Data buku kumpulan puisi
Judul
: Mengukur Jalan, Mengulur Waktu
Penulis : Yopi
Setia Umbara
Cetakan
: Desember, 2015
Penerbit
: Gambang Buku Budaya, Yogyakarta
Tebal
: viii + 61 halaman (56 puisi)
ISBN
: 978-602-72761-6-1
Desain
sampul : Damar N. Sosodoro
Desain
isi : Mawaidi D. Mas
Sumber
foto sampul : “The main street of Oradour-sur Glane” karya Dennis
Nilsson
Beberapa pilihan puisi Yopi Setia Umbara dalam Mengukur Jalan,
Mengulur Waktu
Dalam Hujan
dari langit
sajak-sajak turun
sebagai juru selamat
bagi setiap kesunyian
2012
Mengukur Jalan, Mengulur Waktu
denganmu mengukur jalan
di antara gedung-gedung besar
di kota yang tercipta dari gairah
celah sempit dilalui banyak orang
dan kendaraan semua bergerak
beradu cepat entah ke mana
seperti kita yang masih tak jelas
bergegas hendak pulang
tak tahu ke mana
perjalanan hanya mengulur waktu
mencipta kesedihan demi kesedihan
sempurna sebagai nisan ingatan
mungkin petualangan belum usai
namun di sepanjang jalan
aku mencium aroma kematian
2008
Di Teluk Batukaras
di sunyi teluk batukaras
aku duduk memeluk lutut
menahan dahsyat arus rindu
yang terus bergetar
pada hamparan pasir
juga batu-batu karang
seperti hempasan gelombang
perlahan pasang laut petang
menerjang sebagai kau
berhembus sekencang angin
meruntuhkan keheningan
dan meluruhkan daun-daun
menyerahkan segalanya
hanya kepadamu
2012
Artifisial
mungkin langit hari ini
hanya seluas monitor komputer
atau layar handphone
yang seolah-olah jendela
melihat riuhnya dunia
seperti puas hanya dari permukaan
di dalam kamar
seakan semesta akan terbentang
diam-diam kita lebih takjub
lebih mengagumi diri
yang memantul sebagai bayangan
nyaris sempurna jelmaan khayalan
bagai karakter hologram
seketika mewujud lalu pecah
menjadi riak-riak cahaya
2010
Pertapa Gunung Lagadar
tebing-tebing batu adalah pertapa
senantiasa tetap tenang terjaga
meski eskavator terus menderap
lalu perlahan-lahan mengeruknya
tak ada yang mampu mengganggu
keteguhan semedi dalam mereka
walau mesin-mesin pengangkut
hilir mudik menggotong tubuhnya
2012
Pagi di Jakarta
orang-orang bergegas
lebih laju daripada kereta rel listrik
lebih tergesa daripada metromini
seolah-olah tak ada waktu lagi
sekadar menghirup udara pagi
apalagi menulis sebuah puisi
semua orang bergerak
berjejal memenuhi jalan raya
menjadi mesin peradaban jakarta
2012
Senja di Tanjung Palette
di ujung senja bercampur gerimis
jejak-jejak waktu terus berderak
sepanjang jembatan kayu renta
angin utara menjadikannya hujan
gelombang laut semakin kencang
buih-buihnya menerjang karang
sunyi tanjung mendekap jantung
mencatat kekosongan tebing jiwa
menyiratkan segala tentang maut
2013
Pagi, Gerimis, dan Kenangan
pagi
adalah mula bagi segala cinta
gerimis
menjadi kata-kata para pecinta
kenangan
merawat kita yang mudah lupa
2013
Lagu untuk Zul
ketika maut tiba, kawan
maka sajak melagukan hidup
seperti selembar kafan
membungkus setiap keriangan
jiwa yang senantiasa abadi
membebaskan tubuhnya
kembali ke pelukan tanah
paling murni dan hangat
setiap pesan terakhirnya
tak pernah meminta jawaban
jika kita masih punya cinta
ia pasti ada dalam diri
2014
Di Lembah Lembang
akar rumput liar tumbuh menjalar
seolah mengajarkan kesabaran
pada tanah lembah yang tabah
hembus angin dan desis tonggeret
mengisi udara penuh ketulusan
sedari pagi hingga petang hari
kala petang diam-diam jadi malam
derik jangkrik dalam liang gelap
setiap menjaga dingin kesunyian
2012
Kepada Waktu
di segala jalan
menumpuk ribuan lembar daun
jatuh dari pohon-pohon cuaca
sepanjang musim rusuh
berebut kata-kata paling singkat
menuntas batas antara kesadaran
dan kesederhanaan
burung masih beterbangan
melintas langit
tempat tinggal tambah sesak
bayangannya memanjang
menjelma sebagai dasamuka
bila tiba malam
bayangan itu menelan kita
tak sisa sedikit pun
lalu kita meraba-raba
di mana ruang paling pantas
untuk sembunyi dari hasrat hidup
yang terus memburu
2008
Malam Berjalan Tanpamu
melewatkan malam-malam lengang
dalam merenungi jalan yang kutempuh
tanpamu terasa lebih sepi
hanya sepatu setia menjaga langkah waktu
sementara angin begitu rajin
menyisir rambut di semua bagian tubuh
lalu menusuk ke balik kulit yang rapuh
terhadap setiap perubahan cuaca
sampai menggigil hati dan jiwa
di tangan kupegang kuat-kuat selembar kertas
berisi sajak yang menjadi peta
sajak yang semacam nyawa itu
menggelepar-gelepar dalam genggaman
mungkin ikut merasakan
betapa tersengal-sengalnya nafas
yang masih setia menuntun hidup
melintasi remang lampu jalanan
pohon-pohon pinus yang kehilangan aroma
rumah-rumah besar berpagar keangkuhan
juga bau bangkai tikus di got yang menyiksa
di sepanjang tanah malam dulu kita sering berjalan
menyusuri keheningan demi keheningan
namun langit kali ini teramat sunyi
dan aku seakan tak bergerak ke mana pun
hanya mengulang-ulang langkah
pada jalan yang telah jutaan kali kupijak itu
ternyata tanpamu aku semakin tak tentu arah
hingga setiap pulangku tak lebih dari singgah
2008
Di Bukit Jayagiri
hujan tak juga reda
jajaran pohon cemara
tegar terbungkus kabut
pada dedaunan
juga tanah basah
hanya aroma hujan
debar di balik dada
menggemakan namamu
pada bumi yang dipijak
2012
Aku Bergegas Menujumu
pada jalan menujumu
aku bergegas layaknya sungai
yang dipaksa cuaca sampai ke laut
lalu merangkak ke langit
dan sebagai hujan harus kembali
basah di bumi
garis-garis pada tanah kering
seperti wajahmu yang terus tua, kekasihku
adalah ilustrasi jutaan tahun bumi berputar
juga kubur-kubur itu tempat maut kita
kemarau turun dari pohon-pohon dewasa
bagai daun-daun lelah
barangkali mereka semacam kita
terkadang butuh waktu istirahat
kupungut satu daun paling regas
kusimpan dalam saku untuk kuberikan padamu
sebagai bukti bahwa begitu panjang jalan
yang harus kutempuh
untuk sampai padamu, kekasihku
pada jalan menujumu
bukit-bukit mulai dikikis
tidak ditanami lagi tumbuhan
melainkan ditumbuhi tangga-tangga tinggi
menjulang ke langit
melebihi menara-menara sunyi rumah tuhan
di bawah terik matahari
di dalam lembab
udara menghembuskan nafas
seperti manusia yang udzur
begitulah langkahku, kekasihku
tapi yakinlah dan tunggulah setia
karena aku bergegas menujumu
2007
Ode untuk Stasiun Kereta Kelas Tiga
stasiun itu nampak ramai, widzar
meski bau pesing dan tampak makin sibuk
mengatur keberangkatan juga kedatangan
penumpang-penumpang gelisah
mungkin belum selesai menuntaskan perjalanan
barangkali mereka hendak pergi atau pulang
atau sekedar pelancong kelas tiga yang selalu riang
menggendong tas punggung dan kamera murahan
peta kota-kota lusuh yang ingin mereka singgahi
setelah kereta sampai di suatu tempat paling sunyi
bagi kita yang tak pernah merasa puas bertualang
2010
Seperti Kesunyian
: El Gabo
seperti kesunyian
menjelma macondo yang malang
roh jahat dan bayang ketakutan
menyerupai ujung bedil
mengarah pada kepala kerdil
bumi adalah anak yatim
terus diserbu pengungsi
dengan perut lapar tanpa harapan
tank-tank pembunuh bagai badai
mengintai bangsa manusia
bocah yang tak mengerti
kenapa dunia diciptakan
dari jutaan selongsong peluru
tak pernah bisa bertanya
selain mengisap ingusnya sendiri
2014
Tentang Yopi Setia Umbara
Yopi Setia Umbara lahir di Bandung, 30
maret 1984. Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia. Pendiri Jalan Teater dan buruan.co.
Puisinya tergabung dalam al. Herbarium (2007), 142 Penyair Menuju
Bulan (2007), Tanah Pilih (2008), Di Atas Viaduct (2009), Pedas
Lada Pasir Kuarsa (2009), Berjalan ke Utara (2009), Percakapan Lingua
Franca (2010), dll.
Catatan lain
Salah satu buku yang tanpa pengantar, juga
tanpa testimoni teman. Di sampul belakang ada dua petikan sajak, yaitu “Dalam
Hujan” dan “Aku Bergegas Menujumu”. Kalau kita buka halaman 20, maka judul yang
tertulis adalah “Mengukur Jalan, Mengukur Waktu”. Dan judul tersebut
bertentangan dengan daftar isi buku, dan tentu saja judul buku ini. Selain itu,
di dalam puisi juga tak ditemukan kata “mengukur waktu”, yang ada hanya
“mengulur waktu”. Jadi, besar kemungkinan itu salah ketik. Sehingga puisi yang
tampil di sini adalah “Mengukur Jalan, Mengulur Waktu”
Salam,
BalasHapusTerima kasih atas apresiasinya. Betul sekali mengenai judul sajak "Mengukur Jalan, Mengulur Waktu" ada salah ketik. Catatan di atas sangat tepat.
Terima kasih
YSU
Kami ini, para penikmat puisi, macam si kesunyian saja, dimana sajak-sajak turun sebagai juru selamat (meminjam sajak Dalam Hujan). Jadi, mestinya kamilah yang berterima kasih atas sajak-sajak yang ditidak-keberatani untuk dibagikan. Terima kasih. Salam puisi :)
HapusKereen abiisss sukses teruss jadi pujangga melegenda seprti pendahulu
HapusMantap ditunggu ngopi lembangnya
terima kasih bang sudah berkenan membuat sekaligus menghadirkan karya-karya ini, saya tunggu karya berikutnya, semoga selalu sukses dan bersemangat dalam berkarya
BalasHapus