Senin, 08 Agustus 2016

Mario F Lawi: MEMORIA




Data buku kumpulan puisi

Judul : Memoria
Penulis : Mario F Lawi
Cetakan : II, Oktober 2013 (cet. I: Mei 2013)
Penerbit : Indie Book Corner, Yogyakarta
Tebal : 158 halaman (133 puisi)
ISBN : 978-602-7673-69-0
Penyunting : Ama Peke
Proof Reader : Yayas
Desain sampul : Zulkarnain Ghazali
Tulisan tangan pada cover : Onytha Bili
Tata letak : Anindra Saraswati

Beberapa pilihan puisi Mario F Lawi dalam Memoria

Kepada Lesung Pipimu

Lesung pipimu yang sederhana
Adalah cara hujan menempatkan hatinya
Di sekeliling rumahku.
Bunga-bungaku tumbuh
Dengan cinta yang tak sempat
Mengajarkan mereka cara menjadi hijau.
Dan waktu mengalirkan segala
Yang manis kepadamu,
Hingga hujan mungkin lupa,
Sesekali aku ingin menjadi semut
Mencari bekal musim dingin
Di antara lengkung bibirmu.

(Naimata, 2012)


Memoria

Ini kegilaan yang sederhana.
Tujuanku mencintaimu
Mungkin tidak jauh lebih baik
Daripada milik orang-orang sebelum.

“Masalahnya bukan tujuan, Sayang,”
Suaramu lembut seperti gelombang
Pasang yang tidak ditimpali angin
Tapi senantiasa menggetarkan bibir pantai.

Tiadakah cara paling baik menemukanmu
Adalah dengan senantiasa memahamimu?
“Akulah jalan, kebenaran dan hidup!”

Hatikulah roti yang kaugandakan, Sayang,
Bagi perjamuan rindumu yang abadi.

(Naimata, Paskah 2013)



Perahu

Sehelai rambutmu sekejap menjelma badai
Yang anggun menggulung sisa pelayaranku.

Umpamakanlah doaku berkisar pada arah
Ke mana kompas gelisah menuntun pencarianku.

Matamu bintang para kelasi setelah mereguk
Sisa kesunyian di antara puing-puing badaimu.

Hikayatku baru saja digariskan; sebuah perahu
Diombang-ambingkan gelombang lautmu.

(Naimata, Oktober 2009)


Mawar, 2

Terima kasih, Duri
Kaunikmatkan luka di dalam diri.

Terima kasih, Daun
Kaugugurkan darah yang dulu marun.

Terima kasih, Tangkai
Kausegarkan tulangku yang sangsai.

Teri kasih, Kelopak
Kausayapi punggungku yang campak.

(Naimata, 2012)


Kepada

Kepada jalan yang penuh duri,
Kami mengarahkan diri
Sebab pencarian melalui jalan penderitaan
Adalah cara paling membahagiakan menuju keselamatan.

Kepada lambung yang penuh luka
Kami mengulurkan segenap kembara penuh duka
Sebab pedih dan letih hanya ringan ketika dibagi
Memampukan penggunaan segenap daya dan hati.

Kepada puncak bukit yang menjulang
Kami menengadah dalam segenap pasrah
Sebab takdir pecundang adalah sendiri dan kalah
Sedangkan kami adalah sekawanan domba
Di hadapan gembala

Kepada cinta yang paling ajaib kami percaya
Sebab dari kejatuhan yang sekalipun niscaya
Kami dimungkinkan bangkit berkali-kali
Sebagaimana gandum berbulir
Dari sebutir yang jatuh dan mati.

(Naimata, 2013)


Cinta Derita Kita

Seumpama cinta,
Lewat bahasa yang gagap
Diutarakan: perkenankanlah
Ia penuh dalam igau.

Seumpama derita,
Melalui suara yang kalap
Diteriakkan: biarkanlah
Ia tenang dalam derau.

Seumpama kita,
Dalam ketiadaan yang lengkap
Dipertemukan: jadikanlah
Aku ada dalam kau.

(Naimata, 2013)


Daun, Mawar, dan Embun

/1/
Musim semi tiada aku miliki
Tapi pucuk-pucukmu terus bersitumbuh
Di ladang-ladang gersang hatiku.
Kerimbunannya bagaikan doa
Ketika dunia kehilangan cahaya
Dan tangan Tuhan terasa asing.

Pepucukmu yang bersitumbuh
Adalah juga yang kelak menua dan gugur.
Tapi sejak itulah aku mulai paham
Hijau-rekah dedaun muda di ujung-ujung ranting
Justru disemerbakkan dedaun gugur
Yang senantiasa menghumuskan diri
Bersama air yang meresapkannya
Ke kedalaman akar.

Bukankah kematian
Adalah jalan lain
Menuju hidup?

/2/
Berapa banyak kelopakmu yang mekar
Di bawah senyum matahari yang membakar?

Sebanyak usaha deduriku menjaga tetangkaimu.
Sebanyak air mata dedaunku mengalirimu.

Dan pemilik kebun yang datang
Adalah dia yang menanggalkan deduriku
Menebas rata dedaunku.
Malam nanti diadakan pesta,
Hanya kelopakmu yang layak baginya.
Disemprotkannya lagi sepercik air.
Disisipkannya kelopakmu di saku kiri bajunya.

Akankah seusai pesta
Ia mempertemukan kita kembali
Di pembuangan?

Ataukah dihadiahkan dirimu
Bagi perempuan pesta
Yang memikat hatinya?

/3/
Hadiah malam adalah dirimu
Bagi pagi-pagiku yang dahaga.
Maka biarkan aku meresapkanmu
Sebelum angin gurun yang meniupmu
Datang bergemuruh bersama suara tangisku.

(Naimata, Agustus 2011)


Litani

Engkaulah pengelana paling memukau.
Muka bumiku gersang. Takjub yang panjang.

Kutarik garis ke arah lehermu yang jenjang.
Embun-embun luruh mendengung engkau.

Kubiarkan jarak berjejer kemudian.

Nyalamu memuntir ujung dian.
Bersijatuh perlahan cahaya.
Bersimpuh rintik gelap sahaya.

Iblis kauakali.
Malaikat terkecoh senantiasa.

Lesungmu bius paling khayali.
Tergelincir aku ikhlas binasa.

Di hadapanmu aku bercermin.

Amin.

(Naimata, Agustus 2009)


Amici

/1/
Menjahit kesedihan dengan jarum Coelho
Dengan benang yang terurai dari hatimu
Jarak kaulipat dengan doa yang tergenang air mata.

/2/
Lebih rahasia dari langit yang menyembunyikan diri
Lebih telanjang dari matahari yang menanggalkan jubah
Tuanmu telah menunggu di depan kapela.

/3/
Terberkatilah sepasang tangan malam Kupang;
Yang meletakkan pecahan langit ke dalam sibori
Sebelum kami menikmatinya dalam setiap perjamuan pagi.

(Naimata, 2013)


Nota et Nocturia, 1

Yang bergemuruh dalam dadamu adalah angin
Tak pernah jelas ke mana bermuara seakan
Tak pernah ada yang hendak dituju.
Yang menghitung gemuruh itu adalah mataku.
Mencari cara bagaimana mengaitkan angin nirtuju
Mampu menciptakan sepasang lengkung mematikan.
Setiap kali ada yang berembus dari dalam dadamu
Topan dan badai menghablur dari antara bibirmu.

(Naimata, 2012)


Nota et Nocturia, 2

Yang telah kuucapkan padamu adalah pupuk
bagi beringin ranggas di depan rumah.
Beringin ranggas, atau patahan kesedihanmu
yang disusun kembali?

Yang tak sempat kuucapkan adalah segala bentuk
kebaikanmu di saat-saat yang salah.
Kebaikanmu, atau kebodohan
yang tak pernah aku sadari?

Yang sedang kuucapkan adalah cinta bagimu
dari segala penjuru, kiblat, dan arah.
Cinta bagimu, atau cerminmu yang menyusun
cahaya diriku sebelum sirna di ujung hari?

(Naimata, 2012)


Bioma

Hujan yang manis
Menjengukkan kepalanya
Ke dalam cangkirmu.
Bertanya ia pada pucuk kelapa
Seberapa perlu gula merah
Bagi kehidupan yang tawar?

Tangan petir mericiki dedaun asam
Seumpama palem engkau lambaikan
Bagi masa lalu yang anyir
Dan dosa Paskah yang sebentar.

Antena di dadaku setengah terbuka
Bersiap menampung langit
Bila kelak jatuh dari genggamanmu.

Dengan mengibaratkan amis
Pada diri yang nyeri, tak akan lagi cukup
Alasanku membubungkan uapmu.

Pelangi yang sebentar lagi kumiliki
Adalah lebat hutan dalam kepalamu
Yang hanya perlu kubersihkan dengan
Sebuah tembakan dan rasa bersalah

Di belahan mana kutempatkan hatimu
Matahari dengan rasa sakit yang pahit?
Cuaca adalah potongan-potongan kesedihan
Bagi cintaku yang sederhana padamu.

(Naimata, 2012)


Kiblat

Engkaukah keabadian itu
Yang selalu kami dalami
Dengan sunyi dan doa?

Engkaukah suara itu
Yang sedang kami telusuri
Lewat daras mazmur dan kitab-kitab?

Terima kasih,
Bila Engkau sudi memberi jawabmu.
Meski telah kami tahu
Bahwa Engkau selalu beserta kami.

Masih pentingkah kini arah bagi kami
Bila ke mana pun kami berkiblat
Selalu Engkau yang kami temukan?

(Oepoi, April 2009)


Untuk Palestina

Tak terhitung lagi
banyaknya doa yang berguguran.
Juga air mata
di antara puing-puing reruntuhan.

Para wanita berdoa,
semoga hari ini bukan anak mereka
yang dibawa lari
ke padang para malaikat,
tempat segala mimpi diciptakan.

Tapi misil-misil masih kelaparan
menunaikan tugas, menuai kematian.

Malaikat maut enggan beranjak,
membebaskan jiwa ke dunia yang semarak.

Tuhan pun seakan diam dalam penantian,
membiarkan mahaduka meraja di antara kematian.

Anak-anak menangis
dalam dekap kegelapan,
sambil menanti-nanti
kapankah peluru terakhir
dilepaskan dari dasar dendam.

Di Palestina,
doa-doa beku
dalam kelopak sang waktu
yang tak henti memekarkan tangis.

Adakah Tuhan berdiam diri dalam keabadian?

(Sudut Kota, Minggu, 18 Januari 2009)


Kuucapkan
Selamat Pagi
Padamu                     
                                   
Kuucapkan selamat pagi padamu
Karena matamu yang menyimpan matahari
Bersinar perlahan mencairkan hatiku.

Kuucapkan selamat pagi padamu
Karena matahari yang menyimpan matamu
Hidup abadi dalam setiap sembahyangku.

Kuucapkan selamat pagi padamu
Karena semalam aku melihat matamu
Memimpikan pelabuhan abadiku dibangun.

Kuucapkan selamat pagi padamu
Karena ciuman mataharimu yang mendayu lembut
Mengekalkan gelora lautan dalam dadaku.

Kuucapkan selamat pagi padamu
Karena pagimu adalah ketabahan salib
Memaafkan luka dalam setiap perjalanan hidup.

Kuucapkan selamat pagi padamu
Karena pagi ini aku menginginkan sebuah pagimu
Menjadi matahari bagi pagi-pagi panjangku.

Kuucapkan selamat pagi padamu
Karena perjalanan kembara setiap hidupku
Meniupkan doa bagi cahaya ajaib matamu.

Kuucapkan selamat pagi padamu
Karena sungguh aku pengagum keajaiban
Mengapakah waktu-waktumu selalu pagi?

(Naimata, Oktober 2011)                 


Rana Masak
(Untuk Kakek)

Pediangan jiwamu yang dingin
Biar kuhangatkan dengan tarian,
Tabuh genderang dan pesta ladang.

Tangis bayimu yang lembut,
Adakah mencium amis udara
Ataukah tersedak air susumu?

Tanah tempat ari-ari bayimu
Kaukubur dengan selembar doa,
Dari situlah kelak harus kaubiarkan
Sepasang sayap ratapmu terbang
Ke hadirat Tuhan yang mahabaik,
Sebelum kidung anjingmu meracau
Membuyarkan mimpi-mimpi para
Penduduk di ladang-ladang hidup.

Jiwa yang menari dalam diri
Ajarkan tarian pada perempuan
Lumpuh atau sematkan sepasang
Kaki pada langit senjaharinya,
Agar letih yang berdiam di situ
Kaubawa pergi ke dalam kabut.

Racau anjingmu kian melengking
Bersama tangis lembut bayimu.
Gemuruh halilintar dan kabut
Berkacak pinggang menanti titah

Tengadahkanlah tangan pasrahmu;
Tangan yang telah kaupakai
Meletakkan semangkuk kental
Harapan bagi masa depanmu.

Biarkan langit membaptis bayimu
Dengan nama yang dipilihnya sendiri
Dengan rahmat dan berkat Tuhanmu
Sebelum genap hari kelimanya.

Engkaulah Sodom dan Gomora;
Tempat air mata Tuhan tumpah,
Tempat tangis agung-Nya pecah
Demi membasuh dosa-dosamu.

(Naimata, September 2011)


Di tawamu,
Kulayarkan Perahuku

Di antara tawamu yang bergemuruh,
Kutangkap getar lautan yang bergelora.
Cakrawala mengembalikan gema tawamu
Seperti langit bercerita tentang hujan.

Harapanmu kelokan sungai di pegunungan
Yang mendentum dan membentur bebatuan
Setiap kali mendepa perjalanan menuju laut.
Bukankah muara selalu menyambutmu?

Kaulukis cakrawala dengan gema paling biru
Dan debur ombak melengkapinya dengan cerita;
Pantai akan selalu mengembalikan buih putih
Setiap kali kawanan ombak menyerbu pesisir.

Maka kulayarkan perahuku di atas tawamu.
Perjalananku adalah menuju cakrawalamu;
Ingin kulihat gema biru yang kaugoreskan.
Adakah di sana sebaris namaku kautinggalkan?

(Naimata, Februari 2010)


Angela Domini

Setangkai puisi adalah doamu
Dengan Tuhan yang sederhana mengabulkan
Demi sepasang sayap di pundakmu.
Adakah doa itu untukku?

(Naimata, 2012)


Ante Meridiem

Engkaulah pagi,
Tempat Tuhan meletakkan matahari
Di ujung Timur sebuah dunia
Yang bernama hati.

(Naimata, 2012)


Daun, 6

Kaudekap rinduku,
Erat.

Bolehkah aku menjelma kupu-kupu

Kubiarkan takdirku.
Lekat.

Di antara bunga-bunga yang tersipu

Di tanahmu diriku.
Sekarat.

Semakin dekat rindumu terpaku

Demikianlah aku.
Dekat.

Semakin besarlah cintamu padaku

(Naimata, 2010)         


Tentang Mario F Lawi
Mario F Lawi lahir di Kupang, NTT, 18 Februari 1991. Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Nusa Cendana. Menulis puisi, esai, cerpen, feature. Karyanya dalam antologi bersama al: Sauk Seloko (2012), Tuah Tara No Ate (2011), dll. Bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora.


Catatan lain
Di buku ini, penulisnya hanya menulis puisi! Ia tak menulis sepatah dua pengantar dan tak terlihat ada endoresemen. Di sampul belakang buku hanya ada petikan puisi yang berjudul “perahu”. Sebuah antologi puisi yang ringkas yang tidak memberatkan saya dalam menulis catatan ini. hehe. Oya, barangkali saya hanya ingin berterima kasih kepada istri saya, karena dialah yang mengetik puisi-puisi ini. Saya cuman tukang editnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar