Data buku kumpulan puisi
Judul : Suara Orang
Pedalaman
Penulis : Fahmi Wahid
Cetakan : I, 2016
Penerbit : Tahura Media,
Banjarmasin
Tebal : viii + 64 halaman (53 puisi)
ISBN : 978-602-8414-31-9
Penyelia akhir :
Hajriansyah
Tata letak dan desain :
Ibnu T. W
Beberapa pilihan puisi Fahmi Wahid dalam Suara Orang Pedalaman
SUARA ORANG PEDALAMAN
“batang tajunjung, batang sasangga
daunnya maharing langit, di langit
bajunjung kaca
turunan segenap leluhur di kukus
manyan”
dari hutan-hutan bertumbangan
gunung dan bukit yang runtuh
kami orang-orang pedalaman
menjerit ke setiap penjuru kesaksian
meneriakkan perampasan dan perebutan
penggusuran dan pembongkaran
gaungan mesin menggetarkan balai-balai
dan menumbangkan tiang-tiang campan
harapan anak cucu orang pedalaman
lalaya tak bergerisik
sedangkan bau kemenyan merebak
mengirimkan jeritan orang pedalaman
ke setiap hati pembantai dan penjarah belantara
semalam suntuk berterang rembulan dan bersuluh
damar
orang-orang pedalaman batandik menapaki rampatai
mengusir amuk sangkala
simbah keringat membasuh malam
mengusir bala dan marabahaya
segenap hajat ditunaikan seiring harapan
orang-orang pedalaman terus bersuara
menyuarakan perampasan rahim tanah ulayat
Balangan, 2015
BERAPA SAJAK LAGI KITA TULIS
berapa sajak lagi kita tulis dalam setumpuk antologi
tentang bencana, kasih sayang, lingkungan dan kemanusiaan
bila seluruh kata-kata tak memberi makna arti pada jiwa
untuk memikul reruntuhan bangunan-bangunan kota
hingga mengusung mayat-mayat saudara
yang kelak diagungkan waktu
berapa sajak lagi kita tulis
kalau hanya gerakan lisan di atas panggung kuasa
demi mendapatkan pengakuan
yang tak sesuai dengan pengadilan jejak kakimu
berapa sajak lagi kutulis
lalu turun dari mimbar kesia-siaan
kalau segalanya tinggal air mata tangisan
Balangan, 2014
LADANG API DI TAHUN KEMARIN
Separuh bulan yang bunting terombang-ambing di
pangkuan sungai
dibiarkannya uluran tangan tepian dan belulang
rerantingan jelaga
menyisakan cerita kemarau yang terbahak di akhir
tahun kemarin
begitu dahsyatnya menghentakkan derita ke
humus-humus tanah
dan kulit ari batang setanggi tercabik berai
dicakari taring waktu
Lalu daun-daun para berbisik ke telinga angin
perihal bau belerang
dari erangan gunung-gunung berbuncahan
memercikkan kobaran api
menganak sungai sampai bermuara pada sepasang
kaki kita berdiri
menatapi saudara-saudara yang moksa semesta ke
poros matahari
Balangan, 10
Januri 2016
ZIARAH TANAH LELUHUR
Belajarlah menanam jejak sejarah pada tanah kubur
moyangmu
agar mewarisi kemahiran bapakmu memetik senar
panting
dan ritmis gerak lenggok baksa kambang bundamu
yang kini tak dapat lagi kunikmati senandungnya
di bantaran sepanjang sungai antara debur
luka-luka hari
yang terus mengurai kebusukan kota
Lepaskanlah terompah telapakmu, lalu susuri tiap
relief riwayatmu
yang diranggasi semak tagah ilalang dan
pertapaan batu berlumut
di kelabat cendawan dan rumputan,
singkaplah rimbun cabang dedaunan itu
mungkin sepasang telapak leluhurmu masih tertatah
ditumbuhi kembang parwangi
menyebarkan harum di ladang huma nan sarunai
Ingatlah,
anak-cucuku berdarah Banjar
di tanah hulu aku kembali,
di sungai kuala aku menderas menjelma sejarah
yang diseret ganas temali serapah!
Balangan, 2015
MEDITASI HUJAN
bagai mengoyak kesunyian di
kulit gamelan
ketika kita mengulurkan
isyarat dengan kepahitan
sementara diriku
terbengkalai dalam meditasi hujan
merangkumkan abjad-abjad
yang pernah tertulis
di hempasan batu yang
menindih tubuhku
diamnya hujan nan membasuh
panorama duka
bersama kicauan
burung-burung yang tak wajar
menghinggapi sesak renda
dada
lalu hujan lepas dari
genggamanku
berbaur ribu bahasa anak
panah diracuni kematian
tapi kita tetap
menyembunyikan wajah di pelarian ini
setelah jalan yang lama
membentang kini berdebu kembali
cukup kita sudahi semuanya
dalam meditasi hujan
Barabai, 2012
BAAYUN JURIYAT
di separuh malam bersuluh
kandil damar
dan ceracau burung di
pucukan pohon kariwaya
menyapa piduduk dan semerbak
bau dupa
empat puluh satu wadai siap
terhidang
antara setampik ketan,
dodol, wajik, apam
dan tetes air kelapa muda
benang hitam dan seludang
mayang
tetuha khusuk merapal do’a
malam ini dikami menunaikan
kahandak
ma ayun juriat bubuhan anak
cucu
talinya haduk, kainnya tapung
tatah naga
wan cucur burung baurai
kambang lilihi
anak-cucu babuat di paayunan
kami dundangakan sandika wan
syair bahari
sakira anak-cucu babakti
mambuang samuaan
nang marigati hati diri
berkat
laailaa ha illallah
Muhammad Rasullullah
empat rapun manisan
dititi
berjerat benang hitam
diiringi bacaan shalawat
nabi
beserta riuh anak-anak
berebut wadai terhidang
baayun juriat di bulan penuh berkah dan puah
warisan purba di tanah nini
datu
tunailah sudah baayun
juriat
meninggalkan jejak petuah wan
amanat
Balangan, 2013
NYANYIAN ORANG LADANG
aku mendengar bunyi beburing
pipit menyambut pagi
menyebarkan embun pada
pucukan daun
dan basah batu-batu sungai
di setiap galangan ladang
penuh runduk padi menguning
setelah sekian bulan memandu
cuaca
yang kadang tak tentu lagi
turunnya
kadang hujan menderas,
sedikit gerimis
lalu panas kembali menggantang
dilalui dengan segenap
pengharapan
dari anjung rumah sampai ke
tanah sawah
memikul tutujah dan tajak
sampai pada harit dan
ranggaman
bergulat dengan lumpur dan
matahari
setiap peluh yang
ditanamakan telah berisi
berbuah menguning
di atas pondok rampa
di tengah belukar
orang-orang ladang lirih
bersenandung
“kuning-kuning banihku
lantur manguning amas dikatam diirik
dilabang…
hanyar diurai si banih
hanyar himung lihum musim katam banyak
bapakulih…
jangan kulumpanan basyukur…
sakira tahun dihadap babarkah
pulang…”
orang-orang ladang bersyair
meminta berkat sesuai
harapan
sekaligus mengucapkan rasa
syukur
agar terusir hama dan bala
bencana,
hidup makmur di tanah subur
banua
Balangan, 2015
NYANYIAN AIR MATA
aku ingin mengatakan
bahwa terlambat sudah
daun-daun itu gugur
sementara kau pergi
mengantar mimpi
aku berlari di antara
hamparan kepedihan
bersama kembang-kembang luka
dan awan temaram
selalu saja nyanyian air
mata melantun di tiap penghujung tidurku
lantas apakah salah bila aku
menadah rindu?
kita masih dalam satu
balutan daun
yang tak tahu ke mana arah
angin membawa jatuhnya kita
lalu hujan kita pecah
lewat perahu-perahu kertas
di bawah hujan
kita titipkan
paragraf-paragraf kata dan dialog
sebagaimana pena merekam
memori pada lembaran jejak diari
meski hanya tentangmu, dan
kepenatan
senyap
kita tak pernah lupa dengan
aroma air mata itu
di seloki hujan terisi penuh
ketika segala kenang
terancam punah di penyembelihan akar hati
lantas kita bergumam tanpa
aturan
maaf, hanya igau wajahmu kuingat
terselip di saku kemejaku
ketika membagi gerimis di
sepertiga malam
Barabai, 2012
PISAU PRASANGKA
jangan tudingkan mata pisau
pada sekuntum bunga
sebelum kita membedah
akarnya
runcingnya pisau merontokkan
kuntum
dan menikam penatah bunga
Balangan, 2014
DARAH PEJUANG
kudekap tanah leluhur ini
seperti aku mencintai
tulang belulang para
mendiang
pahlawan tanpa kenangan
Paringin, 2013
HIKAYAT PERAHU
Aku berdiri di punggung
laut, karena aku anak perahu
menatapi pendar-pendar buih
dihempas ketegaran karang
mengukirkan ketegaran pada
pasir-pasir di tepi pantai
aku menyeka asin keringat
kehidupan sebagai nelayan
di lautan ke-Maha-LuasanNya
Di ujung Bandar matahari
menyelinap di punggung pantai
sebelum malam merebut
hakikat perahu dan hikayat sampan
sebab selalu ada gelombang
membuncah dan muara mengarus
pada setiap perjalanan dan
pengarungan melayari samudra
Maha DalamNya
Balangan, Januari 2016
HAKIKAT TUBUH
kulayari hujan di garis
wajahmu
saat membaca hakikat tubuh
terluka
meronta menelanjangi diri
dan berjalan dengan topeng
badut di tangan
kulepas semua orkestra hidup
di sini
pada gelak tawa di sepasang
bola mata
ambilkan aku pisau dari
kepalamu
untuk mengupas punggungku
yang tak tahan dengan
rindumu
dan kutuliskan nama kita di
keningmu
biar setiap kali kau
bercermin dapat mengeja jiwaku
aku tak pernah habis
menyusuri tubuhmu
Barabai, 2012
DI BATAS TANJUNG DEWA
– kerinduan terdalam kepada Tercinta—
sepanjang tanjung inilah yang menjadi sajadahku
menadaruskan ayat-ayat ombak
mengamini tiap doa-doa bunga karang
deburnya menjelma dzikir kerinduanku
tak habis-habis memuja namaMu
samar-samar di lambai dedaunan nyiur
merahnya cahaya senja di ufuk
membasuh perahu-perahu tua kesepianku
penuh sarat muatan tanggungan hidup
melaju ke riak hulu muaraMu
di batas Tanjung Dewa
kulepaskan kasidah airmata
di tetabuhan cangkang-cangkang kerang
tak berpenghuni
menyampaikan gaduh kerinduan
menggarami segala kegenapan kita
Balangan, 2012
BERTAHAN DI TANAH KUBANGAN
Kita seperti pohon-pohon karet
setia berjejer pada tanah kubangan
memberi arti
pada setiap tetes getah darah di tempurung
kehidupan generasi
dari tubuh kita yang penuh gurat luka pisau toreh
mari kita tetap berjaga pada batas terakhir
setiap jengkal tanah pada cadas batu-batu
dan deras alir sungai
sampai pada sehelai daun yang jatuh sekalipun
Kini
banyak terasa lain
kian tahun berulang
burung dan embun
enggan lagi bertandang
gunung dan lembah telah habis runtuh
tumbang
tanah tempat kita berpijak
terus dikeruk
mesin yang menggaung
batu bara diangkut,
belantara ulin dan rimba damar
ditebang
kita harus terus berteriak
meski suara sudah sumbang
akan selalu bertahan
meski diserang,
diusir
dan dibuang
dalam segala daya usaha
upaya yang dibungkam
hingga nyawa hilang
Dangsanak
kita bertahan di tanah kubangan
sampai batas akhir
nanar air mata leluhur menatap tanah kelahiran
di hunjuran gunung
yang membongkar keperawanan hutan
dan lembah meratus
jejak kanjar dan babangsai terhumbalang
pada balai-balai yang luka
ruap asap dupa menghantarkan
tangisan anak anak balian pada leluhur
agar kita tetap bertahan di tanah kubangun
Balangan, 2015
KENANGAN DI ARUS HULU SUNGAI
TENGAH
(untuk bumi murakata tanah
kelahiran)
tanah kelahiran ini
setangkai anggrek merpati
di bahu jalan
masih menguarkan harum
kenangan masa lalu
menyambut jejakku kembali
pada pangkuan ibu
di taman kota dan lapangan
Dwi Warna
kudengar roda-roda motor
berbaur ramai
dengan gelak tawa dan candu
rayu pasangan
sepenti mengundang langkahku
kembali pada masa silam
patung burung enggang
termangu
menatap hutan di lereng
Meratus
yang tertinggal
ranting-ranting kariwaya
dan ulin tumbang
menyisakan gelondongan
batang rimba
yang hangus
pematang dan lanting lanting
yang kian tergerus
pada sungai Benawa
yang kehilangan arus
legenda Raden Penganten
di bumi Murakata
masih kudengar
ratap teriakan pejuang yang
mulai dilupakan
tanpa taburan aneka bunga
kenangan
yang dahulu melawan penjajah
dengan segenap simbah darah
demi merebut Banua
mempertaruhkan harga diri
rakyat banua
Di sinilah senandung panting
kudengar
mengalunkan nasib budaya
dan warisan leluhur
yang semakin tersingkir
pada kenyataan dan harapan
yang tertoreh
pada keperihan sayatan pohon
kareat
tapi kejayaanmu
selalu terukir di prasasti
dada anak Banua
sebagai Parisj VanBorneo
Balangan, 2005
Tentang Fahmi Wahid
Fahmi Wahid lahir di Barabai 03 Agustus 1964. Menamatkan
SD, MTSN dan PGAN di kota kelahirannya, lalu melanjutkan studinya ke Fakultas
Syariah IAIN Antasari dan Program Pasca Sarjana STIM IMNI Jakarta konsentrasi
Teknologi Pembelajaran (2006). Ia aktif menulis dan membaca puisi, menulis
naskah drama mulai tahun 1986.. Setumpuk karyanya tergabung dalam antologi
bersama, antara lain: Bertahan di Bukit Akhir (2008), Antologi Puisi
Aruh Sastra Kalsel ke-III, ke-V, ke-VI, ke-VII, ke-IX, ke-X dan ke-XI di Tapin.
Juga Solo dalam Puisi (Festival Sastra Solo, 2014), Lumbung Puisi Sastrawan
Indonesia (2014), Duka Gaza Duka Kita ( 2014), Ada Malam Bertabur
Bintang (2015), Tifa Nusantara 2 (2015), Kalimantan Selatan
Menolak untuk Menyerah (2015), dan Memo Wakil Rakyat (2015).
Karya-karyanya juga pernah terbit di koran lokal Media Kalimantan dan Radar Banjarmasin. Menghadiri Pertemuan Sastrawan 3 Negara
(Malaysia, Singapura, dan Indonesia) di Cilegon, Banten 2014. Semenjak 2014
mendirikan Sanggar Mamang di Balangan. Karena prestasi dan dedikasinya dalam
berkesenian ia pun menerima Hadiah Seni (bidang sastra) dari Gubernur
Kalimantan Selatan (2011). Sekarang beralamat di Perumahan Batu Piring Permai
Gang Tinjau RT. 14 No. 15, Paringin Selatan, Balangan, Kalimantan Selatan.
Catatan lain
Ada dua penyair yang
memberi kesaksian di sampul belakang buku, yaitu Ali Syamsudin Arsi dan Rezqie
Muhammad AlFajar Atmanegara. Kemudian hadir pula pengantar penerbit, yang
kemungkinan besarnya, menilik gaya tulisannya, ditulis oleh Hajri. Di sana
dapat kita peroleh informasi bahwa kumpulan ini menghimpun 4 tahun terakhir perjalanan
puisi si penyair, yaitu 2012-2016.
Sesungguhnyalah,
saya lebih mengingat penyair ini lewat sebuah puisinya di antologi Bertahan
di Bukit Akhir (antologi puisi penyair hulu sungai tengah, 2008). Puisi ini
tak ada di Suara Orang Pedalaman. Puisi yang bisa bikin saya
senyum-senyum sendiri. Puisi itu berjudul Nipis tapi Kanyul. Nah lho.
Hehe.
NIPIS TAPI KANYUL
Tuhuk aku bakunyuk ka banua urang
Ka udik, ka hilir, ka muhara
Lacit ka buncu banua
Asa lilip pang sudah
Balai-mambalai, warung, pasar
Bungas,
Langkar anggit urang
Ku itihi pulang nang kalunyuran
urangnya
Ku tingau sapanjangan banua
Silau mataku, saling tarangan
Mahindau banuanya nang taharagu
Lawas jua aku madam, dandaman banua
saurang
Sapanjanak aku singgah di warung
Bamacam wadai nang kulihat
Ku jumput jua wadai bulat habang wan
putih
Ai, nipis, kanyul, mambari kapingin
Apam sakalinya
Mandibar jantungku
Taganang banua saurang
Kur sumangat
Bulik, bulik jua aku wayahini
Limbah sampai di banua saurang
Tacagal aku
Kada pinandu lagi
Memburinjing burit tundun
Mandisap bulu mambu
Tacangangi 99 ngaran Tuhan
Bajijir
Babaris
Malangir
Manarang
Di suluh kaca
Kada kalah wan banua urang
Limbah talihat nitu
Mandibar kahandak diri
Amun kawa maandak 99 ngaran Tuhan
Nang bajijir di pinggir jalan
Jakanya kawa jua kita maandak ka hati
Mudahan kawa maniru,
Kawa ma amalakan
Kawa mahuluakan kakanakan nang masih
uji,
Nang batingkaung, nang sakulah
Tamasuk abah-abah, mama-mama sabarataan
Mudahan ba iman,
Tahu di adat,
Barasih banua
Barasih awak
Sampai ka hati
Pernah
juga saya baca tulisan Jamal T. Suryanata di Media Kalimantan yang membahas
kumpulan puisi ini. Di akhir tulisan, JTS menemukan ada satu puisi FW yang
mirip dengan puisi Ajamuddin Tifani. Mungkin semacam plesetan atau entah apa
namanya. Saya sendiri belum mengecek puisi AT karena tidak punya bukunya.
Berikut puisi tersebut:
KAPAL KERTAS (versi Fahmi Wahid)
kapal kertas yang membelah perut laut
adalah kapal cintaku
yang senantiasa berlabuh
ke arahMu
menyisir ke tepi
menghalau gurat duka
menyongsong ke laut
membedah bahana bahari
yang selalu terjaga
di setiap waktu
dalam nyanyian kehidupan
aku tak akan larut ke dalam arus
bersama kapal kertasku
walau karam di laut
atau terkapar di pantai
bila rimbun harapan belum kugapai
aku tetap tegar di kesendirian
bersepi di rumahMu
Barabai, 2012
KAPAL KERTAS (Ajamuddin Tifani)
(kapal kertas, kapal kertas
kulipat engkau dalam kehidupan
kapal kertas, kapal kertas
mengatas sunyiku berkepanjangan)
kapal kertas yang
mengguris badai laut
adalah kapal cintaku
yang senatiasa berkayuh
ke arahmu
kapal kertas yang tengah
diburu gelombang
adalah kapal jiwa-ragaku
Yang merindukan
kekaramannya
di lautmu
kapal kertas
dirancu angin limbubu
deru yang bergema ke
daratan kelam
hanya gema
hanya kelam
(kapal kertas, kapal kertas
kulipat engkau dalam kekenangan
kapal kertas, kapal kertas
kulayarkan engkau dalam iman)
(dari Tanah
Perjanjian, AjamuddinTifani, hlm. 113)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar