Data buku kumpulan puisi
Judul : Ciuman
Bibirku yang Kelabu
Penulis :
Mardi Luhung
Cetakan : I, Maret
2007
Penerbit : Akar
Indonesia, Yogyakarta
Didukung oleh : Dewan
Kesenian Jawa Timur dan PT. Semen Gresik (Persero) tbk.
Tebal : xii
+ 168 halaman (66 judul puisi)
ISBN : 979998389-4
Supervisi : Joni
Ariadinata
Penyunting : Raudal
Tanjung Banua
Produksi : Nur Wahida
Idris
Gambar cover :
Instalasi “Me As Teddy Bear”
Gambar isi : Mardi
Luhung
Beberapa pilihan puisi Mardi
Luhung dalam Ciuman Bibirku yang Kelabu
Giri:
Ciuman Bibirku yang Kelabu
Seperti
bangun-bangunan batu yang tebal
aku ciumi dindingmu
dengan bibirku yang kelabu
lantaran kedua kakiku
terikat besi, sedang
tanganku cuma bisa
mencengkeram lemah
ya, ada degup di situ,
aku dengar pelan-pelan
dan seseorang yang
telah hancur berabad dulu
pun bangkit menghadang
dengan rambut panjang
kemilau dan matanya,
ya, matanya: “Mata si pemburu”
yang pernah melarung
darah petir dan kilat
saat huruf belajar
menyapa matahari-hijau, yang terbit
di antara
kelangkang-gunungmu, tampak seperti
tatapan-tatapan yang
sudah lama tak bergaung
dan mata si pemburu
pun menggali lingkaran kapurmu
di mana, di situ
tersimpan wajah-wajah makhluk
yang pernah berjaga di
pinggir-pinggir sungai dengan
sorot tubuh
menyiratkan pencapaian
lalu, mengapa
wajah-wajah makhluk itu membedol
di pinggir-pinggir
sungai? Apakah pencapaian yang
disiratkannya adalah
dusta? Adalah si lendir amis yang
telah membuahkan
patung dan menancapkan berjuta
bahasa-palsu di keningnya?
dan, lihat, kekuatan
apakah yang sanggup menahan
limpahan bedolan
sungai itu? Adakah yang tahu, jerit
kesakitan ataukan
kelahiran yang disajikannya? Dan
adakah juga yang
mencatatnya, lalu menenggelamkan
ke dasar-dasar palung
dan jurang, dan membuat aku
mesti mengoreknya
lewat cengkeraman yang lemah ini
sambil sesekali
menatap angkasa yang menaburkan
serbuk-serbuk kasar
bekas pecahan bulan-lain yang
sekarat
yang datang entah dari
sisi mana, akibat peperangan
apa, dan membela dewa
dan kitab siapa? Oh, aku pun
cuma sanggup mengigau
sambil membayangkan sebuah
jalan-berkelok menuju
keratonmu yang hilang itu
yang pernah mencelupi
mimpi-mimpiku, dengan
puncak-puncak kubahnya
yang gilap, yang melambai
penuh harap, agar kita
berdua memasukinya, kawin di
situ, dan beranak
tujuh-puluh-dua duyung dengan sisik
yang bening
duyung yang selalu
berenang di seputar garis debar,
sambil mendedahkan
sebuah teka-teki: “Manakah yang
lebih dulu, air ataukah
lautan, manik tasbih ataukah
dengus dzikir, daya
hafal ataukah daya baca?”
ya, Giri, Giriku,
lebih dekatkanlah dindingmu pada
ciuman bibirku yang
kelabu ini …
Gresik,
1997
Altar
Altar: wadah persentuhan
antara binal-sungai dan
suntuk-lembah
andalah arah dengan pintu berlingkaran
tempat para penghitung
menghitung biji-biji angin yang
menempel-nempel tanpa
dinding, tanpa tebing
dan pejalan, yang telah berjalan
seperti kabut di balik-balik
pepohonan
telah menyeru keganjilan di luaran
sambil menggoresi rajah,
rajah yang tetap
dipertahankan di dalam kediaman?
kediaman sebuah bangsal,
“Ranjang
sang-malaikat-berjubah-ganih?” Akh,
sepasang burung dari dada
pun terus terbang
melintasi nyali demi nyali, dan
hinggap persis ketika
sepasang gorden
jatuh dari pucuk, membungkus kabar
yang terkirim lewat mawar
dan taring
ketika seperangkat gamelan
ditabuh di guci-guci badai
altar: mari direguk guci-guci badai itu
biarlah berderak
engsel-engsel di lutut
sebab kilat, sebab derit, telah
saling berkelit dan saling
menguntit
lewat perkelahian yang telah digariskan
sebagai perkelahian para
penempur
sambil menggoyang cahaya, lewat
musim demi musim, cuaca demi
cuaca
sebelum ujungnya terjumput
oleh cecabang yang
ber-zig-zag-an:
“Altar, apa yang tetap dipertahankan
di dalam cecabang yang
ber-zig-zag-an itu?”
Gresik,
1998
Kilat
Cakram
Masih mengeram nafas
ini
sebelum menyergap
bau-tubuhmu
yang tersimpan di
selat itu
mungkin, kali ini, aku
mendapatkanmu
lalu menjilatinya di
geladak kapal
sambil dikelupasi
ombak
yang bersap
tiga-puluh-tiga
ombak yang di
puncaknya: bunga-cahaya
dengan kelopak
melengkung ke atas,
menghunjam ke
mata-bulan: bulan-batu
dan di mata-bulan-batu
itu
kautudingkan seluruh
pencapaianmu
yang telah
menggumpalkan kerangka-kala
yang selama
berabad-abad
membuat setapak di
angkasa
seperti setapak turis
yang telah menghafal
sekian nama
tapi tak pernah
diingat:
“Sekian cakar yang
telah tertiris
oleh berbagai
persibakuan”
lalu, siapa yang
kautunggu?
bukankah bunyi
cangkang yang ditumbuk
nyali-hitam dengan
rambut-merah itu
adalah
dengus-kegelisahan-renjanamu?
renjana yang telah
melimbungkan bintang-jatuh
sampai akar-karang
yang ruwet
pun menjadi gemetar,
menjadi sejumput sesaji
yang membusuk di
rahang-arus, lalu
menjerit, sebelum
tenggelam, dan
ditangkap oleh
penyelam-penyelam gaib
penyelam-penyelam gaib
yang dengan rebab
berkata: “Kami ambil
lagi apa yang telah
dibuang, kami buang
lagi apa yang telah diambil,
rambut yang tersanggul
biarlah kami urai
biarlah juga,
keliningan-keliningan
terpasang di situ,
sebab antara jaga dan pejam,
kami selalu melingkar,
menaik, turun dan kembali
lagi melingkar,
seperti diagram-diagrammu
yang terekam di
kilat-kilat cakram
disegelkan di
jantung-jantung palung.”
Gresik,
1998
Reis
Multatulinya
Takin
Kau menceritakan
rempah-rempah bukan lewat
lenganmu, tapi lewat lengan yang
sepuluh jarinya telah
kau buntungi
dan di sepuluh jari yang telah kau buntungi itu
kau juga menceritakan
angsa-angsa yang berenangan
di laut, warnanya putih, bagai butiran cahaya
yang lupa kembali ke
ketinggian,
angsa-angsa yang tak bosan berhikmat:
“Tuan guru, jangan
ajari kami untuk berdusta dan
bercinta sekaligus. Hati kami luka, kelamin kami
duka,” Lalu pelangi
pun terbuka. Seperti ladang, apa
rempah-rempah juga akan kau tanam di sana?
dan apa tak ada lain
dalam kebusukan milikmu
yang selalu berpikir tentang lenganmu
yang selalu bersih dan
berkilau itu? Wahai, rempah-
rempah pun terus
kau ceritakan, seperti menceritakan setiap yang
beringsut di antara
garam, ombak dan lokan
di antara peluru, tombak dan mayat-mayat
yang terapung,
mayat-mayat yang asin
mayat-mayat yang seluruh rambutnya
menelusupi dedasaran
dan menyamarkan air matanya
di sisik ikan
lalu sambil memainkan
pecut, parut, dan
pisau, kau pun memeluki sekian pancang dan
cerobong yang datang
lewat kegelapan dan
yang selalu mabuk
di saat lengan yang
sepuluh jarinya telah kau
buntungi itu, mengingat pada siapa saja yang
pernah berbisik, dan
pada siapa saja yang lewat
bisikan itu menyengau:
“Cermatlah pada tuan guru, tapi
lebih cermatlah pada siasat rempah-rempahnya,”
sebab, setiap ada yang
mengambil jalur dan angin
yang lain, selalu
dikilah: “Mengapa di setiap
timbanganku, selalu bercokol si pengibul
di punggungnya?” (Akh,
kau menceritakan
rempah-rempah bukan?)
Gresik,
2006
Kitaran
Persilangan
Ayahku berwarna putih,
ibuku berwarna hitam
lalu aku apa?
Sebutlah, dan cari dalam jisim
yang mengudar warna
dan nasib kulit abu-abuku
jika berdoa, apakah
aku akan mengutuk atau memuja?
percaya pada bumi atau
justru menginjaknya?
ya, dengan
sepedaku-yang-mengerikan, aku kitari
kampungku
dan kampungku pun tak
pernah menunduk
paling-paling cuma
melompat dan mengangkang, yang
persis di atasku: “Apa
ia mau memberkati?”
baiklah, seekor ular
mendesis, kilat matanya
menusuk pada debu,
pada abu, pada aku, dan pada
sepedaku-yang-mengerikan.
Sampai kemudian,
aku lihat rumah-rumah
dan pohon-pohonku pun
berangkat sambil
mengusung sekian perutnya yang
menganga yang tak
lepas untuk menyengau:
“Selain kemurnian, tak
ada yang boleh tiba, dan selain
yang tiba, mari dicari
yang telah bercecampur,” Sebab
telah sekian waktu,
tak ada yang bisa menyangka:
“Siapa yang lebih
dulu: pewarna ataukah yang
diwarnai?” dan di luar
ini semua, kulit abu-abuku pun
berkelupasan, untuk
kemudian beterbangan dalam
lingkaran yang
menggasing, seperti gasingan setiap
aku kayuh
sepedaku-yang-mengerikan, aku kayuh
ke arah-arah yang
bertaburan di siang-siang bolong
ohoi, setiap aku
jentik tuter karat itu
ada kiriman rambut,
darah dan lendir di antara
sadel, ban dan pedal
pada goresan yang miring…
Gresik,
2005
Orang
Tenggelam
buat
lan fang
Istriku adalah ikan yang kuat.
Selalu melesat
di antara bunga,
kepiting dan remukan terumbu
di kedalaman. Di kedua
lengannya ada sirip warna-
warni. Setiap melesat,
barangkali pelangi selalu
diserakkannya.
Sinarnya selalu membungkusnya. Istriku
pun berkebatan. Tiga
ratus anak-anak laut membuntuti.
Anak-anak laut yang
separuh badannya adalah ikan.
Dan separuhnya lagi
adalah kemontokan keremajaan.
Seperti kemontokan
gadis-gadis pinggir pantai.
Yang percaya pada maut
di lautan. Istriku selalu bermain
dan menyusui. Rasanya
dunia adalah mimpi.
Dan matahari dan bulan
adalah tempat dia berdoa.
Katanya: “Ada tuhan di
sana, pakaiannya indah, selalu
menabur makanan dan
minuman, juga rejeki bagi yang
di darat dan di laut,”
Istriku jika malam selalu pulang.
Tubuhnya benderang di
kegelapan. Dan aku yang
menantinya di tanjung
dapat melihatnya. Bahkan
sebelum mendarat,
diseretnya aku ke pelukannya.
Tubuhku basah, hatiku
basah. Dan kecipak debur pun
seperti tamburin yang
ritmis. Tapi paginya: mengapa aku
dan istriku mengambang?
Dan sekian orang ribut
dan mewarta: “Orang
mana yang tenggelam
tanpa sebab ini? Siapa
namanya? Darimana dia berasal?
Dan mengapa segenap
badannya warna-warni?”
Dia memeluk sebuah boneka yang Cuma
sebatas
pinggang…
Gresik,
2006
Bapakku
Telah Pergi
Bapakku telah pergi
menemui pembakaran
ruang suci tempat
selesaian
tapi ekor-ekor yang
ditinggalnya
membelit tubuhku
menciptakan jarak,
yang ujungnya
masih dipegangnya
batasnya tak teraba
maka jadilah itu:
“Hantu”
bapakku telah pergi,
memang
tapi hantunya itu
demikian kuat
demikian mendesak
sampai bagian dalam
tubuhku
bergetar, berpusar,
seperti
tubir, seperti gerigir
si sayap-sayap
tembikar
yang selalu melipatiku
seperti melipati
ladang-ladang itu
tanah harapan di mana
aku telah menyerahkan
kesetiaan
bangkit dan runtuh,
runtuh dan bangkit
dan gelembung yang
bugil
lewat dua puluh jari
aku pahat. Kuberi
mata, mulut, telinga,
hidung, dan organ
lalu beberapa kata:
“Hantu tadi”
lalu beberapa ekor:
“Ujungnya di bapak”
lalu sebuah meja,
payung dan kursi
“Selamat datang,”
kataku
aku dan gelembung pun
saling berkata
dan saling terbuka
seterusnya sebuah
percakapan
demikian asal-mula
aku membikin sebuah
lahan di gelembung
demikian seterusnya
aku mengada
sambil terus dilipati
hantu
sambil terus
berpegangan pada ekor
yang ujungnya di bapak
yang memberi nama pada
setiap nama yang
kupanggil
dan kuseru
yang melingkupi bumi
di mana aku
terbaring atau
berkelamin
menegak atau
ditegakkan
menyedot atau disedot
menetak atau ditetak
lalu menempeli
keningku
seperti tempelan tato
kelabu
yang memancar bagai
merkuri
kemudian merajuti
setiap
diri anak-anakku dan
anak
dari anak-anakku
dan membikin mereka
percaya
jika tato kelabu dan
lahan di gelembung itu
memang terwaris atas
kromosomku
dan bukan atas hantu:
“Hantu Bapak”
bapakku telah pergi,
memang
menemui pembakaran
ruang suci tempat
selesaian…
Gresik,
1995
Anak
Lahir dari endapan
cahaya
terpancar dari
perairan dalam tulang
anak adalah batu-batu
terusan
yang akan menimbun
atau membangun
balik apa yang
tertinggal
sebagai ucapan atau
bisik-bisik
sebagai sentuhan atau
cakar-ayam
dan lewat anak, nama
bangkit atau tidak
setelah lewati seluruh
waktu, seluruh
umur yang tersimpan
dalam aroma
yang merayap dalam
tidur-tidur
atau pada
igauan-igauan
yang panjang atau
patah-patah itu
dalam bulan-pecah
ketika tangan telah
lekat pada debu dan
nafas tinggal sejengkal
dalam malam ketika
anjing kelabu
mengirimkan lengking
terakhirnya
terbau sekujur
daging-daging rompal
dan lewat anak, kamu
berpendar atau tidak!
Gresik,
1996
Suluk
Orang Suci Orang tak Suci
Orang suci melangkah
di antara bintang
orang tak suci
melangkah di antara lorong
tapi keringat yang
jatuh
sama-sama menyerbuk di
angkasa
sama-sama turun lewat
kelangkang benih:
“Benih sungai tempat
kau bersamadi,”
dan selama ribuan
tahun kau bersamadi
membatu di antara
musim ke musim
matamu mengatup,
telingamu terbuka:
“Suara apa yang ingin
kau dengar?”
suara suluk? Ataukah,
suara geram hatimu
yang terlalu was-was
pada debu?
kiranya, kau mungkin
menanti sesuatu
seperti penantian udara
pada jatuhnya ruang padat
yang meledak tepat
hawa sakti tak terluap
dan orang-orang kasar
yang kerap menyumpah
pun balik menyumpahi
kelaminnya sendiri:
“Setan benar daging
lebih turunan ini!”
Gresik,
1997
Takwil
yang Ke-13
mail
yang tak bisa digoda
Di akhir sajak: ada
pelantikan, takzim dan kemuliaan
dan yang nyelonong:
tai, borgol dan pecundang
di luar itu semua,
ternyata dunia masih biasa-biasa saja,
orang-orang puasa,
main sandiwara, sesekali merayu,
dan sesekali yang lain
menggertak: “Bangsat!”
dan
turunan-dari-yang-asal, atau yang-berekor, memang
ahli siasat dan debat,
seahli mereka naik-turun pohon
dan keluar-masuk
lorong, lalu sesekali
menorehkan jejaknya di
tebing, laut dan langit
baik secara
serampangan atau beralamat jelas
dan berjuta tahun:
ksatria telah dilarungkan di sungai,
dan berjuta tahun
pula: ksatria mengeluarkan si bangsat
dari kutukan. Kutukan
keyakinan, warna kulit sampai
kutukan bersanggama,
membikin kanak dan
membangun riwayat
serta upacara-upacaranya
dan itu pun berkembang
dan berbiak, seperti yang
terlihat, seperti
kebun dengan bunga warna-warninya,
kabutnya dan
hama-hamanya. Tapi, yang lebih
mencekam, adalah
ketika aku melangkah ke situ,
bernyanyi dan
beramsal: “Akulah penulis sajak itu,”
penulis yang melihat
bebek sebagai setan, pondok
bobrok sebagai sorga,
kuda sebagai petir dan kilat,
sungai sebagai darah,
cangkul dan sekrop sebagai iman,
dan wewangian kebun
sebagai bau-banjir-yang-
menggelikan, dan
dengan yang-menggelikan: “Datang
menyeret semuanya,”
tanpa ampunan, tanpa
titik-koma, seperti pintu yang
terbuka bagi si
terpenjara, yang selama hidupnya tak
pernah dipenjara oleh
apa dan siapa pun, kecuali oleh:
“Selaksa gugusan
dungu, yang membuat kemustahilan
menjadi utuh, dan
ingatan melulu menggigilkan jurang
yang miring,”
Gresik,
2004
Soerabaia
dukut
itu punya tempo doeloe
Buku I halaman 122:
“Ada seorang inlander yang mati
aah, tidak apa-apa. Tiap hari mereka tokh juga
mati
apalagi mereka mati seperti tikus-tikus!”
Buku II halaman 440:
Kerja terus! Kau gila! Apa tidak tahu adat! Kau
kurang ajar? Jangan kurang ajar! Pergi! Diam!
Tutup mulut! Ayo, jangan tidur! Jangan omong!
Jangan tertawa! Jangan main gila sama saya!
Buru-buru! Lekas! Buka kau punya mata! Awas!
buku yang lain,
halamannya di lubuk, belum tertulis
dan tercetak, atau
malah sudah terobek, simpulannya:
di belakang iklan bir,
minyak, rokok, teh dan tembakau,
kopi, baju-haji,
afdruk-foto, dan kanak-kanak yang
memanjati tiang, serta
wajah-garang-marsose, yang
selalu bergaya dengan
sepatu botnya, darah bekisar pun
punya bahasa sendiri:
“Entah-putih-entah-coklat!”
menegur tilas-tilas
hantu pada sebuah waktu, di samping
pinggir-kebun-binatang:
“Kami tak menghasut, percayalah, Tuan, kami tak
menghasut!”
ya, lewat trem yang
berkelonengan
si wanita-buruh-arloji
itu pun dikawin si kopral yang
bertopi lebar, penutup
kening yang bersurat:
“Ini sebenggol, ongkos
makan, minum, tidur dan pukulan
untukmu!” Selanjutnya,
siapa yang tahu,
jika kampung dibangun
dari opium dan banjir?
Dan siapa yang tahu,
jika kampung juga dibangun dari
bubur yang
warna-warni?
“Hordah, yang mulutnya usil, lidahnya
dipluntir!”
Gresik,
2003
Hasyim
Membaca Hikayatnya
Hasyim membaca
hikayatnya
suaranya seperti nyawa
ombak
yang menguntit
bayanganmu
dan suara Hasyim
adalah pintu
bagi nyali-laut yang
ganjil
yang akan mengangkuti
ranjangmu
ranjang tempat kau
mimpi
dan menyerahkan
segenap semesta
yang telah kau simpan
di benakmu
Hasyim memang
setengah-gila
dia membaca juga
memaksa, dan
sesekali menggugurkan
hikayatnya
lalu berkata: “Dengan
nama kalam,
semuanya tiba dan
pergi, dengan
beras, pedang,
matahari atau uang!”
dan Hasyim pun tahu,
jika kau
terkejut, seperti
kejut batang-leher
yang tersedak,
batang-leher
yang cuma bisa
merunduk, saat
kelenjar-api
disiramkan
ke hari dan ke almanak
mereka
atas nama yang lain
dan yang lain
yang merangkak dengan
berat
dan juga atas nama
yang lain dan yang
lain lagi, yang
mengajari siapa saja
menyeru lewat mulut
yang santun
mulut yang makan
dengan 33 kunyahan
mulut yang menyimpani
palawija, balai dan
tanah-tanahan
ke dalam
kantung-kantung
kantung-kantung yang
cuma
bisa melungker,
seperti melungkernya
kotoran-kotoran di
jamban-pantai
“Kotoran hitam dan
bau!”
kotoran hitam dan bau?
Akh, Hasyim pun
ketawa, sambung
hikayatnya:
“Alkisah, di
pusar-dasar dan ceruk-badai,
pantat ibumu demikian
besar, demikian
menguasai segenap arus
dan hilir,”
dan 500 halaman
hikayat pun tak
cukup untuk menulis
dan menghafalnya
sebab ibumu cuma duduk
sambil bersiul
ke arah ranjangmu yang
terangkut itu
sedang di angkasa:
“Berita, sepatu, bank,
semen dan pupukmu
diterbangkannya,”
berarak seperti
terhukum yang terusir
terhukum yang terantai
dan berkelonengan
lewat sampan-sampan
yang oleng
ya, Hasyim membaca dan
terus membaca hikayatnya
suaranya pun terus
seperti nyawa-ombak
yang menguntit
bayanganmu:
“Dan setengah gila!”
Gresik,
2003
Petikan
Buat Adam
Katakan tentang
seseorang padaku
dan aku akan
mengatakan padamu
tentang seseorang yang
lain
yang telah menyimpan
pikiran-jahatnya
lewat kantong-kantong
di pinggulnya
dia ingin meniupkan
wanita yang telah
membuat dosa dari
kemandulan sel-telurnya
untuk dikawinkan di
harimu:
“Apakah kau tak tahu,
tak tahu?”
ya, pikiran-jahatnya
tetaplah pikiran
itu bisa tersembunyi
atau tampak menegas
dan seperti ketika kau
menangkap kilat
dalam matamu, dalam
nyalimu:
“Untuk apakah itu
semua?”
untuk masa-kini
ataukah masa-tuamu
yang selama kau
berjalan, selalu terpekur
di antara dua
pelupukmu yang mengantuk
yang seperti peristiwa
sesaat
akan mengantarmu ke
sebuah pemukiman-rawa
dengan pepohonan tanpa
serabut, dan selalu
akan menabungi
kegemetaranmu sendiri: “Sendirian:”
itulah yang aku kira
milik-kita-berdua
pikiran-jahatnya yang
selalu disimpannya itu
Gresik,
1997
Tentang Mardi Luhung
Mardi Luhung, atau kerap disapa Hendry, lahir di Gresik, 5 Maret 1965,
dari ayah orang Cina dan ibu orang Jawa. Lulusan Fakultas Sastra Jurusan Sastra
Indonesia Universitas Jember. Puisi-puisinya tersebar di berbagai media massa
dan antologi puisi bersama. Kumpulan puisi tunggalnya: Terbelah Sudah Jantungku (1996) dan Wanita yang Kencing di Semak (2002). Tahun 2006, Mardi Luhung
mendapat Anugerah Seni/Budaya dari Gubernur Jawa Timur.
Catatan
Lain
Ada banyak orang yang dibentuk dari kata kerja/kata benda di puisi Mardi
Luhung (dengan menambahkan si atau imbuhan pe-): ada si pengutil, si penderma,
penyelonong, si pensiunan badut, pesilat bertopeng monyet, si penjaga taman, si
pelancong abadi, penyelam gaib, si terpenjara, si pentakwil, si penyuap, si
raja, si pemukim, si kaca-mata, pendebat, pentakzim, si pemangsa, pengungsi, si
keriting, si penghunus, dsb. Kumpulan puisi ini dibagi atas 12 Bagian, yaitu
Terbelah Sudah Jantungku (5 puisi), Kilat Cakram (7 puisi), Altar (6 puisi),
Kerajaan Pemabuk (5 puisi), Hikayat Tungku (5 puisi), Wanita yang Kencing di
Semak (5 puisi), Gambit Raja (6 puisi), Lelang Pasar (6 puisi), Sekilat Pikiran
(5 puisi), Yang Berjalan di Atas Laut (5 puisi), Zion (5 puisi), dan Kitaran
Persilangan (6 puisi). Total 66 puisi. Di bagian akhir, Mardi Luhung menulis
Kata Penutup yang dijudulinya “Dari Komik Sampai Puisi”.
Dalam kata penutup,
penyair Hendry mengenang: “Tahun 70-an, ayahku memberiku segebok komik. Komik
itu macam-macam. Ada silat, humor, superhero dan wayang. Dari sekian jenis itu,
aku paling tertarik pada yang silat dan superhero. Seperti Godam, Gundala,
Pangeran Mlar, Maza, Si Buta, Jaka Sembung, Si Tolol, Mandala, dan beberapa
lainnya. Ada pun nama-nama komikus yang masih aku ingat sampai saat ini adalah
Hasmi, Wid NS, Man, Ganes Th, Hans, Djair, Zaldi, RA. Kosasih, dan juga Nerry yang
asli Gresik.//Dari dunia komik yang aku masuki itu, berdikit-dikit aku suka
membayangkan hal yang aneh-aneh, khayal dan fantastis. Kesukaan itu sangat
kuat, sehingga aku seringkali berkhayal sendiri, baik di kamar mandi, di
beranda, di alun-alun, bahkan pernah juga di dalam kelas sewaktu aku masih
kelas 3 SD. Akibatnya, oleh Bu Guru, aku dikeluarkan dari kelas. Dan entah
mengapa, ketika di luar kelas, aku justru malah senang, sebab bisa lebih
leluasa berkhayal.”
Mardi Luhung
melanjutkan di bagian lain: “Waktu pun bergulir, hari pun menghilir. Aku terus
tumbuh remaja. Sampai kemudian, aku berkenalan dengan puisi (waktu itu di kelas
3 SLTA). Ini terjadi karena aku dekat dengan guru bahasa indonesia. Oleh beliau
aku dikenalkan dengan puisi…. Dan dari sekian puisi yang dikenalkan itu, terus
terang, aku tertarik pada puisinya Sutardji. Alasannya, di dalam puisi Sutardji
(terutama yang ada di buku O, Amuk, Kapak), aku masih menemukan dunia superhero
yang paling aku gandrungi. Dunia yang bisa melesat ke sana-ke mari, tanpa
dibatasi ruang, waktu dan gravitasi. Bahkan, jika perlu, seperti foto-foto yang
ada di dalam buku itu, aku pun ingin memainkan kapak dengan cara menyungsang,
mabuk, menggeram, mendesis dan bla-bla-bla: khayalan remajaku pun benar-benar
seperti mendapat tempat.”
Nah, bagaimana dengan masa
kecil anda?
Kita lanjut lagi. Mardi
Luhung menulis: “Jadinya, saat itu pula, (nb. saat bekerja sebagai pegawai
pengepakan ikan di sebuah desa pesisir di Gresik), aku mulai mereguk seluruh
yang ada di dalam kehidupan penduduk Jawa Gresik pesisiran itu. Dan karena
penduduk Jawa Gresik pesisiran itu berwatak terbuka, apa adanya, tanpa tedeng
aling-aling, maka puisi-puisi yang aku tulis pun berwatak seperti itu. Bahkan,
karena (mungkin) saking terbukanya, banyak yang menganggap bahwa puisi-puisiku
adalah puisi-puisi yang carut marut. Segalanya boleh masuk. Segalanya boleh
bertempat.”
Nah, bagaimana dengan
puisimu?
Puisi yang begitu indah dan bermakna dalam ...hebat
BalasHapus(Wisnu Murti,https://tulisandenpasar.blogspot.com)