Senin, 06 Januari 2014

Mardi Luhung: CIUMAN BIBIRKU YANG KELABU



Data buku kumpulan puisi

Judul : Ciuman Bibirku yang Kelabu
Penulis : Mardi Luhung
Cetakan : I, Maret 2007
Penerbit : Akar Indonesia, Yogyakarta
Didukung oleh : Dewan Kesenian Jawa Timur dan PT. Semen Gresik (Persero) tbk.
Tebal : xii + 168 halaman (66 judul puisi)
ISBN : 979998389-4
Supervisi : Joni Ariadinata
Penyunting : Raudal Tanjung Banua
Produksi : Nur Wahida Idris
Gambar cover : Instalasi “Me As Teddy Bear”
Gambar isi : Mardi Luhung

Beberapa pilihan puisi Mardi Luhung dalam Ciuman Bibirku yang Kelabu

Giri: Ciuman Bibirku yang Kelabu

Seperti bangun-bangunan batu yang tebal
aku ciumi dindingmu dengan bibirku yang kelabu
lantaran kedua kakiku terikat besi, sedang
tanganku cuma bisa mencengkeram lemah

ya, ada degup di situ, aku dengar pelan-pelan
dan seseorang yang telah hancur berabad dulu
pun bangkit menghadang dengan rambut panjang
kemilau dan matanya, ya, matanya: “Mata si pemburu”

yang pernah melarung darah petir dan kilat
saat huruf belajar menyapa matahari-hijau, yang terbit
di antara kelangkang-gunungmu, tampak seperti
tatapan-tatapan yang sudah lama tak bergaung

dan mata si pemburu pun menggali lingkaran kapurmu
di mana, di situ tersimpan wajah-wajah makhluk
yang pernah berjaga di pinggir-pinggir sungai dengan
sorot tubuh menyiratkan pencapaian

lalu, mengapa wajah-wajah makhluk itu membedol
di pinggir-pinggir sungai? Apakah pencapaian yang
disiratkannya adalah dusta? Adalah si lendir amis yang
telah membuahkan patung dan menancapkan berjuta
bahasa-palsu di keningnya?


dan, lihat, kekuatan apakah yang sanggup menahan
limpahan bedolan sungai itu? Adakah yang tahu, jerit
kesakitan ataukan kelahiran yang disajikannya? Dan
adakah juga yang mencatatnya, lalu menenggelamkan

ke dasar-dasar palung dan jurang, dan membuat aku
mesti mengoreknya lewat cengkeraman yang lemah ini
sambil sesekali menatap angkasa yang menaburkan
serbuk-serbuk kasar bekas pecahan bulan-lain yang
sekarat

yang datang entah dari sisi mana, akibat peperangan
apa, dan membela dewa dan kitab siapa? Oh, aku pun
cuma sanggup mengigau sambil membayangkan sebuah
jalan-berkelok menuju keratonmu yang hilang itu

yang pernah mencelupi mimpi-mimpiku, dengan
puncak-puncak kubahnya yang gilap, yang melambai
penuh harap, agar kita berdua memasukinya, kawin di
situ, dan beranak tujuh-puluh-dua duyung dengan sisik
yang bening

duyung yang selalu berenang di seputar garis debar,
sambil mendedahkan sebuah teka-teki: “Manakah yang
lebih dulu, air ataukah lautan, manik tasbih ataukah
dengus dzikir, daya hafal ataukah daya baca?”

ya, Giri, Giriku, lebih dekatkanlah dindingmu pada
ciuman bibirku yang kelabu ini …

Gresik, 1997


Altar

Altar: wadah persentuhan
       antara binal-sungai dan suntuk-lembah
andalah arah dengan pintu berlingkaran
       tempat para penghitung
menghitung biji-biji angin yang
       menempel-nempel tanpa dinding, tanpa tebing
dan pejalan, yang telah berjalan
       seperti kabut di balik-balik pepohonan
telah menyeru keganjilan di luaran
       sambil menggoresi rajah, rajah yang tetap
dipertahankan di dalam kediaman?
       kediaman sebuah bangsal, “Ranjang
sang-malaikat-berjubah-ganih?” Akh,
       sepasang burung dari dada pun terus terbang
melintasi nyali demi nyali, dan
       hinggap persis ketika sepasang gorden
jatuh dari pucuk, membungkus kabar
       yang terkirim lewat mawar dan taring
ketika seperangkat gamelan
       ditabuh di guci-guci badai
altar: mari direguk guci-guci badai itu
       biarlah berderak engsel-engsel di lutut
sebab kilat, sebab derit, telah
       saling berkelit dan saling menguntit
lewat perkelahian yang telah digariskan
       sebagai perkelahian para penempur
sambil menggoyang cahaya, lewat
       musim demi musim, cuaca demi cuaca
sebelum ujungnya terjumput
       oleh cecabang yang ber-zig-zag-an:
“Altar, apa yang tetap dipertahankan
       di dalam cecabang yang ber-zig-zag-an itu?”

Gresik, 1998


Kilat Cakram

Masih mengeram nafas ini
sebelum menyergap bau-tubuhmu
yang tersimpan di selat itu
mungkin, kali ini, aku mendapatkanmu
lalu menjilatinya di geladak kapal
sambil dikelupasi ombak
yang bersap tiga-puluh-tiga
ombak yang di puncaknya: bunga-cahaya
dengan kelopak melengkung ke atas,
menghunjam ke mata-bulan: bulan-batu

dan di mata-bulan-batu itu
kautudingkan seluruh pencapaianmu
yang telah menggumpalkan kerangka-kala
yang selama berabad-abad
membuat setapak di angkasa
seperti setapak turis
yang telah menghafal sekian nama
tapi tak pernah diingat:
“Sekian cakar yang telah tertiris
oleh berbagai persibakuan”

lalu, siapa yang kautunggu?
bukankah bunyi cangkang yang ditumbuk
nyali-hitam dengan rambut-merah itu
adalah dengus-kegelisahan-renjanamu?
renjana yang telah melimbungkan bintang-jatuh
sampai akar-karang yang ruwet
pun menjadi gemetar, menjadi sejumput sesaji
yang membusuk di rahang-arus, lalu
menjerit, sebelum tenggelam, dan
ditangkap oleh penyelam-penyelam gaib

penyelam-penyelam gaib yang dengan rebab
berkata: “Kami ambil lagi apa yang telah
dibuang, kami buang lagi apa yang telah diambil,
rambut yang tersanggul biarlah kami urai
biarlah juga, keliningan-keliningan
terpasang di situ, sebab antara jaga dan pejam,
kami selalu melingkar, menaik, turun dan kembali
lagi melingkar, seperti diagram-diagrammu
yang terekam di kilat-kilat cakram
disegelkan di jantung-jantung palung.”

Gresik, 1998


Reis
Multatulinya Takin

Kau menceritakan rempah-rempah bukan lewat
lenganmu, tapi lewat lengan yang
sepuluh jarinya telah kau buntungi

dan di sepuluh jari yang telah kau buntungi itu
kau juga menceritakan angsa-angsa yang berenangan
di laut, warnanya putih, bagai butiran cahaya

yang lupa kembali ke ketinggian,
angsa-angsa yang tak bosan berhikmat:
“Tuan guru, jangan ajari kami untuk berdusta dan

bercinta sekaligus. Hati kami luka, kelamin kami
duka,” Lalu pelangi pun terbuka. Seperti ladang, apa
rempah-rempah juga akan kau tanam di sana?

dan apa tak ada lain dalam kebusukan milikmu
yang selalu berpikir tentang lenganmu
yang selalu bersih dan berkilau itu? Wahai, rempah-
rempah pun terus

kau ceritakan, seperti menceritakan setiap yang
beringsut di antara garam, ombak dan lokan
di antara peluru, tombak dan mayat-mayat

yang terapung, mayat-mayat yang asin
mayat-mayat yang seluruh rambutnya
menelusupi dedasaran dan menyamarkan air matanya
di sisik ikan

lalu sambil memainkan pecut, parut, dan
pisau, kau pun memeluki sekian pancang dan
cerobong yang datang lewat kegelapan dan
yang selalu mabuk

di saat lengan yang sepuluh jarinya telah kau
buntungi itu, mengingat pada siapa saja yang
pernah berbisik, dan pada siapa saja yang lewat

bisikan itu menyengau: “Cermatlah pada tuan guru, tapi
lebih cermatlah pada siasat rempah-rempahnya,”
sebab, setiap ada yang mengambil jalur dan angin

yang lain, selalu dikilah: “Mengapa di setiap
timbanganku, selalu bercokol si pengibul
di punggungnya?” (Akh, kau menceritakan
rempah-rempah bukan?)

Gresik, 2006


Kitaran Persilangan

Ayahku berwarna putih, ibuku berwarna hitam
lalu aku apa? Sebutlah, dan cari dalam jisim
yang mengudar warna dan nasib kulit abu-abuku

jika berdoa, apakah aku akan mengutuk atau memuja?
percaya pada bumi atau justru menginjaknya?
ya, dengan sepedaku-yang-mengerikan, aku kitari
kampungku

dan kampungku pun tak pernah menunduk
paling-paling cuma melompat dan mengangkang, yang
persis di atasku: “Apa ia mau memberkati?”

baiklah, seekor ular mendesis, kilat matanya
menusuk pada debu, pada abu, pada aku, dan pada
sepedaku-yang-mengerikan. Sampai kemudian,

aku lihat rumah-rumah dan pohon-pohonku pun
berangkat sambil mengusung sekian perutnya yang
menganga yang tak lepas untuk menyengau:

“Selain kemurnian, tak ada yang boleh tiba, dan selain
yang tiba, mari dicari yang telah bercecampur,” Sebab
telah sekian waktu, tak ada yang bisa menyangka:

“Siapa yang lebih dulu: pewarna ataukah yang
diwarnai?” dan di luar ini semua, kulit abu-abuku pun
berkelupasan, untuk kemudian beterbangan dalam

lingkaran yang menggasing, seperti gasingan setiap
aku kayuh sepedaku-yang-mengerikan, aku kayuh
ke arah-arah yang bertaburan di siang-siang bolong

ohoi, setiap aku jentik tuter karat itu
ada kiriman rambut, darah dan lendir di antara
sadel, ban dan pedal pada goresan yang miring…

Gresik, 2005


Orang Tenggelam
buat lan fang

            Istriku adalah ikan yang kuat. Selalu melesat
di antara bunga, kepiting dan remukan terumbu
di kedalaman. Di kedua lengannya ada sirip warna-
warni. Setiap melesat, barangkali pelangi selalu
diserakkannya. Sinarnya selalu membungkusnya. Istriku
pun berkebatan. Tiga ratus anak-anak laut membuntuti.
Anak-anak laut yang separuh badannya adalah ikan.
Dan separuhnya lagi adalah kemontokan keremajaan.
Seperti kemontokan gadis-gadis pinggir pantai.
Yang percaya pada maut di lautan. Istriku selalu bermain
dan menyusui. Rasanya dunia adalah mimpi.
Dan matahari dan bulan adalah tempat dia berdoa.
Katanya: “Ada tuhan di sana, pakaiannya indah, selalu
menabur makanan dan minuman, juga rejeki bagi yang
di darat dan di laut,” Istriku jika malam selalu pulang.
Tubuhnya benderang di kegelapan. Dan aku yang
menantinya di tanjung dapat melihatnya. Bahkan
sebelum mendarat, diseretnya aku ke pelukannya.
Tubuhku basah, hatiku basah. Dan kecipak debur pun
seperti tamburin yang ritmis. Tapi paginya: mengapa aku
dan istriku mengambang? Dan sekian orang ribut
dan mewarta: “Orang mana yang tenggelam
tanpa sebab ini? Siapa namanya? Darimana dia berasal?
Dan mengapa segenap badannya warna-warni?”
            Dia memeluk sebuah boneka yang Cuma sebatas
pinggang…

Gresik, 2006


Bapakku Telah Pergi

Bapakku telah pergi
menemui pembakaran
ruang suci tempat selesaian

tapi ekor-ekor yang ditinggalnya
membelit tubuhku
menciptakan jarak, yang ujungnya

masih dipegangnya
batasnya tak teraba
maka jadilah itu: “Hantu”

bapakku telah pergi, memang
tapi hantunya itu demikian kuat
demikian mendesak

sampai bagian dalam tubuhku
bergetar, berpusar, seperti
tubir, seperti gerigir

si sayap-sayap tembikar
yang selalu melipatiku
seperti melipati ladang-ladang itu

tanah harapan di mana
aku telah menyerahkan kesetiaan
bangkit dan runtuh, runtuh dan bangkit

dan gelembung yang bugil
lewat dua puluh jari aku pahat. Kuberi
mata, mulut, telinga, hidung, dan organ

lalu beberapa kata: “Hantu tadi”
lalu beberapa ekor: “Ujungnya di bapak”
lalu sebuah meja, payung dan kursi

“Selamat datang,” kataku

aku dan gelembung pun saling berkata
dan saling terbuka
seterusnya sebuah percakapan

demikian asal-mula
aku membikin sebuah lahan di gelembung
demikian seterusnya aku mengada

sambil terus dilipati hantu
sambil terus berpegangan pada ekor
yang ujungnya di bapak

yang memberi nama pada
setiap nama yang kupanggil
dan kuseru

yang melingkupi bumi
di mana aku
terbaring atau berkelamin

menegak atau ditegakkan
menyedot atau disedot
menetak atau ditetak

lalu menempeli keningku
seperti tempelan tato kelabu
yang memancar bagai merkuri

kemudian merajuti setiap
diri anak-anakku dan anak
dari anak-anakku

dan membikin mereka percaya
jika tato kelabu dan lahan di gelembung itu
memang terwaris atas kromosomku

dan bukan atas hantu:
“Hantu Bapak”

bapakku telah pergi, memang
menemui pembakaran
ruang suci tempat selesaian…

Gresik, 1995


Anak

Lahir dari endapan cahaya
terpancar dari perairan dalam tulang
anak adalah batu-batu terusan
yang akan menimbun atau membangun
balik apa yang tertinggal
sebagai ucapan atau bisik-bisik
sebagai sentuhan atau cakar-ayam
dan lewat anak, nama bangkit atau tidak
setelah lewati seluruh waktu, seluruh
umur yang tersimpan dalam aroma
yang merayap dalam tidur-tidur
atau pada igauan-igauan
yang panjang atau patah-patah itu
dalam bulan-pecah ketika tangan telah
lekat pada debu dan nafas tinggal sejengkal
dalam malam ketika anjing kelabu
mengirimkan lengking terakhirnya
terbau sekujur daging-daging rompal
dan lewat anak, kamu berpendar atau tidak!

Gresik, 1996


Suluk Orang Suci Orang tak Suci

Orang suci melangkah di antara bintang
orang tak suci melangkah di antara lorong
tapi keringat yang jatuh
sama-sama menyerbuk di angkasa
sama-sama turun lewat kelangkang benih:
“Benih sungai tempat kau bersamadi,”
dan selama ribuan tahun kau bersamadi
membatu di antara musim ke musim
matamu mengatup, telingamu terbuka:
“Suara apa yang ingin kau dengar?”
suara suluk? Ataukah, suara geram hatimu
yang terlalu was-was pada debu?
kiranya, kau mungkin menanti sesuatu
seperti penantian udara pada jatuhnya ruang padat
yang meledak tepat hawa sakti tak terluap
dan orang-orang kasar yang kerap menyumpah
pun balik menyumpahi kelaminnya sendiri:
“Setan benar daging lebih turunan ini!”

Gresik, 1997


Takwil yang Ke-13
mail yang tak bisa digoda

Di akhir sajak: ada pelantikan, takzim dan kemuliaan
dan yang nyelonong: tai, borgol dan pecundang
di luar itu semua, ternyata dunia masih biasa-biasa saja,
orang-orang puasa, main sandiwara, sesekali merayu,
dan sesekali yang lain menggertak: “Bangsat!”

dan turunan-dari-yang-asal, atau yang-berekor, memang
ahli siasat dan debat, seahli mereka naik-turun pohon
dan keluar-masuk lorong, lalu sesekali
menorehkan jejaknya di tebing, laut dan langit
baik secara serampangan atau beralamat jelas

dan berjuta tahun: ksatria telah dilarungkan di sungai,
dan berjuta tahun pula: ksatria mengeluarkan si bangsat
dari kutukan. Kutukan keyakinan, warna kulit sampai
kutukan bersanggama, membikin kanak dan
membangun riwayat serta upacara-upacaranya

dan itu pun berkembang dan berbiak, seperti yang
terlihat, seperti kebun dengan bunga warna-warninya,
kabutnya dan hama-hamanya. Tapi, yang lebih
mencekam, adalah ketika aku melangkah ke situ,
bernyanyi dan beramsal: “Akulah penulis sajak itu,”
penulis yang melihat bebek sebagai setan, pondok
bobrok sebagai sorga, kuda sebagai petir dan kilat,
sungai sebagai darah, cangkul dan sekrop sebagai iman,
dan wewangian kebun sebagai bau-banjir-yang-
menggelikan, dan dengan yang-menggelikan: “Datang
menyeret semuanya,”

tanpa ampunan, tanpa titik-koma, seperti pintu yang
terbuka bagi si terpenjara, yang selama hidupnya tak
pernah dipenjara oleh apa dan siapa pun, kecuali oleh:
“Selaksa gugusan dungu, yang membuat kemustahilan
menjadi utuh, dan ingatan melulu menggigilkan jurang
yang miring,”

Gresik, 2004


Soerabaia
dukut itu punya tempo doeloe

Buku I halaman 122:
“Ada seorang inlander yang mati
aah, tidak apa-apa. Tiap hari mereka tokh juga mati
apalagi mereka mati seperti tikus-tikus!”

Buku II halaman 440:
Kerja terus! Kau gila! Apa tidak tahu adat! Kau
kurang ajar? Jangan kurang ajar! Pergi! Diam!
Tutup mulut! Ayo, jangan tidur! Jangan omong!
Jangan tertawa! Jangan main gila sama saya!
Buru-buru! Lekas! Buka kau punya mata! Awas!

buku yang lain, halamannya di lubuk, belum tertulis
dan tercetak, atau malah sudah terobek, simpulannya:
di belakang iklan bir, minyak, rokok, teh dan tembakau,
kopi, baju-haji, afdruk-foto, dan kanak-kanak yang
memanjati tiang, serta wajah-garang-marsose, yang
selalu bergaya dengan sepatu botnya, darah bekisar pun
punya bahasa sendiri: “Entah-putih-entah-coklat!”
menegur tilas-tilas hantu pada sebuah waktu, di samping
pinggir-kebun-binatang:
“Kami tak menghasut, percayalah, Tuan, kami tak
menghasut!”

ya, lewat trem yang berkelonengan
si wanita-buruh-arloji itu pun dikawin si kopral yang
bertopi lebar, penutup kening yang bersurat:
“Ini sebenggol, ongkos makan, minum, tidur dan pukulan
untukmu!” Selanjutnya, siapa yang tahu,
jika kampung dibangun dari opium dan banjir?
Dan siapa yang tahu, jika kampung juga dibangun dari
bubur yang warna-warni?

“Hordah, yang mulutnya usil, lidahnya dipluntir!”

Gresik, 2003


Hasyim Membaca Hikayatnya

Hasyim membaca hikayatnya
suaranya seperti nyawa ombak
yang menguntit bayanganmu

dan suara Hasyim adalah pintu
bagi nyali-laut yang ganjil
yang akan mengangkuti ranjangmu

ranjang tempat kau mimpi
dan menyerahkan segenap semesta
yang telah kau simpan di benakmu

Hasyim memang setengah-gila
dia membaca juga memaksa, dan
sesekali menggugurkan hikayatnya

lalu berkata: “Dengan nama kalam,
semuanya tiba dan pergi, dengan
beras, pedang, matahari atau uang!”

dan Hasyim pun tahu, jika kau
terkejut, seperti kejut batang-leher
yang tersedak, batang-leher

yang cuma bisa merunduk, saat
kelenjar-api disiramkan
ke hari dan ke almanak mereka

atas nama yang lain dan yang lain
yang merangkak dengan berat
dan juga atas nama yang lain dan yang

lain lagi, yang mengajari siapa saja
menyeru lewat mulut yang santun
mulut yang makan dengan 33 kunyahan

mulut yang menyimpani
palawija, balai dan tanah-tanahan
ke dalam kantung-kantung

kantung-kantung yang cuma
bisa melungker, seperti melungkernya
kotoran-kotoran di jamban-pantai

“Kotoran hitam dan bau!”
kotoran hitam dan bau? Akh, Hasyim pun
ketawa, sambung hikayatnya:

“Alkisah, di pusar-dasar dan ceruk-badai,
pantat ibumu demikian besar, demikian
menguasai segenap arus dan hilir,”

dan 500 halaman hikayat pun tak
cukup untuk menulis dan menghafalnya
sebab ibumu cuma duduk sambil bersiul

ke arah ranjangmu yang terangkut itu
sedang di angkasa: “Berita, sepatu, bank,
semen dan pupukmu diterbangkannya,”

berarak seperti terhukum yang terusir
terhukum yang terantai dan berkelonengan
lewat sampan-sampan yang oleng

ya, Hasyim membaca dan terus membaca hikayatnya
suaranya pun terus seperti nyawa-ombak
yang menguntit bayanganmu:

“Dan setengah gila!”

Gresik, 2003


Petikan Buat Adam

Katakan tentang seseorang padaku
dan aku akan mengatakan padamu
tentang seseorang yang lain
yang telah menyimpan pikiran-jahatnya
lewat kantong-kantong di pinggulnya
dia ingin meniupkan wanita yang telah
membuat dosa dari kemandulan sel-telurnya
untuk dikawinkan di harimu:

“Apakah kau tak tahu, tak tahu?”
ya, pikiran-jahatnya tetaplah pikiran
itu bisa tersembunyi atau tampak menegas
dan seperti ketika kau menangkap kilat
dalam matamu, dalam nyalimu:
“Untuk apakah itu semua?”
untuk masa-kini ataukah masa-tuamu
yang selama kau berjalan, selalu terpekur
di antara dua pelupukmu yang mengantuk
yang seperti peristiwa sesaat

akan mengantarmu ke sebuah pemukiman-rawa
dengan pepohonan tanpa serabut, dan selalu
akan menabungi kegemetaranmu sendiri: “Sendirian:”
itulah yang aku kira milik-kita-berdua
pikiran-jahatnya yang selalu disimpannya itu

Gresik, 1997


Tentang Mardi Luhung
Mardi Luhung, atau kerap disapa Hendry, lahir di Gresik, 5 Maret 1965, dari ayah orang Cina dan ibu orang Jawa. Lulusan Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia Universitas Jember. Puisi-puisinya tersebar di berbagai media massa dan antologi puisi bersama. Kumpulan puisi tunggalnya: Terbelah Sudah Jantungku (1996) dan Wanita yang Kencing di Semak (2002). Tahun 2006, Mardi Luhung mendapat Anugerah Seni/Budaya dari Gubernur Jawa Timur.


Catatan Lain
Ada banyak orang yang dibentuk dari kata kerja/kata benda di puisi Mardi Luhung (dengan menambahkan si atau imbuhan pe-): ada si pengutil, si penderma, penyelonong, si pensiunan badut, pesilat bertopeng monyet, si penjaga taman, si pelancong abadi, penyelam gaib, si terpenjara, si pentakwil, si penyuap, si raja, si pemukim, si kaca-mata, pendebat, pentakzim, si pemangsa, pengungsi, si keriting, si penghunus, dsb. Kumpulan puisi ini dibagi atas 12 Bagian, yaitu Terbelah Sudah Jantungku (5 puisi), Kilat Cakram (7 puisi), Altar (6 puisi), Kerajaan Pemabuk (5 puisi), Hikayat Tungku (5 puisi), Wanita yang Kencing di Semak (5 puisi), Gambit Raja (6 puisi), Lelang Pasar (6 puisi), Sekilat Pikiran (5 puisi), Yang Berjalan di Atas Laut (5 puisi), Zion (5 puisi), dan Kitaran Persilangan (6 puisi). Total 66 puisi. Di bagian akhir, Mardi Luhung menulis Kata Penutup yang dijudulinya “Dari Komik Sampai Puisi”.
            Dalam kata penutup, penyair Hendry mengenang: “Tahun 70-an, ayahku memberiku segebok komik. Komik itu macam-macam. Ada silat, humor, superhero dan wayang. Dari sekian jenis itu, aku paling tertarik pada yang silat dan superhero. Seperti Godam, Gundala, Pangeran Mlar, Maza, Si Buta, Jaka Sembung, Si Tolol, Mandala, dan beberapa lainnya. Ada pun nama-nama komikus yang masih aku ingat sampai saat ini adalah Hasmi, Wid NS, Man, Ganes Th, Hans, Djair, Zaldi, RA. Kosasih, dan juga Nerry yang asli Gresik.//Dari dunia komik yang aku masuki itu, berdikit-dikit aku suka membayangkan hal yang aneh-aneh, khayal dan fantastis. Kesukaan itu sangat kuat, sehingga aku seringkali berkhayal sendiri, baik di kamar mandi, di beranda, di alun-alun, bahkan pernah juga di dalam kelas sewaktu aku masih kelas 3 SD. Akibatnya, oleh Bu Guru, aku dikeluarkan dari kelas. Dan entah mengapa, ketika di luar kelas, aku justru malah senang, sebab bisa lebih leluasa berkhayal.”
            Mardi Luhung melanjutkan di bagian lain: “Waktu pun bergulir, hari pun menghilir. Aku terus tumbuh remaja. Sampai kemudian, aku berkenalan dengan puisi (waktu itu di kelas 3 SLTA). Ini terjadi karena aku dekat dengan guru bahasa indonesia. Oleh beliau aku dikenalkan dengan puisi…. Dan dari sekian puisi yang dikenalkan itu, terus terang, aku tertarik pada puisinya Sutardji. Alasannya, di dalam puisi Sutardji (terutama yang ada di buku O, Amuk, Kapak), aku masih menemukan dunia superhero yang paling aku gandrungi. Dunia yang bisa melesat ke sana-ke mari, tanpa dibatasi ruang, waktu dan gravitasi. Bahkan, jika perlu, seperti foto-foto yang ada di dalam buku itu, aku pun ingin memainkan kapak dengan cara menyungsang, mabuk, menggeram, mendesis dan bla-bla-bla: khayalan remajaku pun benar-benar seperti mendapat tempat.”
            Nah, bagaimana dengan masa kecil anda?
            Kita lanjut lagi. Mardi Luhung menulis: “Jadinya, saat itu pula, (nb. saat bekerja sebagai pegawai pengepakan ikan di sebuah desa pesisir di Gresik), aku mulai mereguk seluruh yang ada di dalam kehidupan penduduk Jawa Gresik pesisiran itu. Dan karena penduduk Jawa Gresik pesisiran itu berwatak terbuka, apa adanya, tanpa tedeng aling-aling, maka puisi-puisi yang aku tulis pun berwatak seperti itu. Bahkan, karena (mungkin) saking terbukanya, banyak yang menganggap bahwa puisi-puisiku adalah puisi-puisi yang carut marut. Segalanya boleh masuk. Segalanya boleh bertempat.” 
            Nah, bagaimana dengan puisimu? 

1 komentar:

  1. Puisi yang begitu indah dan bermakna dalam ...hebat
    (Wisnu Murti,https://tulisandenpasar.blogspot.com)

    BalasHapus