Data buku kumpulan puisi
Judul : Tanéyan
Penulis : Mahwi Air Tawar
Cetakan : I, Juli 2015
Penerbit : PT Komodo Books,
Depok
Tebal : xxiv + 76 halaman (48 puisi)
ISBN : 978-602-9137-82-8
Pemeriksa aksara : Mawaidi
D. Mas
Ilustrasi sampul : Ronald
Visual isi : Mawai
Rancang sampul : arsdesign
Lukisan sampul : Merumput
di Musim Kemarau, Arya Sucitra, 2012
(Cat minyak di atas canvas)
Beberapa pilihan puisi Mahwi Air Tawar dalam Tanéyan
MANTRA LIMA BELAS PURNAMA
Di simpang musim rindu bertalu
Di simpang musim rindu bertalu
Di tubir kemarau kelu menderu
Mungkar dan Nakir sudi kiranya
Padamkan nyala duka di dada
Di baris hening nyanyian dan mantra
Garam berdenting nasib bergeming
Di sepetak tambak utang melengking
Untung malang berjalin rupa
Senandungku kidung semesta
Dendam dan rindu bermuka-muka
Baris puisi tak lelah kueja
Namamu semata terus bergema
Napasku napas karapan sapi
Panen menepi nasib menggigil
Lima belas purnama libelas sesaji,
Namamu, Madura, terus kupanggil
KOLÉNANG
Aku memetik tembakau, menyimak nada
Dari kelam hari, dari pusaran makam keramat
Dua pasang sapi betina berlenggang,
Denting pelana, kilau mata arit
Lenguh karapan seberangi selatmu
Juga lelehan darah dari punggung
Sapi jantan dalam arakan
Mengitari kemarau.
Aku berlenggang, mengiring
Tarian tandak menjelang rokat laut
Lengking saronén iringi lenggang
Dua sapi betina, sapi jantan
Memasuki arena hidup dan mati
Menarilah!
Di bawah bulan tanggal satu
Doa dan mantra mengalun di sepi jalanku
Angin menyeberangkan perahu di laut kelam
Meninggalkan sepetak tanah merah
Yang diperam dari jantung musim
LEGUNG
Aku berhasrat meminang gulur pasirmu
Menggiring busur angin dari sirip nasib pelaut
Merangkum hamburan sisik ikan dari pangkalan
Membujuk desau kelu dari tingkap sampan
Tak akan aku tengadah menagih janji musim
Karena aku berhasrat meminang pekat lautmu
Mengulumkan napas dalam dentum gelombang
Renggutlah tubuhku!
Segala hasrat tenggelam dalam palungmu
Hingga pelayaranku memasuki tepi penghabisan
SAMPANG TALELAH
Ususku simpul tambang di
leher musim
Hujan lama kudamba
Bukan aum dari kerangka
Seribu surau kupuja
Getar akar pinggir kubur
Leluhur dan ratap hikayat,
Trunojoyo
Kurajut belulangku
Dalam genangan tambak garam
Punggungku lengkung pulau
Napasku guruh ombak
Asin keringatku menguap
Di udara hampa, Madura
Dan, bacalah,
Riwayatku terpahat di bukit
kapur
Sampan, kuketuk katup pintu
Darah kandungku, Soengenep,
Bangkalan
Alangkah panjang penantian!
Kerasku tak lagi berkeris
Langkahku derap karapan
Tinggalkan sorai dusta
TANÉYAN
Di ranjang pasirmu
Aku terus meronta
Waktu merangkak
Menyeberangkan hidupku
ke laut kelam
Dari ranjang pasirmu
Kudengar dengung panjang
luruh,
Sumbu damar perahu
Setengah karam memberi
tahu:
Mungkin malam akan menunda
lagi
Kedatangan pagi
Tetapi angin sakal datang
tiba-tiba
Mengoyak layar, mematahkan
anjungan
Melaburkan asin keringatku
Pada buritan setengah
terkubur
Engkaukah topan penghabisan
Memberangkatkan perahu
hidupku?
Matahari melintangkan garis
tipis
Ranjang pasirmu semakin
amis.
Semakin amis.
SARONÉN
Anginmu menyudahi desau
Pada lumbung, pada tambak,
Kau pun terus menari berselendang usus sapi
Peluh menjelma butir-butir manik
Ujung selendang berkilauan
Sebelum sapi sonok
jadi isyarat
Impian bertahun di udara tanah tandus ini
Terus mendera mengusik pendamba surga
Terpekur di atas langgar
Menanti tangan-tangan retak
Mengantar setangkup sesaji
Nb. Kontes sapi sonok: adalah kontes kecantikan sapi
betina. Madura.
PULUNG
Aku tak ingin mengenang
malam
Menetaskan kecemasan
Menanti ajal di ranggas
tanah
tak berpengharapan
Kubiarkan ari-ari terpendam
Di bawah sejengkal tanah
retak
Sampai tuntas tangis dalam
ratap
Patut tak pernah terukir
dalam wujud
Atau terpahat di punggung
bukit kapur
Aku tak ingin mengenang
Sumbang burung gagak
yang terdengar berat
Dan selarik cahaya menepi
Membuang bayangan pohon
jauh ke barat
Kepada leluhur kuantar
sesaji tali pati
Hingga pulung datang tanpa
harus kujelang
Ke lubuk gubuk yang tak
pernah ingkar menanti
Mengikatkan tali pada leher
sendiri
Mencari mati dalam sepi
Menukar luka dengan duka
(Nb. Pulung: Kepercayaan
masyarakat Jawa terhadap sesuatu yang mistik)
MEMORIA
Telah kuluruhkan kecai
selempang perpisahan
Di tepi sungai usia, di
malam hutan kenangan
Suar rindu tak kunjung
padam
Suluri kelokan cintaku yang
lebam
Sedalam apa mesti kugali
kerak ini
Tempat mengubur putih
rambutmu
Dan ingatan, biarlah
terikat akar
Sebelum kelopak mawar mekar
Dahului pinangan kesunyian
nafasmu
Dalam lipatan kalender
merah cintaku
RANTAU
Asin garam yang kau kirim
Tak pernah sampai
Tak pernah kucium
Tahun-tahun menggores bening mataku
Mencuatkan gelembung dari baling-baling
Memaksaku berpaling dari laut biru
Telah kupersiapkan jala
Sudah kupahat anjungan:
Lukisan-lukisan pelayaran –
Sepasang matamu yang nanar –
Kekar tubuhmu saat mendayung perahu
Tangan keriput ibu
Kupancang jangkar di kedalaman batin
Agar segala dustaku kelak mampu kulunasi
Membawaku menyeberangi pulau impian
Juga tanah kelahiran
ISYARAT
Patahan-patahan usia mengeras
Patahan-patahan usia mengeras
Pada sepetak ladang utang
Pecahan kemarau membubung
Seiring guruh musim kelabu
Adalah ujung dari segala isyarat
Saat retak tanahmu tak dapat kupijak
Setiap jejak dalam perjalanan panjang
Dan selalu terhirup udara hampa
Saat retak tanahmu tak dapat kupijak
Setiap jejak dalam perjalanan panjang
Dan selalu terhirup udara hampa
Separuh wajahmu membayang
Dari relung anyir ingatan
Dari relung anyir ingatan
Menyelinap dan hinggap
Di lumbung petang
SUAR SAJAK PENYAIR BELUKAR
Parang berdentang ranting bertalu
Tanah pilu badai menderu
Erat berpeluk akar dan belukar
Di ranjang Desember pahatan petir
Tanah pilu badai menderu
Erat berpeluk akar dan belukar
Di ranjang Desember pahatan petir
Semak sajak-sajak semak
Kuyup tergenang limbah bahasa
Kuyu dan beku penyair nelangsa
Mencari suku kata di tanah retak
Kuyup tergenang limbah bahasa
Kuyu dan beku penyair nelangsa
Mencari suku kata di tanah retak
Daun beserpih melati aksara
Menanti desau angin pancaroba
Akar menjalar di gembur tanah kuyu
Penyair bernyanyi di sebatang kayu
Menanti desau angin pancaroba
Akar menjalar di gembur tanah kuyu
Penyair bernyanyi di sebatang kayu
CUMEDAK
Kukunyah jantungmu di petang hari
Sebelum mantra jadi genta
Merebut riak dan guruh arus
Menggerus pancang tiang jembatan, Madura!
Kureguk peluh asin darahmu
Sebelum embun menitik direntangan usus
Di tegalan penuh gundukan
celatong
Di udara ranggas tempat harapan menetas
Di pantat molekmu kusesap irisan paku
Kujelang hidup-matiku dengan lengking saronén
Kutimang dan kubujuk Tuhan
Dengan senandung tembang tandak
Agar lenggang sapi karapanku tak tergelincir
Dari bukit punggung kapur
TANAH GARAM
Ini jalan kutempuh berulang
Antara tana
merah, retakan kemarau
Dan Madura terus mendesah
Sambil menabur bulir-bulir garam
Di selat pelabuhan karapan
Di sepetak tana
impian
Orang-orang kampung terkurung
Kujinjing rinjing penuh garam
Hingga ujung selat
Kureguk air laut yang payau
Kutunggangi sampanmu hingga tepi
Di seberang anak-anak tembakau
Mendera pilu, nyanyian sumbang mengantar
Perahumu yang berayun tanpa jangkar!
JEMBATAN
Seikat
kenangan menderai dari langit ingatan
Terburai lepas ke deras arus
sungai rindumu
Di sebuah jembatan lalu dan kini
bianglala cintamu
Diarak angin ke dalam dekapan
hujan
Senarai kisah berserak seperti
guguran kembang anemun
Di halaman rumah, di dahan khuldi
Di sunyi kamar ibu yang enggan
berbagi
Malang anak disayang
Terbelah jantung dikoyak pisau
risau
Alangkah kelam nestapa kandungan
saudara sedarah
Di degup malam pesta, di ranjang
pinjaman
Cintaku luruh dari tingkap harap
Merasuk ke lubuk maut
Ibu, pada aroma parfum malammu
Kusesap wangi bunga kenanga
Pada derai tawa hari-hari sepi
Alangkah lezat dosa untuk kujauhi
2//
Di remang Tangerang, kita meniti
jembatan usia
Pendatang-pendatang berebut
tempat
Reklame, gedung-gedung merangsek
Dan, kita pun semakin jauh
tersesat
Dari Lumajang menderai jauh
Runcing bambu 10 November
terkubur
O, bagaimana
kita mesti mengisahkan nasib tanah lahir
Achebe, p’ Bitek, hunjamkan ujung
penamu
koyak-moyaklah kalbuku
Agar Afrika yang resah,
Bisa kubawa lari jauh ke lereng
Semiru,
Akan kukisahkan Lumajang
Pelarian Madura yang merana
Jhon Steinbeck, seperti di
dataran Tortillamu
Akan kau jumpai dataran
pendalungan,
Pasuruan, Probolinggo, Jember,
Lumajang
Marques apalah arti seribu tahun
kesunyianmu
Bagi Banyuwangiku yang manis dan
magis?
Dan kau, Ernest Hemingway,
datanglah bersama lelaki tua dan
lautmu
Ke selat Madura, Mahwi, akan
menunjukkanmu Laut
Karapan
Tapi di sini, di kedai yang
menyimpan dendam ini
Sapuan bianglala menjelma
sepasang kekasih
Haru biru de javu, genangan
hujan,
anak-anak yang dilumat mulut
mimpi
Tak pernah kutemukan baris-baris
kisah,
tawa dan sedih berjalan nestapa
Atau kembang Mayang, yang jemu
menanti kekasih tiba
Petang mengambang tinggalkan
remang Pecinan
Kita susuri jalan kenangan
Memasuki malam
Mengakrabi kerinduan
Di jembatan, Giwangmu melumat
bibirku
Seperti deras arus sungai
menggerus alamat
Jalan pulang tak berujung
Di sini, rindu dendam akan selalu
kita jelang
Seperti juga Laron dan
Kunang-kunang
Tak jua bosan dalam pelukan malam
Hingga tiba ciuman fajar
PENGANTIN TANDU
Lulurilah tubuh kami dengan
serpihan
batu kapurmu, kemenyan,
dupa, bedak,
ngengat keringat tak
menyeruak
ke balik kelambu
pernikahan;
tempat kami bersanding
mengubur ingkar di kolong
ranjang,
tempat kami berbagi rahasia
antara berbanjar maupun
tidur
Kesia-siaan umur terkubur
Araklah, araklah harum
tubuh kami
dalam iringan tetabuhan;
lengking saronén, lenggang
penari,
penganting tandu hingga
tuntas tangis, runcing
bayang tak pernah lekang
lukai tapak pijak kami.
Bentangkan,
Terbentanglah jalan penuh
semak
oleh iringan syahdu doa
para pengiring
meski luka-lungkrah harus
kami tanggung
lantaran bapak-ibu kami tak
pernah bisa
sembunyi dari gengsi dan
harga diri
Tak pernah rela biarkan
kami saling pandang
mengulum senyum di atas
tikar daun lontar
bertukar rahasia tanpa
harus ingkar
SYAKBAN
Suaramukah yang terus
berdengung
Dari pekarangan remang
Runcing ayatmu memahat
napasku
Pada dinding retak kamarku?
Masuklah,
Masuklah ke dalam rumah
rinduku
Biarlah aku menandai tapak
jejakmu
Dan napasku menjadi
bulir-bulir doa
Paling sederhana atas
setiap kehilangan
Yang tak pernah kita
rencanakan
Bayanganmukah yang terus
Memburuku hingga undakan
rumah
Kilasan wajahmu tak pernah
bisa kuterka?
Masuklah,
Masuklah lewat retak rusuk
kiriku
Biarkan remang cahaya kamar
Mengantar wujudmu ke liang ingatanku
Mengiring kelana sukmaku
Meniti napas malam
Hingga fajar jadi tanda;
Perjumpaan juga
keterasingan
Menjadi titik-titik embun
Terpahat di kaca jendela
Tentang Mahwi Air Tawar
Mahwi Air Tawar
lahir di Pesisir Sumenep, Madura, 28 Oktober 1983. Pernah mengikuti Bengkel
Penulisan Kreatif Mejelis Sastra Asia Tenggara (Mastera). Karyanya tersebar di
berbagai media massa dan antologi bersama al. Herbarium (2006), Medan
Puisi (2006), IBUMI: Kisah-kisah dari Tanah di Bawah Pelangi (2008).
Buku kumpulan cerpennya: Mata Blater (2010), Karapan Laut (2014).
Catatan lain
Penyair menyapa
pembaca di halaman vii. Ia menulis begini: Saya lahir dan besar di lingkungan
yang teramat sangat tidak akrab dengan dunia tulis-menulis: buku, pensil dan
pulpen; tiga benda yang hanya boleh dimiliki dan dipegang oleh kalangan “elit
desa”./Untuk memegang tiga benda itu saya harus menyiapkan mental kalau-kalau
paman dan teman-teman sepermainan “menyadarkan” saya yang tak lebih, tak kurang
adalah keluarga nelayan. “Duh, Cong, untuk apa pegang buku. Kamu anak
nelayan. Pegang dayung dan pancing saja!” katanya ketus. “Kau bukan anak kalebun
(kepala desa), bukan keturunan orang-orang pintar, bukan keturunan Kiai.
Sudahlah, sana berenang.”
Di sampul belakang
ada endoresemen Agus R. Sarjono.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar