Rabu, 04 Desember 2013

Soni Farid Maulana: SELEPAS KATA






Data buku kumpulan puisi

Judul : Selepas Kata, Sepilihan Puisi 1976 - 2003
Penulis  : Soni Farid Maulana
Cetakan : I, Maret 2004
Penerbit : Pustaka Latifah, Bandung
Tebal : 60 halaman (43 judul puisi)
ISBN : 979-98258-0-6
Penyunting : Yus R. Ismail
Gambar cover : Drawing Diyanto
Design cover : Yusman

Beberapa pilihan puisi Soni Farid Maulana dalam Selepas Kata


Semacam Surat
untuk Sutardji Calzoum Bachri

jika itu yang kau maksud: memang
aku punya hubungan baik dengan ikan
di kolam; -- juga dengan warna ungu
teratai dalam lukisan Monet.

tapi kucing yang mengeong
dalam aortamu: -- rindu daging paling mawar
rindu susu paling zaitun,
yang harum lezatnya semerbak sudah

dari arah al-kautsar. Tapi, seberapa sungguh
kegelapan bisa dihalau: -- jika gerhana
membayang di hati? Seberapa alif mekar

di alir darah; -- jika setiap tasbih diucap,
yang berdebur di otak hanya ombak syahwat?
dji, tangki airmata selalu bedah di situ

2002



Ciwulan

aku mendengar suara ricik air sungai yang ngalir
di antara batu-batu dan batang pohonan
yang rubuh ke ciwulan

aku mendengar suara itu mengusik jiwaku
bagai alun tembang cianjuran
yang disuarakan nenekku di gelap malam

1979


Daun

siapa yang tak hanyut
oleh guguran daun: ketika angin
mempermainkannya di udara terbuka
ketika lembar demi lembar cahaya matahari

menyentuh miring dengan amat lembutnya
siapa yang tak hanyut oleh guguran daun
ketika maut begitu perkasa
mencabut usia hingga akarnya, ketika matahari

menarik tirai senja, ketika keheningan
menyungkup batu-batu di dada. Siapa
yang tak hanyut oleh guguran daun: ketika

lobang kuburan ditutup perlahan, ketika
doa-doa dipanjatkan dengan suara tersekat
ketika kutahu pasti kau tak di sampingku

1980


Suara Terompet Akhir Tahun

di ujung malam sedingin
es dalam kulkas;

apa yang kau harap
dari suara
terompet akhir tahun?

fajar yang menyingsing
tanpa bunyi kayu dilahap api,

tanpa tubuh yang hangus
seperti sisa bakaran kardus?

kita berharap
semisal tak ada kurap
di daging waktu
yang esok hari kita kunyah
dalam pesta kehidupan yang renyah?

tapi apa artinya berharap
dan tidak berharap,
bila langit muram terus membayang
seperti pengalaman yang kelam:

o, bunyi kayu yang hangus
dan tulang kepala yang meletus
dalam kobaran api di bulan Mei
yang ngeri di ini negeri?

di ujung malam sedingin
es dalam kulkas;

apa yang kau harap
dari ujung bunyi terompet
akhir tahun?

1998


Selepas Kata
untuk Kautsar M. Attar

perempuan itu terbaring di ruang bersalin
bayang-bayang sang ajal berkelebat dalam
biji matanya; memperkenalkan diriku
pada warna darah dan tanah. Dan kau yang

dilahirkan sore itu, tangismu keras,
air matamu adalah arus sungai yang deras
menyeret kesadaranku ke palung derita
seorang ibu, yang sisa amis darah

persalinannya; masih melekat di tubuhku,
yang kini rapuh dikikis waktu, digali detik
jam yang terus melaju ke dunia tak dikenal,

di luar hiruk-pikuk kehidupan kota besar;
ada yang menjauh dari surau dari kilau
telaga kautsar yang Dia berikan

2003


Lanskap

aku mendengar
nyanyian angin pagi
di tangkai pohonan

aku melihat cahaya sunyi matahari
berkilau lembut dalam bening embun pagi
yang bergayutan di punggung rumputan

aku mendengar salam itu,
salamNya, dilantunkan
kokok ayam jantan

negeri langit

1976


Tembang

Kau yang hidup dalam ingatanku
adalah tembang yang tak pernah selesai
dilantunkan angin sepanjang waktu

Kau yang memberi arah dalam hidupku
adalah petikan kecapi, alun suling,
lagu yang tak pernah sirna di kalbuku.

1977


Tentang Ular

di kamar ini, di antara bayang-bayang kelambu
aku cari wangi tubuhmu. Desis ular dari bayang-bayang
masa silam – kembali menggema dalam ingatanku,
lalu firmanNya yang menggetarkan itu.

1994


Narasi di Bawah Hujan

hujan, curahkan berkahmu yang hijau
pada lembah hatiku.

puaskan dahaga tumbuhan,
hingga jiwaku terasa segar membajak kehidupan.

di pinggir jendela aku ingat benar tahun lalu
aku masih kanak, bersenda gurau, bernyanyi riang,

memutar-mutar payung hitam di bawah curahmu;
yang berkilauan bagai perak disentuh matahari.

o, hujan. Puaskan dahaga jiwaku
agar hidupku menyeruak bagai tumbuhan

menjemput Cahaya Maha Cahaya

1984-1989


Anggur dan Daging Bakar
untuk Ian Campbell

sampai di pinggir jalan
di bawah rintik hujan, dalam derai angin
sore hari; sekar kenangan ligar lagi
dalam dirinya yang sunyi;

di Rotterdam
dalam hujan salju
yang kali pertama ia lihat
dengan penuh rasa takjub

anggur dan daging bakar
“bisa menghangatkan badan,”
katanya. Tapi ia tak menjamin

bisa meloloskan nyawamu,
dari sergapan maut musim dingin
yang melata bagai ular mencari korban

2003


Demikian Camus Berkata

pemberontakan itu, demikian
Albert Camus berkata, memberi nilai
pada hidup1

yang kau punya
kubelai-belai mesra,
nyatanya hidup juga.

hihihi, mari kita masuki
wilayah malam
dengan seluruh api pemberontakan
yang menyala di dada.

o, airmata yang bergulir di cekung rasa
katakan padaku – masihkah kita bermukim
di negeri mimpi? Siang tadi kabar duka

sampai padaku, Tasik yang rusuh
dihanguskan api. Batu mengucap
batu. Darah melayah di gigir hari,

di gigir waktu apa yang rubuh
sehabis api pemberontakan
kita kobarkan hingga ke langit jauh?

hanya sunyi bertilam sunyi
di luar jendela. Lalu daun gugur
dan risik hujan kembali
bicara

1996
1 Sepatah kata bersayap Albert Camus dalam buku Mythe de Sisyphe


Catatan dalam Hujan

aku serahkan seluruh jiwaku padaMu
karena menolak adaMu berdasarkan pikiran
adalah kesia-siaan belaka.

keimanan adalah kerinduan yang bengal
yang berulang jatuh memanjat langit rohani
hingga malam berlalu dalam tahmid dan takbir
hingga kokok ayam mengerek cahaya fajar

di kalbuku. Hujan yang turun menghapus
jejak kemarau di dahan-dahan pohonan
sungguh indah warnanya. Irama suaranya
yang menggetarkan ini sukma; adalah

salawat bagi segala jiwa yang berlayar
ke muara Cahaya Maha Cahaya
semata Cahaya Maha Cahaya

1991


Tentang Soni Farid Maulana
Soni Farid Maulana, lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 19 Februari 1962. SD, SMP, SMA di tempuh di kota kelahiran. Tahun 1985 menyelesaikan kuliah di Bandung di jurusan Teater, Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI), sekarang Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung. Bekerja sebagai jurnalis di HU Pikiran Rakyat Bandung. Aktif menulis sejak tahun 1976. Antologi puisinya Variasi Parijs van Java (Kiblat Buku Utama, 2004), Secangkir Teh (Grasindo, 2005), Sehampar Kabut (Ultimus, 2006), Angsana (Ultimus, 2007), Opera Malam (Kiblat Buku Utama, 2008), Pemetik Bintang (kiblat Buku Utama, 2008). Juga menulis puisi berbahasa sunda, terkumpul dalam Kalakay Mega (Geger Sunten, 2007) dan telah memasuki cetakan ke 3. kumpulan cerpennya Orang Malam (Q-Press, 2005). Kumpulan esai Menulis Puisi Satu Sisi (Pustaka Latifah, 2004), Selintas Pintas Puisi Indonesia (Grafindo, Jilid 1 2004, Jilid 2 2007).

Catatan Lain
Buku Selepas Kata oleh Soni Farid Maulana ini terdiri dari dua bagian, yaitu Pasir dan Tiram (1984-2003, 22 puisi) dan Akar Kata (1976-1983, 21 puisi). Di cover belakang ada 3 suara, yaitu Dr. Berthold Damshauser, Prof. Drs. Jakob Sumardjo, dan Agus R. Sarjono. Kata Prof. Drs. Jakob Sumardjo: “Sebagai penyair yang telah melahirkan banyak buku puisi, Soni Farid Maulana boleh dikatakan seorang penyair lirik. Ia mendekati objeknya dari dalam diri subjek puisinya. Ada semacam peristiwa percakapan-dalaman dalam banyak puisi-puisinya. Aku lirik puisi-puisi Soni amat bervariasi, mulai dari pengemis, si korban, suami, istri, tokoh wayang, bahkan cacing. Dan dengan sendirinya ada Soni himself di dalamnya.”
            Agus R. Sajono menulis: “Jika dibuat perbedaan tajam gaya Subagio Satrowardojo,, yaitu “bakat alam” bersus “intelektualisme”, maka kepenyairan Soni hidup dari bakat alam penyairnya dan bukan dari intelektualismenya.”   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar