Data buku kumpulan puisi
Judul
: Angsa-angsa Ketapang
Penulis : Bernard
Batubara
Cetakan
: II, November 2013
Penerbit
: Indie Book Corner, Yogyakarta
Cetakan
I oleh Greentea Publising (2010)
Tebal
: 110 halaman (67 puisi)
ISBN
: 978-602-1599-30-3
Proof
Reader : Anindra Saraswati
Layout
: Irwan Bajang
Desain
sampul : IBG Wiraga
Prolog
: Hasan Aspahani (Surat untuk Sajak-sajak Bernard Batubara)
Angsa-angsa
Ketapang terdiri dari 3
bagian, yaitu Pada Tepi Daun, Embun, dan Mata (48 puisi), Haruskah
Sajak Ini Kuberi Nama (12 puisi) dan Angsa-angsa Ketapang (7 puisi).
Beberapa pilihan puisi Bernard Batubara dalam Angsa-angsa Ketapang
Angsa-angsa Ketapang
aku tak bisa membayangkan diriku, adik perempuanku, dan
adik lelakiku sebagai tiga ekor angsa yang hidup di rumah
kami, karena kami tak membagi dada kami untuk dijadikan
sebaskom kecil nasi sisa dan kami lahap bersama, kami tak
berjalan subuh hari menembus pagar rumah yang rusak,
mencari sekawanan embun berkilau yang beterbangan
setiap sehelai daun ketapang jatuh dari rantingnya, kami
tak pernah melompat menceburkan diri ke kolam ikan
dan berseru kegirangan, mengibas-ngibaskan sayap di
dalam air berwarna kuning, berharap sekawanan ikan
kecil berenang mendekat, kami bukan tiga ekor angsa yang
tahu kapan harus pulang kembali ke kandang, kandang
kecil tempat seharusnya kami tidur bersama, dan aku tak
bisa membayangkan diriku sebagai angsa tertua yang
melebarkan sayapnya, memeluk dua ekor angsa lain, meski
seluruh daun di pohon ketapang yang lahir di rumah kami
berguguran dan tak akan pernah tumbuh lagi.
tapi angsa paling bungsu sudah telanjur tidur pulas
sekali, ia
tersenyum, sayapku tak ada di sana.
25 Baris Januari
: seorang wanita
januari, masihkah kau kini menenun sapu lidi
dari bening benang embun yang kian layu dan pasi
sebab pagi kali ini datang terlalu dini
dan aku tak mendengar lagi suara sapu lidi
januari, kau tak pernah selesai dan aku belum juga
memulai
perjalanan kaki mencari kaki, perjuangan hati meniti hati
fajar melepas selimut, bangun dengan muka masai
mengambil kabut, menjemput gelap, mengelap rantai
aku masih menunggu malaikat maut datang dengan damai
januari, kau gelisah mendaraskan doa tak hendak berhenti
januari, waktu hanya drama tempat seluruh sandiwara
beraksi
aku bukan aktor, kau bukan aktris, kita tak bakat
berkomedi
januari, pagi kian dekat ke pergi
dan kering masih mengintai dasar perigi
apakah sudah habis rontok rambutmu yang lama lepai
aku belum siap menadah, aku masih enggan melambai
januari, pasti hidungmu terasa lengar habis menghirup air
kali
sebab ke sana air bekas mandiku mengalir, menghanyutkan
diri
tapi jangan kau dan sangit air itu hendak bercerai
dua anakmu (satu di surga) tak mau jadi pelerai
januari, ini serangkai doa bukan untuk menebus diri
manalah bisa ujung jalan dicari, hanya pucuk galah disigi
tapi sambut dan dekaplah, aku hendak menghempaskan diri
dan biar aku bertanya kepadamu sebaris saja dalam puisi
ini
kalau aku pergi, apakah kau akan menyuruhku kembali?
Mitos Pohon
selalu ada yang menunggu untuk suatu kehadiran selalu ada
yang menghadirkan untuk suatu penantian demikian kau
bergumam pelan kepada hamparan tanah selalu ada yang
mencari tak selalu menemukan selalu ada yang menemukan
tak selalu dengan mencari kau berbisik pelan kepada angin
kemudian angin menghampiri langit mengatakan sesuatu
lalu turun ke tanah menyampaikan sesuatu dan tanah
membentuk sebagian darinya menjadi serabut-serabut
kayu tipis dan tebal lantas langit menarik sebagian dari
itu
keluar tanah hingga ada yang tumbuh menjulang lalu angin
bersiul-siul merayakan kelahiran mencuatkan kayu-kayu
kecil yang tumbuh menyebar tapi kau menatap saja semua
kejadian tanpa hendak tahu apa yang disampaikan angin
kepada langit apa yang dipesankan langit kepada tanah
sebab kau merasa cukup berdiam saja dan kau mengerti
akan tiba Waktunya
Adegan Film: Burung Gereja
: reynald chossy narpa’ togu batubara
ketika magrib baru saja lahir
dari gema azan, di anjongan
kau pergi keluar, menyusuri pasar
– tiang-tiang listrik terpancang
ratusan burung gereja, bertengger di kabel-kabel
sebagian berdiam saja – sebagian terlihat begitu risau
o, burung gereja, teman-asingku
apa yang kau tunggu begini petang?
o, burung gereja, pendatang-baru
apa yang kau cari seterlambat ini?
*
kau berjalan pelan, menengadahkan kepala
menyaksikan ratusan burung gereja lalu-lalang
sejenak kau seperti melihat mereka
menjadi sebuah kalung mutiara hitam
yang sangat panjang
entah kepada leher siapa mereka
hendak terbang-mengalungkan diri
ataukah mereka hanya menyamarkan
pandanganmu dari yang sebenarnya
ingin kau cari?
o burung gereja, kau hitamkan langit
dari mata ia yang memutihkan apa saja
o, burung gereja, kicau kecil yang ramai
nyanyikan sebuah lagu – agar ia pergi dalam damai
*
mungkin magrib akan menangis – sebentar lagi
setibanya kumandang azan di penghujung lafal
sebab kau harus segera pulang, menanggalkan
napas dan tawa yang panjang, meninggalkan
ratusan burung gereja di tiang-tiang
mungkin aku akan menghampirimu – sebentar lagi
mengalungkan mereka ke lehermu, menemanimu
pergi menuju suara yang memanggilmu
setibanya azan itu usai
sebentar lagi
Kepada Buku
: kafe baca biblioholic
kami sedang memoles kata-kata retak di bibirmu dengan
pelangi kecil dari huruf-huruf yang kami tahu dan sungguh
kami tak mengerti kenapa ada jendela seluas langit di
matamu sebab kami terisap sekali lagi sambil berharap
kali
ini bisa menjadi ribuan kalimat di tubuhmu.
Kres
waktu telah memainkan luka, hingga ke nada
yang lebih tinggi, dawai menyimpan mimpi,
denting menanam rindu entah di petik yang
mana, ah, langit telah menyala…
suara tak lagi, ada bisik yang lebih
lengking, napas begitu kering, apa yang
bunyi terdengar begitu api, di sini
jemari membakar, ah, teriak telah berkobar!
Mol
rendah, rendahkan o belahan jari, pagi
sudah tak tahan bermimpi, embun, o
biarkan dia yang melanjutkan nada
berikutnya, sebab bunyi pada waktu ini
sudah tak sama, bapa ada
di surga, kenapa tak kita juga?
rendah, o rendahkan lagi bunyi ini, di
beranda rumah sepasang kursi, hai sangkar
burung yang telah ditinggal pergi, biarkan,
biarkan mereka yang melanjutkan mencari,
sebab luka pada waktu ini sudah tak lagi,
kenapa tak kita Mati?
Bar
betapa kita hanyalah tubuh yang runtuh, o ruang
yang mengarung nada-nada, tanda-tanda, o
duka yang terselip di setiap jeda, o tuah
yang mengalir di belahan lagu, romansa
bunyi masa lalu, aroma sedap malam dari laut
mati dalam simfonimu membawa maut, o jemari
yang lihai melantun luka, menatah luka
menyusun luka, o tubuh yang runtuh,
betapa kita hanya ruang yang rubuh, ruang yang rubuh…
Dua Sajak yang Kutulis Setelah Mengunjungi Dua Pantai
Di Pantai Siung
seperti alis untuk sepasang mata hitam milik seseorang
di Pantai Siung, ada dua sisi karang melengkung ke dalam
seperti senyum seperti pelukan dahulu terkikis dari benak
tapi dihantam berkali-kali oleh ombak panjang dan garang
ahai, berdiri di tengah-tengah rentang hampar pasir ini
sungguh jantungku ingin terbang, lalu jatuh tergeletak
agar disambut oleh buih laut, dan hanyut saja perlahan
menyaksikan bening air, liuk rumput laut dan bebatuan
tapi ada yang memanggil-manggil dari kejauhan dari ujung
seperti memanggil pulang seperti menolak kenang
di Pantai Siung, ada butir pasir yang tak sekalipun
larung
seperti bintik air di sepasang mata hitam milik seseorang
Di Pantai Sadranan
luka tak pernah sekalipun senja, tak pernah seperti
langit
di Pantai Sadranan kali ini, aku duduk saja mematung
di pondokan bambu
beratap daun rumbia, aku melihatmu
melambai melayang-layang di atas laut yang kadang biru
namun seringkali jadi hijau di mataku, hanya di mataku
luka tak pernah sekalipun senja, tak pernah seperti pasir
di Pantai Sadranan, itu sebabnya aku duduk saja di sini
di pondokan bambu bertuliskan nama-nama, tak berani
turun dan menginjakkan kaki, menghampiri halus lembut
sebentang bak tikar panjang tempat biasa kau datang
tapi bukan di sore seperti ini, saat ombaknya tak lagi
menjilat, tak lagi ada hasrat untuk mengecup bibirmu
hanya menyenggol pulau-pulau kecil dan batu karang
hanya menunggu aku turun dan kau turun di tepian
di Pantai Sadranan, bukan aku yang tersedu kepada
merah langit di kejauhan, hanya saja kau selalu ada
sebab luka tak pernah sekalipun senja, tak pernah
seperti lembut pipimu dari jauh kau letak di bibirku
Sajak Daur Ulang: Yang Bertalang Betung, Yang Berpagar
Lalang
: esha tegar putra
di semak rambutmu sajak merabuk, sajak mengurai
diri menjadi cadik, menjadi layar perahu yang
menepis asin angin dan pahit laut
barangkali kalu telah berjanji kepada kekasihmu,
wanita yang berdiam dalam deras gerimis batu
kau akan pulang dari negeri jauh, tempat kau
mengais tanah, mengubur api tungku
dan menahan liur tersebab matahari pecah
tapi tungkai kakimu adalah sayap, menolak
kau kembali pulang ke ladang, bersetubuh
dengan miang lebat lalang
ia memilih untuk terus terbang, bersitatap
dengan lembab udara, membentang selebar kata-kata
dalam sajak dalam rambutmu yang perak
membumbung dari buih embun batang buluh
yang memancing kau turun, menjemput
bunyi rindu yang jauh
tapi kekasihmu telah bertenun hujan, berselimut
rumput, bersikeras menampik kilau rekata
meski seringkali di tengah malam buta ia meranyau
tentang lelaki yang lupa jalan pulang,
lelaki berambut perak yang patah sayapnya,
lelaki yang tersesat di ladangnya sendiri
dan bukankah kau yang dahulu menikamkan
pucuk belati ke ulu dada perempuan itu,
perempuan yang berdiam dalam gerimis batu?
Pada Tepi Daun, Embun, dan Mata
pada tepi daun, embun adalah sebuah mata,
dan sepi terkurung dalam rapuh tulang-tulangnya
pada tepi mata, daun adalah sebutir embun,
ada cuaca pagi, dan warna hijau yang kabur dan basah
pada tepi embun, mata adalah selembar daun,
ke dalam pandang sepi telah penuh, luruh, dan sudah
Mengapa
Dalam Sajak Ini Ada Sebatang Lilin yang Tak Ingin Seutas Sumbu Dalam Tubuhnya
Terbakar Api
bagaimana
kita bisa menerangi
ruangan
kecil dan gelap ini
kalau kau tak membiarkan
api itu mendekat dan memelukku
kau
itu sebatang lilin
tempat
aku tegak berdiri
aku ini seutas sumbu
tak perlu lagi kau lindungi
memang
takdirku untuk hidup
dan
habis terbakar
sedang kau semata saksi
dalam ritual sunyi ini
tapi
kalau kau bersikeras
menepis
malam yang kalut
atau mengusir dingin angin
dan kelebat kabut
biarkan
aku saja yang habis
terbakar
api
tak perlu kau jemput
tak perlu kau ikut
Siapa
engkau
tersamar
di
antara wangi asap
ladang
yang dibakar
di
sela tunggul-tunggul
padi
hangus
dan
selisih depa
petak
sawah
yang
ditanami
pasir
dan bata
engkau kerinduan
gigil sebuah sungai
akan muara
yang pernah lama
menyambut
dan memeluknya hangat
sungai berwarna merah
yang mengalir
dari mata anak-anak
tertidur di bawah
tenda-tenda darurat
dan puing-puing
rumah sewa
engkau
yang longsor
dari
perut
perempuan,
bunda
bumi
yang tengah
melahirkan
bebatuan
engkaukah
pula
getaran
itu?
engkau sayup suara
di antara teriakan
ratusan manusia,
tapi kenapa
aku mendengarnya
seperti jerit bahagia?
engkau
injakan kaki-kaki
yang
berlari buta,
kaki-kaki
yang
setengah mati
mencoba
meloloskan
diri
dari
sergapan malaikat
maut
dan
tak menyadari
tengah
menuju ke sana pula
lagi
engkau benak yang curiga
tak ada hikmah
bisa diambil
dari musibah ini
engkau
pemain
dalam
lakon paling lucu
yang
pernah tercipta
dan
tak pernah berhasil
membuat
dirimu sendiri
tertawa
sementara engkau pula
berdiri
di antara barisan
penonton
yang tergelak
tak mengerti
apa yang selama ini
disaksikan
engkau
penguasa negeri pembalut ini!
tahan
dipakai
hingga
empat-lima kali bocoran
engkau itu
apakah kau
apakah
tuhan
apakah aku?
Daun-daun
Ketapang
1
dalam
tidur sehelai daun ketapang, ia bermimpi
menjadi
seikat sapu lidi
ia
sedang menyapu kekasihnya sendiri
2
kenapa kita tumbuh bercabang-cabang
dan banyak sekali? tanya sebatang ranting
kepada sahabatnya
ia tak tahu, sahabatnya itu ingin sekali
menjawab pertanyaannya dengan menggugurkan
seluruh daun kering di tubuhnya
3
tarian
daun kering adalah sebuah maharana
dalam
batin sebatang ranting
ia
tak ingin selesai melihat gemulai indahnya
tak
pula mau daun itu dipetik angin
4
di mata sehelai daun ketapang, angin adalah
kertau yang mengancam cintanya
maka sejak musim gugur mulai datang, ia berdoa
agar hujan saja yang turun membunuhnya
5
aku
mendengar ibuku sedang menyapu, kata
sehelai
daun ketapang yang baru saja lahir
bukan,
ia sedang dibawa pergi darimu, ujar
seikat
sapu lidi yang matanya tiba-tiba berair
6
ia ingin sekali bertemu kekasihnya
tapi tubuhnya belum kuning
dan angin belum menjemputnya jua
7
ia
merasa tubuhnya limbung
matanya
berair
yang
lain sudah lama berguguran
Di Dalam Sajak
engkau terbaring saja
ketika kata demi kata mulai masuk
dan larut
di dalammu
hening masuk dengan menyusup
luka datang dengan tertawa
sepi hadir begitu saja
engkau diam
begitu tenang, seperti sangat menikmati
saat-saat mereka mulai saling mengenal
dan meleburkan diri
kadang luka yang keras kepala
tak mau mengalah
hingga engkau menjadi pekat dan kental
merah seperti darah
kadang hening membawa serta kawanannya
yang terlalu ramai
engkau menjadi pucat dan masai
tapi sepi tak berminat
untuk berebut tempat
sajak, engkau begitu ringan
seperti bulu-bulu angin, bening
seperti uap hujan
tapi O sajak, cahaya matamu
selalu rahasia
Iklan: Obat Tetes Mata
kolam ikan yang kering, berlumur-lukamu
cukupkah kau turun ke dalam
mengair matakan matamu?
biar ada yang berenang
di pelupuk
menggenangkan kenang
sejernih waktu
Kita
kita adalah dua batang tubuh
di kursi taman itu
kita adalah dua kelebat bayang
yang saling mencari diri masing-masing,
di selembar daun, kita adalah
dua butir embun yang akan segera menguap
secepat luka, meresap-mengalir lagi
menjadi air mata, kita dua sulur air mata
yang entah tersesat
di wajah siapa
kita adalah dua batang tubuh
di kursi taman
di malam yang jauh
di temaram bulan
Tentang Bernard Batubara
Bernard Batubara lahir 9 Juli 1989 di
Pontianak, Kalimantan Barat. Menamatkan studi Teknik Informatika di Universitas
Islam Indonesia. Menulis puisi, cerpen dan novel. Karyanya tersebar di berbagai
media massa dan antologi bersama seperti Teka-teki tentang Tubuh dan
Kematian (2010), Tuah Tara No Ate (2011), Pedas Lada Pasir Kuarsa
(2009), Percakapan Lingua Franca (2010), dll. Kumpulan Cerpennya Milana
(2013) dan Novelnya Surat untuk Ruth.
Catatan lain
Di sampul belakang buku, bertengger petikan
puisi “Angsa-angsa Ketapang”. Testimoni teman hadir di halaman pertama begitu
kita membuka buku, yaitu dari M. Aan Mansyur dan TS Pinang. Begini kata Aan :
“Musik, mitos, mimpi, dan memori. Pernahkah anda membayangkan seorang
fotografer memotret hal-hal itu? Itulah yang dilakukan Bernard Batubara. Dia
menunjukkan kepada kita bahwa puisi-puisi yang kuat dalam ‘Angsa-angsa
Ketapang’ adalah foto-foto yang dia dapatkan dari memotret keempat hal
tersebut.”
Buku
ini dipersembahkan untuk sang adik, atau dalam bahasa Bernard : “untuk adik
yang sudah pergi/dengan senyuman paling tenang”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar