Data buku kumpulan puisi
Judul : Mendaki Kantung
Matamu
Penulis : Bode Riswandi
Cetakan : I, Februari 2010
Penerbit : Ultimus, Bandung
Tebal : xvi + 84 halaman (63 puisi)
ISBN : 978-602-8331-17-3
Gambar dan desain sampul : Nazarudin
Azhar
Pengantar : Prof. Jakob
Sumardjo
Beberapa pilihan puisi Bode Riswandi dalam Mendaki
Kantung Matamu
MENDAKI KANTUNG MATAMU
: buat WS. Rendra
: buat WS. Rendra
Mendaki kantung matamu rakyat dengan darah selabu
berlari tak tentu. Siapa lagi yang terbunuh? Darah kami
tinggallah selabu. Rumah kardus, bayi-bayi yang resah
amuk pemuda di jalan raya, dan babu-babu pribumi
dipalu ketakutan yang tak perlu. Seberapa samodrakah
luas kantung matamu? Menampung resah dari juru-juru
Ia memberikan tuhan bagi mereka seperti yang di langit
atau yang di dada.
Lemak-lemak bolamatamu kau gembalakan di cakrawala
menampar setiap gebalau suara-suara yang menuju renta
Kita tidak boleh tua sebab dera juga manisan maut apapun
tapi lahir seruncing gigi anjing tanpa majikan manapun
Mendaki kantung matamu rakyat menghangatkan darah
saban waktu. Matanya tungku dan hatinya cahaya api
Jika kelam tiba mereka khatam nyulut tubuh sendiri
jadi fajar atau matahari: bumi dan langit milik kita
untuk ditanami jagung atau padi.
2009
TENUNG RINDU
(1)
Selalu lewat jendela aku memahamimu dan
selalu rindu
yang minta ditulis dengan darahmu. Hari-hari
berpendar
ke rumah yang lain, ke dasar dada dan
kebun-kebun jiwa
Engkau jadi seperti alamat tenung atau
serupa kemuskilan
yang diciptakan, tapi melulu aku
bertamu saban waktu
(2)
Saban waktu aku mendatangimu dengan
tubuh yang pucat
Tapi kau menulisnya ketika darah badan
tinggal segurat
2009
PEMBERANGKATAN
Tuhan tak suka bertamu atau singgah
lama-lama
Juga basa-basi. Ia cukup datang sekali waktu
Tersenyum atau tidak sama sekali.
Tuhan tak datang ke bangsal atau ke
kamar-kamar
Tak duduk manis di ruang tunggu juga
kursi kayu
Ia suka hadir sesaat dalam sekejap
percakapan
Yang menyapamu? mungkin Ia. Atau
mungkin yang lain
Serupa Izroil dan makhluk-makhluk
semacamnya, sayang
yang mengendap dan memicing mata di
tabung oksigen
Mengintai bola matamu baik-baik
Tuhan tak datang jadi pengamen talkin,
juga pembesuk
Siapa yang renang dan bertahan di labu
infusan?
Mungkin yang lain, atau seseorang dengan
kuda kayu
Membawamu berkelana ke gurun-gurun
waktu.
2002
ANTARKAN MAYATKU SAMPAI RUMAH SEPI,
KEKASIH
Kematianku meninggalkan darah di
kelopak matamu
Bunga-bunga waktunya kau tabur
Di batu nisan – di dadamu
Antar mayatku sampai rumah sepi,
Kekasih
Musim jadi guguran daun, bulan berkubur
Dan matari seonggok cuaca yang
diamiskan
Ini setubuh tanahku, setubuh batu-batu
Ada yang melambai di pohon
Ada yang menanti riang di akar
Antar mayatku sampai rumah sepi,
Kekasih
Kubur tumbuh jadi akar kamar yang syahdu
2001
TASIKMALAYA, 1
Kampung apa yang ada dalam dadamu?
Hidup dari batang padi dan suluh kayu
Petani-petani berangkat ke hulu-girang
Membaca petak-petak tegal dan ladang
Ada yang bernapas di lumpur dan tanah
Mungkin waktu atau semacam rahasia
Angin dan hujan runtuh ke dasar huma
Ke dasar dadamu. Di pekarangan, urat
Seribu petani jadi matahari. Bagi yang
Tiba dan yang pulang, hulu atau girang
Adalah rumah sakal yang mengkatami
Tujuh lapis musim kawin sendiri-sendiri
Pahala atau mukzijatlah dalam dadamu?
Bocah lahir dari tanah dengan harapan
Menjulang ke cakrawala. Langit serupa
Taman bermain untuk memekarkan usia
Di mana akar rumput juga padi tumbuh
Dengan seratus ranting-ranting raksasa
2009
AUBADE
-kepada KP
atas dasar mimpi yang dijabarkan
aku merasakan laut yang telah pasang di
punggungmu
ribuan kuda yang dilahirkan angin dari
ombak
meringkik memaknai percakapan yang
tertangkap
mengambang di udara
adakah matamu yang membangun keriuhan
ini
ketika matahari menyusut di jari-jariku
dan sajak menjelma kolam tanpa ikan
bagi hari yang tak mudah terkelupas
seperti itulah adanya
adakah matamu yang menajamkan kecemasan
itu
sejak di lenganmu muara tiba-tiba
menjelma kupu-kupu
dan pohon yang tengah tumbuh di ujung
tebing hatiku
mengenangkan daun-daun ganjil
dalam seratus tembang mijil
aku tawaf dalam muara yang diciptakan
wajahmu
lantas gerimis amat kerap dalam dada
dan laut terus pasang di punggungmu
musim pun berloncatan dari langit
yang patut dikenang
percakapan kita kali ini, adalah air
yang menegaskan muara bagi seluruh
sungai
tempat lebur segala kecemasan
yang dilayarkan ke selat macapat
atas dasar kemenangan
yang menyembur dari kedalaman senyummu
: kini aku adalah pengungsi resmi
yang mendiami matamu
2005
SUNYARAGI
amsal pusara: tubuhnya ilalang luka
angin susut ke daun jendela
seseorang dengan kelebat rindu
hinggap dari pintu ke pintu
dan jika engkau masih di sana
aku tak pinta segara darimu
amsal pusara: tubuhnya ilalang rerumputan
ia merambat dan menarik celana orang-orang
dan jika engkau masih tetap tinggal
aku ingin jadi seseorang
2004
CIREBON
bulan sabit, satu lesatan tombak matamu di kejauhan
angin tirus menugar empat matahari
yang menjelapat dalam peta perjalanan
ini pesta kembang api di kegelapan
pucuk-pucuknya belingsatan
mencangkul kening para bohemian
Cirebon, sulur angin laut
petikan perigi di telikung kata
seusai menggarami sunyi, malam sulutkan hujan
pada sayap-sayap cakrawala
bulan sabit, satu lesatan tombak matamu makin mendekat
tujuh langit merapat ke tepi alis lengkung
di sini Cirebon aku lukis menjadi angsa
yang mencelupkan setengah badannya di tepi danau
rimbun daun-daun kerinduan
menjuntai ditiupkan sabit yang pucat
beterbangan seperti kunang menggendol seribu lampion
dan aku seperti sulut-sulut kecil
lebih kecil dari lingsatan pucuk kembang api
codot dan pelesit di lampu remang
memegang cawan dan sedikit bersulang
diseduhnya sebotol udara dari tengkuk angin semilir
lantas bersijingrak mengikuti langgam
gelombang di tenggorokanku yang tak naik pun turun
bulan sabit, satu lesatan tombak matamu makin merapat
Cirebon, melukisku berkisar yang pandai melompat
sesudah itu aku pun pandai membaca nyamur
dan belajar kembali membuka tingkap langit
2004
DANGA BAY, MALAYSIA
Seperti menemui jalan pintas ke arahmu, dua kelokan
Sebelum daun-daun senja melebarkan tulang-tulangnya
Aku akan sampai pada gelombangmu. Tentang kapal layar
dan laut berwarna bulan. Aku terpejam menikmati aroma
kepedihan. Kau menarikku dalam keasinan, dan keasinan
menarikku sampai tawar
Aku terpejam menikmati
hujan, sambil kufasihkan
Sebuah kota kecil yang
memiliki langit paling kusam
Pikiranku bergulingan
sepanjang waktu di terowongan
Dan waktu tak pernah
berhenti memintal setiap kelokan
2005
DI VIETNAM CAMP
Banyak yang bercerita lewat
angin, semacam dingin
Atau isyarat yang licin.
Sepi serupa kembang muda
Yang tumbuh di ranting
rahasia. Kuncup ia satu-satu
Lalu jatuh ke dasar tanah.
Musim bisa cepat berganti
Di sini, tetapi kabut lebih
cepat bertelur di barak ini
Jadi bayangan yang remah di
rumput, atau jadi rindu
Yang dipahat di bangku
katedral yang berlumut
Aku tak dapat melihatmu
melambai dari jendela barak
Atau membaca bayanganmu
dari serambi dan geladak
Aku cukup mengimbangi
isyarat lain, membayangkan
Sebutir mata sipit dari
segala arah membalut teriakan
Yang memanggil-manggil dari
lubuk sejarah
Banyak yang bernyanyi di
sini, semacam bunyi-bunyian
Juga siulan. Gerimis yang
tiba kebetulan, serba bau aspal
Yang mengerak di jalan jadi
bagian riwayat kemalangan
Tahun-tahun banyak terlewatkan.
Hujan dan angin runtuh
Saling bersahutan. Kesepian
tumbuh di plafon, senyapnya
Merambat pada akar pohon.
Aku mendengar seruan pelesit
Di balik daun kamboja,
suara-suara sepi yang dipantulkan
Angin di ujung gapura.
Siapakah kamu?
Siapakah kamu? Aku bertanya
pada dinding waktu
Pada keloneng genta yang
ditarik seorang pendeta
Pada katedral dan
barak-barak yang renta. Tak satupun
Jawaban datang kecuali gema
suaraku yang terdengar
Nyaring berulang-ulang,
kecuali bayang wajah-wajah
Pendatang dengan dada dan
kakinya yang telanjang
Banyak yang mengintai di
sini, angka-angka di nisan
Adalah misteri tersendiri.
Dan bulu-bulu ilalang yang
Terhempas ke bumi adalah
gema paling keras di sini
Aku hanya menunggumu datang
menunjuk satu arah
Jalan pulang
2009
SEMUA MENGHITUNG
Dalam sholatku laut
menghitung rakaat
Dalam rakaatku langit
menghitung kejanggalan
Dalam kejanggalan cakrawala
menghitung kubur
Dalam kubur para kekasih
menghumuskan tanah wirid
Sementara di sini, dalam
dada yang kegelapan
Tuhan dan bulan jadi
semacam lapak untuk mengadu
Keberuntungan atau
penumbalan.
2002
BULAN LUWUNG BATA
BULAN SEMPURNA: dan aku
bicara padamu bersilang mata
Tanpa harus lari, dirimu
selalu mengejar dan tiba lebih awal
Rumah labuh ke dalam
tubuhmu. Tahun-tahun kusam tumbuh
di pintu jati. Daun jendela
dengan gordin hijau muda juga atap
dari rumbia mengekalkan
dirinya di pucuk ibun
“Di cakrawala, aku rindu
hujan benar-benar turun dari langit
yang tanak” ucapmu. Dunia
jadi tak selebar dadamu, ia berlari
ke ranting waktu dan selalu
sampai di ranting yang baru
Dirimu cukup tanak untuk
merangkum segala peristiwa rupanya
Di mana kelak mereka yang
terbiasa memalingkan punggung
pasti kembali ke kampung
halamannya. Sendiri-sendiri
Aku bicara padamu dengan
bolamata yang terbang dari kelopaknya
Sunyi tak reda dan tanganmu
yang hijau memainkannya bagai pion
catur yang dijatuhkan
satu-satu. Tinggallah dua pion dengan warna
sepasang, kau dan aku
sepakat jadi bagian sunyi yang kita mainkan
di dalamnya.
Aku mencintai dirimu dengan
setumpuk kecemasan dengan rindu
yang menguap ke mana suka.
Biar kukenang semesta dengan terang
bolamata.
BULAN SEKERAT: dan aku
bicara padamu dengan bahasa tanak
Tentang jalan berlobang dan
bayang-bayang pemuda kampung
yang menolakkan punggung.
Ke mana mereka pergi? ketika bulan
jadi lempeng-lempeng
tembaga dan langit jadi rumah madu di sini
Wahai lebah, jadilah kamu
keringat mereka yang tertanam di tanah.
BULAN HABIS: dan aku bicara
padamu ketika segalanya tinggal
gema
2009
SEKUNTUM SAJAK BUAT WILLY
Aku tengah menulis puisi
untukmu dengan lumpur juga tanah
Kata-kata kuharap jadi
kerbau atau kuda jantan dari bukit-bukit
Tapi seseorang jadi kelebat
angin atau sehampar dingin padaku
Kemudian pergi. Kerbau dan
kuda jantan itu hanya bayangnya
Yang datang berderap dari
bukit.
Aku tengah keras menulis
puisi untukmu dengan cinta dan darah
Berusaha memeras keringat
jadi batang logam atau bubuk timah
Ruang, waktu, nama-nama,
wajah-wajah, dan pakan-pakan maut
Memeras palung dan
sumur-sumur kehidupan dalam semesta diri
Tubuhmu jadi rumah:
barangkali seseorang singgah sekejap mata
Dirimu bertolak dari pintu
membaca firman yang membumbung
Di udara. Bukit-bukit
tinggal gemuruh yang menulis jejak derap
Kerbau dan kuda jantan yang
beranak pinak jadi bayang-bayang
Tubuhmu hutan hujan:
belantara ternak bagi sekuntum sajak
2009
HARBOUR BAY
Aku akan menyebrang.
Bertolak dari tubuh telanjang
Merasakan kebebasan
sekaligus menabung kesedihan
Cukup panjang. Aku akan
belajar menyetir diri sendiri
Dengan sihir jemarimu yang dilambaikan
ke arahku
Sampai tak terlihat tubuhmu
terpancang di pelabuhan
Selain kabut juga bangunan
yang sama-sama menjulang
Dan patung dewi Kwan Im
yang diguyur warna terang
Gelombang kecil menarik
tubuhku. Rambut matahari
Yang menjulur dari angkasa
jadi pecahan kaca di laut
Kapal peti kemas dengan
seratus kelasi datang dan pergi
Dengan ribuan kubik pasir
besi di punggungnya
Di perbatasan ini, kamulah
satu-satunya wajah angin
Yang tegas menepuk-nepuk
pundakku dengan hari-hari
Naas. Aku telah melewati
perbatasan dengan ombak kecil
Yang sama, melewatkan
kenaasan sekaligus menyambut
Hukum karma.
Aku melewatkan kebahagian,
memancing kecemasan
Meraba suara di balik gema,
adakah yang berdiam
Di perbatasan memadamkan
mataku dari bau garam
Yang bertelur di pantai dan
lautan?
2009
AUBADE, 2
Di dalam hatimu, kau
meminta
Puisi yang melengking
seperti anjing.
Tak ada yang lain lagi,
selain matahari
Yang terbenam selamanya.
Aku berikan puisi sebagai
hutan bagi anjingmu,
Bagi sepetak rumah di
hatimu.
Tak ada yang lain lagi,
selain taman
Yang membentang selamanya
Di dalam hatimu, kau
meminta
Puisi yang deras seperti
hujan.
Tak ada yang lain lagi,
selain awan
Yang gelap selamanya.
Aku berikan puisi sebagai
sungai bagi hujanmu.
Bagi sumur dan kolam kecil,
juga taman di hatimu.
Tak ada yang lain lagi,
selain danau
Yang menggenang selamanya.
Aku kenang engkau sebagai
anjing
Di taman itu. Dan kau
mengenangku
Sebagai lengkingannya.
2006
DI LAUT
NASIB DITULIS DENGAN GARAM
*
Ke tengah laut aku
dilayarkan
Tanpa tafsir hidup
Tanpa perbekalan sunyi yang
reda
Pundakku memberat dengan
kemarahan yang sia-sia
Tempurungku diarangkan iman
yang diapikan
Ke tengah laut aku
dilarungkan
Dengan sesaji yang
diharamkan
Perahu-perahu keropos
matahari yang keropos
Seperti nelayan dan tetua
adat
Melepasku dengan doa-doa
berkarat
Di kedalaman laut
Aku menghirup asap kemenyan
Asap dari segala wewangian
Dan seribu ikan dengan mata
sepi
Menatapku dari dekat
Sampai di dasar laut
Segalanya melebur
Terumbu-terumbu jadi ibu
Bagi anak-anak manis
pemilik seratus sumur
Pasir dan palung jadi bapa
bagi kenyataan yang papa
Di laut
Nasib ditulis dengan garam
Keyakinan dan iman hanyalah
arus
Serta gelembung-gelembung
kecil
Yang menyeret nasib dan
menawarkannya kembali
Di laut
Keyakinan dan iman adalah
air
Tubuh adalah sungai dan
muara
Yang ditempeli musim yang
mekar sendiri
Lalu mengalir hingga ke
laut. Sampai di laut
**
Demi terumbu-terumbu yang
jadi ibu
Bagi anak-anak manis
pemilik seratus sumur
Telah kulupakan laut pasang
di punggungmu
Waktu dadamu terbelah
menjadi mataair
Kemudian tujuh sungai
ngalir dari hulu ke hilir
Menggenang dan bermuara
Di mata orang-orang
tercinta
Demi pasir dan palung yang
jadi bapa
Bagi kenyataan yang papa
Telah aku kenang kesakitan
semesta
Telah aku pintal airmata
(Tengah aku harap:
Engkau membutakan kedua mata
Kemudian aku berjalan
dengan tongkat Musa
Membelah laut. Ya, membaca
kabut)
Demi yang menangis di
sepanjang abad ini
Udara seperti mata bayi
yang kesad
Kemudian larva-larva
ditetaskan bumi yang baru
Dari sperma waktu yang
menderu
Dan muncullah bayi baru
yang sibuk memburu klenik
Sehabis bergelas-gelas
mabuk musim paceklik
2007
LETUPAN-LETUPAN
Ada yang luput kucium dari tubuhmu;
Sisa bising kendaraan dan jejak para pejalan
Mereka jadi embun yang nempel di daun
Jadi kerikil yang terlempar dari alam lain
Ada yang luput kusapu dari tubuhmu;
Bulir keringat dan letupan-letupan isyarat
Mereka tumbuh jadi bahasa tanpa tabiat
Walau seteru kita berjalan kian hebat
Ada yang luput kubelai dari tubuhmu;
Semacam rambut serta pekat kabut
Tubuhku terlempar jauh jadi musafir
Yang tak cukup nyali masuki hutan tafsir
Ada yang luput kubasuh dari tubuhmu;
Luka dan debu kota yang menggaris di lehermu
Pintu-pintu toko terkatup, jentik embun meletup
Dan sepi membiarkan dirimu sejenak hidup
Ketika tak ada lagi yang luput dari perburuan;
Aku cukup memandangmu dalam remang
Merasakan sunyi yang pecah ke dinding dan tiang
Menanti jejak mencekik lehermu lebih tak karuan
Ketika tak ada lagi yang luput dari perburuan;
Aku telah cukup nyali merambah hutan tafsir
Dirimu akan tinggal sendirian, atau tubuhku
Yang diburu bergantian
2009
KATUMBIRI
Di rumah-Mu, aku melukis
suasana yang tak pernah ada
Mencium kembali kelahiran
dari catatan-catatan silam:
tentang gurun, kuda dan
kilatan pedang
2003
Tentang Bode Riswandi
Bode Riswandi lahir di Tasikmalaya, 6
November 1983. Mengajar di FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas
Siliwangi Tasikmalaya (Unsil). Bergiat di Komunitas Azan, Sanggar Sastra Tasik
(SST), Rumah Teater, dan Teater 28. Menulis puisi, cerpen, esai, dan naskah
drama. Karyanya tersebar di banyak media massa dan antologi bersama, anata lain
Biografi Pengusung Waktu (RMP, 2001), Dian Sastro for Presiden #2
(2003), Tsunami, Bumi Nangroe Aceh (2008), Pedas Lada Pasir Kuarsa
(2009). Mendaki Kantung Matamu adalah antologi puisi tunggalnya yang
pertama.
Catatan lain
Di halaman ii ada 3
endoresemen, yaitu dari Ahmad Syubbanuddin Alwy (alm), Faisal Kamndobat dan
Wayan Sunarta. Di sampul belakang buku, muncul 5 nama, yaitu Prof Jakob
Sumardjo, Acep Zamzam Noor, Saut Situmorang, Nenden Lilis A, dan Ahda Imran.
Prof Jakob Sumardjo menulis Metakosmik Puisi Bode sepanjang 7 halaman.
Saya mau ngutip bagian akhir saja: Selamat berkarya, Anda masih muda./Jangan
sampai ars brevis vita longa./Dan jangan lekas puas dengan apa yang Anda
telah capai./Seorang pencari tidak pernah merasa menemukan./Bandung 10 Desember
2009.
Keren Bode , terimakasih sudah berbagi bung.
BalasHapusBagus-bagus puisinya
BalasHapus