aku ciuman candu!
di hutan-hutan sekarat
kabut dan cahaya bersitegang
siapa yang lebih lama
bertahan
: api hitam atau gerimis biru
lalu, seperti para
penemu benua baru
kaukibarkan bendera
kaudagingkan belulangku
kautiupkan nyawaku
meledak semua yang
tersumbat
: bendungan, benteng,
lorong mejan, kantung angin
kubur batu, pintu langit
“revolusi, manis, selalu bermula
dari isyarat yang amat rahasia”
1997
Tentang Zen Hae
Zen Hae lahir di Jakarta, 12 April 1970.
Menulis sajak, cerita dan tinjauan sastra. Kumpulan ceritanya Rumah Kawin (Kata Kita, 2004). Paus Merah Jambu adalah buku puisi
tunggalnya yang pertama. Saat buku ini diterbitkan, Zen Hae adalah Ketua Komite
Sastra Dewan Kesenian Jakarta. Tinggal di Kembangan, Jawa Barat, bersama sang
istri, Nersalya Renata dan putri, Hilmiya Thufailah.
Catatan
Lain
Menurut Zen Hae, puisi-puisi yang ada di dalam buku ini (saya beli bulan
Juni 2011 lalu) pernah terbit di sejumlah koran, majalah sastra dan jurnal
kebudayaan, seperti di Koran Tempo, Kompas, Media Indonesia, Republika,
Merdeka, Suara Karya, Singgalang, Syir’ah, Horison, Cak, dan Kalam. Namun,
berbeda dengan yang pernah diterbitkan, sajak-sajak dalam buku ini mengalami
penyuntingan kembali. Menambah larik dan bait baru, mengubah tipografi, mengobrak-abrik
larik dan bait, hingga tak terasa ada satu-dua sajak yang berubah menjadi sajak
baru. Puisi-puisi dalam Paus Merah Jambu
disusun secara kronologis dalam rentang 15 tahun kepenyairan Zen Hae.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar