Data buku kumpulan puisi
Judul : Silsilah Garong, Sajak-sajak
1969-1979
Penulis : F. Rahardi
Cetakan : I, 1990
Penerbit : Pustaka Sastra, Jakarta
Tebal : x + 202 halaman (128 judul puisi)
ISBN :
979-489-068-5
Perancang
sampul : Adi Nugroho
Foto
penyair : Pinus Lingga
Beberapa pilihan puisi
F. Rahardi dalam Silsilah Garong
Gambar-gambar
di Dinding Kapel
gambar-gambar
kecil di tembok kapel
sangat
banyak berkata-kata padaku
tentang
jamannya
tentang
tangan-tangan yang menggarapnya
ada lampu-lampu
ada
jendela-jendela yang mengantar sinar
dari luar
dua-duanya
membantu
berjam-jam
mataku terpaku
badanku pun
makin gemetar jadinya
menatap
tokoh-tokoh di gambar itu
betapa
besar mereka
betapa
banyak yang dikatakannya
dan kami
menjadi domba-domba yang bodoh
terperangkap
di kapel
yang kecil ini.
Sukabumi,
3/11-‘74
Sigramilir
tembang
megatruh
mengalir
dari ubun-ubunku
empat puluh
buaya
empat puluh
dewa
menanggalkan
jubah-jubahnya
dan dengan
jimat tergenggam
menyergap
kurban-kurban
bunga
kantil jantan
bunga
kantil betina
sepasang
sirih dan madu mawar
dikunyah
dan dihirupnya
dalam derap
lamat-lamat
surga pun
tersingkap
18
Mei ‘74
Hujan
di Penghabisan Musim
laksana
kepingan mawar yang putih
langitpun
mekar dan rontok
di atas
kota itu
matahari
mengibas-ngibaskan jambulnya
yang basah
dan lembab
tak ada
yang dapat ditertawakan
tak ada
yang patut kita tangisi
jenguklah
dari
jendela kamarmu yang longgar
seekor
camar melintas di udara
di antara
tetes-tetes yang malas
anginpun
habis
dan
dahan-dahan mahoni
mengacungkan
canggalnya
lurus ke
atas
Sumowono,
1974
Pernah
dimuat di Harian Kompas, 6/1-76
Gunung
Sakarini
1. malam
hari :
bagai
cahaya pecah di jelaga
seperti
pancaran obor di lapangan
sebuah desa
kecil mengertap di gigirmu
gajah yang
lelah, terbungkuk-bungkuk
melangkah
beban yang
menghimpitmu lumayan beratnya
kandang
sapi yang gelap
ladang-ladang
kurus
sebuah
gubuk penunggu jagung
alangkah
sepinya
perapian
itu – sepinya.
2. siang
hari :
tak ada
yang ganjil di tempat ini
batang-batang
sengon mengejang di tanjakan
jalan
setapak ke desa
laki-laki
memikul tahi sapi
begitu
setia dia pada keyakinannya
pada
matahari, pada musim
pada
impian-impian di tikar pandan
di kelokan,
alang-alang liar berdansa
dengan angin
tak ada
yang ganjil di sini
tak ada
yang aneh di tempat ini
tak ada
16
Mei 1974
Pernah
dimuat di Harian Kompas, 6/1-‘76
Zohrah
Pagi dan Sebuah Halte Bis Kecil
bercahayalah
ia di gelap remang begini
membelalak
: biru-hijau-kuning-merah
tenang tak
berkedip-kedip
di gelap
remang begini
meretih dahan
basah daun dijilat api
kami
nyalakan lagi unggun ini, perdiangan ini
bangku-bangku
tunggu yang bisu
dan di
atasnya kami berbaring dengan lesu
dan
kelihatanlah papan-papan hitam
pengumuman
tentang was-was akan arti-arti
mimpi
di jalanan
kota ini
deretan
rumah, bangunan-bangunan sekolah
toko-toko
kecil yang diam, kantin yang sepi
di aspalan
ini embun pun mencair
bau semu :
warung-warung kopi
kedai-kedai nasi
pelita jaga
yang sunyi
mengapa Kau
ijinkan
roma kami
tegak berdiri
dihantui
ketentuan-ketentuan hari nanti
dan
teka-teki tentang nasib anak-istri?
taksi itu
membatu di trotoir
siapa
bersama sepoi dingin ini?
sunyi :
anjing-anjing di tempat sampah
dan
sisa-sisa malam berangsur-angsur
ia kabur
di langit
arah timur
Boja,
14 Juli 1969
Pernah
dimuat di Majalah Basis, September 1972
Si
Sepi
kupotong si
sepi dengan
gergaji
kubedah
kuremuk
kuamuk
si sepi
yang
hampir mati
kubunuh
kusempurnakan
sepinya
1975
Pernah
dimuat di majalah Horison, April 1978
Pasar
Bogor
ada
beberapa onggok rambutan yang kuning
di pinggir jalan
ada
beberapa buah kol di keranjang seorang ibu
ada
beberapa buah los sayuran yang ramai
dan sesak
kios-kios
rokok, toko-toko kelontong
dan di
sebuah tikungan seorang tukang sampah
kecapaian
terlalu
berat beban yang dipikulnya
sebuah gerobak
dorong; beberapa buah sapu
anak-anak
kecil dengan cepat berlalu
berjingkat-jingkat
mereka
menyelinap
di kerumunan orang-orang itu.
Bogor,
Januari 76
Pernah
dimuat di Harian Suara Karya, 6/2-‘76
Dalam
Bis
angin dan
langit bersatu di jendela bis
suhu
merendah dan seorang ibu yang tua
terbatuk-batuk
di depanku;
senja makin
lama makin kekal rasanya
tikungan
demi tikungan – tanjakan yang terjal
apakah
artinya sebuah perjalanan?
hanya untuk
memuaskan keinginan atau
sekedar
menuruti langkah kaki yang tak
tentu ini?
akhirnya
sama saja; mereka yang diam itu
atau yang
hanyut dalam obrolan yang
mengasyikkan
sopir serta
kondektur itu
menyerah
pada sang waktu
betapa
sepinya; mereka itu turun satu persatu
tanpa
menoleh
tanpa
bertanya ini atau itu
dan tak
satu pun yang menegurku.
Bogor,
Januari ‘76
Pernah
dimuat di Harian Suara Karya, 6/2-‘76
Sehabis
Nonton Jam Duabelas
seperti
dilepas dari kurungan
kamipun
bubar dan bergegas
mengenali
wajah-wajah kami sendiri
di aspalan
yang keras
lampu-lampu
sudah surut sinarnya
pintu-pintu
sudah terkancing seluruhnya
haruskah
aku menuju ke rumah itu lalu
memanggili
namamu
o, malam
tangan-tangan
dingin di atas pundakku
langkah
yang letih
lorong-lorong
mengejang
dan patah
di tikungan
Amb.
15 Mei 1979
Pernah
dimuat di Harian Kompas, 10 Juni 79
Aku
Rindu
itu sudah
sejak dulu
tapi karena
yang kurindu jauh
: jauh
sekali
maka dengan
bermacam akal
kuhibur
diriku
aku
menyanyi
kuhibur
kupingku
aku nonton
kuhibur
mataku
alangkah
baiknya nyanyian dan tontonan
tapi aku
rindu lagi
lalu akupun
menghibur
tapi rindu
lagi
dan sebab
akalku habis
aku
menyerah
lalu
berindu-rindu.
3
Februari 1975
Selamat
Tinggal Suster Anton
tapi itu
tak kuucapkan; aku hanya diam
dan
tanganku pun tak sempat kulambaikan
ketika dia
turun dari delman
dan matahari
masih di antara pohon-pohonan
aku hanya
bisa tersenyum perlahan
begitu kaku
o jarak
sangat jauh
kami kau pisah-pisahkan
dia berbaju
putih berkerudung putih
erat-erat
memegang tasnya
mengapa
mengapa tak
ada yang bisa kukatakan padanya
mengapa aku
hanya diam saja
mulutku
terbungkam – sekat terkutuk
hanya
hatiku bisa berbunyi
selamat
tinggal suster anton
lirih
sekali.
Jakarta,
5/11-‘74
Laki-laki
dan Perempuan
tubuh
seorang laki-laki diukur dan ditimbang
berapa
panjang dan berapa besarnya
ini penting
supaya dia
dapat melihat, apakah dirinya
terlalu
kurus atau terlanjur kering
jadi mudah
untuk menentukan langkah-langkah
selanjutnya
bukan?
tubuh
seorang wanita dicoba dan dicatat
berapa
lebar dan berapa besarnya
tidak usah
malu
supaya
masyarakat tahu mengenai dirinya
cukup kuat
ataukah sangat nikmat
hingga
nantinya tidak terjadi
salah paham
atau yang lain
mengerti?
tapi yang
paling penting
laki-laki
dan perempuan harus diikat
dan
ditempeli kartu di dada kirinya
sebagai
tanda
apakah dia
benar-benar jahat
atau hanya
terlibat
1975
Pernah
dimuat di Majalah Horison, April 1978
Suatu
Hari di Bulan Januari
seratus ton
kapas yang putih dan ringan
dihalau
angin dari pohonnya
dan
diterbangkannya ke langit
berbondong-bondong
seratus
ekor gagak yang hitam dan gelap
melayang-layang
di langit
mengikuti
arak-arakan kapas
sambil
menjerit-jerit
langit pun
menjadi pucat dan gelap
karena
angin
arak-arakan
kapas
dan gagak.
26
Januari 1974
Pernah
dimuat di harian Kompas, 6/1-74
Apa
Ya Sebabnya, Apa
apa ya
sebabnya
kata-kata
itu kok penting
dikumpulkan
dan dibundel jadi kamus
begitu aku
bertanya pada yang ahli
tidak
pernah dijawab
aku pun
kemudian pulang dan dingin
apa to
sebabnya
malang ayam
kok dipukuli
apa to
salahnya
sopir oplet
kok dicacimaki
begitu
tanyaku pada yang berwajib
aku dijawab
lalu pulang
dan ngantuk
sebabnya
apa to
he,
sebabnya apa
aku kok
selalu takut
was-was
saja
akan ada
kejadiankah
aku tidak
bertanya pada siapa-siapa
dan
bersetubuh
tuli semua
orang-orang
ini
apakah
rusak kupingnya
yang kiri
apakah
terganggu
yang kanan
tidak bisa
dipakai
aduh oom,
aku cinta
yang
bersangkutan harap hadir
yang
berkepentingan supaya maklum
yang
bertanggungjawab siapa sih
ada
kejadian kok diam
apakah
sulit berkata
atau sedih
begitu aku
menuduh khalayak ramai
semua ramai
dan semrawut
memang
sulit hidup bersama
di asrama
misalnya
tidur malam
jam sepuluh
di penjara
misalnya
mereka main
bal
dan aku
sebenarnya ingin sekali bertanya
atau ke
surga atau ke neraka ya
aku ini
kelak kalau mati
dijawab
tegas
aku letih
dan rematik
apa
sebabnya, apa sebabnya
jawablah
mengapa
matahari terlambat
mengapa
kata-kata
kalau
dibandel menjadi kamus
rahasia apa
gerangan
yang
tersimpan di sana
rahasia
gaibkah
aku
bertanya-tanya begitu pada diriku
tidak
dijawab
aku mencret
di sawah
dan
tersenyum
apa ya
sebabnya
apa to yang
sebenarnya
telah
terjadi pada diriku
selama ini
jawablah
sebabnya
saja
aku ingin
tahu
ini kok
begini
ini kok
begitu
sedang yang
lain kok
tidak sama
begitu aku
bertanya pada yang tahu
dijawab
tapi lucu
dan tidak masuk akal
aku
meringis
maka
akhirnya aku bertanya
pada yang
maha tahu
apa to
sebabnya diriku ini
kok begini
dan tidak
begitu
hanya sepi
maka aku
pun kesepian
dan
muntah-muntah.
3
Peb. 75
Pernah
dimuat di Majalah Horison, Juli 1977
Halo
– dan Dia Diam
kabarnya
dia berkerabat
dengan hujan
(hujan yang
bagaimanakah yang dipilihnya)
hujan
gerimis, rintik, kecil-kecil
hujan
angan-angan
hujan keras
hujan badai
besar-besaran
atau renyai
saja
dan datang
sore-sore
jatuh di
ladang
bertaburan
di hutan
menyemprot
kota-kota
membasahi
rumah-rumah yang bocor atapnya
rumah siapa
di mana
di manakah
letaknya yang persis
rumah itu
adakah
tertera di peta
adakah
tersurat di kitab-kitab
bagaimana
mestinya sambutan itu
yang pantas
halo
begitukah
dia
berwarna hitam
(hitam yang
bagaimanakah
yang
bagaimana )
hitam
sungguh-sungguh
dan gelap
seperti
rambut binimu itu
atau hanya
kelabu saja
hitam
samar-samar
hitam
sedikit-sedikit
hitam manis
dan
tanganmu meraba-raba
makin
sempurna
malam pun
makin sempurna
matahari
dan bulan
lampu-lampu
dan bintang padam semua
di luar
masih hujan
lengkaplah
warnamu
hitam
sungguh-sungguh
lalu
kusambut dia sopan-sopan
halo
dan dia
diam
dia bernama
sepi
sepi yang
mana
sepi yang
bagaimana
sepi yang
hebat
karena kita
terpelanting ke mari
di bawah
matahari ini
atau sepi
kecil-kecilan saja
sepi yang
ringan
yang datang
sore-sore
di kala
nganggur
lagi tak
ada kerjaan
maka kusapa
dia ramah-ramah
halo
dan dia
diam
mengapa dia
diam
mengapa tak
bersuara
mengapa
hujan
mengapa
malam warnanya hitam
mengapa
matahari dan bulan
mengapa
lampu-lampu
mengapa
bintang
padam semua
mengapa
sepi
halo
dan dia
diam
benarkah
sepi itu nama aslinya
atau hanya
samaran
sekedar
titel
embel-embel
yang manis
julukan
yang angker
hanya kau
yang tahu persisnya
halo
ngomonglah
dan dia
diam
atau kuping
kita yang rusak
atau mata
kita kurang awas
atau
teguran kita tak sopan
atau yang
mana yang salah
halo
jawablah
dan dia
diam
karena dia
bernama diam
karena
memang tak dapat
bersuara
begitukah
karena bisu
karena
belum tiba
waktunya
waktu
(?)
waktu
itukah yang harus kita tunggu
apakah yang
kita tunggu
mengapa
kita tunggu
dia
siapa
siapa dia
halo
dan dia
diam
4-12-‘73
Pernah
dimuat di Majalah Horison, Agustus 1975
Tentang F. Rahardi
F. Rahardi lahir di Ambarawa, 10 Juni 1950.
Sempat menjalani profesi Guru di desa-desa di Jawa Tengah tahun 1968 sd 1974.
Tahun 1974 dia merantau ke Jakarta dan tahun 1977 dia menjadi wartawan majalah
pertanian Trubus. Pertama menulis sajak saat berusia 17 tahun. Publikasi
pertama sajaknya di Majalah Semangat, Yogyakarta. Kumpulan puisinya: Soempah WTS (1983) dan Catatan Harian Sang Koruptor (1985). F.
Rahardi juga menulis cerpen dan artikel, serta menulis buku-buku non fiksi yang
berhubungan dengan masalah pertanian.
Catatan Lain
Pada halaman v, ada pengantar penerbit. Katanya:
“Sajak-sajak F. Rahardi menjadi cukup penting untuk dibicarakan dalam khasanah
sastra Indonesia setelah terbit dua buah bukunya: Soempah WTS (1983) dan Catatan
Harian Sang Koruptor (1985). Lebih-lebih setelah acara pembacaan sajaknya
di Taman Ismail Marzuki tahun 1984 yang akan menyertakan WTS dari berbagai
lokalisasi, ditentang oleh Ketua Dewan Kesenian Jakarta waktu itu. Kemudian
pembacaan sajaknya yang kedua, tahun 1986 dilarang oleh pihak yang berwajib.”
Buku
ini, meskipun terbit tahun 1990, namun puisi-puisi di dalamnya berumur lebih
tua dari “kakak-kakaknya”, meliputi tahun 1969-1979. Sajak-sajaknya yang awal,
saya nilai, agak liris, tapi kemudian berkembang agak mbeling, dan ke sana-ke sana makin keras, bahkan ada yang
memerahkan kuping kaum moralis dan agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar